Thursday, July 31, 2014

ISIS & UU Kewarganegaraan

ISIS merupakan akronim dari Islamic State of Iraq and Syam. ISIS adalah negara baru yang terbentuk akibat perang Suriah -meskipun belum dapat pengakuan dari negara lain. Bulan Juni tahun 2014 dunia dikejutkan dengan penaklukkan kilang minyak Baiji dan Kota Mosul yang merupakan kota terbesar kedua setelah Baghdad dan merupakan salah satu aset kekayaan pemerintahan Irak. Konon, rampasan perang yang diperoleh dari penaklukkan itu membuat ISIS menjadi kelompok perlawanan terkaya didunia. Secara berturut-turut daerah-daerah lain seperti provinsi Anbar, Kota Tikrit (Kota Kelahiran Saddam Husein),  Provinsi Nineveh, Propinsi Diyala hingga setengah wilayah Irak dikuasai oleh kelompok ini. Kini, ISIS sedang bergerak menuju pusat pemerintahan dan kota suci Syiah di kota Baghdad dan Karbala. Pemerintahan berhala demokrasi dan tempat suci kaum kafir syiah Iran diambang kejatuhan. Hal ini membuat Iran dan AS harus turun tangan untuk mengamankan kepentingannya (http://www.eramuslim.com/suara-kita/suara-pembaca/who-are-isis.htm#.U9r7OtHlrIU).

Menariknya, tidak hanya warga Negara Indonesia (WNI) yang muncul pada video ISIS untuk meminta bergabung (http://internasional.kompas.com/read/2014/07/30/09022331/Sejumlah.Warga.Indonesia.Muncul.dalam.Video.ISIS), melainkan juga deklarasi ISIS di Bekasi, Jawa Barat dan Solo, Jawa Tengah. Bergabungnya WNI ke dalam organisasi yang berbasis ideology dan bersifat transnasional bukan sesuatu yang baru. Namun perlu dilakukan kajian terhadap penegakan hukum UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Kajian focus pada apakah keterlibatan WNI telah berdampak pada status kewarganegaraan WNI tersebut? Atau adakah pelanggaran status kewarganegaraan ketika WNI terlibat dalam organisasi yang berbasis ideology dan bersifat transnasional seperti Al-Qaeda atau saat ini ISIS?

Kedua pertanyaan tersebut akan berkaitan dengan status organisasi tersebut dan ketentuannya dalam UU No. 12 Tahun 2006. Sedikit berbeda dengan Al-Qaeda yang di stigmatisasikan sebagai organisasi yang dinilai bertanggung atas aksi terror di beberapa Negara, ISIS dengan jelas dinyatakan sebagai Negara (state). Meskipun belum ada pengakuan internasional sebagai salah satu syarat kesahan sebuah Negara, namun aksi ISIS telah mengusik perhatian dunia. Dalam UU No. 12 Tahun 2006 terdapat terminology 'asing' dan 'negara asing', artinya memiliki tafsir yang terpisah dan berbeda. Istilah 'asing' tidak ditujukan hanya sebatas pada 'negara asing', yang berarti tidak harus negara, namun bisa diartikan sesuatu baik organisasi atau bentuk lain yang bukan Indonesia. Sedangkan 'negara asing' merujuk pada organisasi yang disebut negara dengan unsur-unsur yang sudah disepakati secara internasional.

Pasal 23 UU No. 12 Tahun 2006 mengatur mengenai kehilangan kewarganegaraan. Khususnya Pasal 23 huruf d, e dan f dapat digunakan untuk meninjau status kewarganegaraan WNI yang terlibat dalam ISIS. "Masuk dalam dinas tentara asing tanpa ijin terlebih dahulu dari Presiden", "secara sukarela masuk dalam dinas negara asing yang jabatan dalam dinas semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan hanya dijabat oleh WNI" dan "secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut" merupakan bunyi Pasal 23 huruf d, e dan f UU No. 12 Tahun 2006. ISIS merupakan negara (state), sehingga keikutsertaan dalam aktivitas 'kenegaraan' dari negara tersebut seperti ikut berperang artinya terlibat menjadi tentara perang negara tersebut.

