Thursday, September 27, 2012

KPK & Arogansi DPR

Guliran wacana untuk memotong kewenangan KPK oleh DPR dalam revisi UU KPK menjadi bentuk perlawanan DPR. Perlawanan yang tidak hanya terhadap KPK, melainkan juga perlawanan terhadap pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK. DPR seolah menjadi ahistoris dalam melihat KPK yaitu bahwa KPK dihadirkan sebagai lembaga extraordinary karena lembaga penegak hukum 'ordinary' dianggap gagal untuk memberantas korupsi, bahkan menjadi bagian dari jejaring korupsi itu sendiri.

Penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK membuat ciut nyali DPR yang menganggap dirinya memiliki kekuasaan 'besar'. Atas nama demokrasi, DPR menampilkan dirinnya sebagai wakil rakyat. Namun dalam olah politiknya, DPR tidak lebih dari seorang anak TK yang harus selalu dituruti kemauannya oleh siapapun yang hendak berurusan dengan dirinya. Keinginan untuk mengalami hedonisme politik dengan studi banding (kunjungan kerja), merekayasa berbagai fasilitas yang bisa dinikmati ketika berada di gedung DPR, atau meminta peningkatan pendapatan.

Olah politik DPR yang berwatak arogan hanya ditujukan untuk kepentingan diri mereka sendiri. Sedangkan KPK, yang melakukan 'arogansi' penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi sedang 'mengamankan' Indonesia dari 'rayap-rayap politik' yang akan mengeroposkan pondasi kebangsaan yaitu korupsi. DPR boleh berkilah dengan menyatakan bahwa olah politik  yang dilakukan khususnya dalam bidang legislasi bermanfaat bagi bangsa Indonesia. Apakah produk undang-undang yang dihasilkan sudah diletakkan pada visi kebangsaan dan menegaskan keIndonesiaan kita dengan bangunan hukum yang mendepankan kemajemukan.

Koreksi atas olah politik legislasi DPR tidak hanya dilakukan dalam konteks substansi bunyi pasal dengan uji material di Mahkamah Konstitusi. Namun bagaimana undang-undang yang menegaskan nilai-nilai filosofis kebangsaan dan tidak mengabaikan cita-cita (politik) kemerdekaan). DPR dalam hal ini memiliki peran penting untuk mempertahankan dan atau mengembalikan cita politik kemerdekaan dengan tidak membiarkan bangunan Indonesia dikeroposkan dengan korupsi. Kesadaran mengenai bahaya laten korupsi harus mampu menyingkirkan watak arogansi DPR yang hendak mengebiri berbagai kewenangan KPK, dengan menyembunyikan dalih kegalauan akibat kiprah penegakan hukum pemberantasan korupsi.

Kesadaran bahaya laten korupsi harus mengedepan, karena korupsi masih dominan dalam penyelenggaraan negara. Mengebiri KPK berarti DPR sedang menempatkan Indonesia dalam darurat korupsi yang berkepanjangan. DPR membiarkan lembaga penegak hukum dibawah cengkeraman korupsi dan tidak menghendaki Indonesia menjadi negara yang bebas korupsi dan melaksanakan prinsip-prinsip good governance. DPR menjadi pahlawan koruptor dan iri untuk menjadi koruptor itu sendiri. Kedua hal tersebut akan tersemat pada DPR periode ini ketika revisi UU KPK melemahkan kewenangan KPK, bukan memperkuat KPK untuk bisa fokus memberantas korupsi dengan mengarahkan 'laras' kewenangan KPK ke dirinya dan lembaga penegak hukum untuk menciptakan Indonesia bebas korupsi.

Tulisan ini juga dimuat di Kompasiana

Monday, September 24, 2012

Jokowi Ojo Dumeh

Pasangan Jokowi-Ahok dinyatakan sebagai pemenang Pilgub DKI oleh lembaga survey yang bekerjasama dengan media elektronik atau media massa. Mereka belum menjadi pemenang Pilgub DKI menurut KPU DKI, setelah KPU melakukan penghitungan atas suara sah. Namun demikian puja-puji sudah terlontar, kehebatan baik yang rasional maupun irrasional terlontar ke publik. Dengan pensimbolan semut melawan gajah, akhirnya seperti yang terjadi dalam permainan anak-anak, semut selalu tampil mengalahkan gajah. Kemenangan didasarkan pada hasil penghitungan cepat oleh lembaga survey mendorong para pendukungnya untuk melakukan selebrasi. Selebrasi yang dilakukan dalam aneka bentuk, namun semangat kemenangan menjadi eforia bagi para pendukung pasangan ‘kotak-kotak’ tersebut. Meski belum resmi, publik (pendukung pasangan Jokowi-Ahok) dapat memberikan penafsiran atas hasil penghitungan cepat tersebut. Kemenangan ini tidak boleh mendorong Jokowi-Ahok menjadi dumeh (mentang-mentang). Ini berlaku bagi publik pendukungnya. Dumeh akan menyuburkan benih kebencian bagi Jokowi-Ahok apabila kemudian sudah resmi dinyatakan sebagai pemenang Pilgub DKI oleh KPU.

