Monday, June 30, 2014

Hermeneutika Hukum: Penemuan Hukum atau Penafsiran Hukum?


Hermeneutika Hukum: Penemuan Hukum atau Penafsiran Hukum?[1]

Yakub Adi Krisanto

Pengantar

Hukum menjadi kajian yang menarik terkait dengan substansi didalamnya, dan keberadaannya dalam sudah masyarakat. Substansi hukum dalam teks tertulis tidak hanya dipahami sebagai perintah dan larangan, sebagaimana dianut oleh aliran legisme atau positivisme. Hukum mewakili suara jamannya dan mampu melampaui masanya untuk diterapkan sebagai pemecah masalah yang dihadapi masyarakat. Keberadaan hukum berkaitan dengan keberlakuannya. Hukum yang hidup tidak sekedar hukum yang masih berlaku, melainkan hukum yang ditaati/dipatuhi oleh masyarakat. Termasuk bagaimana hukum mengalami modifikasi oleh masyarakat, beradaptasi dengan pemahaman masyarakat yang berkaitan dengan kultur dan sikap hidup masyarakatnya.

Adagium het recht hinkt achter de faiten aan menemukan titik relevansinya ketika hukum yang dibuat sebelum suatu masalah (hukum) terjadi harus menyelesaikan atau memberikan solusi atas masalah yang terjadi setelah hukum tersebut dinyatakan berlaku. Hukum disampaikan melalui wahana bahasa menjadi tanda yang mewakili dua pihak yaitu antara lain pembuatnya (legislative atau hakim), dan kondisi masyarakat (baik ekonomi, social, politik atau budaya). Masing-masing pihak terdiri dari multi-aktor yang memegang kekuatan atas kepentingan keberlakuan hukum. Bahasa hukum yang digunakan diresapi oleh asas hukum dengan menampilkan diri dalam kaidah hukum.

Meuwissen membedakan dua bahasa yuridikal yaitu langage des juristes dan langage des droits.[2] Langage des juristes merupakan bahasa yang digunakan dalam filsafat hukum, teori hukum dan ilmu hukum, sedangkan langage des droits adalah bahasa hukum otentik dalam peraturan perundang-undangan atau akta notarial. Bahasa yuridikal memiliki karakteristik yang pembacaan atas teks tidak hanya sekedar membutuhkan penafsiran semata, melainkan penafsiran yang dihasilkan dari pemahaman dari kedalaman teks yang digunakan. Dalam hal pembuktian akta otentik nampak bahwa meskipun akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna (Pasal 1870 KUHPerdata). Kesempurnaan kekuataan pembuktian ini terdapat batasan yaitu ‘bila dituturkan (dalam akta) mempunyai hubungan langsung dengan isi akta (Pasal 1871 KUHPerdata).’

Hakim yang bertugas menyelesaikan sengketa akan melihat kembali akta otentik yang diajukan sebagai alat bukti dengan melihat ketentuan Pasal 1871 KUPerdata. Artinya bahwa hakim akan melakukan pembacaan atas teks di akta otentik. Pembacaan tersebut tidak hanya terhadap bunyi teks (untuk melihat hubungan antara yang dituturkan dengan isi akta), melainkan juga keterkaitannya dengan kasus hukum yang diajukan ke depan hakim. Demikian pula pada ketentuan mengenai penafsiran persetujuan, dalam Pasal 1343 KUHPerdata dinyatakan ‘jika kata-kata suatu persetujuan dapat diberi tafsiran, maka lebih baik diselidiki maksud kedua belah pihak yang membuat persetujuan, daripada dipegang teguh arti kata menurut huruf.’ Pasal 1344  - 1346 KUHPerdata menentukan apabila terdapat dua arti dari suatu kata/teks dalam persetujuan maka pengartian atas kata tersebut didasarkan pada arti yang mungkin dilaksanakan, paling sesuai dengan sifat perjanjian dan menurut kebiasaan di tempat persetujuan tersebut dibuat.

Teks dalam bahasa dapat melahirkan banyak arti dari tafsiran yang dilakukan oleh pengemban hukum. Bahkan hukum-pun memiliki banyak arti dan definisi,dilihat dari ketiadaan keseragaman definisi hukum yang dilontarkan oleh para ahli hukum. Bunyi teks undang-undang yang memiliki keberlakuan politik dan bersifat otoritatif. Perbuatan melawan hukum yang terdapat dalam tindak pidana korupsi di UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001[3], Mahkamah Konstitusi membatalkan penjelasan Pasal 2 ayat (1) sepanjang yang mengenai pengertian perbuatan melawan hukum dalam arti materiil. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006 tertanggal 25 Juli 2005 menyatakan pengertian perbuatan melawan  secara materiil bertentangan dengan UUD 1945.

Dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memuat penafsiran terhadap dua hal pertama, bahwa perbuatan melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dibatasi pada pengertian yang formil. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor telah menerapkan pengertian perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) yang dikenal di bidang hukum perdata diterapkan dan menjadi ukuran pada perbuatan melawan hukum dalam pidang pidana (wederrechtelijkheid). Kedua, terjadi ‘pelurusan’ terhadap norma baru yang terdapat dalam UU Tipikor. Bahwa dengan perluasan pengertian perbuatan melawan hukum maka terbitlah norma baru dari penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor. Penjelasan bukan menjadi tempat untuk memunculkan norma baru, melainkan berfungsi untuk menjelaskan substansi norma yang terdapat dalam pasal, apalagi memuat norma baru yang bertentangan dengan norma yang dijelaskan.

Perbuatan tidak menyenangkan yang semula menjadi delik pidana berdasarkan Pasal 335 ayat (1) KUHP dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan dibatalkan keberlakuannya. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 1/PUU-XI/2013 menyatakan bahwa frasa ‘sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan’ telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang memberi peluang terjadinya kesewenang-wenangan bagi penyidik dan penuntut umum. Ketidakpastian hukum dan ketidakadilan ini dapat terjadi karena kriteria yang digunakan akan cenderung bersifat subyektif dan hanya akan didasarkan pada penilaian korban, penyidik dan penuntut umum. Mahkamah Konstitusi memberikan penafsiran baru atas Pasal 335 ayat (1) angka 1 KUHP berdasarkan asas kepastian hukum dan keadilan, kemudian menghapusnya karena bertentangan dengan prinsip konstitusi yang menjamin perlindungan atas hak untuk mendapatkan kepast.ian hukum yang adil dalam proses penegakan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945

Dalam hukum persaingan usaha, Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat[4] mengatur bahwa ’pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat’ telah mengalami pemaknaan dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Pasal ini dalam penerapannya pada kasus-kasus persekongkolan memunculkan modifikasi definisi persekongkolan yang semula diatur pada Pasal 1 angka  8 UU Persaingan Usaha. Persekongkolan menurut pasal tersebut adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol. Perkembangan definisi persekongkolan mengikuti kasus-kasus yang ditangani oleh KPPU yang berbeda dari definisi pada Pasal 1 angka 8 UU Persaingan Usaha (lihat table).

Perkembangan Definisi Persekongkolan[5]

Putusan KPPU No. 07/KPPU-L-I/2001
Putusan KPPU No. 08/KPPU-L-I/2001 jo No. 09/KPPU-L/2001
Putusan KPPU No. 03/KPPU-I/2002
Putusan KPPU No. 07/KPPU-L/2003
Kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pihak lain secara terang-terangan maupun rahasia atas inisiatif pelaku usaha maupun pihak lain tersebut dapat berupa pemberian kesempatan eksklusif oleh Penyelenggara Tender atau pihak terkait secara langsung atau tidak langsung dengan melawan hukum kepada pelaku usaha yang mengikuti Tender sebelum penentuan Pemenang Tender.
Kerjasama antara pelaku usaha dengan pihak lain baik atas inisiatif pelaku usaha dan atau pihak lain secara terang-terangan maupun diam-diam melalui tindakan penyesuaian dan atau membandingkan dokumen sebelum penyerahan dan atau menciptakan persaingan semu dan atau menyetujui dan atau memfasilitasi dan atau tidak menolak melakukan suatu tindakan meskipun mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk mengatur dalam rangka memenangkan peserta tender tertentu.
Kerjasama antara dua pihak atau lebih, secara terang-terangan maupun diam-diam melalui tindakan penyesuaian (concerted action) dan atau membandingkan dokumen tender sebelum penyerahan (comparing Bid prior to submission) dan atau menciptakan persaingan semu (sham competition) dan atau menyetujui dan atau memfasilitasi dan atau tidak menolak melakukan suatu tindakan meskipun mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk mengatur dalam rangka memenangkan peserta tender tertentu.
Kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pihak lain secara terang-terangan maupun rahasia atas inisiatif pelaku usaha maupun pihak lain untuk  kemenangan pihak tertentu berupa pemberian kesempatan eksklusif oleh penyelenggara tender kepada peserta tender secara langsung maupun tidak langsung dengan melawan hukum.
 

 

Bunyi teks dalam sebuah pasal dapat mengalami pemaknanaan yang berbeda dalam penegakan hukumnya. Pemaknaan ini menjadi tugas pengemban hukum untuk menautkan pasal-pasal yang akan digunakan dengan konteks isu-isu hukum yang membutuhkan penyelesaian masalah.[6] Dalam penyelesaian masalah inilah teks dari pasal menjadi obyek kajian untuk diterapkan pada kasus-kasus actual. Teks pasal yang memuat kaidah kemudian ditafsir baik dengan berbagai metode penafsiran maupun dikaitkan dengan asas-asas hukum yang menjiwai bunyi teks tersebut. Hal ini dilakukan karena bunyi teks menjadi tidak jelas atau membutuhkan pemahaman baru dalam rangka menyelesaikan masalah hukum yang dihadapi untuk menegakkan hukum.