Selanjutnya dengan deklarasi ISIS di wilayah Indonesia dapat dimaknai sebagai "mengangkat supat atau menyatakan setia kepada negara asing." Mengacu pada fungsi dan tugas TNI berdasarkan UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia maka sudah seharusnya TNI menindak WNI yang mendeklarasikan ISIS. Deklarasi ISIS telah melanggar kedaulatan RI, yaitu membentuk negara dalam NKRI, dan ini merupakan ancaman di dalam negeri dan mengganggu kedaulatan Negara. Sehingga dalam hal ini, apabila mengkaitkan UU No. 12 Tahun 2006 dan UU No. 34 Tahun 2004 maka Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pertahanan harus berkoordinasi untuk menyatakan bahwa pertama, terdapat WNI yang telah melepaskan kewarganegaraannya ketika terlibat dalam pendeklarasian ISIS. Kedua, TNI harus berani melakukan tindakan atas setiap deklarasi ISIS oleh WNI di seluruh wilayah Indonesia.

Bahwa tanpa disadari, Negara Indonesia sudah dilemahkan oleh bangsanya sendiri dan kita diam tidak melakukan tindakan apapaun. Bagaimana akan menjadi Negara yang berdaulat ketika tidak mampu menjaga kedaulatannya didalam negeri sendiri.

RUU KUHP & KUHAP: Unfinished Lawmaking Project

Kompas, 1 Agustus 2014 memberitakan bahwa pembahasan RUU KUHP dan KUHAP tidak akan tuntas oleh DPR periode 2009-2014. Sejak diserahkan drafnya oleh Pemerintahan pada Senin, 7 Oktober 2013, pesimisme terhadap penyelesaian pembahasan di DPR sudah menyeruak. Jumlah pasal yang mencapai 700 Pasal menjadi kendala meskipun saling melengkapi atas tidak tuntasnya pembahasan kedua RUU. Apabila pada tahun ini, DPR tidak dapat menyetujui kedua RUU tersebut menjadi UU maka harapan untuk mengubah dasar hukum pidana Indonesia menjadi tertunda.

RUU KUHP dan KUHAP menjadi bagian dari pembaruan hukum pidana, sebagai momentum melakukan perbaikan dan perubahan dari system hukum pidana. Sebagaiman pembaruan yang sampaikan oleh Prof. Andi Hamzah dalam situs berikut, http://www.aai.or.id/v3/index.php?option=com_content&view=article&id=238:beberapa-hal-dalam-rancangan-kuhap-oleh-andi-hamzah-mengapa-perlu-menciptakan-kuhap-baru&catid=89&Itemid=547, menjadikan pengesahan kedua RUU menjadi UU merupakan salah satu tonggak hukum di Indonesia. Mengenai pembahasan mengenai pembaruan hukum pidana dapat dilihat di situs berikut, http://stih-malang.blogspot.com/2013/06/materi-kuliah-kebijakan-hukum-pidana.html.

Pembaruan hukum pidana diharapkan menjadi momentum memperbaiki system hukum pidana dan paradigma hukum pidana. Dengan mempertimbangkan aspek yuridis, sosiologis dan filosofis, kedua RUU ditunggu kehadirannya untuk merombak system dan struktur, sekaligus memperbaiki berbagai kekurangan baik yang berada pada aras normative (substansi pasal) maupun penegakan hukumnya oleh aparat penegak hukum - aspek yuridis. Penyesuaian dengan perkembangan masyarakat, baik dari perspektif sociological jurisprudence maupun sociology of law sangat dibutuhkan demi kemajuan hukum dan masyarakat. Aneka putusan hakim atau penerapan hukum oleh aparat penegak hukum sebagai penafsiran atas undang-undang agar sesuai dengan perkembangan masyarakat harus menjadi bagian dari pembaruan hukum pidana - aspek sosiologis.

Pembaruan hukum pidana yang meliputi pendekatan yang berorientasi pada nilai (value-oriented approach) yaitu mengenai perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana, hukuman bagi tindak pidana, cara untuk menentukan bersalah sehingga perbuatan tersebut harus dikenai pemidanaan. Apabila saat ini hukum pidana bertolak dari aspek procedural, maka aspek tersebutlah yang harus didekati dengan value-oriented approach agar terwujud keadilan, atau pemidanaan yang tidak sewenang-wenang. Pemidanaan yang menjadi sarana balas dendam perlu diubah atau konsep ultimum remedium juga perlu ditinjau.