Tulisan selengkapnya dapat di baca di Kompasiana

Sunday, September 23, 2012

Dunia Usaha dengan Iklan-nya Mengolok-olok Calon Pilgub DKI (yang kalah)

Pemungutan suara Pilgub DKI sudah usai dilakukan pada tanggal 20 September 2012 yang lalu. Pasangan Jokowi-Ahok memperoleh suara terbanyak dan sepertinya sudah dipercaya sebagai pemenang Pilgub DKI. Jokowi-Ahok adalah pemenang Pilgub versi quick count, dan tentu saja pasangan tersebut tidak menginginkan hanya dikukuhkan sebagai Gubernur DKI versi quick count. Eforia sudah terjadi di kubu Jokowi-Ahok, dan kekecewaan menghinggapi tim sukses Foke-Nara. Yang tersisa dari hiruk-pikuk Pilgub DKI adalah pembantaian atas sesumbar tim sukses pada saat sebelum pemungutan dan penghitungan suara. Seperti terjadi di jejaring sosial Twitter, account Twitter yang menggunakan nama anonim sama seperti kelompok dangdut wanita menjadi sasaran olok-olok khalayak di jagat tweet. Sesumbar akan memakan kotoran kuda apabila pasangan Foke-Nara kalah dijadikan bahan untuk menagih janji pemilik account. Tentu saja itu mewakili suasana yang terjadi di masyarakat, meski dengan nada guyonan pendukung pasangan yang menang akan menyindir atau mengolok pendukung pasangan yang kalah (versi quick count). Politik perolokan tidak hanya terjadi di jejaring sosial, melainkan juga sudah merambah ke media elektronik seperti televisi. Perolokan tersebut tidak disadari, karena dikemas dalam gaya bahasa kultural dan slengekan. Namun substansi dari bahasa yang digunakan dapat menjadi bentuk simbol perolokan. Iklan televisi tersebut merupakan kelanjutan dari iklan sebelumnya yang ide awalnya untuk menyindir brand atau merek kompetitornya. Dengan bahasa iklan, ‘orang pintar kalah dengan orang bejo’, dimaksudkan untuk ‘menghabisi’ bahasa iklan kompetitor, ‘orang pintar minum tolak angin.’ Tulisan selengkapnya dapat di baca di Kompasiana

Saturday, September 22, 2012

Flashmob Gangnam Style @UKSW

Demam flashmob gangnam style di penjuru dunia merambah ke kota kecil, Salatiga. Tepatnya di kampus Indonesia Mini, UKSW, para mahasiswanya mencoba melakukan hal serupa yang dilakukan di tempat lain. Dengan memanfaatkan momentum Orientasi Mahasiswa Baru, flashmob ‘mengganggu’ sedikit kegiatan tersebut. Dan hasilnya dapat dilihat dari link dibawah ini:

http://www.youtube.com/watch?v=1FzShSzdLJ4

Meski dapat dianggap latah, namun niat dan keinginan untuk bisa menunjukkan bahwa mahasiswa di kota kecil dapat melakukan hal yang sama. Gangnam Style hanya salah satu trend yang sebentar akan memudar, seperti trend lain pada umumnya. Namun mahasiswa UKSW hendak mencatatkan sejarahnya sendiri dengan melakukan apa yang dianggap trend pada masa kini (yang akan old fashion pada masa yang akan datang).

Sekali lagi, ini soal trend. Bukan masalah bagus atau tidak, tepat atau tidak, benar atau salah, semua berkaitan dengan eksistensi dan pengakuan yang berkelindan dengan trend yang sedang menghebohkan di masanya. Mahasiswa dengan jiwa yang dinamis perlu diwadahi dalam sebuah kegiatan yang bisa mendorong munculnya kreatifitas dan mengaktualisasikan imajinasi kreatifnya, kemudian mengarahkan untuk bisa berkontribusi kepada masyarakat.

Pawai Mahasiswa: Sinergi antara UKSW & Pemkot Salatiga

Kemaren, 22 September 2012 di Salatiga hadir pawai mahasiswa baru UKSW 2012. Pawai yang terdiri dari rangkaian reog, liong atau dikenal dengan barongsay, paskibraka, tari keprajuritan, flag dance, marchingblek, kostum karnival, dan tari api. Pawai yang sudah dilakukan memasuki tahun keempat pada tahun ini, dimulai sejak tahun 2009. Tema pawai selalu berkaitan dengan kemajemukan yang mencerminkan UKSW sebagai Indonesia Mini.

Pawai tahun ini mengalami perbedaan dengan tahun-tahun sebelumnya yaitu bekerjasama dengan Pemkot Salatiga. Dengan koordinasi Walikota Salatiga, semula Pawai akan melibatkan SKPD yaitu DISHUBKOMBUDPAR dan DIKNAS. Namun dalam perjalanannya hanya Dishubkombudpar yang menunjukkan komitmennya untuk bekerjasama mengadakan pawai dalam rangka membangun ikon wisata kota Salatiga.

Ikon wisata yang hendak dibangun adalah pawai yang merupakan sinergi antara pemkot dan perguruan tinggi. Karena baru UKSW yang memiliki agenda orientasi mahasiswa baru-nya dilakukan dengan melakukan pawai. Ikon wisata dengan menggunakan pendekatan budaya menjadi sarana menghargai kemajemukan yang menjadi keniscayaan.  Kedepan pelibatan masyarakat dengan dukungan optimal dari walikota dan jajarannya akan mampu menyelenggarakan pawai di kota Salatiga.

Untuk tahun ini saja, Dishubkombudpar mendukung pawai dengan mengirimkan 'duta' budaya antara lain reog, liong dan tari keprajuritan. Ketiganya merupakan kelompok kesenian yang dibina oleh dinas tersebut. Selain dari dishubkompar, terdapat inisiatif warga dalam keterlibatannya di pawai tersebut yaitu tarian api dan kostum karnival dari siswa Sekolah Internasional yang ada di Salatiga. Artinya apabila dukungan Pemkot Salatiga lebih nyata terhadap pawai yang sudah digagas oleh UKSW sejak tahun 2009 akan melahirkan kolaborasi luar biasa dalam penyelenggaraan pawai di kota Salatiga.