Penemuan Hukum & Penafsiran Hukum

Sudikno Mertokusumo menyamakan pengertian penemuan hukum dan penafsiran hukum. Bahwa dalam penemuan hukum dilakukan dengan metode penafsiran (interpretasi).[7] Penafsiran oleh hakim harus menuju kepada penerapan (atau tidak menerapkan) suatu peraturan hukum umum terhadap peristiwa konkrit yang dapat diterima oleh masyarakat.[8] Penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim, atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum konkrit.[9] Sebagai proses pembentukan hukum, maka penemuan hukum adalah konkretisasi atau individualisasi persaturan hukum (das sollen) yang bersifat umum denagn mengingat akan peristiwa konkrit (das sein) tertentu.[10]

Penemuan hukum dari berbagai pendapat dapat dikemukakan sebagai berikut, pertama, merupakan penerapan peraturan pada peristiwa konkrit atau fakta. Kedua, dilakukan ketika harus menemukan hukum karena peraturannya tidak jelas atau menemukan hukum dengan cara pembentukan hukum karena tidak terdapat peraturan.[11] Dalam hal ini muncul dua istilah yang nampak sama yaitu penemuan hukum (rechtvinding) dan pembentukan hukum (rechtvorming). Menurut Bambang Sutiyoso demikian,

Istilah penemuan hukum (rechtvinding) dengan pembentukan hukum (rechtvorming) dapat memunculkan polemic dalam penggunaannya. Meskipun demikian keduanya mempunyai perbedaan antara satu dengan yang lain. Istilah rechtvinding dalam arti bahwa bukan hukumnya tidak ada, tetapi hukumnya sudah ada, namun masih perlu digali, dicari dan diketemukan, sedangkan istilah rechtvorming dalam arti hukumnya tidak ada, oleh karena itu perlu ada pembentukan hukum, sehingga di dalamnya terdapat penciptaan hukum juga.[12]

Pembentukan hukum tidak berarti bahwa tidak ada hukumnya sama sekali, melainkan belum tertuang dalam kaidah-kaidah hukum. Asas-asas hukum menjadi petunjuk untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Tugas hakim mengaktualisasikan asas-asas tersebut dengan menggunakan berbagai metode kajian. kemudian pembentukan hukum terjadi ketika putusan hakim hadir untuk menyelesaikan masalah.[13] Putusan hakim adalah (sumber) hukum. Sehingga dalam hal ini, pembentukan hukum sama dengan proses legislasi yang menghasilan undang-undang namun dilakukan oleh hakim.

Penafsiran hukum menjadi bagian dari penemuan hukum. Penafsiran hukum menjadi metode penemuan hukum yang digunakan dalam menerapkan hukum (das sollen) pada peristiwa konkrit (das sein). Terdapat berbagai metode penafsiran yaitu interpretasi gramatikal, sistematis, historis dan teleologis. Berbagai metode penafsiran digunakan tidak terpisah, melainkan seringkali bersama-sama (lebih dari satu atau semua digunakan) ketika melakukan penemuan hukum.

 

 

Hermeneutika Hukum

Jazim Hamidi menempatkan hermeneutika hukum sebagai teori penemuan hukum baru.[14] Bahkan Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa hermeneutika hukum sudah dikenal pada abab 19 sebagai ajaran penemuan hukum atau ajaran penafsiran hukum yang dikenal dengan hermeneutika yuridis.[15] Bahkan Jazim Hamidi dalam uraiannya tentang hermeneutika hukum mengajukan 11 (sebelas) metode penafsiran atau interpretasi hukum.[16] Berdasarkan hal tersebut apakah perbedaan hermeneutika hukum dengan penemuan hukum? Ataukah memang hermeneutika hukum sebagaimana dikemukakan Jazim Hamidi merupakan teori penemuan hukum baru?

Gerald Bruns menjelaskan mengenai posisi hermeneutika hukum sebagai berikut,

Adapun mengenai hukum, kita bisa mengawalinya dengan ketentuan bahwa hermeneutika tidak memandang hukum dalam kaitannya dengan urusan konseptual atau metodologis seperti yang dipegang oleh para teoretisi hukum, apalagi dalam kaitannya dengan persoalan strategi hukum atau praktik yudisial; melainkan yang menjadi perhatian hermeneutika adalah kondisi-kondisi di mana semua urusan ini dijalankan. Bisa dikatakan bahwa minat hermeneutika lebih bersifat ontologis dan bukan bersifat teknis. Dalam pengertian seperti ini, ‘hermeneutika hukum’ tidak akan sama pengertiannya dengan teori hukum. Sebaliknya, hermeneutika cenderung agak liar atau bebas dalam pemikirannya mengenai hukum (atau pokok bahasan apapun). Hal inilah yang agaknya terjadi ketika kita sampa pada persoalan mengenai hukum dan bahasa, atau yang dalam hermeneutika disebut sebagai linguistikalitas (sprachlickeit) hukum.[17]

Hermeneutika hukum berkaitan dengan ontology hukum maka hukum tidak dapat direduksi sebagai produk politik semata. Melainkan hukum adalah produk kebudayaan baik sebagai mahluk social maupun individu.[18]

Hukum adalah realitas. Realitas hukum dapat mewujud dalam berbagai bentuk baik tertulis maupun tidak tertulis. Bahwa realitas hukum merupakan sebuah kebenaran menjadi keniscayaan yang tidak terbantahkan. Hermeneutika hukum menempatkan pencarian kebenaran (dan keadilan) menjadi sebuah kehakekatan dengan menggunakan tafsir atas teks. Theo Huijbers membagi tiga bentuk penafsiran dalam upaya menafsirkan undang-undang yaitu penafsiran penambah, penafsiran pelengkap dan penafsiran budaya.[19] Ketiga bentuk penafsiran tersebut akan mendekatkan penemuan hukum dalam perspektif hermeneutika hukum.

