Tuesday, July 31, 2012

Menguji KPK & Momentum Membongkar Korupsi di Tubuh POLRI

Insiden ‘kecil’ yang terekspose media mengenai ‘tersandera’nya penyidik KPK untuk membawa barang bukti dugaan korupsi korupsi pengadaan alat driving simulator pembuatan SIM di Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri menjadi ujian bagi kewenangan KPK yang diatur dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Aparat kepolisian seakan diperintahkan untuk mencegah petugas KPK membawa barang bukti yang diambil dari gedung Korlantas Polri. Peristiwa ini menggemparkan karena menggambarkan betapa Polri sebagai lembaga penegak hukum yang mengetahui hukum hendak melawan tugas KPK yang diatur dalam undang-undang.

Dengan dalih bahwa polisi juga sedang melakukan penyelidikan/penyidikan terhadap kasus serupa, menolak KPK membawa barang bukti. Dalih ini menjadi bentuk ketidaktahuan terhadap UU KPK ataukah keengganan untuk tunduk pada KPK yang tugas dan wewenangnnya diatur di UU KPK. Terdapat dua hal yang perlu dicermati dari peristiwa biasa dari proses hukum pemberantasan korupsi, namun menjadi luar biasa karena menyangkut institusi POLRI. Pertama, sengketa penafsiran Bab VI Bagian Ketiga UU KPK. Kedua, potensi keterlibatan pihak lain dalam kasus korupsi ini.

Kedua hal tersebut menjadi ujian bagi KPK dan POLRI dalam pemberantasan korupsi. KPK yang secara sosiologis hadir karena terlibatnya lembaga penegak hukum termasuk polisi dalam jejaring korupsi. Kehadirannya memang untuk memecah kebuntuan pemberantasan korupsi yang terbelenggu atau disandera oleh perilaku korup aparat penegak hukum. Selama ini KPK sering fokus pada pemberantasan korupsi di lembaga eksekutif dan legilastif untuk kasus pengadaan barang/jasa atau suap. Mengacu pada latar belakang kehadiran KPK, maka sudah selayaknya pemberantasan korupsi diarahkan pada lembaga penegak hukum.

Tulisan selengkapnya dapat dibaca di Kompasiana

Monday, July 30, 2012

Polisi (Korlantas) Melawan KPK dan Anti Pemberantasan Korupsi

Pagi ini publik dikagetkan dengan berita mengenai penggeledahan (penyidik) KPK di gedung Korlantas Polri. Kekagetan publik terkait dengan dua hal, pertama, KPK akhirnya kembali berani untuk mengusut korupsi yang ada ditubuh lembaga penegak hukum (polisi). Kedua, penggeledahan KPK diwarnai ‘insiden’ larangan penyidik KPK untuk membawa barang bukti. Menarik untuk dicermati adalah kekagetan kedua, dimana polisi melarang penyidik KPK membawa barang bukti. Meski kemudian dari hasil negosiasi antara pimpinan KPK dan petinggi polri adalah barang bukti tetap tidak boleh dibawa keluar dari gedung Korlantas. Dan solusinya, (penyidik) KPK menyegel barang bukti tersebut yang tidak boleh dibawa keluar.

Tindakan polisi melarang penyidik KPK membawa barang bukti menjadi bentuk arogansi polisi. Arogansi ini dapat dimaknai sebagai perlawanan terhadap upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK. Perlawanan ini dapat menjadi tudingan bahwa pertama, polisi adalah lembaga yang anti terhadap pemberantasan korupsi. Kedua, polisi adalah lembaga yang tidak mau dibongkar korupsinya oleh KPK. Tindakan polisi seolah dapat dibahasakan bahwa lembaga polri tidak tunduk pada kewenangan KPK yang diatur dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Penggeledahan menjadi salah satu pelaksanaan tugas KPK untuk melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi (Pasal 6 UU KPK). Ditegaskan dalam Pasal 12 UU KPK bahwa KPK dapat meminta bantuan kepolisian untuk melakukan penangkapan, penahanan dan penggeledahan. Kerjasama KPK dan kepolisian dalam memberantas korupsi sudah terjalin selama ini ketika KPK melaksanakan tugasnya. Namun pada saat KPK melaksanakan tugas di lembaga kepolisian sendiri, polisi tidak kooperatif.


Tulisan selengkapnya dapat dibaca di Kompasiana

Karakteristik Penanganan Tindak Pidana Suap Wa Ode Nurhayati, Bupati Buol, dan Emir Moeis

Kesibukan KPK dalam menjalankan tugas memberantas korupsi, dalam beberapa pekan ini disibukkan dengan penanganan 3 (tiga) kasus tindak pidana suap yaitu suap yang diterima Wa Ode Nurhayati sebesar Rp. 6,25 miliar, suap yang diterima Bupati Buol, Amran Batalipu senilai Rp. 3 miliar dan suap kepada Ketua Komisi XI DPR RI Izedrik Emir Moeis senilai lebih dari US$ 300 ribu. Ketiga kasus tindak pidana suap tersebut termasuk kasus yang menarik perhatian masyarakat. Daya tarik suap tersebut tidak hanya dibesarnya nilai suap yang diterima, melainkan aktor atau pihak yang menerima suap yaitu anggota DPR RI dan Kepala Daerah yaitu Bupati Buol.

Sebenarnya terdapat tindak pidana suap yang menjadi kasus menarik selain tiga kasus yang disebutkan diatas, yaitu kasus penyuapan yang dilakukan walikota Semarang non aktif Soemarmo. Kasus penyuapan ini tidak termasuk tindak pidana suap yang hendak dibandingkan karena pelaku (terdakwa) merupakan pihak yang melakukan penyuapan kepada anggota DPRD Semarang. Tiga kasus tindak pidana yang hendak dibandingkan menempatkan aktor-aktornya (tersangka/terdakwa) merupakan individu yang diduga menerima suap dari pihak lain.

Terdapat karakteristik penanganan tindak pidana suap yang dilakukan KPK berkaitan dengan 3 (tiga) kasus dengan tersangka/terdakwa Wa Ode Nurhayati, Amran Batalipu dan Emir Moeis. Pertama, KPK lebih dahulu memeriksa, menetapkan tersangka dan menahan pihak yang diduga menerima suap. Kedua, pasca penanganan sebagaimana disebutkan sebelumnya kemudian KPK menetapkan aktor atau pelaku yang memberikan suap kepada penerima suap. Model penanganan seperti ini seolah menegaskan bahwa KPK menggunakan model pemberantasan korupsi khususnya tindak pidana suap dengan lebih dahulu menetapkan penerima suap.


Tulisan selengkapnya dapat dibaca di Kompasiana

Sunday, July 29, 2012

Akuisisi Batavia Air oleh AirAsia Berhad dan PT Fersindo Nusaperkasa

Dunia penerbangan Indonesia dihebohkan dengan berita mengenai akuisisi Batavia Air (PT Metro Batavia) oleh AirAsia Berhad dan PT Fersindo Nusaperkasa. Dari berita yang ada diketahui bahwa kedua perusahaan tersebut akan mengakuisisi 100% saham PT Metro Batavia. Akuisisi dilakukan dengan dua tahap, ahap pertama adalah akuisisi saham mayoritas sebesar 76,95 persen dan tahap kedua akuisisi sisa saham sebesar 23,05 persen yang dimiliki pemegang saham saat ini. Nilai akuisisi Batavia Air adalah 80 juta dollar AS.

Kabar mengenai akuisis Batavia Air masih simpang siur, ketika Dirjen Perhubungan Udara Kemhub Herry Bhakti mengatakan, pihaknya hanya mengetahui kesepakatan kedua pihak itu hanya sebatas penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU). Artinya bahwa informasi mengenai akuisisi Batavia Air masih berada pada tahap rencana akuisisi, dan belum ada transaksi jual beli saham antara AirAsia Berhad dan PT Fersindo Nusaperkasa. Kebenaran mengenai akuisisi Batavia Air sebagaimana diinformasikan oleh media tidak berbanding lurus dengan prosedur hukum yang harus ditempuh dalam melakukan akuisisi.

Terdapat 2 undang-undang yang perlu dipertimbangkan oleh Air Asia Berhad dan PT Fersindo Nusaperkasa yaitu UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.


Tulisan lengkapnya dapat dibaca di Kompasiana

Meninjau Ulang Fungsi Polri Pasca Penembakan Warga di Limbang Jaya

Sengketa lahan antara PTPN VII dan warga di desa Limbang Jaya, Ogan Ilir, Sumatera Selatan menumbalkan warga yang tertembak luka-luka dan meninggal. Penguasaan tanah yang terjadi sejak tahun 1982 melalui pemaksaan kepada warga menjadi masalah sampai saat ini dan diselesaikan dengan mengedapankan ujung senapan aparat kepolisian. Dialog yang terbangun dikesampingkan oleh PTPN VII dengan memanggil aparat kepolisian untuk melakukan patroli yang oleh polisi disebut patroli dialogis. Patroli yang dilakukan didasarkan pada inisiatif salah satu pihak yang bersengketa dengan meminta aparat kepolisian hadir dan melakukan aktivitasnya di tengah masyarakat. Apakah warga desa yang mengundang aparat kepolisian?

Dalam Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian (UU Kepolisian) mengatur mengenai fungsi polisi yaitu sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan, dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Fungsi polisi sebagai salah satu fungsi pemerintah negara ditegaskan pada Pasal 5 UU Kepolisian yaitu sebagai alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.

Penegasan fungsi polisi dalam penyelenggaraan pemerintahan untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat ditegaskan pula dalam tugas polisi yaitu memelihara keamanan dan ketertiban; menegakkan hukum dan memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat (Pasal 13 UU Kepolisian). Pertanyaan yang mengemuka berkaitan dengan berbagai insiden yang melibatkan polisi di beberapa daerah seperti Mesuji, Bima dan terakhir di Limbang Jaya adalah bagaimana apabila polisi dalam menjalankan aktivitasnya mengingkari fungsi dan tugasnya yang diatur dalam undang-undang?


Tulisan selengkapnya dapat di buka di Kompasiana

Saturday, July 28, 2012

Pemberantasan Korupsi yang ‘Hapalan’ dan Pembiaran Korupsi Penegakan Hukum

Dalam hari-hari ini kita disuguhi pemberitaan pemberantasan korupsi yang mengungkap peran anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR dalam pembangunan beberapa proyek. Pengungkapan peran anggota Banggar dilakukan pada tahap pemeriksaan pihak yang diduga terlibat dalam korupsi pembangunan proyek pemerintah. Meskipun belum semua anggota DPR yang dituding oleh pihak yang terlibat tersebut menjadi tersangka atau saksi, namun informasi keterlibatan anggota DPR menunjukkan perilaku berjemaah untuk korupsi.

