Tuesday, August 19, 2014

Membaca Hukum & Kematian Makna (Refleksi atas Hermeneutika Hukum)

Membaca hukum merupakan pekerjaan yang kompleks, melibatkan seluruh aspek kehidupan si pembaca. Inilah menariknya membaca hukum, yang seolah hanya membaca namun sebenarnya sedang mentransformasi pengalaman menyejarah manusia yang berkoeksistensi.Transformasi pengalaman dalam membaca hukum menentukan arah dan kerangka berpikir menafsirkan teks hukum. Pertama, karena kata selalu tidak bermakna tunggal. Kemajemukan makna adalah kekayaan dari kata, selain memampukan kata tersebut ditempatkan pada konteks yang dikehendaki penulis. Makna kata inilah yang memungkinkan interaksi antara penulis dengan pembaca.

Interaksi antara penulis dan pembaca bisa melalui kata melahirkan penafsiran yang tidak hanya didasarkan pada pembacaan si pembaca, melainkan rekontekstualisasi dari kata yang dimaknakan. Kata yang ditorehkan adalah kontekstualisasi penulis, kemudian dibaca dan melahirkan rekontekstualisasi yang didasarkan pada penafsiran pembaca. Kedua, penafsiran bukan hanya pembacaan atas teks (kata), melainkan refleksi dari olah pikir sekaligus mentransformasikan pengalaman pembaca dengan memasuki 'dunia' penulis dalam kata yang dibaca.

Hukum yang bermuatan nilai terbungkus dalam kaedah (hukum) menjadi pengatur perilaku individu. Membaca hukum berarti menggali nilai yang terkandung dalam bunyi pasal, mencari makna dari teks (menafsirkan) dan menerapkan pada situasi tertentu (rekontekstualisasi). Ketiga tindakan yang simultan dilakukan bersanding dengan transformasi pengalaman menyejarah pembaca. Pengalaman menyejarah ini bukan yang utama dalam membaca hukum, namun mempengaruhi pembacaan hukum. Persandingan inilah sebenarnya terjadi 'pertempuran intrinsik' pembaca, sebelum kemudian melahirkan pemaknaan atas teks yang dibaca.

Pertempuran intrinsic ini berada diranah bawah sadar, mengalir sampai muncul di pikiran bertemu dengan rasionalitas. Membaca hukum tidak sekedar berpikir, namun mempertemukan pengalaman dan pengalaman inilah yang memngaruhi penafsiran sebuah teks. Sehingga pada awalnya, membaca hukum adalah pertempuran nilai, yaitu nilai hukum yang ditetapkan dengan nilai individu yang dianut. Pertemuan inilah yang melahirkan corak penafsiran yang bisa berbeda satu dengan yang lainnya. Dengan tidak menutup kemungkinan, ketika nilai individu yang dianut sama maka akan menghasilkan penafsiran yang sama pula.

Pertanyaannya adalah apakah nilai hukum bermakna tunggal? Ataukah nilai hukum bermakna jamak dan ditentukan oleh referensi pribadi yang menafsirkan. Sehingga didalam membaca hukum, memaknai nilai hukum menjadi penting bahkan pondasi bagi penafsiran atas kaidah hukum. Apabila nilai hukum adalah keadilan maka arti nilai hukum adalah tunggal, namun arti keadilan sendiri tidak tunggal. Ketidaktunggalan makna keadilan inilah yang memperkaya tafsir atas nilai hukum itu sendiri, termasuk hasil penafsiran atas bunyi teks dalam pasal.

Kematian makna
Mungkinkah makna mengalami kematian ketika teks selalu dibaca dan ditafsirkan? Makna akan mengalami titik ajalnya apabila membaca teks tidak melahirkan pemaknaan baru atau rekontekstualisasi dari makna awal saat teks tersebut dituliskan. Kematian makna didahului dengan kemandegkan tafsir. Tafsir teks yang 'jalan ditempat' akan mengerdilkan teks itu, karena makna yang ajeg. Padahal situasi yang menjadi konteks dari makna tersebut mengalami perubahan (atau perkembangan).

Masyarakat mengalami perubahan. Jadi ketika membaca hukum tidak menghasilkan penafsiran makna yang sesuai dengan perubahan masyarakat maka teks akan mengalami kematian makna. Kematian makna atas teks hukum akhirnya akan menggiring pada kematian hukum itu sendiri. Dengan asumsi diatas bahwa membaca hukum adalah interaksi maka ketika makna yang dihasilkan ajeg maka sudah tidak terjadi interaksi lagi antara hukum dan masyarakat melalui pembacanya (pengemban hukum).

Dalam situasi demikian hukum mengalami alienasi. Keterasingan hukum dari masyarakat, sekaligus kegagalan pembaca melakukan rekontekstualisasi teks. Hukum yang terasing dari masyarakatnya akan menjadi hukum yang menjadi penghukum semata, tidak berhasil menjadi inspirator perubahan yang menggiring masyarakat ke arah yang lebih baik. Hukum yang terasing akan 'mimpes' atau menyusut baik dari sisi maknanya maupun keberlakuannya. Inilah kematian hukum. Ketika hukum sudah tidak lagi bisa dimaknakan dan keberlakuannya hanya sekedar menjadi penghukum dari perilaku masyarakatnya, hukum menjadi arogan dan otoriter.