Hermeneutika hukum yang berasal dari hermeneutika yang diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau sistuasi ketidaktahuan menjadi mengerti.[20] Hermeneutika berhubungan dengan bahasa[21], dan disinilah letak keterkaitan dengan hukum yang mengalami transliterasi dari ide menjadi teks.

Interpretasi terhadap hukum selalu berhubungan dengan isinya. Setiap hukum mempunyai dua segi yaitu yang tersurat dan yang tersirat, atau bunyi hukum dan semangat hukum. Dua hal itu selalu diperdepatkan oleh para ahli hukum. Dalam hal ini bahasa menjadi penting. Subtilitas intellegendi (ketepatan pemahaman) dan subtilitas explicandi (ketepatan penjabarannya) adalah sangat relevan bagi hukum. Hermeneutic mau tidak mau dibutuhkan untuk menerangkan dokumen hukum.[22]

Teks menjadi bagian dari bahasa, penafsiran teks (hukum) membutuhkan ketepatan pemahaman dan penjabaran ketika dilakukan penemuan hukum oleh para pengemban hukum. Untuk itulah penafsiran teks membutuhkan penafsiran budaya yaitu penafsiran perkara-perkara dibawah pengaruh keyakinan-keyakinan suatu masyarakat tertentu. Keyakinan demikian tidak bersifat politik, melainkan social-etis, menyatakan apa dalam suatu masyarakat tertentu dianggap layak apa tidak.[23] Keberhasilan melakukan penafsiran dari perspektif hermenutika terletak pada talenta bahasa dan talenta pengetahuan individu.[24]

Paul Ricoeur menjelaskan mengenai hermeneutika sebagai teori tentang kaidah-kaidah yang menata sebuah eksegesis atau sebuah interpretasi teks particular atau kumpulan potensi tanda-tanda keberadaan yang dipandang sebagai sebuah teks.[25] Hermeneutika yang berfungsi sebagai metode penafsiran mempunyai tugas mengungkapkan dengan membawa keluar atau mengeluarkan potensi makna dari teks untuk menangkap inti pesan yang disampaikan melalui teks.[26]

Terdapat 10 (sepuluh) pengalaman hermeneutis yang menjadi bagian dari tesis tentang interpretasi yaitu pertama, pengalaman hermeneutis bersifat historis. Kedua, pengalaman hermeneutis pada dasarnya bersifat linguistic. Ketiga, pengalaman hermeneutis bersifat dialektis. Keempat, pengalaman hermeneutis bersifat ontologis. Kelima, pengalaman hermeneutis merupakan sebuah peristiwa bahasa. Keenam, pengalaman hermeneutis itu obyektif. Ketujuh¸ pengalaman hermeneutis harus dibimbing oleh teks. Kedelapan, pengalaman hermeneutis memahami apa yang dikatakan menurut keadaaan sekarang. Kesembilan, pengalaman hermeneutis merupakan penyingkapan kebenaran. Kesepuluh, estetik harus ditetapkan di dalam hermeneutika.[27]

Kesimpulan

Hermeneutika hukum menjadi bagian dari cara melakukan penafsiran dengan melakukan pendalaman atas teks (hukum). Dengan melibatkan kajian terhadap bahasa dan potensi-potensi kebahasaan yang terkandung dalam teks, pembacaan teks pasal dapat mendekatkan diri pada maksud pembentuk undang-undang. Demikian juga membantu pengemban hukum dalam membaca teks dengan mempertimbangkan potensi kebahasaan dalam teks, namun juga suasana kebatinan dimana teks tersebut ditafsirkan.

Dalam hal demikian kajian terhadap hermeneutika hukum sebagai metode penemuan hukum tidak dapat dilepaskan dari semiotika hukum. Dalam semiology akan mengeksplorasi makna terkait dengan signifikansi social-politis, dan mengungkap obyek sebagai tanda yang menyembunyikan ‘mitos-mitos’ kultural yang berada dibelakangnya.[28] Semiology bertugas memeriksa berbagai tanda dalam teks untuk mengkarakterisasikan struktur-struktur dan mengidentifikasi makna-makna potensialnya.[29]

 