Informasi yang diungkapkan dari hasil pengembangan pemeriksaan menjadi petunjuk bagi KPK untuk menelusuri peran anggota DPR dalam korupsi yang sedang ditandatangani. Pemberantasan korupsi KPK yang sering mengungkap kasus-kasus korupsi dalam pembangunan proyek yang dibiayai APBN atau penangkapan tangan atas gratifikasi atau suap sudah menjadi ‘keahlian’ KPK. KPK terus mengulang keberhasilan pengungkapan kasus korupsi tersebut, dan tentunya akan tetap ditemukan kasus seperti itu. Apalagi ketika semua kasus korupsi pembangunan proyek yang melibatkan anggota DPR diungkap, maka KPK akan beralih ke daerah-daerah di Indonesia untuk mengungkap praktek korupsi sejenis.

Pemberantasan korupsi yang hanya terfokus pada legislatif dan kepala daerah, termasuk pemimpin proyek dan rekanan pemerintah dapat dikategorikan pemberantasan korupsi yang ‘hapalan’. KPK dengan kewenangan yang luar biasa akan nampak mudah menjerat pelaku korupsi seperti itu. Termasuk model pemberantasan korupsi dengan menangkap tangan pada saat tindak pidana dilakukan. Disebut ‘hapalan’ karena pertama, pemberantasan korupsi terhadap kasus korupsi terkait dengan pengadaan barang/jasa, termasuk modus memasukkan proyek ke dalam APBN oleh legislatif terus dilakukan. Kedua, KPK belum berani keluar dari zona nyaman pemberantasan korupsi terkait dengan proyek pengadaan barang/jasa.


Tulisan selengkapnya dapat di baca di Kompasiana

Friday, July 27, 2012

Terminal Bayangan Jatibening: dari Pembiaran ke Kekerasan (Refleksi Penegakan Hukum Kita)

Insiden blokade jalan tol yang terjadi pada hari Jumat pagi mengagetkan banyak pihak. Masyarakat yang merasa dirugikan mengecam aksi blokade tersebut. Kemacetan yang ditimbulkan sampai berpuluh-puluh kilometer menjengkelkan pengguna jalan (tol). Amuk massa dalam bentuk blokade dan pembakaran mobil/ban tidak dapat dilihat dari pemicunya saja yaitu ditutupnya terminal bayangan. Akar kekerasan bukan penutupan terminal bayangan yang dilakukan sepihak, melainkan pembiaran yang dilakukan Jasa Marga terhadap keberadaan terminal bayangan tersebut.

Pembiaran tersebut telah membentuk pola perilaku yang mapan. Perilaku yang berulang dan menjadi mapan, menjadi kesepakatan yang tidak diakui secara formal namun merupakan fakta sosial. Kesepakatan yang tidak disanggah atau ditolak oleh Jasa Marga selama ini telah melahirkan hukum tidak tertulis yang berlaku bagi masyarakat. Ketika kemudian kesepakatan tersebut ‘diingkari’ oleh pihak Jasa Marga maka terdapat kemanfaatan yang terganggu yang selama ini dinikmati oleh masyarakat.

Pola perilaku masyarakat yang menggunakan terminal bayangan tersebut selama ini dibiarkan, tidak diganggu oleh Jasa Marga. Keuntungan atau manfaat dari terminal bayangan yang dibiarkan telah menghadirkan ketergantungan publik. Ketergantungan tersebut tidak hanya berkaitan dengan pemanfaatan jasa transportasi, melainkan terdapat mata pencarian yang lahir dari keberadaan terminal bayangan tersebut. Artinya keberadaan terminal bayangan tidak hanya memudahkan publik dalam mengakses jalur transportasi, namun juga menjadi sumber penghasilan bagi masyarakat sekitar terminal dari penggunaan terminal bayangan tersebut oleh masyarakat.

Kemapanan atau keajegan yang selama ini terjadi, dipandang sebagai hukum tak tertulis yang berlaku di masyarakat. Hukum tak tertulis itulah yang ditaati dan mampu menghadirkan kemudahan dan penghasilan bagi pengguna terminal bayangan tersebut. Hukum tak tertulis yang terbentuk dari pembiaran memang lahir dari pelanggaran yang tidak ditegakkan selama ini. Artinya tidak ditegakkannya hukum akan melahirkan hukum baru dari hasil kesepakatan tidak tertulis antara pihak yang melanggar dan pihak yang seharusnya menegakkan hukum.


Tulisan selengkapnya dapat dibaca di Kompasiana

Wednesday, July 25, 2012

Fenomena Ariel sama seperti Koruptor di Masyarakat (Sebuah Cermin Untuk Kita)

Sambutan fans Ariel pada saat pembebasan beliau dari rutan menjadi fenomena yang disorot publik. Kecaman terbentuk dengan mendasarkan diri pada kualitas tindakan yang dilakukan Ariel dan sudah mendapatkan peneguhan vonis bersalah dari hakim. Ariel yang dinyatakan bersalah tidak menyurutkan rasa kekaguman masyarakat yang menjadi fans-nya. Kekaguman ini tidak terpengaruh oleh pandangan hakim atau masyarakat lainnya yang tidak setuju dengan perilaku Ariel. Alih-alih mereka menjauhi dan ikut mengecam Ariel, mereka berduyun-duyun menyambut dan membuat 'upacara' penyambutan. Mereka senang dengan 'kehadiran' Ariel dari ketidakbebasannya selama ini.

Tulisan ini tidak ingin mengupas lebih jauh tentang Ariel, fans-nya atau pembebasan bersyaratnya Ariel. Melainkan mencoba menjadikan pembebasan Ariel sebagai fenomena yang berguna untuk membandingkan sikap masyarakat kita terhadap koruptor. Perbandingan ini dilakukan dengan titik pijak bahwa Ariel dan koruptor merupakan individu yang sudah divonis bersalah oleh hakim. Koruptor adalah pelaku kejahatan kerah putih (white collar crime), dimana pelakunya hanya bisa dilakukan oleh individu dengan jabatan/kedudukan dan tingkat pendidikan tertentu. Vonis bersalah koruptor dan kebebasan dari menjalani proses hukum oleh koruptor tidak menyurutkan langkah masyarakat untuk mengagumi koruptor tersebut.
Koruptor tetap bisa terpilih sebagai kepala daerah atau anggota legislatif. Mereka juga tetap mendapatkan penghormatan masyarakat ketika kembali ke lingkungan (asal) mereka. Individu yang sudah divonis korupsi masih mendapatkan tempat di 'kelas sosial' tertentu sehingga mereka 'pantas' mendapatkan 'keistimewaan' di tengah masyarakat. Koruptor masih disanjung ketika hendak maju ke pemilu atau pilkada. Mereka didorong untuk maju, dan didukung penggalangan massa pendukungnya. Fenomena ini seolah menunjukkan amnesia publik atas vonis bersalah yang dihujamkan kepada perbuatan koruptor.


Tulisan lengkapnya dapat dibaca di Kompasiana

Impor Kedelai & Afirmasi bahwa Kita Bangsa Tempe

Kehebohan yang ditimbulkan dari komoditas kedelai sebagai bahan baku tempe terus berlanjut. Pemerintah akan menghapuskan bea impor kedelai sebesar 5% paling lambat tanggal 1 Agustus 2012. Tujuan dari penghapusan bea impor ini adalah mendorong impor kedelai untuk memenuhi kebutuhan kedelai dalam negeri. Konsekuensi dari kebijakan ini adalah tidak hanya akan meningkatkan pasokan kedelai dalam negeri, dan berharap akan menstabilkan (baca: menurunkan) harga kedelai. Meningkatnya pasokan kedelai impor akan melonjak lebih dari 1,9 juta ton dari kebutuhan kedelai dalam negeri sekitar 2,2 ton.

Selain akan tergusurnya kedelai lokal, pembebasan bea impor kedelai menunjukkan bahwa Indonesia bukan lagi bangsa tempe. Dimana tempe yang berbahan baku kedelai, ternyata bahan bakunya-pun harus impor. Impor dilakukan karena kapasitas produksi pertanian kedelai dalam negeri tidak mencukupi kebutuhan pasar. Ketidakmampuan ini disebabkan penurunan produksi dari tahun 1990 sebesar 1,4 juta ton menjadi hanya 851 ribu ton pada tahun 2011. Fakta ini menunjukkan bahwa tempe yang dipandang sebagai makanan kelas bawah berimbas pada menurunnya daya tarik petani untuk menanam kedelai. Tingkat harga kedelai yang tidak kompetitif membentuk kemalasan petani untuk menanam kedelai.

Krisis tempe yang terjadi dalam beberapa hari ini menunjukkan bahwa tempe menjadi makanan yang masih diandalkan oleh keluarga Indonesia. Konsumsi tempe yang merupakan sisi permintaan pasar menumbukan industri pembuatan tempe di beberapa daerah sebagai sisi penawaran. Dan selama ini pemerintah gagal melihat industri ini sebagai penopang pangan nasional bagi keluarga Indonesia. Kebutuhan kedelai sebagai bahan baku tempe yang melonjak gagal diantisipasi dengan membangun prioritas pembangunan pertanian selain beras (padi). Akhirnya sebagaimana kita ketahui ternyata ketercukupan kebutuhan kedelai nasional dipasok oleh impor kedelai sebesar 80%. Artinya bahwa kedelai lokal hanya mampu berproduksi untuk memenuhi kebutuhan kedelai nasional sebesar 80%.


Tulisan lengkap dapat dibaca di Kompasiana

Tuesday, July 24, 2012

Tempe, Pemicu Krisis Pangan Indonesia (Jangan Anggap Remeh Tempe)

Indonesia diributkan dengan kenaikan harga kedelai yang merupakan imbas dari kenaikan harga kedelai internasional. Produsen tempe yang berbahan baku utama kedelai melakukan 'protes' dengan tidak berproduksi. Dalih produsen tempe adalah mereka sudah tidak mampu lagi berproduksi dengan harga bahan baku yang melambung. Konsekuensinya adalah harga tempe harus dinaikkan. 'Siklus' ekonomi seperti ini sebenarnya merupakan kewajaran, pertanyaannya mengapa kenaikan harga kedelai begitu menghebohkan. Bahkan kemudian ada yang menyebut bahwa Indonesia krisis tempe!

Dibelahan bumi lain di benua Eropa seperti Yunani dan Spanyol yang mengalami krisis finansial, alih-alih Indonesia juga terkena krisis finansial. Indonesia malah dicitrakan terpapar krisis tempe. Apakah krisis tempe ini merupakan manifestasi krisis finansial? Headline Harian Kompas hari ini mengangkat tema 'Indonesia Rentan Krisis Pangan'. Menelisik bahwa pangan adalah kebutuhan primer maka stabilitas harga pangan menjadi penting untuk dikontrol oleh Pemerintah. Fenomena krisis tempe jangan dimaknai sebagai kewajaran dalam siklus tahunan menjelang Ramadhan. Sebagaimana diungkapkan oleh seorang menteri, 'apabila tidak menginginkan harga beras dan gula naik, maka jangan konsumsi beras dan gula'. Sebuah pernyataan yang tidak hanya nir-empati, melainkan tercerabut dari akar sosial-budaya bangsanya.