Economic detterence sebagai salah satu konsep dari analisi ekonomi terhadap hukum perlu dipertimbangkan.  Pemidaaan tidak hanya menempatkan subyek hukum ke dalam penjara, melainkan ada bentuk pemidanaan lain yang bias menjerakan subek hukum yang melakukan kejahatan. Economic deterrence secara sosiologis menjadi upaya pemidanaan bagi subyek hukum yang memiliki kemampuan ekonomi dan tidak mengalami dampak signifikan apabila hukuman dilakukan dalam bentuk penjara. Selain itu economic deterrence juga mengalami perubahan paradigma bagi hukum pidana Indonesia, yaitu yang semula subyek hukum hanya untuk pribadi ke subyek hukum badan hukum. Pemidanaan untuk subyek hukum badan hukum menjadi bagian dari pertanggungjawaban korporasi yang melakukan kejahatan baik kesalahan maupun kelalaian. Untuk penjelasan mengenai economic deterrence baca link berikut ini, http://scholarship.law.missouri.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1183&context=facpubs.

Belum selesainya alias tidak mampunya DPR untuk mengundangkan kedua RUU tersebut menjadi lemahnya komitmen legislative baik masa orde baru atau reformasi terhadap pembaruan hukum pidana. Ataukah sebenarnya ini menunjukkan mentalitas bangsa ini yang diwakili oleh legislative, yang dalam bahasa anak muda sekarang adalah susah move on. Indonesia masih senang diatur oleh hukum peninggalan penjajah, atau menyukai produk lama (KUHAP). Selain hal ini menunjukkan kegagalan legislative periode 2009-2014 untuk melakukan pembaruan hukum, sehingga menjadikan kedua RUU tersebut sebagai unfinished lawmaking project.

Wednesday, July 30, 2014

Salatiga Indah - Side Effect of Bikeventuring

Semula hanya berniat bersepeda dengan rute keliling Salatiga, tanpa berniat untuk mencari spot foto. Namun ketika memasuki daerah Gunung Sari dari arah Kalibening, berubah pikiran ketika berhenti untuk beristirahat sejenak melihat pemandangan hamparan sawah yang menguning dengan sebagian yang sedang di panen oleh (buruh) petani. Takjub melihat pemandangan itu, dan melintas ingatan mengenai postingan foto oleh dua teman di Facebook yang pertama terheran-heran dengan pemandangan Salatiga dari Salib Putih, dan yang kedua pemandangan di daerah Bali.

Dengan mengacu dari postingan tersebut, berpikir bahwa apa yang saya lihat dibawah dengan hamparan sawah dan diseberang sungai ada terasiring yang tidak kalah indah dengan yang ada di Ubud, Bali. Salatiga memiliki pemandangan (view) yang harus diekplorasi agar keindahannya terekspose dan dikenal oleh khalayak. Dan inilah hasil dari bersepeda yang di istilahkan sebagai bikeventuring, tidak hanya untuk bersepeda semata mencari tempat free ride melainkan mengeksplore tempat yang dilalui.


Dua gambar ini terambil dari celah pohon sengon yang seolah menghalangi keindahan pemandangan.


Gambar-gambar selanjutnya mencoba menghindari halangan pohon-pohon sengon, dengan beranjak mengayuh sedikit menuruni jalanan untuk melihat pemandangan secara 'bebas' tidak terhalang pohon.

 
Pemandangan sawah dengan padi menguning, dengan latar belakang pohon kelapa dan terasiring sawah menjadi sebuah eksotisme yang tidak dapat dihindarkan untuk dinikmati.
 
Ketika mencoba menanyakan di Facebook, apakah percaya kalau gambar ini berada di Salatiga? Banyak yang gamang, dan meski yakin itu Salatiga namun banyak yang tidak tahu daerah mana.


