Thursday, January 17, 2013

Banjir, Wajah Buruk Penegakan Hukum

Jakarta tergenang banjir. Ibukota Indonesia berwarna coklat dan untuk sementara Indonesia menjadi Negara Kebanjiran Republik Indonesia. Banjir memang tidak terjadi di seluruh wilayah Indonesia, dan penamaan tersebut akan dirasakan tidak tepat. Namun sebagai Ibukota Indonesia, Jakarta menjadi wajah Indonesia yang merepresentasi Indonesia. Seperti pada saat kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, pandangan masyarakat dunia adalah kerusuhan terjadi di seluruh dunia. Wajah Jakarta adalah wajah Indonesia.

Banjir, selain merupakan kehendak alam, merupakan hasil ketidakmampuan kita mengelola alam. Alam atau lingkungan hidup yang memiliki keterbatasan dalam menahan beban aktivitas manusia, selama ini tidak diupayakan untuk menjaga keseimbangan dan melakukan antisipasi terhada dampak dari pelampauan batas yang dapat ditanggung oleh alam. Alat yang dapat digunakan untuk menjaga keseimbangan dan mengantisipasi adalah hukum dan penegakan hukum.

Dalam hal ini tidak berarti hukum tidak atau belum ada. Hukum ada, namun keberadaannya selama ini dikesampingkan dan dijadikan teks mati yang tercetak indah diatas kertas. Keberadaannya yang sejatinya mengatur agar tidak terjadi dampak negatif dari sebuah aktivitas manusia dalam mengupayakan kehidupannya, menjadi teks mati yang tidak pernah dihidupkan. Dengan kata lain, ketika hukum dibiarkan mati maka pembiaran terhadap aneka keberadaan pelanggaran yang berujung terciptanya ekses kehidupan.

Banjir tidak hanya gambaran jumlah terbesar air yang tidak dapat terserap dengan baik oleh tanah. Ketidakmampuan tanah tersebut berkaitan dengan hukum yang terus menerus dimatikan dalam kurun waktu tertentu. Hukum yang tidak ditegakkan, melihat aneka pelanggran dari balik buku peraturan perundang-undangan dengan wajah muram karena kepastian adanya dampak dari ketiadaan penegakan hukum. Pembangunan yang dilakukan tanpa memperhatikan ketersediaan daerah resapan air atau ruang terbuka hijau, mengorbankan pohon untuk ditebang dengan dalih mengganggu bangunan yang hendaj didirikan, membuang sampah sembarangan merupakan contoh dari ketiadaan pembangunan.

Pendirian perumahan, atau mall yang tidak memperhatikan tata ruang atau pengabaian pembangunan saluran air yang memadai karena bekum dianggap penting padahal sebenarnya sebuah keharusan menjadi contoh lain dari dampak ketidakpatuhan terhadap hukum. Hukum diangkat dari buku bukan untuk dilaksanakan, melainkan untuk di negosiasikan dengan pihak yang membutuhkan. Pihak ini butuh hukum yang tidak ditegakkan dan bertimbal balik dengan keinginan untuk mendapatkan keuntungan dari transaksi hukum.

Banjir Jakarta tidak boleh menjadi ajang caci maki atau hanya mencari puja-puji diri. Namun menjadi wahana refleksi, dimanakah hukum selama ini? Banjir air adalah banjir hukum yang mengalir tidak terbendung ketika hukum lebih banyak disalahgunakan untuk memperkaya diri sendiri atau mengerdilkan hukum agar pihak yang membutuhkan hukum semakin menjulang. Menjulang dengan ketamakan, kekayaan dan tidak peduli bahwa tindakannya melahirkan resiko yang harus ditanggung oleh masyarakat.