Hukum yang demikian harus dijungkalkan. Penjungkalan ini dilakukan dengan kembali menginteraksikan hukum dengan kenyataan. Kalau tidak membuat hukum baru, maka menghidupkan hukum dengan penafsiran yang memperkaya makna dari teks. Apabila dilakukan maka akan disematkan tindakan demikian sebagai langkah revolusi, padahal tindakan tersebut bukan langkah revolusi hanya menafaskan teks dengan makna yang responsive dan progresif. Ini bukan langkah revolusi, hanya mengembalikan hukum kepada kedinamisannya. Yaitu membaca hukum dengan melibatkan interaksinya dengan situasi dimana hukum akan diterapkan. Dalam hal ini pengemban hukum harus memiliki kekayaan pengalaman menyejarah.

Pengalaman menyejarah dapat membantu membaca hukum. Membaca yang tidak sekedar mengeja, melainkan memberi makna kontekstual sesuai dengan kondisi masyarakat. Membaca hukum adalah membaca masyarakat dengan menggali (kembali) dan mempertemukan antara nilai hukum dengan nilai-nilai yang masih dianut  oleh masyarakat. Hukum ada untuk mengatur masyarakat, sehingga pembacaan hukum adalah membaca melalui kacamata masyarakat berdasarkan pengalaman (hidup) pembaca. Dalam kerangka demikian, dimungkinkan membaca hukum dengan empati. Membaca dengan rasa. Membaca dengan melibatkan seluruh pengalaman menyejarah dapat menghidupkan hukum dan mendekatkan pada nilai keadilan.

 
.

Tuesday, August 5, 2014

Surat Terbuka untuk Presiden Jokowi tentang Penegakan Hukum di Indonesia

Indonesia, menjelang peringatan 17 Agustus 1945

Kepada yth.
Presiden Republik Indonesia
Ir. H. Joko Widodo
di Istana Negara


Salam Sejahtera,

Pertama, kami mengucapkan selamat atas terpilihnya bapak sebagai Presiden RI ke 7 setelah perjuangan dalam pencapaiannya harus melalui berbagai prosedur hukum dan konstitusional atas nama demokrasi. Kedua, kami sebagai warga Negara Indonesia berharap bahwa bapak Presiden yang mendapatkan amanah dari rakyat Indonesia mampu mengangkat derajat Indonesia sesuai dengan cita-cita yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.

Berkaitan dengan poin kedua tersebut maka kami bermaksud menyampaikan beberapa hal yang seharusnya menjadi perhatian bapak sebagai presiden dan mempunyai tugas dan kewenangan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pengalaman bapak sebagai kepala daerah (walikota dan gubernur) tentu menjadi pelajaran untuk mengatasi berbagai persoalan yang hendak kami sampaikan dibawah ini berdasarkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).

Pertama, mekanisme sanksi bagi penyelenggara pemerintahan (PNS) yang bertugas di garda depan pelayanan public. System perijinan, pengadaan barang dan jasa, administrasi kependudukan dan jaminan atau pelayanan kesehatan perlu dilakukan perombakan paradigma dari penyelenggaran pemerintahan. perombakan paradigma yang menempatkan rakyat adalah consumen sekaligus pemilik kedaulatan dilakukan sebagai pengejawantahan revolusi mental yang menjadi jargon kampanye bapak Presiden.

yang dimaksud dengan mekanisme sanksi bukan dalam pemahaman pidana penjara, melainkan dalam konteksi reward and punishment. Yaitu bagaimana mekanisme pengaduan public (public complaint) terhadap pelayanan public yang dilakukan pemerintah dapat didengarkan dan menjadi acuan perbaikan bagi pelaksanaan pelayanan public. Salah satu jalan ditempatnya pelayanan public di Indonesia karena mekanisme pengaduan belum menjadi strategi untuk memperoleh feedback atau loloh balik bagi penyelenggara pemerintah (kepala dinas atau kepala daerah).

Paradigma sebagai 'tuan' bukan sebagai pelayan masyarakat menjadi hambatan psikologis untuk pelayanan public yang berorientasi pada kepentingan rakyat (public service based on public satisfication). Ketika prosedur sudah dipatuhi, maka ketika terjadi penyimpangan dalih yang digunakan adalah sudah sesuai prosedur. Pameo yang berkembang di masyarakat terhadap kinerja aparat pemerintah, 'kalau bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah' menjadi cibiran masyarakat. Penyimpangan dari hakekat pelayanan public inilah yang membuka peluang bagi terjadi korupsi dan kolusi dalam pemberian pelayanan public (corruption opportunity).

Kedua, korupsi di aparat POLRI dan Kejaksaan. POLRI dan Kejaksaan merupakan alat Negara bagi penegakan hukum yang berada di bawah Presiden. Artinya bahwa pelaksanaan tugas dan kewenangan penegakan hukum berada dibawah kendali bapak Presiden Jokowi. Cibiran masyarakat terhadap POLRI, 'lapor kehilangan kambing, pulang kehilangan sapi' menunjukkan betapa buruknya citra POLRI di masyarakat. Penegakan hukum yang menjadi monopoli POLRI dan Kejaksaan melahirkan kerentanan penyalahgunaan kewenangan yang merugikan masyarakat, termasuk citra bapak Presiden.

Atau 'hukum itu tajam kebawah tapi tumpul ke atas' memberikan gambaran bahwa selama ini hukum menjadi alat kekuasaan bagi orang kaya, individu yang memiliki kuasa yang menjadikan (aparat) penegak hukum menjadi orang suruhan atau babu mereka. Istilah uang printer, uang kertas, uang jalan, uang damai menjadi sinyal dari aparat penegak hukum dalam melakukan korupsi dengan memanfaatkan kepentingan dari para pencari keadilan. Mekanisme setoran kepada atas juga mendorong terjadinya korupsi. Setoran ke kasat reskrim, kapolres, kapolda - POLRI, atau kasi, kejari atau kejati - kejaksaan telah menumbuh-suburkan korupsi.