Mengkaitkan krisis tempe dan pernyataan menteri tersebut dapat memberikan gambaran bahwa Indonesia mempunyai potensi krisis ekonomi. Berbeda dengan krisis finansial di Eropa atau Amerika, krisis tempe ini menjadi gambaran bahwa tempe yang dinilai bahan makan kasta rendah yang dikonsumsi oleh masyarakat bawah Indonesia mampu berkontribusi pada kondisi krisis. Protes produsen tempe yang melakukan mogok produksi tidak hanya dibaca sebagai ketidakmampuan produsen untuk memproduksi. Tetapi kekuatiran bahwa kenaikan harga bahan baku tempe (kedelai) akan menaikkan harga tempe, dan kenaikan harga tempe tidak akan terbeli oleh konsumen. Tidak terbelinya tempe oleh konsumen akan menambah beban bagi produsen tempe untuk melangsungkan usahanya.

Tulisan lengkapnya dapat di baca di Kompasiana

Pengelolaan sebuah kota tidak ditentukan tuanya usia (Refleksi HUT Salatiga)

Salatiga sebagai sebuah kota tidak bisa menghindari perkembangan kota yang identik dengan kota lainnya di Indonesia. Dampak dari laju jumlah penduduk, bertambahnya jumlah kendaraan bermotor, meningkatkan industri baik manufacture, jasa maupun retail sangat berpengaruh terhadap wajah kota. Pertama, jumlah penduduk mendorong pembangunan pemukiman baik perumahan atau non perumahan. Pembangunan pemukiman membutuhkan lokasi tanah yang dipilih secara strategis berdasarkan kepemilikan investor atau developer. Tanpa memperhatikan Rencana Tata Ruang Wilayah, pemukiman untuk warga kota Salatiga dapat mengganggu keseimbangan lingkungan. Pemanfaatan lahan basah (pertanian) maupun kering akan mempengaruhi daerah resapan air tanah, termasuk mengurangi kebutuhan ruang hijau penghasil O2 atau penyerap CO2.

Kedua, meningkat pesatnya jumlah kendaraan bermotor yang berlalu lalang di jalanan kota Salatiga dari hari ke hari semakin melahirkan kepadatan. Saat ini macetnya jalan Kartini atau jalan Diponegoro di pagi hari menjadi pemandangan biasa, apalagi kalau sedang hujan mobil mendominasi di jalanan tersebut untuk mengantarkan peserta didik sekolah di sekitar kedua jalan tersebut. Selain mendatangkan pendapatan bagi daerah, kendaraan bermotor menjadi produsen CO2 di kota Salatiga. Inilah yang menjadi salah satu faktor, Salatiga saat ini menjadi panas. Selain faktor global warming yang menjadi fenomena global di seluruh dunia. Kondisi ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemkot Salatiga dan warga kota-nya untuk melakukan penanaman pohon di pinggir-pinggir jalan. Pohon-pohon Mahoni yang sudah tua perlu segera diremajakan, dan penanaman di pinggir-pinggir jalan harus bersinergi dengan pembangunan trotoar yang dirasa makin berkurang.

Trotoar yang seharusnya menjadi wilayah pedestrian dianggap kurang penting, sehingga ruangnya sengaja dikurangi atau digunakan oleh pedagang kaki lima (PKL). Trotoar dapat menjadi ruang publik yang nyaman dengan melakukan 'lokalisasi' PKL sebagai tempat wisata baik kuliner maupun produk lainnya. Saat ini pedestrian yang nyaman hanya di Lapangan Pancasila di saat pagi hari. Kegiatan olah raga ringan dilakukan warga kota di lapangan itu, dan menjadi arena permainan warga sekitar lapangan tersebut untuk sepakbola di sore hari. Pedestrian dipandang sebelah mata sebagai dampak dari dominasi penggunaan kendaraan bermotor. Selain tidak nyaman, trotoar tidak terawat dengan baik dan sempit karena berdampingan dengan PKL dan atau tempat tanaman hias.

Tulisan selengkapnya dapat di baca di Kompasiana

Monday, July 23, 2012

Larangan Tempat Ibadah & Solidaritas atas Penindasan Sesama Umat di Negara lain (Paradoks Keberagamaan Indonesia)

Membawa petasan, ditangkap karena dapat membahayakan ketika dinyalakan. Membawa narkoba, ditangkap krn dapat mendorong kejahatan lain yg merugikan masyarakat. Membunuh, ditangkap krn menghilangkan nyawa org lain. Mencuri, ditangkap krn mengambil barang yg bukan merupakan haknya. NAMUN, beribadah & beragama, dilarang secara tidak langsung krn tempat ibadahnya tidak ada. Beribadah bisa dimana saja. Bagaimana apabila ibadah dilarang dilakukan disembarang tempat? Ketika tempat ibadah dibangun harus mematuhi hukum maka itu harus dipatuhi. Apakah ibadah akan dilarang dilakukan dirumah oleh beberapa orang ketika tempat ibadah meniada?

Beribadah & beragama yang disamakan dengan kejahatan seperti kejahatan lain ketika secara hukum dilarang dan hukum tersebut ditegakkan. Berdasarkan hukum orang dicegah untuk beribadah sesuai dengan keyakinan, tempat ibadah dilarang berdiri atau dibangun, bahkan dibumi-hanguskan oleh kelompok orang yang ingin menegakkan hukum. Larangan keberadaan dan atau pendirian tempat ibadah menjadi bagian dari larangan untuk beribadah. Dalam hal ini hukum menghilangkan akal sehat dan menempatkan hukum sebagai logika berpikir yang tunggal.

Hukum yang melarang ibadah dan mendirikan bangunan tempat ibadah mengingkari jawaban atas pertanyaan, mengapa Tuhan saat menciptakan manusia tdk memberikan 1 agama yg jelas tanpa harus kemudian mengirimkan melalui nabiNya? Apakah Tuhan tidak bisa menciptakan 1 agama utk manusia? Kalau tidak bisa, mahakuasa-kah Tuhan? Pertanyaan-pertanyaan tersebut mengemukan untuk menunjukkan bahwa keberagaman atau kemajemukan adalah keniscayaan kehidupan manusia. Manusia yang bermaksud meniadakan kemajemukan, khususnya dalam keyakinan atau agama hendaknya merenung mengapa Tuhan menciptakan banyak jenis pohon di atas bumi? Mengapa Tuhan menciptakan manusia berjenis kelamin laki-laki dan perempuan? Mengapa manusia tidak memberikan nama anaknya sama dengan dirinya sendiri?

Tulisan selengkapnya dapat di baca di Kompasiana

Friday, July 20, 2012

Hukum sebagai sumber konflik, akibat monopoli penciptaan ketertiban

"Ternyata banyak peserta (stakeholders) yang turut berperan dalam memproduksi ketertiban. Hukum menghadapi kenyataan, bahwa ia dihadapkan pada berbagai ordinal dalam masyarakat. Sebagai produsen, hukum bahkan tidak dapat disebut sebagai produsen yang otentik, sebab diatas hukum, masih banyak komunitas dalam masyarakat yang bisa memproduksi ketertiban dengan lebih otentik”. (Satjipto Raharjo, 2006)

Pendapat Begawan Hukum Progresif yang dikutip diatas menemukan area pertemuan dengan fenomena hukum (tertulis) yang dimaksud mengatur ketertiban yang sebenarnya masyarakat sudah menciptakan ketertiban tanpa adanya peraturan (hukum tertulis). “Banyak komunitas dalam masyarakat (bahkan masyarakat itu sendiri) yang bisa memproduksi ketertiban dengan lebih otentik” adalah abstraksi dari kemampuan masyarakat mengelola ketertiban atau keteraturan dalam saling interaksi antar individu yang membentuk masyarakat. Kehadiran negara hukum modern menghadirkan dominasi kekuasaan negara melalui hukum dalam mengatur pola interaksi masyarakat. Dominasi hukum ini, sadar atau tidak sadar mengasumsikan bahwa ketertiban hanya dapat diproduksi oleh negara. Dengan kata lain, masyarakat dipandang tidak memiliki kemampuan untuk menciptakan ketertiban. Bahkan dengan kuatnya dominasi negara, kemampuan masyarakat untuk menciptakan ketertiban dapat dilihat sebagai pemberontakan terhadap otoritas negara.

Dalam situasi berhukum yang demikian, masyarakat yang memiliki kemampuan menciptakan atau menjaga ketertiban dikesampingkan dan negara mengangkangi kemampuan itu dengan mengambil alih dalam memproduksi ketertiban. Pengesampingan dan pengambilalihan kemampuan masyarakat tersebut kemudian dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Pembentukan peraturan perundang-undangan ini dari perspektif normatif-legalistik menjadi upaya pengkonstruksian norma perilaku yang dianut dalam masyarakat menjadi kaedah hukum. Pengkonstruksian norma yang demikian menjadi bagian dari partisipasi masyarakat untuk memasukkan norma perilaku yang selama ini dianut, dipatuhi dan ditegakkan oleh masyarakat.

Norma perilaku yang semula dinamis-partisipatif ketika dikontruksi menjadi kaedah hukum memiliki sifat statis-otoriter. Konsekuensi dari transformasi sifat ini berdampak pada penegakan hukum yang akan dilakukan ketika terdapat pelanggaran terhadap kaedah hukum. Hukum yang dipandang sebagai aturan tertulis yang dikeluarkan oleh otoritas negara dan berisi larangan-sanksi menyebabkan pelanggaran terhadap kaedah hukum harus mendapatkan hukuman. Dengan demikian tidak berarti bahwa pada norma perilaku yang bersifat dinamis-partisipatif tidak terdapat hukuman bagi pelanggarnya. Bertolak dari sifat yang dinamis-partisipatif ini, penegakan norma memiliki cakrawala yang luas dengan mempertimbangkan banyak aspek yang mempengaruhi terjadi pelanggaran norma. Konstruksi norma yang demikian akan melibatkan banyak pertimbangan dari pemangku kepentingan, sehingga proses penegakan norma-nya lebih dinamis dan partisipatif.


Tulisan lengkapnya dapat di baca di Kompasiana

SE Walikota Salatiga No. 300/373/107, Peraturan yang Berpotensi Mendisharmoni Masyarakat


"Niat ibadah itu tdk tergantung orang lain dan lingkungan, krn ibadah yg tulus adl ibadah yg mengarahkan dirinya kepada sang Khalik. Tuhan tdk pernah mewajibkan org percaya atau beriman kepadaNya, mengapa manusia dg ibadahnya meminta orang lain utk menghormati ibadahnya kpd Tuhan. Ketika ibadah terkungkung pd diri sendiri, bukan kepada Tuhan dan sesama maka ibadah akan diarahkan utk mendukung ibadah diri itu dan mengabaikan liyan. Keterkungkungan itu akan berubah utk memaksakan orang lain mengikuti ibadahnya krn ketidaksamaan dianggap merongrong ibadahnya."