Wednesday, July 23, 2014

Refleksi Dirgahayu 1264 Kota Hati Beriman

Masyarakat sekarang sudah naik kelas dalam berdemokrasi, berbeda pendapat secara terbuka, akses informasi utk kebutuhan informasi dlm menentukan pilihan yang rasional. Lontaran2 pikiran di sampaikan di medsos sungguh menjadi kekayaan dalam diskursus demokrasi yang memperkaya dan memberdaya pada setiap pengambilan keputusan. Namun disebuah kota kecil, ketika pembangunan menjadi kue yang hny diolah oleh segelintir orang, kemudian dibagi oleh kelompok kecil dari segelintir orang. Ditingkahi dengan keserakahan hukum yang berseragam meminta jatah remahan kue pembangunan. Masyarakat yg bergiat dengan proyek pembangunan hanya bisa pasrah, lebih mengutamakan perut daripada kebenaran. Semua stakeholder sudah terbeli dalam jejaring kuasa yang kolutif. Dimanakah suaraku harus kugaungkan ketika rakyat dikelabui dengan ego dan kepasrahan bhw itu bukan urusanku. Suarapun hny mjd gema sebagai penanda bhw ada yg masih eksis, tp sendiri, tersesat tanpa teman menjelajah bentara yg menjulur akar korupsi. Apakah pantas satu tusukan pada kotak suara dijadikan pijakan untuk berharap bhw pilihannya mampu merubah sebuah kota kecil, ditengah mesin partai pendukung terlibat dalam jejaring korupsi dan kolusi yang tidak terjamah oleh keterbukaan apalagi hukum?

Kue (proyek) pembangunan yang dibagi di antara eksekutif, legislatif dan civil society telah melahirkan tradisi yang tiap tahun menjadi rebutan. Apabila rebutan kekuasaan sudah terlembaga setiap lima tahun melalui pemilu, maka rebutan kue proyek pembangunan terjadi setiap tahun (anggaran). Aktornya bisa berbeda, namun hakekat rebutannya selalu hadir menjadi agenda tiap tahun. Aktor yang terlibat adalah eksekutif, legislatif, dan civil society. Tentu bertanya, mengapa civil society terlibat dalam rebutan proyek yang diketahui sudah pasti berbau korupsi dan kolusi? Eksekutif yang pemimpinnya mengalami pergantian selama lima tahun, menjadi aktor terduga utama dalam bagi-bagi kue proyek pembangunan. Legislatif dengan modus term 'aspirasi dewan', menjadi upaya mendapatkan kue proyek dengan menggunakan badan usaha yang berafiliasi kepada partai atau individu anggota dewan. Semakin banyak jumlah anggota terpilih di gedung dewan, posisi tawar untuk mendapatkan bagian kue yang lebih b esar semakin kuat, termasuk mencaplok bagian eksekutif dan sesama anggota dewan yan lain baik dari partai yang sama atau berbeda.

Civil society yang terlibat dalam pembagian kue proyek pembangunan dapat di petakan sebagai berikut, kelompok profesi jurnalistik, individu atau lembaga penggiat anti korupsi, preman lokal, kelompok pengusaha jasa konstruksi, tim sukses pilkada, termasuk lembaga pemerintahan horizontal. Masif dan berjejaring menjadikan pengelolaan pemerintahan yang good governance sulit direalisasikan di kota yang berdirgahayu 1264 ini. Mulai dari penunjukkan/pengadaan langsung atau lelang, terkondisikan bahwa yang memenangkan pelaksanaan pekerjaan proyek pembangunan adalah yang sudah ditentukan. Banyak-sedikitnya proyek yang diperoleh tergantung seberapa besar posisi tawar yang dimiliki oleh masing-masing kelompok terhadap pihak yang memiliki kapasitas untuk membagi kue pembangunan.

Masalah lain dari kota yang berdirgahayu 1264 adalah proyeksi perlunya rekayasa lalu-lintas untuk mengantisipasi keterbatasan ruas jalan dan meledaknya jumlah kendaraan bermotor. Tanpa rekayasa lalu-lintas maka kemacetan sudah menghadang di depan mata. Permasalahannya adalah rekayasa lalu-lintas membutuhkan pemikiran yang mendalam dengan melibatkan stakeholder kota, dan uji coba yang berulang untuk memperoleh hasil yang baik dalam pengaturan lalu-lintas. Kota dengan luas wilayah yang terbatas harus menyegerakan pemikiran tentang rekayasa lalu lintas yang berkorelasi dengan fokus pengembangan kantong perekonomian agar tidak terpusat di jalan Jenderal Sudirman. Twin centre atau pusat kota kembar perlu dilakukan untuk menjadi daya tarik pelaku usaha membuka gerai usahanya. Salatiga yang perekonomiannya mengandalakan sektor jasa dan perdagangan, perlu menggali berbagai potensi tersebu dengan pertama, membuka pusat kota tandingan selain jenderal Sudirman. Kedua, mendorong pengembangan pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi sebagai center of excelence dalam pendidikan. Sehingga menjadi rujukan tempat atau kota lain untuk menyekolahkan anaknya di Salatiga.