[1] Makalah disampaikan pada Diskusi Bulanan Kerjasama antara FH UKSW, PN Salatiga dan PN Mungkid di Salatiga, 13 Juni 2014.
[2] Arief Sidharta (Penerjemah), Meuwissen tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung, 2009, hal. 45.
[3] Selanjutnya disebut dengan UU Tipikor.
[4] Selanjutnya disebut dengan UU Persaingan Usaha.
[5] Yakub Adi Krisanto, Terobosan Hukum Putusan KPPU dalam Mengembangkan Penafsiran Hukum Persekongkolan Tender: Analisis Putusan KPPU terhadap Pasal 22 UU No. 5/1999 pasca Tahun 2006, Jurnal Hukum Bisnis Vol. 27 – No. 3 – Tahun 2008, hal. 63-85, ISSN: 0852/4912.
[6] Menurut Bambang Sutiyoso, dalam berpikir yuridis (het jurisdisch denken) memuat satu tugas yaitu memecahkan masalah-masalah hukum (Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum -  Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, UII Press, Jogjakarta, 2009, hal 26-27.) Bandingkan dengan pendapat Sudikno Mertokusumo, bahwa dalam ilmu hukum yang harus dipecahkan adalah masalah-masalah hukum, konflik hukum atau kasus hukum (Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Liberty, Yogyakarta, 2009, hal. 32.)
[7] Sudikno Mertokusumo, ibid. hal. 56.
[8] Ibid.
[9] Ibid. hal. 37.
[10] Ibid.
[11] Bambang Sutiyoso, loc. Cit. hal. 28-29.
[12] Ibid. hal. 31.
[13] Bandingkan dengan pendapat Paul Scholten dalam Arief Sidharta (Penerjemah), Struktur Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 203, hal. 63-68.
[14] Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum – Teori Penemuan Hukum Baru dengan Interpretasi Teks, UII Press, Jogjakarta, 2005, hal. 39-72.
[15] Sudikno Mertokusumo, loc.cit. hal. 37.
[16] Jazim Hamidi, op.cit. hal. 53-59.
[17] Gregory Leyh (Ed.), Hermeneutika Hukum – Sejarah, Teori dan Praktik, Nusa Media, Bandung, 2008, hal. 46.
[18] Sidharta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, 2013, hal. 64.
[19] Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1995, hal. 133-135.
[20] Sumaryono, Hermeneutik – Sebuah Metode Filsafat, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993, hal. 24. Hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan.
[21] Ibid. hal. 26.
[22] Ibid. hal. 29.
[23] Theo Huijbers, op.cit. hal. 134-135. Bandingkan dengan ketentuan Pasal 1344  - 1346 KUHPerdata.
[24] Syafa’atun Al-Mirzanah dan Sahiron Syamsuddin (Ed.), Pemikiran Hermeneutika dalam Tradisi Barat – Reader, Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2011, hal. 16.
[25] Richard Palmer, Hermeneutika – Teori Baru Mengenai Interpretasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal. 47.
[26] Eksegese berasal dari bahasa Yunani, exegeomai yang berart membawa keluar atau mengeluarkan.
[27] Richard Palmer, loc.cit. hal. 288-293.
[28] Roland Barthes, Elemen-Elemen Semiologi, IRCIsoD, Yogyakarta, 2012, hal. 7.
[29] Ibid. hal. 10.

Hukum dalam Konstruksi Seni & Imajinasi Masyarakat

Terdapat dua kutipan yang mendorong untuk menulis tentang tema hukum yang dikonstruksikan sebagai seni dan hasil imajinasi. Yang pertama adalah “imagination is more important than knowledge" dari Einstein dan kedua adalah tagline sebuah stasiun televisi SyFy yaitu “imagine greater” yang diperhatikan ketika melihat acara yang merupakan liputas CAS 2014. Imagination menurut merriam-webster dictionary memiliki arti sebagai berikut (1) the ability to imagine things that are not real: the ability to form a picture in your mind of something that you have not seen or experienced; (2) the ability to think of new things dan (3) something that only exists or happens in your mind.[1]

Wikipedia memberikan definisi imagination adalah sebagai berikut is the ability to form new images and sensations that are not perceived through senses such as sight, hearing, or other senses. Imagination helps make knowledge applicable in solving problems and is fundamental to integrating experience and the learning process.”[2] Yang menarik dari dua definisi yang dikemukakan diatas adalah bahwa imaginasi merupakan kemampuan (abilitity), keterampilan untuk melakukan atau mengerjakan suatu pekerjaan (the power or skill to do something).[3] Selanjutnya dalam imajinasi terkandung makna transformasi bentuk yang melibatkan pengetahuan dari yang bersifat abstrak (intagible) menjadi suatu yang diterapkan untuk memecahkan masalah (kehidupan).

Seni (art) menurut wikipedia adalah “art may be characterized in terms of mimesis (its representation of reality), expression, communication of emotion, or other qualities. During the Romantic period, art came to be seen as "a special faculty of the human mind to be classified with religion and science". Though the definition of what constitutes art is disputed and has changed over time, general descriptions mention an idea of imaginative or technical skill stemming from human agency and creation.[4] Dari definisi seni tersebut dapat dikemukakan bahwa pertama, seni merupakan sebuah mimesis atau representasi dari realitas. Kedua, seni menjadi hasil imajinasi dari pikiran yang berupa gagasan (an idea of imaginative).