Monday, January 14, 2013

Daming, Hakim Nir Empati

Pernyataan kontroversial yang disampaikan Daming pada saat menjalani fit and proper test untuk seleksi calon hakim agung di DPR RI memancing reaksi publik. Sebagai bentuk protes dan solidaritas terhadap korban yang dinyatakan dalam pernyataan Daming tidak akan dikutip. Tapi pembaca tentu tahu dan paham apa yang dimaksud mengenai pernyataan itu. Pernyataan yang seharusnya tidak pernah dipikirkan atau tidak pernah diungkapkan ke publik, apalagi saat fit and proper test.

Hukum tidak hanya teks tertulis (black law letter), didalamnya ada roh dari suatu masyarakat. Hukum yang dimaknai hanya sekedar huruf-huruf yang tercetak dalam sebuah peraturan, maka hukum itu menurut Prof. Satjipto Raharjo tidak lebih dari sekedar tengkorak hidup yang berjalan tanpa nyawa. Salah satu yang menghidupi hukum adalah hati nurani. Dalam hati nurani akan menuntun pada empati, khususnya berkaitan dengan kesadaran atas dampak yang timbul dari setiap putusan hakim.

Hakim dalam memutus perkara tidak hanya mengandalkan peraturan, namun menggunakan nuraninya untuk menerangi perjalanan menyusuri ruang gelap belantara hukum. Hukum tanpa penerangan hati nurani akan mengarahkan pada penegakan yang betul secara yuridis, tidak atau kurang benar untuk mencakup aneka pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Hukum bukan 'ciptaan' yang bisa bebas dari pengaruh sosial, politik, hukum dan budaya. Baik proses pembentukannya maupun penegakan hukumnya akan melibatkan tolak tarik hukum dan non hukum.

Hukum yang mempertimbangkan nurani akan mengarahkan pada empati. Hakim yang tidak memiliki empati, patut diduga selama terlibat dalam proses penegakan hukum mengandalkan aspek mekanis dari hukum daripada melibatkan aspek nurani. Perlu dilihat kembali putusan-putusan yang pernah dibuat, adakah nurani dilibatkan? Hukum akan berwajah kejam kalau mengandalkan hukum an sich, mewujud hukum yang bercinta kasih pada saat nurani juga dilibatkan.

Pernyataan hakim Daming sama atau sederajat tidak senonoh dengan tindakan pemerkosaan itu sendiri. Bahkan pernyataan itu sedang memperkosa korban perkosaan dan hukum yang telah gagal melindungi korban atau perempuan. Pernyataan yang enteng terlontar dari mulut calon hakim dapat merepresentasi rendahnnya empati hakim. Empati tidak hanya kepada korban, namun juga hukum yang gagal ditegakkan untuk melindungi masyarakat dan menyerahkan keadilan bagi pihak-pihak terlibat dalam sebuah proses hukum.

Hakim buta, meski mampu melihat teks tertulis. Kehilangan nurani untuk memanusiakan manusia dengan memulihkan degradasi kehakekatannya akibat perbuatan yang melanggar kebebasan individu lain. Tidaklah heran pernyataan yang tidak dapat dinalar dan melukai perasaan masyarakat. Karena diperkosa adala sebuah aib. Dan aib akan membesar dg pernyataan hakim Daming. Dimanakah nurani hakim? Dimanakah kepekaan hakim? Apakah sudah tercerabut dari akar kemasyarakatannya karena menikmati berbagai fasilitas negara?

No Urut Parpol di Bahas, Korupsi di Kemas

Hari Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan undian no urut parpol. No urut seolah menjadi penting untuk berperan dalam memikat hati pemilih. Bahkan ada yang mengkaitkan no urut dengan keberuntungan yang akan diperoleh pada pemilu 2014. Penentuan no urut parpol menimbulkan hiruk pikuk baru dalam perpolitikan nasional. Fokus politik sedikit bergeser dari pencalonan Farhat Abas, pengangkatan Roy Suryo menjadi menpora, vonis Angelina Sondakh yang hanya 4,5 tahun, melupakan kecelakaan putra Hatta Rajasa atau Meneg BUMN, rencana kenaikan listrik. Parpol bahkan sering melupakan atau mengesampingkan pendidikan politik yang sejatinya menjadi tugas utamanya.