Dalam konteks korupsi, forum komunikasi pimpinan daerah (forkominda) juga menjadi ajang korupsi antara lembaga yang dipimpin. Bagaimana APBD memuat anggaran untuk lembaga atau pengadaan mobil kepada lembaga telah melahirkan rasa sungkan atau ewuh pakewuh ketika terjadi upaya penegakan hukum yang terjadi di lingkungan pemerintah daerah.

Demikianlah surat ini kami sampaikan, agar bisa menjadi perhatian bapak Presiden Republik Indonesia atau menjadi masukan dalam melakukan pembenahan pelayanan public di Indonesia. Besar harapan kami, masukan kami ini bisa membantu mewujudkan revolusi mental yang bapak canangkan.

Atas perhatiannya, kami mengucapkan terimakasih.

Salam hormat,


Yakub Adi Krisanto 

Monday, August 4, 2014

Indonesia & Perlunya menggalang Solidaritas Kemanusiaan di konflik Palestina-Israel

Subuh tadi ketika melihat siaran CNN sedang memberitakan gencatan senjata antara Israel dan Palestina selama 72 jam. Kemudian membaca Kompas pagi harinya, pada pemberitaan mengenai gencatan senjata tersebut disertai dengan foto yang menampilkan sosok remaja yang sepertinya berlari dengan menenteng sangkar burung dengan latar belakang reruntuhan gedung. Foto tersebut mengusik hati dengan membandingkan kondisi Indonesia berkaitan dengan para pecinta burung yang saat ini sepertinya sedang mengalami booming.

Masyarakat pecinta burung dapat menikmati (baik membeli atau memelihara) burung kicauan tanpa gangguan perang atau desingan peluru di sekitarnya. Tentunya dari foto tersebut dapat dimaknai bahwa sangkar burung adalah harta yang berharga (atau mungkin yang tersisa) selama serangan militer Israel ke wilayah Palestina.

Melihat kondisi demikian maka masyarakat Indonesia melalui pemerintahannya perlu lebih proaktif dalam mengupayakan perdamaian antara Israel dan Palestina. Indonesia yang pernah tampil sebagai tokoh Negara non Blok (GNB) perlu kembali lebih agresif dalam konteks kemanusiaan agar dampak perang tidak mengakibatkan kerusakan social, ekonomi, budaya dan politik secara lebih massif. Upaya kemanusiaan mempunyai momentum pada gencatan senjata ini (truce) agar bantuan kemanusiaan dapat secara massif dialirkan ke wilayah Palestina untuk sedikit mengurangi beban warga Palestina akibat serangan militer Israel.

Presiden SBY dapat memerintahkan PMI atau organisasi kemanusiaan yang berada di Indonesia untuk bisa agresif mengirim bantuan kemanusiaan. Didahului dengan upaya diplomasi baik bilateral maupun multilateral agar bantuan kemanusiaan dari Indonesia bisa masuk ke wilayah atau kantong-kantong pengungsian warga Palestina. Indonesia sebagai Negara dengan penduduk muslim yang mayoritas memiliki pengaruh atau memainkan peran penting dalam perdamaian dunia. SBY tidak cukup hanya mengumumkan bantuan untuk Palestina, tetapi memainkan peran politik non blok secara aktif dengan menggalang dukungan internasional dalam kerangka bantuan kemanusiaan.

Selain tentunya, pemerintah Indonesia mempersiapkan personel kemanusiaan yang siap terjun ke wilayah konflik. Program pelatihan atau training kemanusiaan yang melibatkan PMI dan organisasi kemanusiaan dibawah koordinasi pemerintah Indonesia perlu di lakukan. Pengiriman bantuan kemanusiaan atas nama pemerintah Indonesia atau dukungan internasional yang berhasil digalang oleh pemerintah Indonesia.

Selama ini sepertinya dunia internasional kurang pro aktif terhadap konflik bersenjata di Negara-Negara timur tengah. Mungkin disebabkan oleh kerepotan mengatasi krisis ekonomi atau politik di Negara masing-masing. Namun solidaritas perlu dilakukan, dan Indonesia perlu tampil sebagai pelopor untuk menggalang dukungan kemanusiaan.
Ketika Indonesia menggalang dukungan solidaritas kemanusiaan, penegakan hokum bagi warga yang mendeklarasikan ISIS juga perlu dilakukan.

Kewibawaan pemerintah harus dijaga, karena ketika OPM melakukan kontak senjata maka aparat TNI/POLRI juga melakukan operasi maka terhadap ISIS yang jelas bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila merupakan tindakan subversive. Sehingga pemerintah Indonesia konsisten terhadap UUD 1945 khususnya pembukaan yang menjaga perdamaian dunia sekaligus menjaga ketertiban dalam negeri.