Ketiga, UMKM perlu terus didorong dengan berbagai insentif untuk melebarkan sayap pengembangan usaha tanpa nepotisme dalam pelaksanaannya. Pameran pembangunan sebagai ajang promosi produk UMKM semakin di giatkan. Termasuk mengadakan kegiatan pameran di kota Salatiga secara berkala, berdampingan dengan gelar budaya yang sudah menjadi tradisi beberapa tahun ini. Kegiatan dalam sekala besar dapat menarik minat masyarakat sekitar Salatiga untuk datang dan berbelanja dengan variasi produk yang menjadi unggulan UMKM Salatiga. Pemerintah melakukan pendampingan usaha, tidak hanya dalam bentuk modal namun pengembangan skala usaha UMKM seperti pelatihan manajemen, promosi atau marketing. Dalam konteks pusat kota kembar, sentra UMKM dapat dipikirkan. Termasuk penempatan PKL dalam suatu wadah yang dapat berkontribusi pada ketertiban, kebersihan dan keindahan kota.

Keempat, peningkatan layanan publik oleh pemkot Salatiga. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil atau Kantor Pelayanan Terpadu dan Penanaman Modal sudah menunjukkan peningkatan pelayanan dengan standar operating procedure yang berISO untuk kantor pelayanan terpadu adalah prestasi yang harus dibanggakan selain perlu ditingkat dan ditularkan ke satuan kerja yang lain. PNS yang berorientasi melayani seperti karyawan perusahaan yang melayani kepentingan konsumen perlu ditransformasikan, bukan pegawai pemerintah yang bossy. Keramahan pelayanan, kepastian waktu dan prosedur perlu terus ditingkatkan.

Inilah sekelumit refleksi atas kota yang sedang berdirgahayu 1264. Tentu masih banyak sisi yang bisa diungkap. SALATIGA HATTI BERIMAN!

Tuesday, July 22, 2014

Skenario Politik Alternatif Prabowo pada Pemerintahan Jokowi-JK 2014-2019

Pasca pernyataan konferensi pers Prabowo Subianto (PS) yang banyak ditafsirkan sebagai pengunduran dirinya dalam proses pemilihan presiden 2014 menghasilkan reaksi yang intinya sama. Reaksi publik adalah menyayangkan keputusan beliau dengan membandingkan pernyataan-pernyataannya yang disampaikan ke publik melalui media. Dengan berbagai manifestasi reaksi seperti menghujat, menghina, mediskreditkan atau secara umum dalam bahasa anak jaman sekarang adalah PS di-bully oleh publik. Pendukung PS yang rasional memiliki dua sikap yaitu mengucapkan selamat kepada Jokowi - JK dan mempertanyakan sikap PS, tidak percaya bahwa pernyataan tersebut adalah keputusan pribadi beliau, melainkan pembisik yang ada di sekeliling beliau.

Reaksi lain adalah dengan menautkan sikap mundur dengan ancaman pidana berdasarkan Pasal 245 dan 246 UU No. 42 Tahun 2008. Dan reaksi tersebut salah, karena sikap mundur Prabowo tidak bisa dipidanakan atau tidak memenuhi undur yang terdapat pada pasal tersebut. Sikap PS yang diambil pasca pemungutan suara tidak memiliki akibat hukum dan politik dalam tahapan pilpres. Publik di media sosial (medsos) memposting ketentuan pasal tersebut sebagai pengingat agar PS di jerat hukum. Sikap politik PS di luar nalar publik, namun rasional bagi egonya sendiri. Apakah tidak ada pihak yang mengajukan pertanyaan, lebih bermanfaat mana antara menyatakan mundur dan mengakui kekalahan, menerima kemenangan pesaing di pilpres?

Mengakui kekalahan adalah salah satu sikap ksatria. Kekalahan di kompetisi pilpres bukan akhir segalanya dalam sebuah proses demokrasi. PDIP dspat menjadi referensi, bagaimana berdemokrasi pasca mengalami kekalahan di dua pilpres yaitu mengambil posisi sebagai partai oposisi terhadap partai pemenang pemilu yang memenangkan pilpres. Ini adalah alternatif yang bisa atau harus diambil PS dengan Gerindranya. Menjadikan Gerindra dan Koalisi Merah Putihcounterpart yang kritis dan bersebrangan terhadap pemerintahan terpilih. PS memiliki kharisma dan bisa dikelola untuk menjadi negarawan sejati sebelum pernyataan mundurnya pada tanggal 22 Juli 2014. Selain kharisma, PS memiliki sumber daya politik untuk mengambil peran oposisi di legislatif baik nasional maupun daerah.