Hiruk pikuk parpol dalam menyikapi undian no urut menunjukkan bahwa parpol belum mengutamakan peningkatan kerja politiknya untuk kemaslahatan publik. Keberadaan parpol hanya menjadi kendaraan politik untuk mencapai destinasi politiknya yaitu meraih kekuasaan. Kekuasaan diraih untuk mengembalikan modal politik yang bersifat finansial memiliki potensi untuk membujuk anggota partai politik yang menduduki jabatan politik mengalihkan uang rakyat untuk kepentingan politik pribadi atau kelompoknya. No urut dilihat begitu krusial bagi parpol untuk meraih kekuasaan.

Dibalik seremonial pengundian, tersembunyi harapan yang membuncah dari partai politik untuk mendapatkan no urut cantik. Seperti pepatah siswa sekolah mahasiswa, 'posisi menentukan prestasi,' dalam tujuannya untuk melakukan kecurangan pada saat tes atau ujian sekolah. Demikianlah no urut partai oleh partai politik dapat menentukan prestasi pada kontestasinya di pemilu 2014. Harapan yang dikandung sebelum pengundian dapat disertai dengan doa-doa untuk mendapatkan no urut 'cantik' untuk memudahkan jalan memenangkan pemilu. No urut cantik yang diharapkan adalah posisi yang dikehendaki atau diharapkan. Dengan no urut tersebut, parpol mengunggah harapan untuk meraih hasil terbaik yaitu meraih kursi sebanyak-banyaknya atau menjadi pemenang pemilu.

'Posisi menentukan prestasi,' yang mengharapkan meraih hasil terbaik tidak berbeda dengan tujuan siswa atau mahasiswa ketika mencari posisi saat mengikuti tes atau ujian. Niat untuk mencontek agar meraih nilai baik dalam benak partai politik adalah kesempatan yang terbuka bagi parpol untuk meraih kekuasaan, dan dengan kekuasaan tersebut akan mempunyai akses untuk menambah pundi-pundi kekayaan baik pribadi maupun kelompok. Menambah pundi-pundi kekayaan berarti sebuah tindakan illegal untuk mencuri uang rakyat. Kekuasaan merayu untuk memiliki kekayaan. Kekayaan diinginkan untuk mempertahankan kekuasaan. Keterbatasan uang, mendorong  memutar akal untuk mendapatkan uang guna mempertahankan kekuasaan.

Lingkaran setan korupsi nampak pada harapan yang terkandung saat pengundian no urut. Korupsi dikemas oleh fungsi penyelenggaraan negara yang mendistorsi kebijakan pengelolaan keuangan negara mengalir ke kantong pribadi dan parpol. Hiruk pikuk peroleh no urut dapat dimaknai sebagai perayaan atau selebrasi dimulainya corruption packaging dari setiap perilaku politik parpol yang didominasi dengan meraih atau merebut kekuasaan dan mempertahankan kekuasaan. Dengan demikian tahun 2013 menjadi tahun anggaran yang rawan penyelewengan anggaran dengan meerekayasa pengelolaan keuangan negara. Kejelian penguasa dan parpol yang tidak berkuasa dalam menggali dana politik dari angaran negara memiliki andil untuk saling tikam untuk memperoleh keuntungan politik.

No urut tidak sekedar angka yang meletakkan keberadaan parpol dalam deret angka semata. Melainkan termuat harapan meraih kekuasaan dan sedini mungkin sudah mampu menarik minat konstituen.