Friday, August 1, 2014

SBY-Megawati: Wikileaks & Korupsi Lintas Negara

Perintah Hakim MA yang disebut The Honourable Justice Hollingworth inilah yang melahirkan respon SBY dan PDIP terkait dengan dugaan penerimaan uang suap (bribe) atau penerimaan yang tidak pantas (improper payment). Adapun perintah hakim tersebut adalah there be no disclosure, by publication or otherwise, of any information (whether in electronic or paper form) derived from or prepared for the purposes of these proceedings (including the terms of these orders, and the affidavit of Gillian Elizabeth Bird affirmed on 12 June 2014) that reveals, implies, suggests or alleges that any person to whom this order applies:
  • received or attempted to receive a bribe or improper payment;
  • acquiesced in or was wilfully blind as to any person receiving or attempting to receive a bribe or improper payment; or
  • was the intended or proposed recipient of a bribe or improper payment.
Dalam perintah hakim tersebut tidak terdapat isi atau substansi dari affidavit dari Gillian Elizabeth Bird yang dilarang untuk diungkap (no disclosure) ke public. Kemudian yang berkembang di public adalah terkait peristiwa pencetakan uang di Australia tahun 1999 yang sudah dibantah oleh SBY dan PDIP. Memang menjadi pertanyaan, mengapa dikaitkan dengan pencetakan uang, padahal dalam perintah hakim tersebut tidak terdapat uraian tersebut.

Kapasitas individu yang membuat affidavit-lah yang perlu dicermati sehingga hakim memberikan perintah (order) agar tidak diungkap ke public. Bahwa susbtansi affidavit sangat penting, tentu dapat diketahui dari pertama, perintah hakim agar tidak diungkap dan kedua, alasan yang dikemukakan yaitu "The purpose of these orders is to prevent damage to Australia's international relations that may be caused by the publication of material that may damage the reputations of specified individuals who are not the subject of charges in these proceedings."

Dasar pertimbangan hakim melarang pengungkapan affidavit Gillian adalah sebagai berikut, pertama, necessary to prevent a real and substantial risk of prejudice to the proper administration of justice that cannot be prevented by other reasonably available means; and kedua, necessary to prevent prejudice to the interests of the Commonwealth in relation to national security. Hakim menyadari bahwa substansi affidavit Gillian dapat melahirkan prasangka (prejudice) terhadap orang yang disebut dalam affidavit tersebut. Artinya bahwa hakim sendiri masih belum yakin terhadap kesahan (validity) dari affidavit tersebut.

Masalah muncul adalah respon dilakukan tidak didasarkan pada perintah hakim tersebut, melainkan terhadap pers release WikiLeaks (http://wikileaks.org/aus-suppression-order/press.html). Dalam pers release tersebut dinyatakan, "The court-issued gag order follows the secret 19 June 2014 indictment of seven senior executives from subsidiaries of Australia's central bank, the Reserve Bank of Australia (RBA). The case concerns allegations of multi-million dollar inducements made by agents of the RBA subsidiaries Securency and Note Printing Australia in order to secure contracts for the supply of Australian-style polymer bank notes to the governments of Malaysia, Indonesia, Vietnam and other countries." Dari pernyataan tersebut diketahui bahwa perintah hakim - The Honourable Justice Hollingworth - berawal dari pemeriksaan yang melibatkan otoritas bank sentral Australia. Pemeriksaan dilakukan dalam kasus tuduhan tindakan yang melibatkan milyaran dollar yang dilakukan oleh pegawai bank sentral Australia dalam mengamankan kontrak Australian-style polymer bank notes.

Secara asumtif bahwa pegawai bank sentral diperiksa oleh pengadilan karena adanya dugaan suap atau pembayaran yang melibatkan pemerintah di Negara Malaysia, Vietnam dan Indonesia. Dan dugaan suap tersebut menjadi kewenangan penegak hokum Australia. Sehingga respon yang pantas adalah melakukan pemeriksaan internal terhadap Bank Indonesia (BI) dan aparat pemerintah terkait kontrak tersebut. Respon yang bertolak pada pers release WikiLeaks daripada perintah hakim menjad pertanyaan yang pantas diajukan. Dan kontrak tersebut tentunya ada dan kemudian memeriksa semua pihak yang terlibat dalam pembuatan kontrak tersebut.

Disinilah letak urgensi dari pemberantasan korupsi lintas Negara, ketika pihak yang melakukan korupsi berasal dari dua atau beberapa Negara yang berbeda. Artinya UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mendesak untuk di revisi dalam hal apabila terdapat pemeriksaan yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi di Negara lain dan berkaitan atau berhubungan dengan korupsi di Indonesia maka aparat penegak hokum juga harus melakukan upaya hokum atas kasus yang diperiksa di Negara lain tersebut. Dalam hal ini dibutuhkan kerjasama lintas Negara untuk melakukan pemberantasan korupsi, ketika korupsi melibatkan subyek hokum dari dua atau beberapa Negara yang berbeda.

Siapakah Gillian Elizabeth Bird?

Sosok ini menjadi penting tapi tidak menjadi sorotan media Indonesia pasca protesnya SBY dan Megawati terhadap laporan WikiLeaks yang menyebutkan keduanya terlibat dari apa yang diungkapkan Gillian Elizabeth Bird. Menurut laporan WikiLeaks (http://wikileaks.org/aus-suppression-order/), Supreme Court of Victoria menyatakan sebagai berikut; "there be no disclosure, by publication or otherwise, of any information (whether in electronic or paper form) derived from or prepared for the purposes of these proceedings (including the terms of these orders, and the affidavit of Gillian Elizabeth Bird affirmed on 12 June 2014) that reveals, implies, suggests or alleges that any person to whom this order applies:     
  • received or attempted to receive a bribe or improper payment;
  • acquiesced in or was wilfully blind as to any person receiving or attempting to receive a bribe or improper payment; or
  • was the intended or proposed recipient of a bribe or improper payment."
Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa Gillian membuat suatu affidavit atau laporan tertulis yang berkaitan tentang sesuatu hal.  Dalam ini dari uraian di WikiLeaks tersebut adalah mengenai receive or attempted to receive a bribe or improper payment, acquiesced in or was wilfully blind as to ay person receiving or attempting to receive a bribe or improper payment or was the intended or proposed recipient of a bribe or improper payment. Intinya bahwa Gillian melaporkan mengenai suatu usaha penyuapan atau pembayaran yang melanggar hukum.