Hukum dalam konstruksi seni dan imajinasi maka dapat dikemukakan 3 (tiga) thesis bahwa pertama, hukum sebagai seni dan imajinasi merupakan representasi dari ide atau gagasan sebuah keteraturan (order) yang dimiliki oleh suatu masyarakat. Kedua, hukum dalam representasinya tersebut menjadi sebuah kemampuan dari masyarakat dan para pengembannya untuk memecahkan masalah yang terjadi dalam masyarakat – applicable in solving problems. Ketiga, hukum sebagai produk masyarakat berintegrasi dengan pengalaman sosialnya, artinya hukum menjadi bagian dari proses pembelajaran suatu masyarakat untuk menciptakan keteraturan dalam bingkai keadilan dan keseimbangan.

Hukum merupakan seni dikaitkan dengan kelola rasa (keadilan) dlm pengembanannya. Maka hukum juga membutuhkan imajinasi, karena sebagai seni hanya bisa di desain dg imajinasi. Imajinasi dalam hukum merupakan refleksi kekinian, namun juga memuat proyeksi atas masa depan. Hukum sebagai refleksi kekinian memiliki keterbatasan dalam mencakup semua hal, sehingga hukum hanya termanifestasi dalam bentuknya yang general. Namun muatan proyeksi, memungkinkan hukum melihat ke depan dengan melakukan antisipasi baik dalam bentuknya yang preemtif maupun preventif. Hukum berada dalam pusaran seni dan imajinasi. Transformasi ide atau gagasan yang hidup dalam suatu masyarakat ke bentuk hukum menjadi aktualisasi dari karya imajinasi, dan proses dan hasilnya merupakan sebuah seni.

Seni yang merepresentasi lingkungan (baca: sosial – kemasyarakatan) akan menggambarkan (describe) dalam wahana bentuk. Dan dengan hukum, gambaran masyarakat bisa dilacak sebagai keteraturan yang dicita-citakan. Keteraturan yang dicita-citakan ini merupakan sebuah preskripsi dari kondisi kekinian, sekaligus proyeksi dari harapan yang dikejar-wujudkan di masa depan. Preskripsi kekinian memuat dua hal yaitu pertama, penormaan dari preskripsi yang diimajinasikan oleh masyarakat. Pasca penormaan akan dilakukan positivisasi dari norma yang masih berbentuk preskripsi-imajinatif ke dalam bentuknya yang ‘konkrit’ di bingkai dengan kaidah hukum yang membentuk unsur-unsur suatu pasal.

Penormaan dari preskripsi yang diimajinasikan adalah seni, yang didalamnya terjadi mimesis.[5] Hukum menjadi hasil representasi dari alam (nature), termasuk masyarakat. Keteraturan yang menjadi hakekat alam, menginspirasi untuk juga menciptakan keteraturan dalam kehidupan bermasyarakat. Keteraturan adalah imajinasi yang terindera kemudian mendorong penciptaan mekanisme yang memungkinkan keteraturan hadir dalam kehidupan nyata. Dalam keteraturan juga memuat ide tentang keadilan dan ketertiban yang menjadi abstraksi dari imajinasi manusia dalam pengaturan kehidupan bersama. Penuangan ide yang masih terimajinasi menjadi seni yang dituangkan dalam kata-kata (teks). Pemilihan kata untuk merepresentasi imajinasi ide merupakan bagian imitakesi agar kata yang dipilih mewakili ide dalam komprehensifitas maknanya.

Kata atau teks menjadi media merepresentasi ide keteraturan (termasuk keadilan dan ketertiban). Penuangan ide ke dalam teks atau yang disebut dengan drafting merupakan seni yang mengkreasi ide keteraturan yang imajinatif dengan kata-kata yang mampu merepresentasikan keseluruhan ide baik substansi maupun makna yang terkandung dalam substansi tersebut. Teks (hukum) bermuatan preskripsi dengan norma-norma yang menginspirasi kaidah hukum yang tertuang dalam pasal-pasalnya Kerangka pasal terdiri dari norma dan kaidah, yang mengandung nilai preskripsi dari perasan ide keteraturan yang imajinatif.

Kedua, dalam hal demikian, membaca hukum juga harus dilakukan dengan imajinasi. Imajinasi yang bertolak dari ide keteraturan yang preskriptif. Pembacaan teks harus dikembalikan pada ide yang preskriptif tanpa melihat jenis metode penafsiran yang digunakan. Pembacaan yang tidak menggunakan perspektif imajinasi ide yang preskriptif akan melepaskan diri dari maksud baik substansi maupun maknanya. Perspektif imajinasi ide yang preskriptif adalah seni dalam membaca teks. Yaitu menarik kembali makna substansi yang terkandung dalam teks yang merupakan hasil dari imajinasi ide yang preskriptif. Penarikan makna tersebut dilakukan sebagai upaya untuk penerapan hukum pada kasus-kasus yang terjadi di masyarakat.