Sunday, January 13, 2013

Aneh, masih bicara keadilan di Indonesia

Pasca putusan Angie yang memvonis 4,5 tahun banyak pihak mempertanyakan keadilan (hukum) di Indonesia. Mempertanyakan keadilan di Indonesia hanya relevan di ruang kelas, ketika dosen mengajarkan topik mata kuliah yang memuat ajaran idealisme. Keadilan adalah konsep abstrak yang susah dicerna oleh panca indera publik yang selama ini dicekoki dengan ketidakadilan. Keadilan adalah ketidakadilan itu sendiri, ketika penampakan keseharian hanya ketidakadilan. Dijalanan atau di layar kaca, masyarakat hanya dipertontonkan ketidakadilan. Apakah media mempunyai andil dalam pembentukan perspektif tersebut karena pemberitaan yang 'berat sebelah'?

Kondisi demikian ditingkahi dengan argumentasi para pembela atau cendekia hukum yang menyatakan bahwa itulah putusan hakim yang harus dipatuhi. Kalau demikian, bagaimana dengan putusan hakim yang memutus pencuri sandal, sepeda motor, kapuk, atau kejahatan jalanan lainnya (street crime) yang vonisnya sama atau hampir sama dengan AngelinSondakh. Apakah setara sandal, sepeda motor dengan uang ratusan juta atau miliaran rupiah yang dicuri oleh mantan Putri Indonesia ini. Jawaban diplomatis dan seolah memuat maksim hukum adalah kejahatan adalah kejahatan, hukum adalah hukum. Setiap kejahatan harus dihukum tanpa pandang bulu. Namun sayangnya, aparat penegak hukumnya sering melihat bulu pelanggar hukum.

Berbicara keadilan adalah bicara rasa keadilan. Apakah rasa keadilan penegak hukum masih sensitif? Itu pertanyaan krusial untuk diajukan. Rasa ini tidak hanya berbicara 'indera pengecap' hukum semata. Namun juga berbicara tentang bagaimana selama ini 'indera pengecap' digunakan. Ibarat lidah yang mempunyai fungsi mengecap rasa dan menentukan rasa, maka akan berpengaruh pola dan jenis makanan yang selama ini dilakukan. Lidah yang terbiasa mengecap makanan asin akan cenderung kebas ketika sebuah masakan terlalu asin. Demikian juga, individu yang terbiasa masakan pedas akan tidak suka dengan makanan yang manis atau asin. Kebiasaan makan ini terbawa dari lingkungan sosial terkecil yaitu keluarga, apabila terbiasa melakukan sarapan maka sarapan menjadi penting dalam melakukan aktivitas keseharian.

Perilaku aparat penegak hukum yang mudah melakukan ketidakadilan diduga karena sering mengalami ketidakadilan di lingkungan kerja atau bahkan oleh masyarakat sendiri. Perlakuan yang tidak adil tanpa disadari terendap dalam alam bawah sadar dan terungkap kembali pada saat mengambil keputusan. Hukum yang seharusnya menjadi penjaga keadilan hanya menjadi penjaga teks hitam peraturan perundang-undangan. Seolah hendak mengatakan bahwa hukum tidak kaitannya dengan keadilan. Penafsiran hukum tidak dilandasi dengan keadilan. Eksplorasi nalar berjalan berdasarkan logika. Padahal sebagai ilmu yang mengatur tentang hubungan manusia yang memuat nilai normatif, hukum membutuhkan kemampuan mengolah rasa.

Memang tidak bisa memperdebatkan rasa karena berkaitan dengan selera. Namun terdapat kadar yang memuat universalisme. Mencuri adalah salah, itu merupakan universalisme. Apakah hukuman bagi seorang pencuri sama? Bumbu nasi goreng atau rendang pada dasarnya adalah sama, tetapi mengapa rasa nasgor dan rendang disetiap warung bisa berbeda. Demikianlah hukum, aparat penegak hukum perlu meracik hukum sesuai dengan tingkat kesalahan, sehingga mampu mendekati rasa keadilan masyarakat. Kegagalan menyajikan hukum sesuai konteks kesalahan, maka semakin menjauh dari rasa keadilan masyarakat.