Pada bulan Juli ini menjelang bulan Ramadhan, Walikota Salatiga mengeluarkan Surat Edaran No. 300/373/107 tentang Tata Tertib Penyelenggaraan Usaha Hiburan Umum dalam Rangka Menghormati Bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri Tahun 1433 H/2012 (selanjutnya disebut dengan SE Walkot). Substansi dari SE Walkot tersebut adalah pertama, mengatur waktu buka dan tutup tempat hiburan, termasuk jam operasional tempat hiburan selama bulan ramadhan dan idul fitri. Kedua, mengatur <em>display </em>makanan minuman rumah makan, restoran atau warung makan agar dalam penjualannya tidak terlihat umum dari jam 04.00 s/d 18.00 WIB. Ketiga, Pelaku usaha penginapan atau hotel dihimbau untuk selektif dalam menerima pengunjung atau tamu untuk menghindari perbuatan asusila atau mesum dan kegiatan-kegiatan lain yang bertentangan dengan norma agama dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

SE Walkot tersebut akan dianggap sebagai 'benar dan tepat' dalam konteks wilayah lain, namun apabila mengacu pengalaman Salatiga maka Surat Edaran tersebut memiliki potensi mendisharmoni masyarakat Salatiga. Karena sebelumnya di Salatiga tidak pernah terjadi gejolak atau konflik yang terjadi selama bulan Ramadhan dan Idul Fitri. Gejolak atau konflik yang disebabkan intoleransi pemeluk agama atau ketidak-penghormatan ketika bulan Ramadhan yang mengarah pada kekerasan fisik atau segregasi sosial. Masyarakat saling menghargai dan menghormati tanpa menonjolkan perbedaan yang ada.


Tulisan lengkapnya dapat dilihat di Kompasiana

Tuesday, July 17, 2012

UU Pendidikan Tinggi & Relevansinya bagi PTS (UKSW)

RUU Pendidikan Tinggi (RUU PT) baru saja disahkan pada 13 Juli 2012 menjadi UU Perguruan Tinggi. Meski terdapat penolakan dari beberapa elemen mahasiswa dan Perguruan Tinggi, namun RUU PT tetap disahkan. Terdapat beberapa hal yang bisa di diskusikan oleh perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi swasta (PTS) dalam menyikapi terbitnya UU PT ini. Penyikapan tersebut didasarkan pada pengaturan yang terdapat dalam UU PT tersebut untuk diantisipasi atau penyesuaian yang perlu dilakukan oleh PTS agar tidak melanggar UU PT. Meskipun sebenarnya UU PT ini dominasi pengaturannya untuk perguruan tinggi negeri (PTN) atau perguruan tinggi negeri khusus (PTN Khusus).

UU PT memang mengatur secara umum mengenai pendidikan tinggi yaitu jenjang pendidikan pada jalur pendidikan formal setelah pendidikan menengah melalui kegiatan pembelajaran, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa sehingga mampu menghasilkan lulusan yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, kompeten, beradab, dan berbudaya serta karya dalam bidang ilmu, teknologi, dan/atau seni (Pasal 1 ayat 1). Dan membedakan 3 jenis pendidikan tinggi yaitu PTN, PTS dan PTA (perguruan tinggi asing). Dalam PTN terdapat PTN Khusus yaitu PT yang didirikan dan dikelola oleh Kementerian bersama Kementerian lain.

Pengaturan khusus mengenai PTS hanya terdapat pada Pasal 66 sampai dengan Pasal 70, dan itupun aspek akademik dari PTS akan diatur lebih lanjut oleh peraturan menteri. Artinya bahwa untuk penyelenggaraan aspek akademik, PTS tunduk pada UU PT ini dan peraturan menteri. Penyelenggaraan aspek non akademik didasarkan pada Statuta yang ditetapkan oleh badan hukum nir laba yang mendirikannya. Yang dimaksud dengan penyelenggaraan aspek non akademik meliputi, pertama, penetapan fungsi dan pembentukan organ. Kedua, pengaturan dosen dan tenaga kependidikan. Ketiga, pendanana dan pembiayaan. Keempat, akuntabilitas dan pengawasan. Selain mengatur mengenai Statuta PTS, dalam UU PT mengatur mengenai Senat Akademik. Fungsi Senat Akademik adalah merencanakan dan mengawasi kebijakan akademik Perguruan Tinggi.
Status PTS dibagi menjadi dua yaitu PTS berbadan hukum dan PTS sebagai unit pelaksana badan hukum. PTS berbadan hukum didirikan atas prakarsa badan hukum nir laba yang menyelenggarakan yang menyelenggarakannya sebagai badan hukum terpisah. PTS sebagai unit pelaksana badan hukum dididikan dan dikelola oleh badan hukum nirlaba yang menyelenggarakannya. Status PTS yang ditentukan oleh UU PT ini menjadi penting bagi UKSW dalam menentukan dirinya sebagai PTS berbadan hukum atau PTS sebagai uni pelaksana badan hukum. Apabila mengacu pada definisi diatas maka UKSW berstatus PTS sebagai uni pelaksana badan hukum.

UU PT menempatkan statuta sebagai konstitusi PTS yang merupakan dasar pelaksanaan kegiatan akademik dan non akademik. Ada hal yang semula menjadi 'ciri khas' UKSW yang kemudian 'dihilangkan' dan dalam UU PT ternyata diakomodasi yaitu pendidikan vokasi. Apakah kemudian dengan lahirnya UU PT ini, UKSW akan mendorong penyelenggaraan pendidikan vokasi secara terpisah, itu menjadi tantangan kedepan? Dan tulisan pendek ini hanya dimaksudkan untuk memancing diskusi lebih mendalam mengenai UU PT dan kaitannya dengan UKSW.


Link UU PT: http://www.dikti.go.id/files/atur/RUU-PT-DPR-RI.pdf


Monday, July 16, 2012

Kenaikan Harga Kebutuhan Pokok, Tantangan Pasca Penerimaan Peserta Didik Baru

Tahun 2012 tantangan keluarga di Indonesia seolah berkesinambungan, tanpa ada waktu jeda untuk bernafas dalam mempersiapkan berbagai kebutuhan keluarga. Setelah disibukkan dengan persiapan pasca kenaikan kelas dan atau kelulusan anak-anaknya, keluarga Indonesia berhadapan dengan persiapan menjelang bulan Ramadhan. Dengan problematika masing-masing, persiapan membutuhkan alokasi biaya yang harus disediakan. Kedua biaya dari kebutuhan tersebut tidak dapat dihindarkan, seolah menegaskan prinsip take it or leave it. Sehingga keluarga Indonesia dengan tingkat penghasilan yang pas-pasan harus pandai mengelola keuangan mereka agar dapat mengakomodasi berbagai kebutuhan yang muncul.

Menjelang bulan Ramadhan, harga kebutuhan pokok perlahan tapi pasti merangkak naik. Bagi keluarga PNS/POLRI/TNI kenaikan harga tersebut dapat sedikit ditutupi dengan pencairan gaji ke 13. Itupun alokasinya mungkin sudah tersedot untuk biaya kenaikan kelas atau penerimaan peserta didik baru. Bagaimana dengan keluarga non PNS/TNI/POLRI dalam mensiasati kenaikan kebutuhan pokok pasca pengeluaran biaya pendidikan? Meski sudah terbiasa dengan kenaikan kebutuhan pokok menjelang bulan Ramadhan, namun tahun ini begitu istimewa ketika setelah pengeluaran biaya pendidikan, keluarga Indonesia berhadapan dengan kenaikan harga kebutuhan pokok.

Siasat yang dilakukan adalah mengerem pengeluaran yang tidak penting atau mengurangi kualitas atau kuantitas dari konsumsi kebutuhan pokok. Pengurangan kualitas dan kuantitas ini akan berdampak pada buruknya asupan gizi bagi anggota keluarga Indonesia. Makan agar kenyang, tanpa memikirkan kebutuhan gizi dengan beban energi yang diproduksi dalam melakukan pekerjaan. Kecukupan kebutuhan gisi ini memiliki multiplier effect yang harus diperhatikan oleh Pemerintah.

Tulisan selengkapnya dapat dilihat di Kompasiana

Pengumuman Semester Ganjil 2012-2013 FH UKSW

Berikut kami sampaikan pengumuman berkaitan dengan persiapan semester I/2012-2013 yang akan dimulai pada tanggal 3 September 2012. Terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan oleh mahasiswa FH UKSW untuk mempersiapkan perkuliahan di semester tersebut. Untuk itu silahkan klik disini untuk melihat pengumuman berkaitan dengan persiapan perkuliahan semester I 2012/2013.

Mohon bisa mengatur waktu sesuai dengan jadwal yang terdapat dalam pengumuman tersebut. Apabila terdapat pertanyaan mengenai pengumuman tersebut, bisa disampaikan pada kolom komen dibawah ini.

Selamat berlibur dan menunaikan ibadah puasa. Tuhan memberkati.


Yusril + Mahfud = 2 Putaran (Pilgub DKI)

Setelah Yusril Ihsa Mahendra mengeluarkan pernyataan bahwa pemilihan gubernur (pilgub) DKI menggunakan UU khusus yaitu UU No. 29 Tahun 2007, Mahfud MD mengeluarkan pernyataan yang serupa yaitu ‘untuk Jakarta ada undang-undang khusus tentang itu (http://news.detik.com/read/2012/07/15/174456/1965809/10/mahfud-md-pemenang-pilgub-dki-yang-meraih-suara-lebih-dari-50-persen?991104topnews). Pernyataan kedua tokoh ini menarik pasca pemungutan suara pilgub DKI tanggal 11 Juli 2012 yang lalu. Pertama, keduanya menggunakan asumsi yang sama dengan mendasarkan diri pada asas lex spesialis derogat lex generalis. Konsekuensi dari asumsi tersebut adalah pernyataan yang terlontar dan dimuat di media yaitu bahwa pilgub DKI diatur oleh UU khusus yaitu UU No. 29 Tahun 2007.

Kedua, pernyataan (yang senada) tersebut dapat dimaknai sebagai ‘kekalahan’ pra putusan MK. Artinya bahwa gugatan masyarakat ke MK berkaitan dengan pilgub 2 putaran sudah kalah sebelum dilakukan sidang untuk memeriksa pokok perkara di MK. Pernyataan tersebut dapat menjadi indikasi kekalahan atau ditolaknya gugatan ke MK tersebut. Ketiga, ‘kekalahan’ tersebut akhirnya mengarahkan Pilgub DKI akan dilakukan putaran kedua. Kedua tokoh tersebut seolah memberikan ‘lampu hijau’ ke penyelenggara pilgub untuk melaksanakan putaran kedua.

Tulisan selengkapnya dapat dilihat di Kompasiana

Sunday, July 15, 2012

Pantauan Hari Pertama Sekolah, Jalan Kaki dari Rumah ke Sekolah

Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah atau sebagai hari pertama tahun ajaran baru, khususnya di kota Salatiga. Terdapat dua pengalaman di hari pertama sekolah yaitupertama, masuk sekolah itu sendiri dan kedua, jalan kaki dari rumah ke sekolah yang menempuh jarak lebih dari 1 KM. Tidak ada persiapan khusus untuk memasuki tahun ajaran baru, kecuali semangat di kelas yang baru. Namun disepanjang perjalanan, pemandangan tahun ajaran baru begitu semarak. Khususnya bagi mereka yang masuk ke SD, SMP atau SMA, mereka sepertinya diharuskan untuk mengenakan atribut tertentu.