Keteraturan adalah imajinasi. Ketidakteraturan menjadi realitas yang anomali dari keteraturan. Realitas yang demikian harus diselesaikan agar tidak melahirkan musibah atau bencana (sosial – kemasyarakatan). Musibah sosial dalam bentuk konflik dari pihak yang menciptakan ketidakteraturan dengan pihak yang mengharapkan kesinambungan keteraturan yang terjaga dalam kehidupan bersama. Ketegangan antara kedua pihak tersebut adalah realitas, bukan lagi imajinasi. Ketidakteraturan merupakan bentuk anti-preskriptif, dapat dimaknai sebagai perlawanan atas keteraturan atau penolakan terhadap kemapanan yang memberontak karena terdapat ketidakmampuan untuk meraih yang diharapkan ketika berada dalam bingkai keteraturan.

Pembacaan teks dengan imajinasi dalam bingkai seni menjadi upaya menghadirkan kekinian dari teks lampau, sekaligus memproyeksikan dengan mengacu kekinian menabur benih keadilan untuk masa depan. Kedua hal tersebut menjadi bagian dari berhukum dalam pengembanannya untuk menjaga keteraturan. Pengembanan hukum oleh berbagai pengembannya adalah penafsiran atau pembacaan kembali teks hukum ketika bertemu dengan pelanggaran hukum baik dalam bentuk perilaku yang menyimpang yang diklasifikasikan sebagai kejahatan atau sengketa hak antar pemilik hak yang masing-masing mengklaim sebagai pihak yang berhak.

Pengemban hukum yang membaca teks sedang menghadirkan kontekstualisasi teks lampau sebagai hasil ide preskriptif yang imajinatif ke dalam fungsinya yang operasional. Kerja hukum yang membaca hukum merupakan seni menarik kembali ide preskriptif untuk ‘dipertarungkan’ dengan realitas anomali. Pertarungan ini berada pada dua ranah, yaitu dalam diri pengembannya yang sedang membaca teks dan ketika hasil pembacaan tersebut diterapkan pada realitas anomali. Inilah yang disebut dengan penegakan hukum, pengemban hukum yang membaca teks menghadapi pergumulan dalam hal membaca teks sesuai dengan arti gramatikalnya, ataukah memahami makna teks secara lebih komprehensif dengan mempertimbangkan ide preskriptif imajinatif yang terkandung dalam teks.

Membaca teks (hukum) dalam pengembanan hukum merupakan bagian dari kerja-kerja yuridis yaitu meliputi penalaran dan penafsiran hukum. Keduanya dilakukan secara simultan dalam pembacaan teks. Penalaran hukum (legal reasoning) adalah “is particular method of arguing used when applying legal rules to particular interactions among legal person. The process of legal reasoning in law-application begins by accepting the relevance of the law and proceed to work within the existing legal system.”[6] Penalaran hukum menurut Sidharta mencakup tiga aspek hukum yaitu ontologis, epistemologis dan aksiologis.[7] Sedangkan penafsiran hukum yang merupakan metode penemuan hukum menurut Sudikno Mertokusumo adalah penjelasa yang harus menuju kepada penerapan (atau tidak menerapkan) suatu peraturan hukum umum terhadap peristiwa konkrit yang dapat diterima oleh masyarakat.[8] Metode penafsiran antara lain interpretasi gramatikal, sistematis, historis, teleologis, kompararif dan antisipatif.[9]

Membaca teks hukum berarti menalar dan menafsir teks tersebut untuk diterapkan dengan peristiwa anomali yang terjadi dalam masyarakat. Pengemban hukum yang membaca teks hukum tidak hanya memahami (verstehen), melainkan juga menafsirkan teks hukum. Menurut van Peursen, memahami memiliki dua arti yaitu pertama, digunakan untuk memahami perasaan dan keadaan batin sesama manusia. Kedua, menangkap arti teks. Arti yang kedua inilah yang mengarahkan bahwa memahami berarti menafsirkan.[10] Pemahaman (dan penafsiran) teks hukum juga membutuhkan imajinasi dari pengembannya. Imajinasi menjadi daya untuk pertama, menggali makna teks yang mungkin termuat didalamnya. Kedua, mencari aneka hubungan yang bisa terkait dengan kata dan suasana kebatinan dari penggunaan teks tersebut.

Mengambil pengertian imajinasi diatas mengenai  the ability to form a picture in your mind of something that you have not seen or experienced dan the ability to think of new things, maka pembacaan teks memampukan menghadirkan sesuatu pemahaman atas tafsir yang belum pernah ada atau memberi pemaknaan baru yang berbeda dari yang pernah dilakukan. Teks hukum mengalami rekonstruksi, bahkan dimungkinkan dilakukan dekonstruksi untuk mencapai pemaknaan baru. Imajinasi akan terwujud dengan berkoeksistensi dengan pengetahuan. Aneka pengetahuan akan membantu mengembangkan imajinasi ketika sedang membaca teks hukum.