UKSW untuk Salatiga dalam konteks pawai sudah membuktikan menjadi event yang ditunggu oleh masyarakat kota Salatiga. UKSW dengan Pemkot Salatiga khususnya DISHUBKOMBUDPAR pada tahun ini melahirkan pawai dengan rangkaian yang sangat panjang. Tentunya ke depan, peserta pawai akan lebih banyak melibatkan peran serta masyarakat dengan dukungan dari Pemkot Salatiga.Dengan menempatkan kerjasama Pemkot Salatiga dan UKSW, maka pawai sebagai ikon wisata kota Salatiga bukan merupakan impian semata.

Tuesday, September 18, 2012

Pawai Mahasiwa Baru UKSW: Bentuk “Ospek” Gaya Baru yang Patut Ditiru

Masih maraknya ospek mahasiswa yang bercorak militeristik yang diterapkan pada saat mahasiswa baru hendak memasuki dunia perkuliah, tidak menjadikan Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) selalu mengikuti model ospek yang seperti itu. Ospek UKSW yang dikenal dengan Program Pengenalan Mahasiswa Baru (PPMB) pada tahun 2009-2010 dan Orientasi Mahasiswa Baru (OMB) pada tahun 2011-2012. Kegiatan tersebut tidak hanya berisi kegiatan klasikal seperti pengenalan kegiatan akademik dan turunannya. Namun terdapat 3 kegiatan yaitu penanaman pohon, kostum kostum karnival dan membersihkan sampah di wilayah kota Salatiga (2009 dan 2010), kemudian pada tahun 2011 penanaman pohon, kostum karnival dan marchingblek (BUKAN marchingband).

Penanaman pohon yang dilakukan mahasiswa baru berjumlah antara 500-1000 pohon. Kostum karnival ditentukan tema pada tiap tahun penyelenggaraan pawai dengan waktu pembuatan kostumnya antara 3-10 hari. Meski dibuat dalam waktu singkat, kostum yang dihasilkan mampu bersaing dengan kostum ditampilkan di Jember Fashion Carnival atau Solo Batik Carnival. Dari sisi kualitas mohon jangan dibandingkan dengan kedua kegiatan carnival di kedua kota tersebut, karena dari sisi persiapan sangat terbatas. Kegiatan membersihkan sampah di wilayah kota Salatiga dilakukan dengan membagi mahasiswa baru dan menempatkannya di wilayah yang ditentukan kemudian mengajak mahasiswa baru tersebut ke tempat pembuangan sampah akhir untuk mengetahui lokasi terakhir sampah yang dihasilkan oleh mahasiswa selama berkuliah.

Tulisan selengkapnya dapat dibaca di Kompasiana










Pasangan Jokowi-Ahok Pasti “Menang” di Pilgub DKI

Tulisan ini tidak bermaksud mendahului kehendak politik pemilih Jakarta, apalagi takdir Tuhan atas Gubernur terpilih nantinya. Sebelum hasil penghitungan resmi dikeluarkan untuk menentukan pemenang Pilgub DKI, sejatinya pemenangnya sudah dapat terpilih. Pemenang bukan dalam pengertian bahwa pasangan Jokowi-Ahok akan menjadi Gubernur DKI terpilih, bahwa kehadiran pasangan tersebut mampu menyita perhatian, tidak hanya warga DKI atau daerah penyangga DKI, melainkan semua pasang mata di Republik ini melihat ke hasil pilgub tanggal 20 September 2012 nanti. Tulisan ini juga tidak bermaksud untuk mempengaruhi pemilih dalam menentukan pilihannya, atau mengkampanye-kan pasangan tersebut di masa tenang.

Kemenangan Jokowi-Ahok adalah keberhasilan mereka dalam menyita perhatian khalayak. Tampil bukan dengan jargon, tetapi dengan busana (fashion). Kotak-kotak menginisiasi trend fashion. Dilain sisi yang menonjol dari pasangan Foke-Nara adalah kumis lebat yang melintang. Dan tidak ada pendukung Foke-Nara yang mengambil sikap untuk berkumis atau minimal mengecat agar mirip kumis seperti dilakukan pelawak Jojon sebagai identitas panggung beliau.

Tulisan selengkapnya dapat dibaca di Kompasiana

KPK & ahistoris-nya DPR

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghadapi tantangan dari berbagai kekuatan politik dan hukum. Keberaniannya membongkar kasus korupsi anggota parpol baik di lembaga legislatif atau eksekutif dan lembaga penegak hukum (POLRI) menjadi 'boomerang' bagi KPK. Penarikan penyidik POLRI yang ditugaskan di KPK atau dalam bahasa resmi POLRI adalah tidak diperpanjangnya masa kerja para penyidik untuk bertugas di KPK dimaknai publik sebagai bentuk protes atau ketidaksukaan KPK membongkar korupsi simulator SIM. Tindakan KPK bergulir menjadi komoditas politik para politisi di Senayan yang bermaksud menanyakan dan memberi solusi bagi ketegangan yang terjadi antara lembaga penegak hukum yang mempunyai kewenangan menangani kasus korupsi.

Pertemuan yang diinisiasi Komisi III DPR kemudian menggulirkan berbagai usulan yang bukan memperkuat posisi KPK dalam pemberantasan korupsi, melainkan mencoba melemahkannya agar tidak menjadi garang terhadap koruptor. DPR mungkin lupa atau melupakan diri bahwa kehadiran KPK pasca jatuhnya orde baru karena sudah parahnya korupsi di Indonesia. Istilah extraordinary crime atas korupsi bisa menjadi penunjuk bahwa kesadaran atas darurat korupsi di Indonesia. Darurat korupsi dimaksud adalah fakta mengenai korupsi sudah mengepidemi penyelenggaraan pemerintahan, termasuk lembaga penegak hukum. Judicial corruption atau mafia peradilan menjadi ungkapan untuk menunjukkan korupnya lembaga penegak hukum (POLRI, Kejaksaan dan Mahkamah Agung).