Ketidakadilan yang menjadi suguhan keseharian publik, menjadikan masyarakat bersumbu pendek sehingga mudah melakukan kekerasan terhadap sesamanya. Meski menjadi suguhan keseharian, keadilan adalah nurani masyarakat. Ketidakadilan akan selalu dipertanyakan. Dan cibiran adalah ekspresi ketidakpuasan terhadap proses hukum yang dipraktekkan negara ini. Ekspresi masyarakat terhadap hukum dalam hal ini vonis Angelina Sondakh adalah maklumlah orang berduit dan dekat dengan kekuasaan. Ketidakadilan sudah dimaklumi, dan menjadi tidak aneh apabila korupsi menjadi anak kandung ketidakadilan. Quo vadis hukum Indonesia.

Saturday, January 12, 2013

Menjadi Presiden Tidak 'Sakral'

Lembaga kepresidenan menjadi salah satu simbol demokrasi, salah satu lembaga yang dipilih oleh rakyat (eksekutif) disamping lembaga legislatif. Berkilas balik saat Indonesia pasca kemerdekaan (orde lama) dan pasca orde lama dibawah pemerintahaan Presiden lama dibawah demokrasi yang dilabelkan pada Indonesia tidak berjalan sesuai idealitasnya. Yaitu presiden sebagai figur pemimpin nasional tidak mengalami pergantian pada setiap pemilihan umum yang dilaksanakan secara teratur.

Pada kedua masa tersebut, lembaga kepresidenan menjadi sakral karena desain dominasi yang dikonstruksi baik karena kondisi jaman waktu itu maupun sebagai bentuk rencana pelanggengan kekuasaan. Desain dominasi yang demikian mengakibatkan upaya masyarakat untuk melakukan kontrol atau kritik menjadi ancaman serius bagi kekuasaan (baca: lembaga kepresidenan). Lembaga menjadi tidak tersentuh atau semakin menjauh dari kondisi masyarakat.

Tidak tersentuhnya lembaga presiden ditingkahi dengan 'pagar' politik yang dibangun oleh rejim agar tetap berkuasa dan menjalankan kekuasaan secara efektif. Watak kekuasaan yang demikian menteror rakyat dengan pendekatan militeristik dan berwajah otoriter semakin menegaskan kesakralannya. Kondisi ini menggiring pemahaman masyarakat secara tidak sadar bahwa presiden haruslah sosok pinilih, dimana masyaraka tidak dapat secara sembarang memilih atau mengganti presiden.

Lembaga presiden sakral dan dikultuskan terbentuk selama 32 tahun dan dipaksa-hancurkan dalam gerakan reformasi yang menghendaki pelurusan dan pemurnian demokrasi yang bertolak dari kedaulatan rakyat. Salah dobrakan terbesar adalah setiap orang saat ini memiliki kesempatan untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Kesakralan lembaga kepresidenan terbongkar ketika pada pemilihan presiden 1999 bermunculan banyak calon presiden. Ketua partai politik menjadi salah kontributor calon presiden.

Demokrasi yang sudah dijalankan sejak pemilihan presiden tahun 1999, kemudian ditahun 2004 dan 2009 mampu membangun kultur demokrasi. Yaitu keberanian publik untuk mengajukan diri sebagai calon presiden. Ambil contoh pada penghujung 2012, Rhoma Irama dan Farhat Abas mendeklarasikan dirinya untuk menjadi calon presiden. Kedua figur tersebut bukan berasal dari 'darah biru' partai politik, namun berani secara terbuka mencalonkan menjadi capres.
Pencalonan kedua tokoh menunjukkan bahwa menjadi presiden dan berada dalam lembaga kepresidenan bukan lagi hanya mimpi yang tidak bisa diwujudkan. Meski pencalonannya dari sisi waktu dan kapasitas personal dapat dinilai prematur, hasrat mereka menjadi bentuk runtuhnya kesakralan (lembaga) kepresidenan. Dalam hal ini bukan berarti bahwa menjadi presiden hanya untuk 'darah biru' politik, namun lebih pada selama ini pencalonan presiden dilakukan oleh ketua partai politik atau yang memiliki kontribusi nasional dalam bidang-bidang tertentu.