Siapa saja yang dimaksudkan oleh Gillian? Terdapat 22 orang yang berasal dari 3 Negara yaitu Malaysia, Indonesia dan Vietnam. Untuk Indonesia terdapat tiga orang yang disebutkan oleh Gillian diduga menerima atau berusaha menerima penyuapan (bribe) atau pembayaran yang melanggar hukum yaitu SBY, Megawati dan Laksamana Sukardi. Kemudian muncullah bantahan dari SBY dan PDIP atas laporan WikiLeaks tersebut (http://www.theguardian.com/world/2014/aug/01/indonesian-president-calls-on-australia-to-explain-wikileaks-gag-order).


Gillian Elizabeth Bird
Siapakah Gillian Elizabeth Bird yang laporannya mampu membuat Supreme Court of Virginia untuk melarang laporan tersebut di publikasikan dengan alasan, "The purpose of these orders is to prevent damage to Australia's international relations that may be caused by the publication of material that may damage the reputations of specified individuals who are not the subject of charges in these proceedings." Menurut Wikipedia (http://en.wikipedia.org/wiki/Gillian_Bird), Gillian Elizabeth Bird adalah lulusan Universitas Sidney yang berkarier di Departemen Luar Negeri Australia pada tahun 1980.  Pada 11 Juni 2014, Perdana Menteri Australia menunjuk Gillian sebagai Permanent Representative of Australia to the United Nations.

Dengan kapasitas pribada sebagai perwakilan tetap Australia di PBB maka laporan Gillian (affidavit) bukan laporan yang memuat informasi abal-abal. Affidavit Gillian memuat informasi penting dan benar sehingga Supreme Court of Virginia melarang pempublikasian affidavit Gillian dalam kurun waktu 5 tahun sejak ditetapkan. Dalam hal ini benar yang disampaikan oleh SBY bahwa Pemerintah Australia harus melakukan klarifikasi atas informasi yang terdapat dalam WikiLeaks tersebut. Termasuk dalam hal apa Gillian membuat affidavit dan dilarang untuk dipublikasikan. Tentunya menarik apabila WikiLeaks juga menyampaikan affidavit Gillian. Dalam hal demikian Pemerintah Indonesia dapat mengambil tindakan diplomatic seperti pengusiran duta besar Australia atau menarik duta besar Indonesia di Australia.

Thursday, July 31, 2014

ISIS & UU Kewarganegaraan

ISIS merupakan akronim dari Islamic State of Iraq and Syam. ISIS adalah negara baru yang terbentuk akibat perang Suriah -meskipun belum dapat pengakuan dari negara lain. Bulan Juni tahun 2014 dunia dikejutkan dengan penaklukkan kilang minyak Baiji dan Kota Mosul yang merupakan kota terbesar kedua setelah Baghdad dan merupakan salah satu aset kekayaan pemerintahan Irak. Konon, rampasan perang yang diperoleh dari penaklukkan itu membuat ISIS menjadi kelompok perlawanan terkaya didunia. Secara berturut-turut daerah-daerah lain seperti provinsi Anbar, Kota Tikrit (Kota Kelahiran Saddam Husein),  Provinsi Nineveh, Propinsi Diyala hingga setengah wilayah Irak dikuasai oleh kelompok ini. Kini, ISIS sedang bergerak menuju pusat pemerintahan dan kota suci Syiah di kota Baghdad dan Karbala. Pemerintahan berhala demokrasi dan tempat suci kaum kafir syiah Iran diambang kejatuhan. Hal ini membuat Iran dan AS harus turun tangan untuk mengamankan kepentingannya (http://www.eramuslim.com/suara-kita/suara-pembaca/who-are-isis.htm#.U9r7OtHlrIU).

Menariknya, tidak hanya warga Negara Indonesia (WNI) yang muncul pada video ISIS untuk meminta bergabung (http://internasional.kompas.com/read/2014/07/30/09022331/Sejumlah.Warga.Indonesia.Muncul.dalam.Video.ISIS), melainkan juga deklarasi ISIS di Bekasi, Jawa Barat dan Solo, Jawa Tengah. Bergabungnya WNI ke dalam organisasi yang berbasis ideology dan bersifat transnasional bukan sesuatu yang baru. Namun perlu dilakukan kajian terhadap penegakan hukum UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Kajian focus pada apakah keterlibatan WNI telah berdampak pada status kewarganegaraan WNI tersebut? Atau adakah pelanggaran status kewarganegaraan ketika WNI terlibat dalam organisasi yang berbasis ideology dan bersifat transnasional seperti Al-Qaeda atau saat ini ISIS?

Kedua pertanyaan tersebut akan berkaitan dengan status organisasi tersebut dan ketentuannya dalam UU No. 12 Tahun 2006. Sedikit berbeda dengan Al-Qaeda yang di stigmatisasikan sebagai organisasi yang dinilai bertanggung atas aksi terror di beberapa Negara, ISIS dengan jelas dinyatakan sebagai Negara (state). Meskipun belum ada pengakuan internasional sebagai salah satu syarat kesahan sebuah Negara, namun aksi ISIS telah mengusik perhatian dunia. Dalam UU No. 12 Tahun 2006 terdapat terminology 'asing' dan 'negara asing', artinya memiliki tafsir yang terpisah dan berbeda. Istilah 'asing' tidak ditujukan hanya sebatas pada 'negara asing', yang berarti tidak harus negara, namun bisa diartikan sesuatu baik organisasi atau bentuk lain yang bukan Indonesia. Sedangkan 'negara asing' merujuk pada organisasi yang disebut negara dengan unsur-unsur yang sudah disepakati secara internasional.