Tulisan selengkapnya dapat di baca di Kompasiana

Sunday, September 16, 2012

Itikad Baik sebagai Inti dari Kepastian Hukum Sistem Perlindungan Konsumen

Kepastian hukum melatarbelakangi motivasi pembentukan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut dengan UU Perlindungan Konsumen). Sebanyak 3 (tiga) kali kepastian hukum disebutkan dan diletakkan pada bagian definisi, asas dan tujuan UU Perlindungan Konsumen. Penempatan kepastian hukum pada tiga ‘lokasi’ di undang-undang tersebut menunjukkan pentingnya kepastian hukum bagi perlindungan konsumen. Melihat kembali sejarah perkembangan (hukum) perlindungan konsumen dapat diketahui bahwa posisi tawar yang lemah dari konsumen menjadi lahan subur untuk merugikan pihak konsumen oleh produsen.

Istilah take it or leave it menjadi slogan yang mewakili kuatnya kedudukan produsen (penjual) terhadap konsumen. Konsumen yang berada pada posisi tawar yang lemah cenderung pihak yang dikalahkan ketika berhadapan dengan kepongahan produsen/pelaku usaha. Kepongahan tanpa control melahirkan kesewenang-wenangan dalam memproduksi dan/atau memasarkan barang/jasa. Salah satu kelemahan konsumen dan kuatnya kedudukan pelaku usaha dalam konteks hukum perlindungan konsumen adalah keberadaan asas siapa yang mendalilkan menjadi pihak yang harus membuktikan (dalil) – affirmandi incumbit probatio.

Dengan asas affirmandi incumbit probatio maka konsumen yang menyatakan telah dirugikan dari produksi dan/atau pemasaran barang/jasa haruslah menjadi pihak yang membuktikan. Kedudukan yang tidak seimbang inilah yang mendorong untuk melakukan upaya yang menjamin bahwa konsumen dapat meminta pertanggung jawaban kepada produsen terkait dengan kerugian yang diderita oleh konsumen. Jaminan akuntabilitas dalam hubungan (hukum) harus mampu mendorong penguatan kedudukan konsumen, sekaligus memberikan kepastian hukum bagi transaksi perdagangan yang terjadi antara produsen dan konsumen.

Untuk membaca seluruh artikel silahkan klik disini

Saturday, September 15, 2012

Semut vs Gajah di Pilgub DKI (Hasil Diskusi antara profesional Pekerja Media & seorang Pembelajar)

Tulisan ini adalah hasil pembicaraan atau diskusi singkat dengan seorang teman yang sedang berlibur di sebuah kota yang dulu pada jaman penjajahan Belanda dikenal sebagai kota terindah di Jawa Tengah. Semula hanya bersilaturahmi setelah beberapa waktu tidak bertemu, berubah menjadi diskusi ala sersan (serius tapi santai) dengan topik pilgub DKI. Diskusi bertolak dari pembicaraan mengenai sedang berubahnya kemasan program dari sebuah stasiun televisi yang menampilkan group musik dengan tampilan yang cenderung 'vulgar' untuk kriteria stasiun tersebut. Group musik dengan penampilan fisik bertato dan tindik telinga tanpa ada maksud menutupi agar tidak tertangkap jelas oleh pemirsa televisi tersebut.

Perubahan kemasan tersebut ternyata tidak bisa dilepaskan dari pihak dibelakang layar yang diisi oleh orang-orang muda termasuk teman diskusi ini. Kemudian diskusi secara spontan beralih ke topik pilkada yang menyoroti proporsionalitas pemberitaan media atas calon gubernur DKI Jakarta. Dengan menggunakan framing analysis dikemukakan bahwa siapa mengendalikan media akan mampu mempengaruhi informasi yang disajikan dan yang ingin ditangkap oleh penonton. Informasi yang disajikan memiliki daya untuk membangun citra sebuah berita atau tokoh. Citra tersebut membangun persepsi publik dan melekat untuk membentuk kepercayaan publik atas berita atau tokoh tersebut.

Selanjutnya topik diskusi lebih menukik pada duel politik antara Foke dan Jokowi yaitu menganalogikan duel tersebut sebagai pertarungan antara gajah dan semut. Dukungan 2 partai politik atas Jokowi (semut) berhadapan dengan gerombolan partai politik dibelakang Foke (Gajah). Hitungan diatas kertas (meminjam istilah komentator ketika mengulas pertandingan sepakbola) dengan mendasarkan diri pada jumlah kursi di legislatif dan hasil perolehan suara pada putaran pertama maka penjumlahannya akan diperoleh hasil, gajah akan memenangkan pertarungan pilgub.

Tulisan selengkapnya dapat dibaca di Kompasiana

Parpol yang menjilat ludah sendiri di Pilgub DKI

Para ahli politik sepakat bahwa dalam politik tidak ada kawan yang sejati, yang ada adalah kepentingan yang abadi. Demikian yang diperlihatkan oleh partai politik di Indonesia, khususnya yang saat ini memberikan dukungan ke calon petahana. Penilaian bahwa partai politik yang memberikan dukungan menegaskan pemujaan atas kepentingan politik dan melupakan rivalitas yang pernah terjadi. Penilaian atas pemujaan kepentingan politik dilakukan terhadap dua kali pemilihan gubernur DKI yaitu 2007 dan 2012.