Tokoh nasional menjadi kriteria pencalonan presiden. Penokohan dilakukan oleh publik dan menerobos sekat-sekat kemajemukan. Publik menilai kiprah individu. Penilaian didasarkan pada kiprah seseorang dalam kurun waktu tertentu, untuk menilai konsistensi perjuangan terhadap bangsa dan negara. Kemampuan menerobos sekat-sekat kemajemukan diperlukan karena kondisi terberi bangsa ini yang majemuk. Perjuangan perlindungan terhadap semua komponeb bangsa penting. Figur yang tidak dikenal atau tidak memiliki rekam jejak melindungi kemajemukan cenderung tidak ditokohkan atau memperoleh preferensi untuk menjadi calon presiden.

Dukungan secara politik dan riil menjadi penting untuk memenuhi syarat pencalonan. Figur yang sudah ditokohkan saja sering mengalami kesulitan mendapatkan dukungan, apalagi yang prematur. Dengan tidak mengurangi penilaian bahwa pencalonan Rhoma Irama dan Farhat Abas, keduanya tidak lebih mencari sensasi belaka. Atau bahkan mereka tanpa sengaja masuk 'perangkap politik' yang ditebar 'kekuatan besar' untuk menggiring preferensi politik ke pilihan tertentu. Kekuatan besar ini berkepentingan agar calon-calon presiden adalah figur dengan kriteria tertentu sesuai keinginan mereka.

Sensasionalitas pencalonan presiden non tokoh nasional hanya layak masuk dalam pemberitaan infotaiment. Terlepas dari motivasinya, kriteria tokoh nasional saja belum masuk dan pencarian kendaraan politik menjadi kesukaran yang dihadapi pada langkah politik selanjutnya. Kendaraan politik apakah yang akan berani mengajukan Rhoma Irama dan Farhat Abas? Apakah mereka akan mampu menyisihkan figur lain yang mencalonkan diri di kendaraan politik yang sama? Terlepas dari runtuhnya sakralitas, diluar itu hanya sensasi belaka.

Monday, January 7, 2013

PKn, Demokrasi dan Pendidikan Politik Rakyat

Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) pada semester ini akan fokus untuk pendidikan politik rakyat. Fokus tersebut didasarkan pada kondisi makro bangsa ini yang mempersiapkan diri menghadapi pemilu 2014. Pendidikan politik rakyat yang sebenarnya menjadi tugas utama partai politik sebagaimana ditegaskan dalam UU Partai Politik, ternyata belum di optimalkan.

Demokrasi sebagai sebuah proses membutuhkan kesinambungan pendewasaan politik bagi setiap pihak yang terlibat didalamnya. Demokrasi yang mengemuka dalam kehidupan bernegara didominasi sisi prosedural, termasuk pembentukan lembaga-lembaga demokrasi. Dominasi sisi prosedural banyak menggerus nilai-nilai yang menjadi substansi demokrasi. Padahal nilai demokrasi menjadi salah satu penentu kualitas demokrasi, selain sisi proseduralnya.

Pendidikan politik perlu dilakukan di perguruan tinggi khususnya melalui PKN, dalam hal untuk meningkatkan pemahaman politik dalam keterlibatan masyarakat pada setiap proses demokrasi. Mahasiswa adalah salah satu bagian anggota masyarakat dan calon pemimpin masyarakat dapat berperan menjadi lokomotif demokrasi. Nilai kesamaan, kebebasan dan perlindungan minoritas menjadi nilai utama bersanding dengan nilai penyelesaian konflik secara damai, pemilihan umum sebagai wahana penggantian pemimpin secara teratur, atau partisipasi politik warga negara.