Jalan kaki ditengah hiruk pikuk kebutuhan berkendaraan membutuhkan tekad tersendiri. Membongkar kebiasaan berkendaraan menjadi tantangan tersendiri. Pengalaman berangkat sekolah dengan berjalan kaki di sebuah kota seperti Salatiga membutuhkan kebulatan tekad, dan konsistensi. Rayuan untuk naik kendaraan bermotor dengan dalih cepat dan tidak lelah adalah alasan yang mudah mengalahkan tekad. Dari perjalanan pagi ini nampak bahwa berangkat ke sekolah dengan jalan kaki bukan pilihan sebagian murid dan orang tua. Mungkin inilah salah satu penyebab, jalanan kota Salatiga saat ini begitu macet pada saat jam berangkat sekolah.

Tulisan selengkapnya dapat dibaca di Kompasiana

Tanggapan atas pernyataan Yusril Ihza Mahendra terkait Pilgub DKI

Pernyataan Yusril yang dikutip dari account twitter beliau menyatakan bahwa pilgub DKI menggunakan UU No. 29 Tahun 2007 sebagai lex spesialis perlu dicermati (http://news.detik.com/read/2012/07/15/130513/1965688/10/soal-pilgub-1-putaran-yusril-jakarta-pakai-uu-khusus). Pencermatan atas pernyataan tersebut bukan untuk menilai benar atau salahnya pernyataan tersebut, melainkan terdapatnya asas hukum lain yang perlu dipertimbangkan. Dimana pernyataan Yusril menjadi benar apabila mengacu pada asas hukum ‘lex spesialis derogat lex generalis’, yang berarti peraturan yang bersifat khusus mengesampingkan peraturan yang bersifat umum.

Bahwa pilgub DKI tunduk pada UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah benar. Yang ingin dikemukakan dari tulisan pendek ini adalah adanya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 2 UU No. 29 Tahun 2007 yang menyatakan “Provinsi DKI Jakarta diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah dan pemilihan kepala daerah, kecuali hal-hal yang diatur tersendiri dalam Undang-Undang ini.” Frasa “diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pemerintahan daerah dan pemilihan kepala daerah’ menunjukkan bahwa pilgub DKI tetap tunduk pada peraturan tentang pemerintahan daerah dan pemilihan kepala daerah.



Tulisan selengkapnya dapat dilihat di Kompasiana

Friday, July 13, 2012

Hey, Pilkada DKI (mungkin) Satu Putaran! (Mencandra Pertarungan Norma)

Judul diatas tidak bermaksud untuk mendahului hasil penghitungan suara yang akan dilakukan oleh KPU DKI, namun berdasarkan hasil berbagai lembaga survey yang melakukan penghitungan cepat (quick count). Tulisan ini tidak akan menganalisis hasilquick count, melainkan mengkaji kemungkinan terjadinya pilkada DKI hanya dengan satu putaran saja. Kajian tersebut didasarkan pada hasil perolehan suara quick countyang menempatkan pasangan Jokowi-Basuki di urutan pertama dan Foke-Nara di urutan kedua. Hasil perolehan suara quick count tersebut kemudian melahirkan pertanyaan yang memuat harapan, khususnya dari pihak yang berada diurutan pertama yaitu apakah dengan hasil perolehan suara seperti ini berarti pilkada DKI akan dilanjutkan ke babak berikutnya alias putaran kedua.

Pertanyaan tersebut seolah merupakan pertanyaan yang diajukan sebagai konsekuensi logis dari hasil perolehan suara. Dibalik pertanyaan tersebut terdapat problematika yuridis sebagai konsekuensi keberadaan norma yang mengilhami kaedah hukum yang mengatur mengenai mekanisme pemilihan gubernur DKI. Problematika yuridis tersebut berkaitan dengan pengaturan penetapan pemenang pemilihan gubernur DKI yang terdapat dalam UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan UU No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.


Tulisan lengkap dapat dilihat di Kompasiana

Gaji Tinggi, Tetap Korupsi, Ironi Remunerasi


KPK menangkap lagi pegawai pajak yang menerima suap sebesar Rp. 300 juta. Pendapat pada awal kejatuhan rezim orde baru yang menyatakan bahwa untuk mencegah korupsi dilakukan dengan cara menaikkan gaji pegawai negeri. Kemudian meningkatkan gaji PNS menjadi bagian dari reformasi birokrasi sebagai upaya memperbaiki kimnerja layanan publik, dan mengurangi keinginan untuk mencari tambahan penghasilan dari layanan birokrasi ang menjadi tanggung jawabnya.

Beberapa tahun kemudia sejak formasi digulirkan dengan melakukan renumerasi masih saja ada yang tertangkap melakukan korupsi dengan menyalahgunakan kewenangan yang dimiliki. Pola pikir yang selama ini diyakini dan dilakukan bahwa gaji tinggi/besar akan mampu mengurangi korupsi pelayan publik alias pegawai negeri sipil. Kualitas layanan yang masih buruk dan diskriminatif, kinerja PNS yang lemot alias ‘lola’ menjadikan kenaikan gaji pegawai bahkan bara ada gaji ke 13 hanya memberi ‘kenikmatan’ yang memanjakan golongan birokrasi tanpa melihat kinerja atau kualitas layanan.


Korupsi pegawai pajak adalah puncak gunung es dari korupsi yang dilakukan golongan birokrasi. Tidak hanya di Kementerian Keuangan, namun terjadi di kementerian lain (Kemenpora atau Kemenag) atau di dinas pada level pemerintahan daerah (propinsi atau kabupaten/kota). Di bulan dimana pegawai negeri menikmati gaji ke 13, KPK menangkap pegawai negeri yang melakukan korupai. Masih kurangkah gaji yang diterima mereka? Ataukah ada kesalahan dalam sistem penggajian di republik ini? Manajemen rakus sepertinya perlu dikenalkan pada pelayan rakyat ini, daripada berbagai pelatihan motivasi dan sejenisnya. Gaji tinggi dan korupsi tetap tinggi pula maka menempatkan renumerasi menjadi ironi di republik ini.

Fakta ini melukai perasaan publik yang harus berjibaku dengan melonjaknya harga kebutuhan pokok. Dimanakah perasaan pegawai negeri yang korupsi, ataukah mereka sudah tidak lagi mempunyai hati. Karena yang tersisa adalah kerakusan yang harus dipuaskan dengan materi. Meski gaji tinggi, hati akan terus merasa kurang.

*Tulisan ini awalnya diposting di Kompasiana

Thursday, July 12, 2012

Hukum adalah sarana Pengelolaan Kekerasan dan Kekerasan itu sendiri

Hukum adalah kekerasan yang dilegalkan. Legalisasi kekerasan oleh negara diberikan untuk menjaga atau menjamin ketertiban masyarakat. Kekerasan diluar hukum menjadi illegal, dan tidak diperkenankan. Kekerasan muncul menjadi 1] bentuk mempertahankan diri; 2] usaha memaksakan kehendak agar kepentingannya terpenuhi dan berbenturan dengan kehendak pihak lain; 3] alternatif penyelesaian konflik antar individu yang mengumbar kebebasannya. Hukum hadir agar potensi ketidakteraturan yang timbul dari pertarungan dengan menggunakan kekerasan dapat diredam.

Kekerasan dalam konteks yang dibicarakan tidak harus berbentuk fisik, meski kekerasan fisik sering mendominasi. Dalam masyarakat, kekerasan dapat mewujud dalam bentuk kekerasan non fisik, seperti kekerasan verbal atau kekerasan psikis. Kekerasan yang tidak dikelola akan merugikan kepentingan masyarakat. Dalam masyarakat pra modern, kekerasan menjadi salah satu bentuk keunggulan, ketika kemenangan dapat diraih dengan menundukkan pihak lawan. Hukum sebagai bagian dari kemajuan berpikir masyarakat, khususnya dalam menjaga situasi harmoni atau tertib tercipta untuk menyelesaikan konflik dengan meminimalkan penggunaan kekerasan.



Ironinya, kekerasan tidak menghilang. Kekerasan hanya beralih subyek dan keabsahan dari penggunaannya. Negara memonopoli penggunaan kekuasaan dengan mengatas namakan 'demi kepentingan rakyat', atau menjaga keamanan masyarakat dari berbagai konflik yang mengganggu kepentingan 'rakyat'. Hukum yang dihadirkan dengan keabsahan penggunaanya membutuhkan kemampuan untuk menjamin bahwa hukum itu ditaati dan ketidaktaatan harus disertai dengan sanksi. Sanksi tersebut menjadi bagian agar hukum berwibawa, dan rakyat 'dipaksa' untuk mematuhi. Sanksi hukum adalah bentuk kekerasan legal.

Dititik inilah hukum menampilkan dirinya sebagai kekerasan itu sendiri. Distorsi hukum yang semula untuk menjaga harmoni, dan sarana pengelolaan konflik menjadi kekerasan negara terhadap warga negaranya. Negara menggunakan kekerasaan untuk mewujudkan kehendak 'bersama' yaitu menciptakan ketertiban. Distorsi tersebut mengubah wajah hukum didominasi dengan kekerasan negara melalui aparatnya, dan dengan mudah dimanfaatkan oleh kepentingan warga negara yang memiliki akses kekuasaan untuk menjaga atau menjamin kepentingannya. Hukum menjadi tidak netral, dan terjebak pada 'pertarungan' kepentingan pihak-pihak yang memanfaatkan hukum untuk kepentingannya.

Hukum yang bertindak diskriminatif melahirkan pandangan 'miring' atas dirinya yang dieksploitasi untuk mengawal kepentingan pihak yang mempunyai akses kekuasaan. Wajah hukum yang didominasi (penggunaan) kekerasan tidak memuaskan rakyat yang terus menjadi korban diskriminasi. Akumulasi ketidakpuasan dapat dimaknai sebagai hasil dari proses pembelajaran, baik dengan meniru, membandingkan atau mengolah informasi yang diperoleh dari berbagai media. Proses belajar menggunakan kekerasan berhadapan dengan kekerasan yang dimiliki negara. Hukum negara berhadapan dengan 'hukum' rakyat.
Dalam situasi yang berhadap-hadapan demikian, kekerasan menjadi bagian untuk menindas penggunaan kekerasan yang dilakukan rakyat. Atas nama hukum, negara menggunakan kekerasan untuk meredam kekerasan rakyat. Hukum melalui aparatnya perlu melakukan refleksi mengapa rakyat memilih menggunakan kekerasan atau tidak mengutamakan penyelesaian suatu masalah kepada hukum? Ketidakpercayaan terhadap hukum dan penggunaannya oleh aparatnya yang mendorong rakyat untuk berinisiatif menggunakan kekerasan. Hukum tidak memihak kepentingan rakyat, namun kepentingan pihak yang memiliki akses terhadap kekuasaan.