Pada tahun 2007 terdapat partai politik yang melakukan pertarungan terhadap calon gubernur dengan mengusung calon-nya sendiri. Pencalonan pasangan cagub secara mandiri didasarkan pada fakta politik mengenai perolehan suara yang menempatkan parpol tersebut diurutan pertama pada pemilu legislatif DKI Jakarta. Dengan modal 24% perolehan suara pemilu legislatif, partai politik tersebut berani dan percaya diri untuk menampilkan calon gubernur-nya sendiri. Cagub DKI 2007 yang menantang calon lain yang didukung oleh gerombolan partai politik.

Pengusungan calon secara mandiri adalah bentuk kepercayaan diri dan sekaligus ketidaksetujuan dengan calon yang diusung oleh partai-partai politik. Artinya bahwa partai politik yang mengusung calonnya tersebut tidak percaya atas kualitas figur yang dicalonkan oleh partai-partai politik lainnya. Ketidakpercayaan tersebut juga menjadi bentuk ketidaksetujuan terhadap kualifikasi cagub tersebut, dan mengambil putusan bahwa calon gubernur yang diusung sendiri adalah kader terbaik dibandingkan calon lainnya. Meski akhirnya kalah dalam kompetisi politik tersebut, partai politik tersebut dapat dengan bangga karena mengusung calonnya sendiri, berasal dari kader partainya yang dinilai memiliki kapasitas untuk menjadi pemimpin ibukota.

Tulisan selengkapnya dapat di baca di Kompasiana

Wahana Baru Lapangan Pancasila Salatiga

Sudah beberapa kali malam minggu ini, di lapangan pancasila hadir kemeriahan baru. Raungan bunyi sirene menyemarakkan suasana, tiada kenal lelah berhenti untuk memberitahukan kepada warga Salatiga atas kehadiranya. Wahana baru yang melayani kebutuhan warga yang haus hiburan, karena minimnya wahana entertaiment untuk memuaskan kebutuhan rekreatif. Pusat perbelanjaan yang hanya berjenis supermarket atau mall KW 1 tidak cukup mampu memenuhi keinginan warganya atas rekreasi atau hiburan.

Wahana baru tersebut adalah kereta api bermesin mobil setia menjalankan perannya, membantu pemiliknya mendapatkan rejeki dari warga kota. Kereta api tersebut melengkapi wahanahiburan di lapangan pancasila selain wisata kuliner yang mendominasi, ATV dan sepeda roda tiga berhias lampu. Becak mini yang semula hadir, sudah beberapa lama menghilang dari hiruk pikuk geliat ekonomi kaki lima. Selain ada penjual mainan, lapangan pancasila dipenuhi oleh penikmat kuliner.

Lalu lalang motor di area pedestrian berkompetisi dengan konsumen ATV dan pejalan kaki. Lapangan pancasila menjadi ajang nongkrong anak muda, hanya untuk membunuh malam atau bertemu dengan kawan dan sahabat. Riuh rendah percakapan nongkrongers, ditingkahi alunan musisi jalanan alias pengamen yang sering nyanyian yang menghibur diciderai oleh 'bau naga' dan pemaksaan bagi pengguna lapangan (kecuali para pedagang).

Ironi ditengah Garis Perjalanan Hidup

Said Qhadafi, anak mantan pemimpin Lybia Muammar Qhadafi menunggu eksekusi hukuman mati atas kejahatan yang pernah dilakukan pada masa ayahnya menjadi diktaktor Lybia. Atau mantan Kepala Intelejen Lybia, Abdulah al-Senussi yang ditahan dan diusir keluar oleh Otoritas Mauritania. Dalam konteks dalam negeri, mantan pemimpin daerah (eksekutif maupun legislatif), atau pejabat lembaga negara yang harus menjalani perjalanan hidupnya dengan menjadi penghuni lembaga pemasyarakatan.

Kesenjangan kehidupan pada saat berkuasa atau sebagai pemimpin dengan setelah tidak berkuasa membentuk suatu ironi. Ironi yang menjadi tragedi ketika pada saat berkuasa menjalankan amanah kekuasaan dengan lebih melayani kepentingan diri sendiri atau kelompoknya. Secara pongah menampilkan kesombongan dan keangkuhan dalam mengelola posisi dirinya. Pengelolaan posisinya tidak mempertimbangkan keberadaan liyan, mengabaikan penderitaan atau kesengsaraan dalam setiap pilihan kebijakan. Liyan tidak diperhitungkan sebagai sesama, hanya dilihat sebagai angka yang mudah dihitung secara matematis dengan mengabaikan kemampuan merasa atas setiap kondisi yang menimpa.

Liyan hanya menjadi anak tangga untuk kejayaan pribadi dan kelompoknya. Anak tangga yang diinjak, ditempatkan ditelapak kaki sebagai bentuk penaklukan dan ketertundukan atas capaian prestasi yang sedang menggelinding menuju puncak tangga kejayaan. Kita sering terjebak dengan kepongahan dan kesombongan dengan segala sumber daya personal atau institusional yang sedang dipegang-kendalikan. Lupa diri dengan kesadaran meng-aku-kan semua capaian dan menindas liyan sebagai pihak yang harus direndahkan. Memandang rendah sesama menjadi keniscayaan, sebagai buah dari pohon kesombongan atau kepongahan. Menghina atau menistakan sesama yang tidak seposisi atau tidak sederajat, karena diri kita merasa memiliki segalanya yang tidak bisa tergoyahkan oleh siapapun.