Pasal 23 UU No. 12 Tahun 2006 mengatur mengenai kehilangan kewarganegaraan. Khususnya Pasal 23 huruf d, e dan f dapat digunakan untuk meninjau status kewarganegaraan WNI yang terlibat dalam ISIS. "Masuk dalam dinas tentara asing tanpa ijin terlebih dahulu dari Presiden", "secara sukarela masuk dalam dinas negara asing yang jabatan dalam dinas semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan hanya dijabat oleh WNI" dan "secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut" merupakan bunyi Pasal 23 huruf d, e dan f UU No. 12 Tahun 2006. ISIS merupakan negara (state), sehingga keikutsertaan dalam aktivitas 'kenegaraan' dari negara tersebut seperti ikut berperang artinya terlibat menjadi tentara perang negara tersebut.

Selanjutnya dengan deklarasi ISIS di wilayah Indonesia dapat dimaknai sebagai "mengangkat supat atau menyatakan setia kepada negara asing." Mengacu pada fungsi dan tugas TNI berdasarkan UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia maka sudah seharusnya TNI menindak WNI yang mendeklarasikan ISIS. Deklarasi ISIS telah melanggar kedaulatan RI, yaitu membentuk negara dalam NKRI, dan ini merupakan ancaman di dalam negeri dan mengganggu kedaulatan Negara. Sehingga dalam hal ini, apabila mengkaitkan UU No. 12 Tahun 2006 dan UU No. 34 Tahun 2004 maka Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pertahanan harus berkoordinasi untuk menyatakan bahwa pertama, terdapat WNI yang telah melepaskan kewarganegaraannya ketika terlibat dalam pendeklarasian ISIS. Kedua, TNI harus berani melakukan tindakan atas setiap deklarasi ISIS oleh WNI di seluruh wilayah Indonesia.

Bahwa tanpa disadari, Negara Indonesia sudah dilemahkan oleh bangsanya sendiri dan kita diam tidak melakukan tindakan apapaun. Bagaimana akan menjadi Negara yang berdaulat ketika tidak mampu menjaga kedaulatannya didalam negeri sendiri.

RUU KUHP & KUHAP: Unfinished Lawmaking Project

Kompas, 1 Agustus 2014 memberitakan bahwa pembahasan RUU KUHP dan KUHAP tidak akan tuntas oleh DPR periode 2009-2014. Sejak diserahkan drafnya oleh Pemerintahan pada Senin, 7 Oktober 2013, pesimisme terhadap penyelesaian pembahasan di DPR sudah menyeruak. Jumlah pasal yang mencapai 700 Pasal menjadi kendala meskipun saling melengkapi atas tidak tuntasnya pembahasan kedua RUU. Apabila pada tahun ini, DPR tidak dapat menyetujui kedua RUU tersebut menjadi UU maka harapan untuk mengubah dasar hukum pidana Indonesia menjadi tertunda.

RUU KUHP dan KUHAP menjadi bagian dari pembaruan hukum pidana, sebagai momentum melakukan perbaikan dan perubahan dari system hukum pidana. Sebagaiman pembaruan yang sampaikan oleh Prof. Andi Hamzah dalam situs berikut, http://www.aai.or.id/v3/index.php?option=com_content&view=article&id=238:beberapa-hal-dalam-rancangan-kuhap-oleh-andi-hamzah-mengapa-perlu-menciptakan-kuhap-baru&catid=89&Itemid=547, menjadikan pengesahan kedua RUU menjadi UU merupakan salah satu tonggak hukum di Indonesia. Mengenai pembahasan mengenai pembaruan hukum pidana dapat dilihat di situs berikut, http://stih-malang.blogspot.com/2013/06/materi-kuliah-kebijakan-hukum-pidana.html.

Pembaruan hukum pidana diharapkan menjadi momentum memperbaiki system hukum pidana dan paradigma hukum pidana. Dengan mempertimbangkan aspek yuridis, sosiologis dan filosofis, kedua RUU ditunggu kehadirannya untuk merombak system dan struktur, sekaligus memperbaiki berbagai kekurangan baik yang berada pada aras normative (substansi pasal) maupun penegakan hukumnya oleh aparat penegak hukum - aspek yuridis. Penyesuaian dengan perkembangan masyarakat, baik dari perspektif sociological jurisprudence maupun sociology of law sangat dibutuhkan demi kemajuan hukum dan masyarakat. Aneka putusan hakim atau penerapan hukum oleh aparat penegak hukum sebagai penafsiran atas undang-undang agar sesuai dengan perkembangan masyarakat harus menjadi bagian dari pembaruan hukum pidana - aspek sosiologis.

Pembaruan hukum pidana yang meliputi pendekatan yang berorientasi pada nilai (value-oriented approach) yaitu mengenai perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana, hukuman bagi tindak pidana, cara untuk menentukan bersalah sehingga perbuatan tersebut harus dikenai pemidanaan. Apabila saat ini hukum pidana bertolak dari aspek procedural, maka aspek tersebutlah yang harus didekati dengan value-oriented approach agar terwujud keadilan, atau pemidanaan yang tidak sewenang-wenang. Pemidanaan yang menjadi sarana balas dendam perlu diubah atau konsep ultimum remedium juga perlu ditinjau.