Sikap oposisi yang ekstrim bisa dilakukan dengan brutal menolak setiap kebijakan pemerintahan Jokowi baik yang harus dibahas di DPR maupun sebagai kebijakan eksekutif. Sikap oposisi yang demikian, apabila di kelola dengan baik dapat menjadi bekal untuk bersaing di pileg dan pilpres 2019. Sekali lagi, PDIP menjadi contoh yang baik dalam pilihan sikap politik ketika tidak menjadi pemenang pemilu. Dan memperoleh kehormatan di hati pemilih, ketika kader parpolnya sesuai dengan harapan rakyat. Beroposisi menjadi pilihan untuk menunjukkan secara bermartabat bahwa pilihan rakyat pada 9 Juli 2014 adalah salah. Kesalahan ditunjukkan dengan bergulirnya waktu berdasarkan kebijakan yang diambil oleh Presiden Jokowi. Sikap oposisi yang demikian sah dalam sebuah negara demokrasi. Oposisi legislatif dapat dijamin dengan sikap otoriter bagi anggota legislatif dari partai Gerindra yang melawan keputusan partai. Mekanisme PAW bagi kader partai yang melawan menjadi upaya menjaga konsistensi oposisi terhadap pemerintahan Jokowi.

Oposisi lain adalah dalam hal penegakan hukum. Dengan mengambil maksimnya Lord Acton, 'power tend to corrupt' maka mengintip pengemban kebijakan rentan terlibat dalam penyalahgunaan wewenang baik dalam perspektif Tata Usaha Negara maupun Tindak Pidana Korupsi menjadi pilihan untuk menaikkan kewibawaan politik. Mengawal penegakan hukum yang melibatkan pejabat baik di pusat maupun daerah akan memberikan poin positif bagi Gerindra dan PS. Termasuk apabila ada kader partai Gerindra yang terlibat pelanggaran hukum tetap akan di proses secara hukum san ecara transparan tanpa ada ada upaya kongkalikong untuk melepaskan diri dari jerat hukum. Pengawalan di kepolisian, kejaksaan dan KPK akan membentuk simpati publik dan menyenangkan hati rakyat yanb sering mengalami kesulitan ketika menuntut penegakan hukum yang melibatkan elit-elit politik.

Berada di samping rakyat pada setiap dampak kebijakan yang merugikan atau tidak berpihak kepada rakyat akan menjadikan PS sebagai pembela kaum tertindas. Menggunakan mesin partai untuk melakukan pembelaan nyata atas rakyat menempatkan PS adalah tokoh yang merakyat dan memiliki kepedulian. Radar politik harus di pertajam, karena pembangunan sering mengorbankan rakyat. Oposisi dalam kerangka pembelaan rakyat lebih bermartabat daripada sikap menyerah dan menuding pihak lain melakukan kecurangan.

Bahkan apabila benar tentang stigma bahwa PS adalah penampung para desertir Kopassus dan preman di wilayah tertentu, maka PS dapat menciptakan gangguan bagi pelaksanaan pembangunan yang dilakukan pemerintah. Disabilitas politik, ekonomi dan sosial dengan jaringan klandestin dapat merepotkan pemerintah bahkan menghambat keberhasilan pemerintahan Jokowi. Apabila rapi dilakukan dan mampu mengelabui pandangan publik, karena rapinya pengorganisasian jaringan klandestin, akan mampu menuai dukungan publik.

Paparan diatas menjadi alternatif strategi tanpa menyerah dan tidak mau mengakui kekalahan sebagaimana dilakukan pada saat hari penetapan hasil pilpres. PS yang berpikir bijaksana dapat menerima alternatif ini dan tetap tampil sebagai pemimpin yang bisa menerima kekalahan, dan kembali membangun modal politik untuk membesarkan tiang demokrasi yang beliau bangun yaitu partai Gerindra. PS yang tidak berpikir panjang lenih memilih menyatakan diri mundur dari tahapan pilpres. Sikap yang melahirkan olok-olok politik bagi beliau oleh minimal para pendukung capres no dua.