Ironi ditengah perjalanan hidup terjadi ketika semua materi kesombongan dan kepongahan dilucuti dari busana ke-aku-an. Situasi yang dilupakan ketika bergelimang kekayaaan dan memuncak kedudukan tiba-tiba hadir memeluk hangat dalam perjalanan keseharian. Kesombongan dan kepongahan yang pernah dibanggakan pada waktu itu menjadi sampah kehidupan yang tidak mampu menolong, bahkan hanya untuk sekedar mengulurkan tangan membantu meringankan beban diatas pundak kehidupan. Saat itu, dunia sepertinya sedang mengeroyok dan hendak memaksa kehidupan kita. Namun, garis nasib terus bergulir dalam jalan kehidupan menjadi tuaian sikap kesombongan dan kepongahan kita. Dalam situasi demikian, kemurnian sedang berproses. Memurnikan siapa diri kita, siapa sahabat kita, siapa yang berada disamping kita ketika dunia melarikan diri, menyembunyikan dirinya dari penderitaan yang sedang menimpa.

Manusia mudah terjebak menjadi sombong. Menempatkan dirinya lebih tinggi dan berharga dibandingkan dengan sesama atau memandang rendah liyan yang kita pandang tidak mampu meraih prestasi yang sedang digenggam. Bahkan sombong-pun menjadi epidemik, yang menular dari manusia satu ke manusia yang lain. Dominasi semangat mengedepankan citra, membentuk perlombaan untuk menampilkan diri lebih baik daripada yang lain. Citra menjadi utama, substansi hanya bagian tidak penting untuk dipertimbangkan. Kesombongan menjadi alat untuk menggelembungkan citra. Citra adalah tampilan yang ingin pihak lain lihat dan memberikan apresiasi atas apa yang telah dilihat. Citra yang berkelindang dengan kesombongan tak lebih seperti peribahasa 'tong kosong nyaring bunyinya'. Menampilkan suara yang menggelegar, mengalahkan bunyi sayup. Suara yang menggegar terbentuk dari ruang kosong dari media yang besar. 

Ilmu padi menjadi tidak populer ditengah melimpahnya virup sombong. Rendah hati hanya akan dipandang sebagai bentuk kelemahan. Langkanya pengikut ilmu padi yang bersumber pada kerendahan hati menjadikan kesombongan menjadi hiruk pikuk bagi mereka yang sedang dipeluk oleh kekuasaan dan dicumbui dengan kelimpahan harta kekayaan. Namun ketika pelukan dan cumbuan itu memudar dan meniada maka yang tersisa adalah ironi garis perjalanan hidup dari seseorang yang pernah sombong dan angkuh. Kesombongan dan keangkuhan tidak hanya bagi mereka yang memiliki kekuasaan pada jabatan-jabatan pemerintahan atau perusahaan-perusahaan, melainkan bagi kita yang sudah ingin dianggap tinggi dan memandang rendah sesama. Merasa diri kita lebih dari orang lain, dan orang lain tidak sama seperti aku yang sedang dipeluk kekuasaan dan bermesraan dengan kekayaan. Kita akan terhempas oleh ironi garis perjalanan hidup ketika kesombongan kita terkoyak oleh situasi yang mendorong kita lengser dari kepongahan.

Ironi perjalanan hidup, belum disadari ketika masih bergelimang harta dan duduk di kursi empuk kekuasaan. Ketika kita mengalami, kita sadar bahwa harta dan kekuasaan tidak mampu melepaskan diri dari terkaman garis nasib yang menghendaki kita dianiaya, menderita dan dihinakan.

Monday, September 10, 2012

“Guru Kencing Berdiri, Murid Kencing Berlari”: Telaah Atas Kesehatan Mental dalam Tindakan Kekerasan Masyarakat yang dikonstruksi oleh Hukum

Peribahasa ‘guru kencing berdiri, murid kencing berlari’ mempunyai arti keteladanan memiliki arti penting dalam proses pembelajaran. Meniru adalah aspek paling sederhana dari proses belajar. Tindakan meniru sebuah perilaku yang negative misalnya kekerasan dapat berasal dari proses pembelajaran dari lingkungan sekitar. Kekerasan yang tidak memiliki konsekuensi, khususnya akibat yuridis (impunitas) merasuk dalam aras kognisi public dan melahirkan penilaian ketidakadilan. Penilaian ketidakadilan adalah penilaian yang berasal dari hasil pembelajaran dengan berbagai media dan informasi yang terkumpul. Proses pembelajaran dapat melahirkan pemahaman untuk melakukan balas dendam dalam bentuk kekerasan. Dimana subyek melihat bahwa kekerasan yang dilakukan liyan dinilai tidak berakibat hukum, sehingga melahirkan dorongan untuk melakukan hal yang sama. Kekerasan sebagai hasil dari proses pembelajaran terbentuk karena penilaian adanya pembiaran yang dilakukan hukum. Hukum dipandang tak berdaya dan ketidakberdayaan tersebut dilihat sebagai legitimasi untuk melakukan kekerasan. Meski terdapat faktor lain penyebab kekerasan, namun tulisan ini fokus pada proses pembelajaran dari hukum yang lemah atau tidak berdaya untuk memberikan sanksi (baca: hukuman) yang menjerakan. Kekerasan (agresi) dikategorikan sebagai gangguan kesehatan mental, dalam hal ini menempatkan hukum sebagai faktor yang membentuk tindakan kekerasan individu atau kelompok individu. Berbagai media yang menyampaikan informasi menjadi sarana pembelajaran yang membentuk tindakan kekerasan. Informasi yang diperoleh mencakup kegagalan hukum memberikan sanksi terhadap pelaku, termasuk hukuman yang setimpal menurut penilaian subyektif individu. Menumpuknya informasi tentang kegagalan hukum memberikan perlindungan kepada masyarakat terekam dengan baik pada aras kognisi individu. Rekaman ini menjadi stimulan kekerasan bagi individu atau kelompok individu yang menjadi referensi ketika mempertimbangkan melakukan atau tidak melakukan tindakan kekerasan. Dalam situasi demikian hukum menjadi salah satu pendorong terbentuknya tindakan kekerasan oleh individu maupun masyarakat baik sebagai respon atas situasi tertentu maupun sebagai jalan pintas penyelesaian masalah.