Kekerasan yang dilakukan oleh rakyat adalah pantulan dari cermin hukum yang dilaksanakan oleh negara. Hukum negara tidak mampu bertindak adil dan terus menerus bertolak dari gagasan teks yang sering tidak sesuai dengan konteks. Diskriminasi hukum karena keberpihakan ketika menafsirkan teks. Tafsiran teks ditawarkan untuk menjadi komoditas 'jual-beli'. Hukum yang tidak adil adalah bentuk kekerasan yang tidak berwujud. Ketika teks mengabdikan dirinya kepada pihak yang memiliki akses kekuasaan, maka kekerasan tidak berwujud dengan media hukum sedang terjadi.

Penggunaan hukum adalah penggunaan kekerasan. Hukum belum ramah terhadap rakyat, cenderung kejam dan sadis terhadap rakyat yang tidak memiliki akses kekuasaan. Kekerasan akan melahirkan kekerasan, bertolak dari gagasan itu maka rantai kekerasan akan terus terjadi dan berulang. Untuk memutus rangkaian kekerasan, hukum harus ramah terhadap rakyat. Hukum tidak selalu tersenyum kepada pemilik akses kekuasaan, tapi menampilkan wajah marah ketika bertemu dengan rakyat. Hukum harus ramah kepada rakyat, dan marah terhadap pemilik akses kekuasaan yang hendak menggunakan hukum untuk memenuhi kepentingan mereka sendiri.

Wednesday, July 11, 2012

Apa Guna Demokrasi, Ketika Demokrasi Hanya Menghasilkan Korupsi

Indonesia mengarahkan perhatian dan menyimak pilkada DKI yang berlangsung tanggal 11 Juli 2012. Terlepas dari hasil yang sedang ditunggu, atau dapat diketahui sementara dari hasil penghitungan suara singkat, terdapat pertanyaan mendasar dari praktek demokrasi yang mewujud dalam pilkada DKI yaitu apa guna atau manfaat demokrasi bagi rakyat? Tanpa manfaat, demokrasi hanya menampilkan kesukacitaan pada saat penyelenggaraannya. Bahkan kita menyebut pemilu sebagai pesta demokrasi. Istilah pesta demokrasi mencerminkan kebahagian dari sebuah ritual (demokrasi) yang sedang berlangsung. Apakah tepat melabeli pemilu (atau pilkada) sebagai pesta demokrasi, apabila ada tanggung jawab besar dari pilkada yang diselenggarakan?

Tanggung jawab untuk menghadirkan kebahagiaan dalam bentuk kesejahteraan rakyat dan ketertiban masyarakat yang menjamin rakyat untuk mengoptimalkan potensi yang dimiliki. Demokrasi kehilangan hakekatnya, ketika hanya sampai dititik pelaksanaan pilkada. Pasca pilkada dengan hasil yang sudah disahkan ternyata tidak merubah kondisi apapun dari masyarakat yang bergumul dengan kesulitan hidup, kecuali bahwa kepala daerah (atau wakil rakyat) mereka sudah berubah. Biaya pilkada yang tinggi tidak berkorelasi dengan kualitas pemimpin hasil pilkada. Kepala daerah terpilih didorong untuk mengambil langkah yang dapat segera mengembalikan biaya pilkada yang sudah dikeluarkan atau menyegerakan membalas budi dari setiap dukungan yang diberikan untuk memenangkan pilkada.

Hasilnya adalah pilkada melupakan tugas dan tanggung jawabnya untuk melayani rakyat di wilayahnya. Selain itu, apabila dewi fortuna memalingkan muka kemujuran dari kepala daerah tersebut maka sabetan pedang keadilan yang dipegang aparat penegak hukum mengarah pada perampokan uang rakyat. Kepala daerah yang berorientasi pada pengembalian biaya politik hanya memikirkan sendiri atau 'membisniskan' kepentingan rakyat agar menghasilkan keuntungan yang mengalir ke kantong pribadi kepala daerah atau kroninya. APBD menjadi 'sapi perahan' kepentingan kepala daerah. Dan melupakan pelayanan publik untuk membantu mengkomplementer kesejahteraan rakyat yang sebenarnya sudah diusahakan melalui pekerjaan yang dimiliki rakyat. Kepala daerah sibuk dengan diri sendiri, melupakan janji-janji kampanye yang pernah dilontarkan pada saat pilkada.

Kepala Daerah yang sibuk dengan kepentingan diri sendiri, memuaskan syahwat kekuasaan dengan mengguyur dirinya dengan uang hasil rampokan anggaran daerah. Korupsi adalah bagian dari ketidakmampuan mengontrol kepentingan diri sendiri, tolak-tarik berbagai kepentingan yang mengitari lingkungan kepala daerah. Kejelian aktor-aktor anti korupsi mengendus perampokan uang rakyat, dan berkelindan dengan kepentingan lawan politik kepala daerah yang mengintip kelemahan untuk menjatuhkan. Akhirnya, banyak kepala daerah mengantre untuk menginap dihotel prodeo. Dan kepentingan rakyat diabaikan, atau terbengkalai karena 'proyek' balas budi kepala daerah untuk mengembalikan biaya politik.

Korupsi adalah hasil demokrasi, yang memiliki kesempatan menular ke masyarakat dengan memanfaatkan pilkada untuk memperoleh keuntungan materi. Pilihan tidak didasarkan pada kualitas calon kepala daerah, tetapi seberapa besar uang yang diberikan kepada pemilih. Korupsi menjadi berjejaring dan mengakar kuat ditengah masyarakat. Demokrasi akan dianggap sebagai rahim korupsi, dan sama sekali tidak bersentuhan dengan kesejahteraan rakyat selama kepala daerah terpilih menjalankan periode kepemimpinan. Ketika masyarakat memiliki pandangan demikian, makan rahim korupsi harus diangkat. Artinya demokrasi akan kehilangan tempat di masyarakat, dan diupayakan untuk diganti dengan alternatif demokrasi. Demokrasi menjadi tidak populer, ditinggalkan sebagai pilihan terbaik untuk mendatangkan peningkatan masyarakat. 

Akhirnya, apa guna demokrasi yang selama ini diterapkan? 

Mencermati ‘Hasil’ Pilkada Quick Count DKI

Sumber: jakarta.tribunnews.com
Hasil sementara quick count Lingkaran Survey Indonesia maka pasangan Jokowi-Basuki menempati urutan pertama. Meskipun belum 10o% dari total jumlah suara, eforia yang menyambut ‘kemenangan’ pasangan no 3 Jokowi-Basuki sudah membayang didepan mata. APABILA hasil quick count ini menjadi representasi dari hasil akhir Pilkada DKI, maka dapat dikemukakan beberapa hal; pertama, warga Jakarta mengoreksi kepemimpinan Fauzi Bowo. Kedua, bahwa warga Jakarta menerima pemimpin (Gubernur) yang berasal dari luar ‘DKI’. Ketiga, bahwa terjadi koreksi juga terhadap preferensi politik partai ke figur personel (calon) pemimpin.Keempat, pasangan independen tetap belum bisa diterima oleh publik. Kelima, ada harapan besar yang ditaruh di pundak Jokowi untuk merubah Jakarta. Keenam, janji kampanye tidak mempan untuk mempengaruhi publik.

‘Kemenangan’ Jokowi-Ahok menjadi manifestasi ketidakpuasan atas kepemimpinan Fauzi Bowo. Ketidakpuasan yang dipicu oleh aneka masalah (klasik) yang dihadapi oleh warga Jakarta. Menempatkan incumbent diurutan kedua menjadi bentuk sanksi politik yang selama ini tidak bekerja keras untuk menyelesaikan masalah-masalah (klasik) ibukota. Kemunculan Jokowi-Ahok yang merupakan kepala daerah dari daerah pada awalnya diragukan, sebagai walikota dari daerah ‘katrok’ yang akan kesulitan untuk bisa menyelesaikan masalah ibukota yang kompleks. Keraguan itu menjadi label yang diberikan warga Jakarta bagi setiap warga daerah yang pertama kali datang ke Ibukota. Hasil Pilkada quick count ini ternyata menunjukkan sebagian warga Jakarta menerima pemimpin tidak didasarkan pada asal kedaerahan tetapi kepercayaan track record yang terbangun sepanjang kepemimpinan di daerah.

Tulisan selengkapnya dapat dilihat disini

UKSW: Menyongsong Pawai Budaya ke 4 dalam Pengenalan Mahasiswa Baru-nya bulan September 2012

Kostum Karnival
Kostum Karnival
Barisan Kentongan Drumblek



I. LATAR BELAKANG PAWAI BUDAYA OMB UKSW

Pawai Budaya OMB UKSW sudah berlangsung sejak tahun 2009 dengan tujuan antara lain pertama, untuk mengenalkan mahasiswa baru UKSW terhadap lingkungan kota Salatiga sebagai tempat menempuh studi selama 4 tahun. Kedua, memberi hiburan (menghibur) warga kota Salatiga sebagai salah satu bentuk kontribusi mahasiswa (baru) UKSW terhadap kota Salatiga. Pawai Budaya menjadi bagian kegiatan mahasiswa baru untuk mengenal kota Salatiga, dan sarana memperkenalkan diri (kulonuwun) kepada warga Salatiga bagi mahasiswa yang akan menempuh studi di kota ini.

Pada setiap OMB UKSW baik di tahun 2009, 2010 dan 2011 mengangkat tema utama kebhinekaan atau pluralisme. Tema tersebut berdasarkan dua hal yaitu pertama, bahwa UKSW sejak dulu di kenal dengan istilah Indonesia Mini. UKSW menjadi tempat keberadaan dan bertemunya berbagai suku bangsa yang ada di Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Kebhinekaan menjadi keniscayaan dan bagian dari UKSW dalam melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Kedua, pluralisme menjadi isu krusial bagi bangsa Indonesia dan mengalami tantangan ditengah menguatnya otonomi daerah dan semangat kedaerahan.

UKSW dan Salatiga yang menjadi bagian yang bertimbal balik memiliki kepedulian bersama dalam menjaga dan mentransformasikan nilai kebhinekaan dalam kehidupan berbangsa. Dari UKSW dan Salatiga diharapkan dengan pawai budaya yang mengkampanyekan nilai kebhinakaan (pluralisme), diharapkan terbangun kesadaran dari warga bangsa lain di wilayah Indonesia untuk menghargai dan mengelola kebhinekaan bangsa Indonesia.

Dari tema utama tersebut dielaborasikan menjadi kegiatan seperti kostum carnival (2009-2011) dan drumblek (2011). Tema kebhinekaan diejawantahkan dalam kegiatan tersebut, seperti kostum karnaval dibuat mengacu pada tema tersebut. Dan untuk drumblek adalah bentuk harmonisasi dari alat-alat sederhana (blek dan kentongan) yang menghasilkan suara yang dapat dinikmati oleh pendengar. Instrument music yang berbeda tersebut adalah manifestasi kebhinekaan yang mampu menghasilkan harmoni suara yang indah dan merdu.