Tuesday, July 1, 2014

Pasca Pemungutan Suara, selain munculnya pemenang, adakah peristiwa lain?

Menjelang hari pemungutan suara tanggal 9 Juli 2014, dukungan terhadap kedua pasangan capres semakin riuh. Keriuhan di-rem dengan kehadiran bulan Ramadhan. Mengamati (membaca) isi dukungan, khususnya di jejaring sosial saling menyampaikan pernyataan mendukung atau mencerca satu sama lain.

Dukungan dan cercaan menjadi kelumrahan dalam berdemokrasi sebagai konsekuensi dari kebebasan berpendapat. Yang menjadi riuh dan tajam mengarah pada konflik horizontal antar sesama warga bangsa. Konflik horizontal di jejaring sosial bukan dalam bentuk kekerasan fisik, namun ketajaman perbedaan bisa menjadi benih-benih konflik di dunia faktual.

Bukan hendak mengatakan bahwa beberapa kejadian konflik dalam bentuk kekerasan antar pendukung di beberapa daerah akibat dari saling dukung di jejaring sosial. Saling dukung di jejaring sosial hanya menjadi salah satu pemicu atau trigger dari kekerasan yang terjadi. Sebagai pemicu, pernyataan-pernyataan di jejaring sosial yang memuat informasi yang akan menyebar jauh melintas batas virtual.

Pertama, pernyataan yang memuat informasi merupakan lontaran subyektif dari pihak yang menyatakan. Lontaran subyektif ini terdapat dua kemungkinan yaitu informasinya benar atau kebenaran informasi didasarkan pada keyakinan subyektif. Benar-salahnya informasi membutuhkan sebanyak-banyaknya informasi atau informasi pembanding dan sumber informasi yang digunakan. Dibutuhkan waktu dan cakupan dalam pencarian informasi maka tidak semua individu mampu memilah informasi yang benar dan tidak misleading.

Kedua, penyebaran informasi yang semula berada di wilayah virtual ke masyarakat non virtual. Informasi yang diposting di jejaring sosial dengan penyebaran yang tidak bisa diduga sampai sejauh mana informasi tersebut berakhir. Terkait dengan substansi informasi, benar, salah, atau masih dibutuhkan klarifikasi lagi untuk benar dan salahnya. Informasi yang benar akan mengarahkan pada pertimbangan pilihan yang benar, sedangkan informasi yang salah akan menjadikan fitnah dan menyesatkan dalam menentukan pilihan.

Berkembang dan mengalirnya informasi saling mendukung di jejaring sosial sudah mengerucut pada gangguan interaksi sosial. Tidak hanya debat yang substansial dengan argumen bernalar, namun sudah mengarah kepada unfriend ketika teman sudah menggunakan prinsip pokoke dan atau mengganggu dengan postingan yang substansinya belum bisa dipastikan kebenarannya. Namun informasi yang diposting akan mengalir sampai jauh dan menjadi referensi bagi masyarakat. Pereferensian informasi tersebut bagi masyarakat yang tidak memiliki kesempatan untuk check and recheck akan dinilai sebagai kebenaran. Apalagi informasi di sampaikan oleh individu yang memiliki kapabilitas atau kewibawaan, sehingga publik patut percaya dengan apa yang disampaikan.

Informasi yang tidak benar atau kebenarannya masih harus diklarifikasi terlanjur sampai di masyarakat dan dipegang sebagai kebenaran. Kondisi inilah yang memicu ketegangan ditengah masyarakat, mengarah pada konflik horizontal yang sudah terjadi. Apabila tidak ketahanan sosial dalam meredam setiap informasi yang beredar terkait dengan pilpres ini, maka pasca pemungutan suara akan mundah tersulut kekerasan horizontal antar pendukung.

Fanatisme pendukung capres di pilpres 2014 ini sungguh luarbiasa, berbeda dengan pilprea sebelumnya. Fanatisme yang sudah mengarah pada segregasi politik antar pendukung sudah kasat mata. Masyarakat berani menolak selebaran dari pasangan yang sedang kampanye dengan hanya menunjukkan jari tangan dalam jumlah tertentu. Kondisi demikian adalah lahan subur untuk menyemai benih-benih kekerasan, dan memanennya dengan menyebar 'bahan bakar' agar terjadi konflik terbuka.