Kata kunci: Hukum, proses belajar, kekerasan, kesehatan mental

Abstrak dari paper yang sudah dipresentasikan di Temu Ilmu Nasional Fakultas Psikologi Universitas Krida Wacana, Jakarta pada hari Senin, 10 September 2012.

Saturday, September 8, 2012

Darurat Kekeringan

Pemerintah merencanakan dan segera merealisasikan hujan buatan di beberapa daerah. Hujan buatan adalah solusi cerdas bagi pemerintah yang memilih ’shortcut’ dan menjadi refleksi dari kemalasan berpikir. Kekeringan selain disebabkan rendahnya curah hujan di musim kemarau, juga rendahnya kemampuan tanah dalam menyerap air permukaan. Kemampuan tanah menyerap air sangat tergantung dari keberadaan tanaman (pohon) yang berada di permukaan tanah. Ketika tanaman tidak menjadi prioritas, dan dialienasi dari proses pembangunan maka keterparahan dari efek global warming adalah keniscayaan.

Tanpa bermaksud memojokkan pemerintah sekarang, komitmen pemerintah untuk menjaga kesinambungan ketersedian air di waduk atau embung sebagai tempat penampungan air baik air permukaan maupun air tanah. Minimnya komitmen berdampak ikutan bagi pertanian yang mengandalkan ketersedian air dan bidang lain seperti kebutuhan air minum. Lahan pertanian yang mengalami rendahnya pasokan air dan ketergantungan terhadap air hujan akan mempengaruhi kualitas dan kuantitas produk pertanian. Tingkat produksi pertanian seperti beras dan kedelai, atau produk buah-buahan yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Tulisan selengkapnya dapat di baca di Kompasiana

Tuesday, September 4, 2012

Konstruksi Hukum yang Kontekstual dengan Pendekatan Hermeneutika Hukum

Hukum Indonesia dalam pengembanannya di dominasi oleh pendekatan hukum normative. Meski terdapat upaya menggulirkan aneka pendekatan non hukum normative seperti sosiologi hukum, pluralisme hukum, critical legal studies, atau antrophologi hukum, namun penegakan hukum masih dipahami dan berorientasi pada pendekatan hukum normatif. Hermeneutika pada awalnya digunakan pada kajian teologis dapat berguna bagi ilmu hukum untuk menjembatani dikotomi pendekatan hukum normative dan sosiologis hukum. Hermeneutika hukum akan mendorong pemahaman hukum yang tidak sekedar normative-positivistik, namun juga mempertimbangkan konteks dimana hukum positif tersebut diterapkan. Hukum yang kontekstual akan memanfaatkan pendekatan hukum normative, sekaligus hukum yang tidak tercerabut dari masyarakat yang menjadi tempat bekerjanya hukum. Hermeneutika hukum ditempakan sebagai upaya membangun penafsiran yang komprehensif, ‘membawa teks keluar dari alienasi dimana ia mendapatkan dirinya kembali ke dalam suasana kekinian dialog yang hidup' (Richard Palmer, 2005: 237). Hukum sebagai sebuah teks dengan pendekatan hermeneutis tidak hanya ditafsirkan secara normative, namun akan dilihat dari komprehensifitas dengan melihat keterkaitan antara teks, konteks dan kontekstualisasi (Jazim Hamidi, 2005: 45). Pengembanan hukum akan lebih konstektual dengan menggabungkan metode penafsiran normatif dan sosiologi hukum pada waktu yang bersamaan. Sehingga (teks) hukum yang digunakan tidak tercerabut dari hukum yang dipahami oleh masyarakat, dan tidak juga melepaskan diri asas dan kaedah hukum yang terdapat dalam sebuah peraturan perundang-undangan. Pendekatan hukum yang demikian akan mengkontruksi hukum yang kontekstual, tidak terjebak pada penafsiran teks tetapi juga mempertimbangkan progresifitas hukum di dalam masyarakat.

Kata kunci: hermeneutika hukum, hukum yang kontekstual, pendekatan hukum normatif, sosiologi hukum

Judul diatas ditulis bersama dengan Ibu Ristina Yudhanti, SH., M.Hum., beliau adalah dosen FH UNNES, dimana makalah akan dipresentasikan pada Kongres Ilmu Hukum di UNDIP pada tanggal 19-20 Oktober 2012 di Semarang.