Economic detterence sebagai salah satu konsep dari analisi ekonomi terhadap hukum perlu dipertimbangkan.  Pemidaaan tidak hanya menempatkan subyek hukum ke dalam penjara, melainkan ada bentuk pemidanaan lain yang bias menjerakan subek hukum yang melakukan kejahatan. Economic deterrence secara sosiologis menjadi upaya pemidanaan bagi subyek hukum yang memiliki kemampuan ekonomi dan tidak mengalami dampak signifikan apabila hukuman dilakukan dalam bentuk penjara. Selain itu economic deterrence juga mengalami perubahan paradigma bagi hukum pidana Indonesia, yaitu yang semula subyek hukum hanya untuk pribadi ke subyek hukum badan hukum. Pemidanaan untuk subyek hukum badan hukum menjadi bagian dari pertanggungjawaban korporasi yang melakukan kejahatan baik kesalahan maupun kelalaian. Untuk penjelasan mengenai economic deterrence baca link berikut ini, http://scholarship.law.missouri.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1183&context=facpubs.

Belum selesainya alias tidak mampunya DPR untuk mengundangkan kedua RUU tersebut menjadi lemahnya komitmen legislative baik masa orde baru atau reformasi terhadap pembaruan hukum pidana. Ataukah sebenarnya ini menunjukkan mentalitas bangsa ini yang diwakili oleh legislative, yang dalam bahasa anak muda sekarang adalah susah move on. Indonesia masih senang diatur oleh hukum peninggalan penjajah, atau menyukai produk lama (KUHAP). Selain hal ini menunjukkan kegagalan legislative periode 2009-2014 untuk melakukan pembaruan hukum, sehingga menjadikan kedua RUU tersebut sebagai unfinished lawmaking project.

Wednesday, July 30, 2014

Salatiga Indah - Side Effect of Bikeventuring

Semula hanya berniat bersepeda dengan rute keliling Salatiga, tanpa berniat untuk mencari spot foto. Namun ketika memasuki daerah Gunung Sari dari arah Kalibening, berubah pikiran ketika berhenti untuk beristirahat sejenak melihat pemandangan hamparan sawah yang menguning dengan sebagian yang sedang di panen oleh (buruh) petani. Takjub melihat pemandangan itu, dan melintas ingatan mengenai postingan foto oleh dua teman di Facebook yang pertama terheran-heran dengan pemandangan Salatiga dari Salib Putih, dan yang kedua pemandangan di daerah Bali.

Dengan mengacu dari postingan tersebut, berpikir bahwa apa yang saya lihat dibawah dengan hamparan sawah dan diseberang sungai ada terasiring yang tidak kalah indah dengan yang ada di Ubud, Bali. Salatiga memiliki pemandangan (view) yang harus diekplorasi agar keindahannya terekspose dan dikenal oleh khalayak. Dan inilah hasil dari bersepeda yang di istilahkan sebagai bikeventuring, tidak hanya untuk bersepeda semata mencari tempat free ride melainkan mengeksplore tempat yang dilalui.


Dua gambar ini terambil dari celah pohon sengon yang seolah menghalangi keindahan pemandangan.


Gambar-gambar selanjutnya mencoba menghindari halangan pohon-pohon sengon, dengan beranjak mengayuh sedikit menuruni jalanan untuk melihat pemandangan secara 'bebas' tidak terhalang pohon.

 
Pemandangan sawah dengan padi menguning, dengan latar belakang pohon kelapa dan terasiring sawah menjadi sebuah eksotisme yang tidak dapat dihindarkan untuk dinikmati.
 
Ketika mencoba menanyakan di Facebook, apakah percaya kalau gambar ini berada di Salatiga? Banyak yang gamang, dan meski yakin itu Salatiga namun banyak yang tidak tahu daerah mana.


Wednesday, July 23, 2014

Refleksi Dirgahayu 1264 Kota Hati Beriman

Masyarakat sekarang sudah naik kelas dalam berdemokrasi, berbeda pendapat secara terbuka, akses informasi utk kebutuhan informasi dlm menentukan pilihan yang rasional. Lontaran2 pikiran di sampaikan di medsos sungguh menjadi kekayaan dalam diskursus demokrasi yang memperkaya dan memberdaya pada setiap pengambilan keputusan. Namun disebuah kota kecil, ketika pembangunan menjadi kue yang hny diolah oleh segelintir orang, kemudian dibagi oleh kelompok kecil dari segelintir orang. Ditingkahi dengan keserakahan hukum yang berseragam meminta jatah remahan kue pembangunan. Masyarakat yg bergiat dengan proyek pembangunan hanya bisa pasrah, lebih mengutamakan perut daripada kebenaran. Semua stakeholder sudah terbeli dalam jejaring kuasa yang kolutif. Dimanakah suaraku harus kugaungkan ketika rakyat dikelabui dengan ego dan kepasrahan bhw itu bukan urusanku. Suarapun hny mjd gema sebagai penanda bhw ada yg masih eksis, tp sendiri, tersesat tanpa teman menjelajah bentara yg menjulur akar korupsi. Apakah pantas satu tusukan pada kotak suara dijadikan pijakan untuk berharap bhw pilihannya mampu merubah sebuah kota kecil, ditengah mesin partai pendukung terlibat dalam jejaring korupsi dan kolusi yang tidak terjamah oleh keterbukaan apalagi hukum?