Peserta pawai budaya OMB UKSW adalah mahasiswa baru dengan jumlah peserta berkisar antara 1000-2000 mahasiswa. Peserta melakukan pawai dari kampus UKSW (jalan Diponegoro) melalui jalan Jenderal Sudirman dan Sukowati, kemudian berakhir di Lapangan Pancasila. Di lapangan Pancasila inilah interaksi antara mahasiswa baru UKSW dan masyarakat Salatiga begitu dekat dan nyata. Sekaligus mendorong bergulirnya ekonomi PKL di sekitar lapangan Pancasila.

II. KONSEP PAWAI BUDAYA 2012

Pawai budaya OMB UKSW 2012 tidak akan jauh berbeda dengan tahun sebelumnya, dengan tema tahun ini adalah 'KEBERSAMAN YANG KREATIF'. Yang menjadi istimewa dari pawai budaya tahun 2012 adalah kerjasama yang dibangun antara UKSW dan Pemkot Salatiga dalam menggelar pawai budaya tersebut. Pawai akan dimulai dengan festival drumband antar SD-SMP se kota Salatiga, dan performance drumblek dan costume carnival akan diselenggarakan pada sore sampai malam hari. Performance drumblek dan costume carnival akan dihiasi dengan aneka cahaya untuk menerangi kegelapan malam.

Pawai Budaya UKSW bersama dengan Pemkot Salatiga dengan tujuan adalah pertama, pawai budaya UKSW menjadi agenda pariwisata Salatiga dan mendorong Salatiga menjadi tujuan wisata. Kedua, mendorong keterlibatan masyarakat salatiga sehingga terjadi sinergi antara UKSW dan masyarakat Salatiga dalam memajukan kharakteristik kekayaan budaya Salatiga. Berdasarkan tujuan diatas maka Pawai Budaya UKSW 2012 meniscayakan keterlibatan atau partisipasi Pemkot Salatiga. Keniscayaan ini melahirkan konsekuensi perluasan keterlibatan peserta pawai yang tidak hanya mahasiswa UKSW melainkan masyarakat Salatiga. Keterlibatan masyarakat Salatiga ini dibagi menjadi dua kategori yaitu kampung (kelurahan, RT/RW) dan sekolah (dasar sampai dengan atas). Pertama, keterlibatan kampung dalam hal drumblek. Bahwa terdapat 4 kampung yang memiliki kelompok drumblek yaitu Pancuran, Krajan, Nanggulan dan Banjaran.

Kedua, keterlibatan sekolah dalam hal kostum carnival dengan mengundang SD-SMP-SMA di Salatiga untuk ikut dalam pawai budaya tersebut. Dalam hal ini keikutsertaan SD-SMP-SMA harus melalui seleksi, karena kostum karnaval memiliki kriteria atau spesifikasi yang berbeda agar layak disebut sebagai kostum karnaval. Selain itu untuk mengantisipasi membanjirnya peserta dari sekolah yang ingin terlibat dalam pawai tersebut.

KOMPETISI DRUMBAND SE KOTA SALATIGA

Pada pawai budaya UKSW tahun 2012 akan ditambahkan kegiatan yaitu kompetisi drumband se kota Salatiga yang akan diikuti oleh SD, SMP dan SMA/SMK yang ada di kota Salatiga. Kompetisi drumband tersebut akan diselenggarakan sebagai awal kegiatan pawai budaya yang akan memperebutkan piala Walikota Salatiga dan Rektor UKSW.

DRUMBLEK

Sebagaimana sudah diungkapkan diatas bahwa drumblek akan diikuti peserta dari mahasiwa UKSW dan kelompok drumblek di Salatiga. Estimasi peserta drumblek adalah 1000 (UKSW), 250 (Pancuran), 100 (Banjaran), 100 (Krajan), dan 150 (Nanggulan), sehingga total peserta drumblek adalah 1600 orang. Dengan jumlah sebanyak itu, diharapkan UKSW dan Pemkot Salatiga dapat memecahkan rekor MURI untuk peserta drumblek terbanyak di Indonesia.

Penampilan drumblek diserahkan ke masing-masing peserta baik kostum, koreografi maupun aransemen, termasuk pilihan lagu yang akan ditampilkan. Namun terdapat kewajiban bagi peserta drumblek adalah menyanyikan lagu Mars Salatiga yaitu HATTI BERIMAN. Mars Salatiga menjadi lagu wajib dengan aransemen music bebas, diserahkan ke setiap peserta.

KOSTUM KARNIVAL

Kostum karnival akan melibatkan mahasiswa UKSW dan SD-SMP-SMA se-Salatiga. Keterlibatan SD-SMP-SMA melalui Dinas Pendidikan dan Olahraga Pemkot Salatiga untuk berkoordinasi dengan kepala-kepala sekolah. Diharapkan sekolah dapat meloloskan minimal satu kostum carnival untuk tampil dalam Pawai Budaya. Sebagaimana dikemukakan diatas, untuk kostum akan terdapat seleksi lebih dahulu. Seleksi dimaksud adalah seleksi konsep kostum yang disesuaikan dengan persyaratan kostum carnival.

Harapannya dengan Pawai Budaya UKSW 2012 dalam rangka Orientasi Mahasiswa Baru (OMB) ini semakin mengokohkan UKSW sebagai satu-satunya perguruan tinggi di Indonesia yang menyelenggarakan orientasi mahasiswa barunya dengan pawai drumblek dan costume carnival. Dan UKSW berkontribusi terhadap pembangunan pariwisata kota Salatiga dan pawai ini menjadi agenda rutin tahunan kota Salatiga. Rekor MURI yang hendak di pecahkan semakin menancapkan pengaruh UKSW dalam mengangkat kreatifitas rakyat dalam berkesenian.

Tuesday, July 10, 2012

KPK ada di Zona Nyaman Pemberantasan Korupsi

Berbicara tentang pemberantasan korupsi di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari keberadaan KPK. Kehadiran KPK karena korupsi yang masif dalam penyelenggaraan negara, khususnya ketidakpercayaan publik terhadap penegakan hukum tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh penegak hukum seperti POLRI, Kejaksaan dan Mahkamah Agung (MA). Ketidakpercayaan tersebut berkaitan dengan kesadaran bahwa lembaga penegak hukum menjadi bagian dari praktek korupsi di Indonesia. Kesadaran ini tercatat pada bagian pertimbangan UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, 'Penegakan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan.'

Keberhasilan KPK dalam mengungkap kasus-kasus korupsi selama ini perlu diapresiasi. Apresiasi yang diberikan perlu dikonversi menjadi dorongan untuk keluar dari zona nyaman KPK saat ini. Zona nyaman KPK tersebut adalah pemberantasan korupsi yang terkait dengan penyalahgunaan keuangan negara yang dilakukan oleh aparat pemerintah baik ditingkat pusat maupun daerah. Penyalahgunaan keuangan negara yang saat ini menjadi zona nyaman KPK adalah korupsi pajak dan korupsi pengadaan barang/jasa. Kedua korupsi menjadikan KPK seolah-olah garang, namun sebenarnya tidak mencerminkan kepemilikan kewenangan KPK yang luar biasa dalam pemberantasan korupsi. KPK disebut sebagai lembaga superbody dalam pemberantasan korupsi. Namun apabila ke-superbdy-an hanya digunakan terhadap pelaku-pelaku korupsi di lembaga perwakilan rakyat atau aparat pemerintah pusat dan daerah, maka sebenarnya keseolah-olahan garang tersebut adalah sebuah realitas dari pemberantasan korupsi.

Dititik inilah, KPK sedang berada di zona nyaman. Nyaman untuk terus membongkar kasus-kasus korupsi, mendapatkan apresiasi positif dari publik, dipuja dan dibela ketika ada serangan terhadap eksistensi KPK. KPK sedang mengerdilkan dirinya sendiri, ketika masih berbangga dengan hasil kinerja membongkar kasus-kasus korupsi 'konvensional'. Kinerja KPK dengan kasus korupsi 'konvensional' ibaratnya seperti 'template' pemberantasan korupsi. Mekanisme yang sudah terbangun dari hasil pengalaman kerja pemberantasan korupsi sebelumnya memudahkan KPK untuk terus membongkar kasus-kasus korupsi pajak atau pengadaan barang/jasa. Pertanyaan reflektif dari kinerja KPK tersebut adalah apakah pemberantasan korupsi KPK tersebut mampu memberikan pengaruh efek jera bagi para penyelenggara negara baik dipusat maupun daerah? Apakah kinerja selama ini berhasil menurunkan peringkat indeks korupsi Indonesia secara signifikan? Apakah jawaban dari kedua pertanyaan tersebut sesuai dengan pembiayaan dan kewenangan superbody yang digunakan oleh KPK?



Korupsi di Indonesia memiliki banyak akar atau dalam ilmu tumbuh-tumbuhan disebut dengan akar serabut. Akar ini berfungsi memperkokoh berdirinya tumbuhan. Korupsi dengan akar serabutnya akan tetap kokoh berada di republik ini apabila KPK tidak mencoba memotong akar serabut itu. Untuk itu KPK harus mencari akar utama dari berkembang biaknya korupsi di Indonesia. Pencarian itu dilakukan dengan mengacu pada pertanyaan, mengapa pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK begitu dasyat tetapi tetapi saja KPK menemukan korupsi pada pengelolaan pajak atau pelaksanaan pengadaan barang/jasa? Apakah korupsi sudah menjadi realitas kehidupan bernegara yang sudah tidak bisa dihilangkan? Pertanyaan terakhir itu menjadi refleksi dari ungkapan pesimis masyarakat, 'korupsi akan selalu ada, yang berkuasa akan korupsi karena untuk memperoleh kekuasaan, mereka sudah membagi-bagi uang  dan segala macam.' Frustasi masyarakat juga akan sampai pada titik frustasi terhadap keberadaan KPK. Ungkapan seperti, 'apakah di KPK tidak ada korupsinya?', menjadi bentuk pesimisme terhadap pemberantasan korupsi.


KPK perlu bergerak dari zona nyaman pemberantasan korupsi. Salah satunya dengan mencabut salah satu satu akar korupsi yaitu korupsi yang dilakukan di lembaga penegak hukum (POLRI, Kejaksaan, dan MA). Terbongkarnya kasus korupsi di lembaga penegak hukum menjadi jarang terdengar. Senyapnya kasus korupsi tersebut tidak berarti bahwa tidak ada korupsi di lembaga tersebut. Atau KPK menutup mata keberadaan korupsi di lembaga penegak hukum, artinya KPK melakukan pembiaran terhadap perilaku korup yang dilakukan aparat penegak hukum. Ketika pembiaran terjadi maka KPK ikut serta mendorong berurat-akarnya korupsi di Indonesia c.q lembaga penegak hukum. Korupsi yang terjadi di lembaga penegak hukum menjadi penting untuk diungkap karena lokomotif keadilan (hukum) dan kewibawaan hukum ada di lembaga tersebut. Proses penegakan hukum yang korup tidak hanya berdampak pada ketidakadilan atau praktek diskriminatif, namun juga mengakibatkan pembusukan hukum.