Mencandra Persaingan Pasar Ritel Modern di Indonesia dengan Perspektif Hukum Progresif

Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pasar ritel modern di Indonesia masih sangat terbatas. Keberadaannya-pun masih didasarkan pada UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Padahal KPPU sendiri menyatakan bahwa permasalahan pasar ritel modern adalah ketidakseimbangan atau ketidaksebandingan di antara pasar ritel modern. Dibawah UU, terdapat peraturan presiden dan menteri yang mengatur keberadaan pasar ritel modern. Pengaturan pasar ritel modern pada aras factual hanya sekedar menjadi dasar hukum, namun tidak mampu membendung keberadaan pasar ritel modern di tingkat kota/kabupaten. Kajian persaingan pasar ritel modern dengan perspektif hukum progresif dibutuhkan karena peraturan yang ada lebih sering dilanggar dan seolah terjadi pembiaran terhadap perkembangan (baca: pembangunan) pasar ritel modern. Penerapan peraturan yang mengatur tentang pasar ritel modern akan melahirkan banyak pelanggaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Ironinya pelanggaran tersebut tidak serta merta diikuti dengan pemberian sanksi. Dititik inilah, menghadapi situasi persaingan tersebut kajian dengan menggunakan hukum progresif menjadi sebuah kebutuhan. Penegakan hukum atas peraturan pasar ritel modern perlu dilihat dari konteks pencapaian keadilan progresif yang membela keberadaan pasar ritel tradisional yang tergerus dengan gempuran pasar ritel modern. Keadilan progresif ini diletakkan dalam rangka menyeimbangkan kembali posisi pasar ritel modern yang tidak ’membantai’ pasar tradisional. Persaingan pasar ritel modern yang tidak dikelola dengan baik dengan menafsir ulang peraturan perundang-undangan secara progresif akan menempatkan pasar ritel modern selalu ‘superior’ ketika berhadapan dengan pasar tradisional. Menata persaingan pasar ritel modern saat ini tidak bisa mengandalkan pada peraturan perundang-undangan yang sudah ada, namun dibutuhkan tafsir progresif atas peraturan tersebut agar persaingan tidak mengorbankan kebahagiaan rakyat yang seharusnya bisa menikmati kondisi persaingan.

Kata kunci: persaingan pasar ritel modern, hukum progresif, keadilan progresif, situasi persaingan

Judul diatas adalah makalah yang lolos untuk mengikuti Kongres Ilmu Hukum di Undip pada tanggal 19-20 Oktober di Semarang.

Monday, September 3, 2012

Advokat Koruptor = Koruptor? (Menyoal Pernyataan Denny Indrayana)

Salah satu tanggapan keras dari pernyataan Denny datang dari Yusril yang menganalogika advokat koruptor dengan presiden yang memberikan grasi kepada terpidana narkoba. Pernyataan Denny di Twitter sebenarnya sudah ada penjelasannya, bahwa advokat yang membela koruptor dan mendapatkan profesional fee dari klien yang tersangka koruptor dapat diduga fee tersebut berasal dari hasil korupsi. Artinya bahwa advokat koruptor yang menegaskan bahwa profesional fee-nya bukan berasal dari hasil korupsi, tentunya tidak dapat dinyatakan sebagai koruptor. Dalam hal ini menjadi tantangan bagi advokat dalam menegakkan idealismenya dan tetap mampu menjakankan profesinya dengan profesional.

Tantangan tersebut bertolak dari gagasan memisahkan profesinalisme advokat yang tidak boleh menolak klien yang datang kepadanya meminta bantuan dengan pembauran profesional fee dan hasil korupsi. Ketika fee yang diterima advokat dapat diduga berasal dari hasil korupsi maka dunia peradvokat-an dapat bertransformasi menjadi wahana pencucian uang. Dengan keniscayaan pendapat bahwa koruptor akan memperhitungkan perilaku korupsi-nya dengan hukuman yang akan dijalani apabila tertangkap atau terendus penegak hukum, termasuk segala biaya yang timbul dari proses hukum yang harus dijalani. Harta hasil korupsi akan membaur dengan harta bendanya baik langsung maupun tidak langsung. Pertanyaannya sampai derajat ke berapa harta yang dimiliki koruptor bukan termasuk harta hasil korupsi?

Tulisan lengkapnya dapat di baca di Kompasiana

Tembakan di Hari Kemerdekaan

Bukan tembakan salvo dalam rangka peringatan kemerdekaan, namun tembakan ke pos pengamanan (pos pam) polisi Gemblegan, Surakarta. 2 (dua) polisi tertembak dan harus dirawat dirumah sakit. Peristiwa penembakan yang terjadi Jumat, 17 Agustus 2012 dini hari dapat dimaknai bahwa pertama, penembak berimajinasi mengenai suasana kemerdekaan 67 tahun silam. Suasana kemerdekaan melawan penjajahan Jepang masih melekat dan imajinasi pelaku terhadap suasana tersebut membawa dirinya untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah.

Makna dibalik imajinasi dari pelaku adalah polisi direpresentasikan sebagai penjajah masa kini. Penjajah disaat Indonesia sudah memproklamirkan kemerdekaan, namun masih dijajah oleh bangsa-nya sendiri. Kasus korupsi Korlantas Polri dapat menjadi bukti bahwa lembaga kepolisian adalah lembaga yang korup dan tidak mampu melindungi warga Indonesia. Penulis sendiri pada saat malam menjelang peringatan hari kemerdekaan melihat ada oknum polisi yang sedang merekayasa suatu kasus dengan orang tertentu. Dari awal merancang rekayasa, polisi memperoleh ‘ucapan terimakasih’ dari orang tersebut.

Tulisan selengkapnya dapat di baca di Kompasiana

Pengumuman Mata Kuliah YAK

Mahasiswa FH UKSW peserta mata kuliah Penulisan dan Penelitian Hukum dan HK Perlindungan Konsumen mohon bisa melihat tautan dibawah ini;

https://docs.google.com/open?id=0BxSIkFFC2CDhM29NdGRnc2NSeWs

Tautan tersebut memuat tugas kuliah 2 mata kuliah diatas. Dan akan menjadi bahan kuliah pada pertemuan selanjutnya. Selamat mengerjakan, Tuhan memberkati.