Nilai-nilai demokrasi perlu terus disampaikan ke publik untuk lebih mematangkan perjalanan demokrasi. Berbagai persoalan bangsa yang mencuat dapat dimaknai sebagai anomali demokrasi. Anomali terjadi karena belum mapannya kultur demokrasi di Indonesia. Kultur demokrasi yang terbentuk dari pelaksanaan nilai-nilai demokrasi kurang mendapat perhatian lembaga-lembaga politik. Perhatian hanya mengarah pada upaya merebutkan sumber-sumber ekonomi melalui kekuasaan yang tersedia.

Pemilu sebagai kontestasi politik untuk menduduki jabatan politik menjadi sangat prosedural dengan mengabaikan kualitas individu yang berhasil memenangkan pemilu. Orientasi kekuasaan yang mengabaikan kepentingan publik telah melahirkan pengembosan dana publik bukan untuk kesejahteraan rakyat. Rendahnya kualitas pejabat publik dengan banyaknya yang terlibat kasus-kasus hukum khususnya korupsi, konflik antar kelompok, pembangunan yang tidak menjawab kebutuhan masyarakat, penghamburan dana publik untuk kunjungan kerja atau perjalanan dinas menjadi beberapa contoh dari anomali demokrasi.

Konflik baik horizontal maupun vertikal harus menjadi perhatian karena menunjukkan kegagalan demokrasi yang memberi ruang untuk penyelesaian damai. Di dalam konflik mengandung beberapa hal yang bertentangan dengan demokrasi yaitu pertama, kondisi yang menghadirkan karakter memaksakan kehendak. Kedua, pemaksaan kehendak menghilangkan kesempatan melakukan dialog untuk mendiskusikan perbedaan pendapat. Ketiga, di dalamnya juga ketidakmauan bertindak setara atau sejajar terhadap (anggota) masyarakat yang lain. Keempat, bentuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap lembaga negara atau aparat penegak hukum.
Ketidakpercayaan terhadap negara atau pemerintah merupakan manifestasi kegagalan demokrasi yang menegaskan adanya distorsi dalam proses yang dilalui.

Pilihan rakyat yang menggemakan suara rakyat tidak memuat kualitas maupun kapasitas dari setiap pilihan rakyat. Preferensi politik rakyat tidak didasarkan pada rasionalitas yang bertolak dari obyektifitas berpikir. Melainkan didasarkan pada konsumerisme politik pemilih dengan membentuk suatu pola transaksi antara pemilik suara dengan calon pejabat publik.
Money politik dalam setiap pemilihan umum atau pilkada seolah menjadi kewajaran. Masyarakat atau pemilih melihat sebagai sebuah kesempatan untuk meraup untung dari calon pejabat publik. Sedangkan dari sisi pejabat publik merupakan usaha 'membeli' suara politik konstituen. Hubungan yang bercorak transaksional mengurangi kualitas demokrasi. Hasil pilihan tidak didasarkan pada kualitas politik yang nyata, namun dari hasil pencitraan yang menutupi bopeng-bopeng politik diri si calon.

Ketidakberkualitasan (calon) pejabat publik akan nampak dan berlanjut dalam setiap pengambilan kebijakan. Baik dari mulai penjaringan aspirasi, perumusan kebijakan,pelaksanaan, evaluasi dan pemecahan masalah akan menunjukkan tidak hanya kualitas pejabat publik, namun juga dampak yang muncul seperti mengutamakan kepentingan sendiri (korupsi, kolusi dan nepotisme) atau ketidakmauan melayani kepentingan rakyat. Keterpilihan karena transaksi ekonomi akan mereproduksi transaksi tersebut dalam aneka bentuk.

*Bahan Kuliah PKN UKSW Semester 2 2012/2013
Selasa, 8 Januari 2013