Pembusukan hukum melahirkan ketidaktegasan terhadap perilaku korupsi, dengan modus hukum menjadi komoditas dalam transaksi. Bandul keadilan bergerak ke arah pihak yang melakukan korupsi. Koruptor mampu membeli (penegak) hukum, dan mempertontonkan keangkuhan untuk mengangkangi hukum. Hukum yang terkontaminasi korupsi, akan menjadi tidak berwibawa dan mengakibatkan keengganan untuk menghormati hukum. Masyarakat yang tidak menghormati hukum akan kembali kepada situasi chaos, dimana hukum gagal menjadi sarana membangun ketertiban sosial. Apakah dengan demikian saat ini republik ini sedang berada pada situas tidak tertib? Stigma negara auto pilot, menjadi bentuk ketidaktertiban dimana masyarakat mengatur diri sendiri tanpa kehadiran figur pemimpin. Kondisi mengatur diri sendiri ini bukan sebuah kemampuan, melainkan bentuk adaptasi masyarakat atas ketiadaan hukum yang berwibawa.


KPK harus keluar dari zona nyaman apabila ingin tampil sesuai hakekat pembentukannya. Pemberantasan yang dilakukan akan mubazir, tanpa ujung pangkal berkurangnya korupsi di republik ini. Kecuali sebenarnya KPK terjerat transaksi politik dalam pemilihan pimpinan KPK, dan menampilkan wajah pengecut untuk membongkar korupsi di lembaga penegak hukum. Apakah KPK tidak berani untuk mengungkap kasus korupsi di lembaga penegak hukum? Mari kita dorong KPK untuk melakukan, bukan hanya fokus pada pembangunan gedung yang di tolak anggarannya oleh DPR.

Monday, July 9, 2012

Kekerasan yang berakar dari Hukum

Hukum dipuja sebagai sarana untuk mewujudkan ketertiban dan keadilan. Upaya mewujudkan kedua hal menjadi bagian dari kemanfaatan dari hukum yang didesain oleh masyarakat untuk mengatur peri kehidupan. Pemujaan terhadap hukum melampaui kemampuan hukum untuk mengerjakan seluruh harapan terhadap hukum. Pelampuan kewenangan tersebut terjadi karena hukum bukan sarana yang netral atau bebas dari intervensi faktor-faktor non hukum. Ketidaknetralan ini terjadi pada saat pembentukan dan penegakannya. Apakah dengan demikian hukum an sich adalah netral? Apakah ketidaknetralan pada saat pembentukan akan mampu menghasilkan hukum yang netral?


Hukum sering mengambil bentuk sesuai dengan kondisi dimana hukum itu diberlakukan. Pemahaman terhadap hukum, yaitu cara memandang hukum menjadi faktor penting untuk melihat bentuk hukum tersebut. 'Bentuk' hukum inilah yang menjadikan hukum memiliki karakteristik, meskipun diupayakan untuk selalu diseragamkan. Penyeragaman yang paling mudah diketahui adalah aparat penegak hukum dan  prosedur dalam menggunakan hukum. Manusia adalah mahluk yang dinamis, maka ketika ketika manusia hendak menggunakan hukum untuk mencapai tujuan masyarakat, hukum dapat mengambil bentuk yang berbeda atau tidak sama seperti yang diterapka pada situasi lingkungan yang berbeda.


Hukum sebagai stimulus, dan penegakan hukum sebagai sebuah respon melahirkan perbedaan bentuk pemahaman hukum. Hukum bukan stimulus tunggal, karena harus berdampingan realitas sosial. Realitas sosial inilah yang juga dinamis mengikuti kedinamisan manusia. Realitas sosial terdiri dari harmoni dan disharmoni yang mengejawantah dalam berbagai tindakan. Ketika harmoni maka hukum tidur, tidak dibutuhkan. Berbeda ketika yang terjadi adalah disharmoni, hukum mengambil peran penting dalam mengambil alternatif penyelesaian disharmoni tersebut. Disharmoni yang mengambil rupa konflik atau sengketa, dalam masyarakat modern mengandalkan hukum. Keterandalan hukum ini bukan sebuah proses yang murni alamiah, melainkan terdapat campur tangan negara berdasarkan kekuasaan yang dimiliki 'memaksakan' penyeragaman penyelesaian sengketa melalui hukum.


Dititik inilah hukum mengalami 'distorsi' dari semula untuk mewujudkan ketertiban menjadi akar dari ketidaktertiban. Anomali hukum, itulah sekiranya istilah yang bisa digunakan untuk menggambarkan hukum menjadi anasir 'aneh', bukan sebagai pembentuk situasi tertib namun menjadi penyebab atau akar ketidaktertiban. Kekerasan menjadi wujud media ketidaktertiban. Kekerasan muncul ketika hukum tidak mampu menjadi sarana yang netral untuk menyelesaikan masalah yang disebabkan dari berbagai disharmoni yang muncul dalam masyarakat. Masyarakat melihat bahwa hukum menghambat untuk memperoleh keadilan. Artinya hukum tidak mendatangkan kemanfaatan bagi masyarakat, karena hukum yang terlihat adalah hukum yang memihak, tebang pilih. Sindiran terhadap hukum, 'hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah' dapat menjadi gambaran kondisi hukum saat ini.

Hukum yang tumpul ke atas inilah yang mendorong terjadinya kekerasan. Masyarakat tidak puas dengan penyelesaian yang diserahkan pada mekanisme hukum. Kekerasan menjadi bentuk supra hukum dalam menyelesaikan masalah, karena melihat bahwa hukum dinilai (akan) gagal menyelesaikan masalah sesuai dengan harapan masyarakat. Penilaian atas kegagalan didasarkan pada pengalaman atau hasil dari kompilasi informasi yang diperoleh. Kompilasi informasi yang berasal dari berbagai media menjadi bahan belajar masyarakat untuk kemudian membekali aras kognitif dalam mengambil sikap. Hukum yang tidak tegas, hukum yang tebang pilih menjadi penilaian subyektif masyarakat, dan berkesimpulan bahwa hukum tidak akan memberikan penyelesaian yang sepadan dengan kesalahan yang dilakukan.


Penilaian masyarakat terhadap hukum menjadi sumber lahirnya kekerasan. Ketidakpuasan terhadap hukum dibuahi dengan realitas sosial yang dihadapi, membentuk mekanisme penyelesaian yang supra hukum. Penyelesaian supra hukum ini memuaskan masyarakat namun oleh hukum akan dinilai sebagai pelanggaran hukum. Dan pelanggaran hukum yang dilakukan secara kolektif dan masif akan dilakukan pembiaran oleh hukum. Artinya penyelesaian supra hukum menjadi terlembaga termanifestasi pada kekerasan yang dilakukan sebagai bentuk protes terhadap kinerja hukum.

Friday, July 6, 2012

Sing Prasojo Wae Mas !

Judul diatas adalah tulisan di sebuah gerobak dari seorang ibu tua yang berwirausaha di emper toko yang dimiliki konglomerat di Salatiga. Tulisan yang tertangkap mata begitu menarik untuk disimak dan menggoda untuk ditelaah sebagai bagian dari refleksi. ‘Sing prasojo wae mas’ secara harafiah berarti yang bersahaja saja. Dan istilah ‘mas’ itu merujuk tidak hanya untuk laki-laki dewasa saja, namun juga ditujukan untuk perempuan dewasa. Istilah yang ‘mas’ mengandung makna inferioritas yang berasal pengaruh dari kultur feodal, yang digunakan untuk hubungan yang tidak setara atau tuan dengan majikan.

Frasa ’sing prasojo wae mas’ menjadi oase ditengah kehidupan yang hedonis dengan berbagai penampakan sosial. Penampakan sosial seperti sombong, angkuh, egois dan tak berempati sering ditemui dalam keseharian interaksi kita. Penampakan sosial yang menempatkan dirinya sebagai ‘pusat’ kehidupan memunculkan tuntutan untuk mendapatkan perlakuan khusus (previlese) ketika berinteraksi. Kesombongan dan turunannya didasarkan pada atribut materi yang menempel, tertenteng atau yang bisa ditunjukkan kepada khalayak. Atribut seperti gadget, fashion/jewelery, kendaraan bermotor, kartu kredit, atau tempat hang out/shopping menjadi bagian yang disombongkan. Dan publik sering terjebak pada inferiotas untuk memuja pihak yang beratribut sebagai refleksi diri yang juga menghendaki perlakuan serupa ketika menggunakan atribut sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.

Prasojo dalam bahasa Indonesia berarti bersahaja, tidak berlebih-lebihan. Dalam konteks ibu tua yang berwirausaha mungkin karena sering melihat perilaku angkuh dan merendahkan martabat dirinya yang dilakukan oleh individu-individu yang berlalu lalang di sekitar tempat dagangan yang bertuliskan ’sing prasojo wae mas’. Kesombongan sebagai bentuk pengadalan terhadap atribut materi yang dimiliki dan ditampilkan atau diperlihatkan secara berlebihan. Tindakan yang berlebihan dalam konteks kekinian populer disebut dengan lebay. Namun sering kita tidak menyadari bahwa kesombongan atau keangkuhan kita adalah kelebayan dalam bersikap dengan orang lain.

Tidak menganggap orang lain ada (eksis) adalah bentuk kesombongan, atau merendahkan orang lain karena menganggap dirinya memiliki kelebihan dibandingkan orang lain adalah bentuk keangkuhan. Sikap demikian menjadi penyakit mental manusia jaman sekarang. Kita tidak bisa menahan diri untuk tidak sombong atau angkuh. Kita ingin menampilkan kepemilikan kita sebagai sebuah bagian dari jati diri yang melekat dan sudah tentu menempatkan dirinya berada di kasta sosial tertentu. Tidak berkenan menghormati orang lain menjadi penampakan lain dari kesombongan dan keangkuhan.

‘Sing prasojo wae mas’ menjadi petuah yang mempunyai relevansi untuk diperhatikan, agar kita hidup sederhana. Ketika hidup sederhana maka keinginan untuk mencari kelebihan yang mendorong untuk mengada-adakan sesuatu yang seharusnya belum tentu ada dapat dicegah. Karena keinginan untuk mencari kelebihan tersebut akan merayu kita untuk berperilaku tidak jujur dan menghalalkan segala cara. Keinginan tersebut akan membesar disuburkan dengan tuntutan lingkungan yang menuhankan atribut kebendaan sebagai bagian dari penghormatan dan penempatan individu pada kasta sosial tertentu. Kesederhanaan bukan kehinaan, namun kekayaan batiniah untuk menggempur keangkuhan dan kesombongan.

Artikel ini juga bisa dibaca di kompasiana..

About Me

Hanya seorang yang menjelajahi belantara intelektualitas, dan terjebak pada ekstase untuk selalu mendalami pengetahuan dan mencari jawab atas pergumulan kognisi yang menggelegar dalam benak pemikiran.

Email : brm_yakub@yahoo.co.id
Facebook : http://www.facebook.com/yakub.krisanto