Kekerasan horizontal menjadi potensi yang harus di waspadai pasca pemungutan suara. Aparat negara dituntut untuk netral ketika terjadi kekerasan. Kenetralannya dengan antisipasi konkrit dan menutup peluang terbukanya konflik di masyarakat. Koordinasi intelejen menjadi penting untuk mendeteksi potensi kekerasan massal akibat kekecewaan para pendukung capres ini. Keberadaan hanya 2 pasangan capres membuka peluang kekerasan pasca pemungutan suara. Masyarakat terpecah menjadi dua dengan kemungkinan berhadap-hadapan sangat besar.

Kita siap berbeda pendapat, namun siapkah menyelesaikan perbedaan tersebut dengan beradab dan akal sehat?

Noumenon & Phenomenon dalam Pilpres 2014

Noumenon & Phenomenon dalam Pilpres 2014

Noumenon (\ˈnü-mə-ˌnän\) menurut Merriem-Webster Dictionary adalah a posited object or event as it appears in itself independent of perception by the senses. Noumenon merupakan obyek atau peristiwa yang 'melayang-layang', keberadaannya tidak didasarkan atas sebab tertentu, dia ada sebagaimana adanya. Berbeda dengan phenomenon yaitu an object or aspect known through the senses rather than by thought or intuition, obyek yang diketahui melalui perantaraan akal dan bukan berdasarkan pikiran atau intuisi.

Kandidasi dalam pilpres yang terwakili oleh dua pasangan, Prabowo-Hatta dan Jokowi-Kala merupakan fenomena demokrasi. Kedua pasangan tersebut adalah fakta, sedangkan fenomenanya adalah dukungan terhadap keduanya. Saling dukung telah terjadi dalam berbagai (lintas & multi) media. Dalam hal ini bukan bentuk medianya yang ingin di kaji, melainkan substansi dari pesan yang dimuatkan atau di unggahkan di berbagai media.

Semua substansi saling dukung adalah fenomena dalam pengertian yang dikemukakan oleh capres lovers adalah hasil dari buah pikir alias nalar. Isi dukungan dalam kerangka kampanye merupakan buah pikir dari pendukungnya yang terambil dari proses berpikir. Berpikir (thought) menurut Merriem-Webster Dictionary adalah the act or process of thinking atau the act of carefully thinking about the details of something.

Berpikir merupakan sebuah proses. Proses dari Merriem-Webster Dictionary adalah a series of actions that produce something or that lead to a particular result atau a series of changes that happen naturally. Proses berpikir tidak terjadi seketika dan tidak ada secara tiba-tiba, namun ada suatu rangkaian tindakan (berpikir). Tindakan berpikir meliputi ketersediaan informasi dalam jumlah yang mencukupi dan berimbang, pengolahan informasi baik dengan membandingkan, memilah atau menganalisis. Kemudian muncul hasil berpikir yang dapat berupa sebuah kesimpulan dalam suatu pernyataan. Pernyataan inilah yang menjadi isi dukungan kepada salah satu pasangan.

Substansi dukungan tanpa proses berpikir akan mengarah pada sebuah stereotype yaitu to believe unfairly that all people or things with a particular characteristic are the same. Meski stereotype dapat merujuk pada hasil pengalaman, dan kemudian dikembangkan sebagai hasil berpikir namun arahnya adalah tuduhan yang sifatnya subyektif.

Yang menjadi masalah adalah apabila isi yang disampaikan bukan dari hasil buah pikir. Parahnya isi dukungan dikategorikan sebagai noumenon, sesuatu yang hadir tanpa sebab-akibat. Dalam gradasi yang lebih bawah dari noumenon adalah hasil dari sebuah tebakan berdasarkan intuisi capres loversnya. Intuisi capres lovers yang tidak didukung oleh data atau informasi yang obyektif akan mengarah pada fitnah (gibah). Fitnah inilah yang harus dihindari oleh bangsa Indonesia, karena dapat mengarahkan pada pemecah-belahan.

Noumenon dari pilpres ini (dan setiap pemilihan pemimpin negeri ini) adalah keadilan. Keadilan menjadi utopis ketika ternyata sang terpilih tidak mampu mendekatkan masyarakat pada keadilan. Artinya pemilih terbujuk dan kapasitas sang terpilih ternyata tidak mumpuni untuk mewujudkan keadilan. Dan ini terus berulang, apakah dalam pilpres 2014 akan terulang kembali? Capres lovers-lah yang menentukan. Selamat berpilpresphoria!!