Pembacaan hukum mengacu pada definisi yang sudah dikemukakan sama dengan definisi penegakan hukum. Padahal penegakan hukum menurut Jimly Assidiqie adalah proses dilakukannya upaya tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam laku lintas atau hubungan-hubungan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam definisi tersebut, penegakan hukum aktualisasi kaedah hukum dan sekaligus menjadi transformasi bentuk hukum dari yang berwujud teks yang memuat ide preskripsi imajinatif menjadi teks yang memiliki kemampuan memaksa manusia untuk mematuhi bunyi teks

 

Teks hukum yang semula normatif menjadi teks yang berwibawa, memiliki daya paksa yg aktual. Proses transformasi inilah melibatkan berbagai aspek yang mempengaruhi hukum, seperti hukumnya sendiri, pemahaman pengemban hukum terhadap cita hukum atau situasi masyarakat yang menjadi ladang hukum, tempat bahan hukum digali dan persemaian benih hukum. Berbagai aspek yang berpengaruh yang difokuskan adalah representasi ide preskripsi imajinatif dan pembacaan teks dalam fungsinya untuk menegakkan hukum. Representasi dan pembacaan teks (hukum) menjadi kerja-kerja yuridis dalam menjaga keteraturan masyarakat.

Kerja-kerja yuridis dalam hal demikian meliputi pertama, legal drafting dan kedua, penegakan hukum (law enforcement). Legal drafting adalah proses penyusunan dokumen-dokumen hukum baik yang berbentuk otoritative document maupun non autoritative document. Definisi legal drafting merujuk pada pembentukan hukum yang tdk terbatas pada proses perancangan peraturan perundang-undangan, namun juga meliputi pembentukan hukum oleh hakim. Termasuk pembentukan hukum yang dilakukan oleh subyek hukum privat dalam bentuk perjanjian.

Hukum baik dalam wujudnya yang tertulis maupun lisan, keduanya hidup dan hadir dalam kehidupan masyarakat. Pemaknaan hukum pada kehadirannya yang tidak dapat dihindari menjadi bagian dari imajinasi masyarakat tentang keteraturan yang merupakan ide preskriptif. Imajinasi ini terus berlangsung bahkan ketika hukum sudah terbentuk dan diterapkan untuk menjadi ide preskripif tersebut. Untuk mengembangkan hukum maka jangan menjauhkan hukum dari imajinasi. Tetap menjaga asa hukum dalam setiap pemaknaannya, dan menggali manifestasi gagasan tentang keteraturan yang bisa hadir dalam aneka facet seperti keadilan, harmoni, keseimbangan, ketertiban, namun ontologis dari hukum adalah menjaga keteraturan.
Hukum baik dalam wujudnya yang tertulis maupun lisan, keduanya hidup dan hadir dalam kehidupan masyarakat. Pemaknaan hukum pada kehadirannya yang tidak dapat dihindari menjadi bagian dari imajinasi masyarakat tentang keteraturan yang merupakan ide preskriptif. Imajinasi ini terus berlangsung bahkan ketika hukum sudah terbentuk dan diterapkan untuk menjadi ide preskripif tersebut. Untuk mengembangkan hukum maka jangan menjauhkan hukum dari imajinasi. Tetap menjaga asa hukum dalam setiap pemaknaannya, dan menggali manifestasi gagasan tentang keteraturan yang bisa hadir dalam aneka facet seperti keadilan, harmoni, keseimbangan, ketertiban, namun ontologis dari hukum adalah menjaga keteraturan.
Dengan menjaga asa hukum  bersama imajinasi maka hukum menemukan relevansinya ketika berhadapan dengan perkembangan masyarakat. Dimana perkembangan masyarakat juga merupakan hasil dari imajinasi para anggotanya. Untuk itu,membangun hukum dengan imajinasi yang preskriptif akan bertemu dengan hasil imajinasi yang membentuk masyarakat tempat dimana hukum diberlakukan.
 



[1] http://www.merriam-webster.com/dictionary/imagination diakses pada tanggal 28 Juni 2014 pukul 9:50.
[2] http://en.wikipedia.org/wiki/Imagination diakses pada tanggal 28 June 2014 pukul 9:54.
[3] http://www.merriam-webster.com/dictionary/ability diakses pada tanggal 28 June 2014 pukul 9:59.
[4] http://en.wikipedia.org/wiki/Art#cite_note-britannica.com-7 diakses pada tanggal 28 June 2014 pukul 10:11.
[5] Aristotle also defined mimesis as the perfection and imitation of nature. http://en.wikipedia.org/wiki/Mimesis diakses pada tanggal 28 June 2014 pukul 10:44. Michael Davis mengatakan, “Mimêsis involves a framing of reality that announces that what is contained within the frame is not simply real.” (ibid.)
[6] M.J Peterson, Legal Reasoning, http://courses.umass.edu/polsc356/legal-reasoning.pdf diakses pada tanggal 29 June 2014 pukul 2:39.
[7] Sidharta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, 2013.
[8] Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, CV. Liberty, Yogyakarta, 2009, hal. 56.
[9] Ibid. hal. 57.
[10] Sidharta, loc.cit. hal 37.