Kue (proyek) pembangunan yang dibagi di antara eksekutif, legislatif dan civil society telah melahirkan tradisi yang tiap tahun menjadi rebutan. Apabila rebutan kekuasaan sudah terlembaga setiap lima tahun melalui pemilu, maka rebutan kue proyek pembangunan terjadi setiap tahun (anggaran). Aktornya bisa berbeda, namun hakekat rebutannya selalu hadir menjadi agenda tiap tahun. Aktor yang terlibat adalah eksekutif, legislatif, dan civil society. Tentu bertanya, mengapa civil society terlibat dalam rebutan proyek yang diketahui sudah pasti berbau korupsi dan kolusi? Eksekutif yang pemimpinnya mengalami pergantian selama lima tahun, menjadi aktor terduga utama dalam bagi-bagi kue proyek pembangunan. Legislatif dengan modus term 'aspirasi dewan', menjadi upaya mendapatkan kue proyek dengan menggunakan badan usaha yang berafiliasi kepada partai atau individu anggota dewan. Semakin banyak jumlah anggota terpilih di gedung dewan, posisi tawar untuk mendapatkan bagian kue yang lebih b esar semakin kuat, termasuk mencaplok bagian eksekutif dan sesama anggota dewan yan lain baik dari partai yang sama atau berbeda.

Civil society yang terlibat dalam pembagian kue proyek pembangunan dapat di petakan sebagai berikut, kelompok profesi jurnalistik, individu atau lembaga penggiat anti korupsi, preman lokal, kelompok pengusaha jasa konstruksi, tim sukses pilkada, termasuk lembaga pemerintahan horizontal. Masif dan berjejaring menjadikan pengelolaan pemerintahan yang good governance sulit direalisasikan di kota yang berdirgahayu 1264 ini. Mulai dari penunjukkan/pengadaan langsung atau lelang, terkondisikan bahwa yang memenangkan pelaksanaan pekerjaan proyek pembangunan adalah yang sudah ditentukan. Banyak-sedikitnya proyek yang diperoleh tergantung seberapa besar posisi tawar yang dimiliki oleh masing-masing kelompok terhadap pihak yang memiliki kapasitas untuk membagi kue pembangunan.

Masalah lain dari kota yang berdirgahayu 1264 adalah proyeksi perlunya rekayasa lalu-lintas untuk mengantisipasi keterbatasan ruas jalan dan meledaknya jumlah kendaraan bermotor. Tanpa rekayasa lalu-lintas maka kemacetan sudah menghadang di depan mata. Permasalahannya adalah rekayasa lalu-lintas membutuhkan pemikiran yang mendalam dengan melibatkan stakeholder kota, dan uji coba yang berulang untuk memperoleh hasil yang baik dalam pengaturan lalu-lintas. Kota dengan luas wilayah yang terbatas harus menyegerakan pemikiran tentang rekayasa lalu lintas yang berkorelasi dengan fokus pengembangan kantong perekonomian agar tidak terpusat di jalan Jenderal Sudirman. Twin centre atau pusat kota kembar perlu dilakukan untuk menjadi daya tarik pelaku usaha membuka gerai usahanya. Salatiga yang perekonomiannya mengandalakan sektor jasa dan perdagangan, perlu menggali berbagai potensi tersebu dengan pertama, membuka pusat kota tandingan selain jenderal Sudirman. Kedua, mendorong pengembangan pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi sebagai center of excelence dalam pendidikan. Sehingga menjadi rujukan tempat atau kota lain untuk menyekolahkan anaknya di Salatiga.

Ketiga, UMKM perlu terus didorong dengan berbagai insentif untuk melebarkan sayap pengembangan usaha tanpa nepotisme dalam pelaksanaannya. Pameran pembangunan sebagai ajang promosi produk UMKM semakin di giatkan. Termasuk mengadakan kegiatan pameran di kota Salatiga secara berkala, berdampingan dengan gelar budaya yang sudah menjadi tradisi beberapa tahun ini. Kegiatan dalam sekala besar dapat menarik minat masyarakat sekitar Salatiga untuk datang dan berbelanja dengan variasi produk yang menjadi unggulan UMKM Salatiga. Pemerintah melakukan pendampingan usaha, tidak hanya dalam bentuk modal namun pengembangan skala usaha UMKM seperti pelatihan manajemen, promosi atau marketing. Dalam konteks pusat kota kembar, sentra UMKM dapat dipikirkan. Termasuk penempatan PKL dalam suatu wadah yang dapat berkontribusi pada ketertiban, kebersihan dan keindahan kota.

Keempat, peningkatan layanan publik oleh pemkot Salatiga. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil atau Kantor Pelayanan Terpadu dan Penanaman Modal sudah menunjukkan peningkatan pelayanan dengan standar operating procedure yang berISO untuk kantor pelayanan terpadu adalah prestasi yang harus dibanggakan selain perlu ditingkat dan ditularkan ke satuan kerja yang lain. PNS yang berorientasi melayani seperti karyawan perusahaan yang melayani kepentingan konsumen perlu ditransformasikan, bukan pegawai pemerintah yang bossy. Keramahan pelayanan, kepastian waktu dan prosedur perlu terus ditingkatkan.

Inilah sekelumit refleksi atas kota yang sedang berdirgahayu 1264. Tentu masih banyak sisi yang bisa diungkap. SALATIGA HATTI BERIMAN!

Tuesday, July 22, 2014

Skenario Politik Alternatif Prabowo pada Pemerintahan Jokowi-JK 2014-2019

Pasca pernyataan konferensi pers Prabowo Subianto (PS) yang banyak ditafsirkan sebagai pengunduran dirinya dalam proses pemilihan presiden 2014 menghasilkan reaksi yang intinya sama. Reaksi publik adalah menyayangkan keputusan beliau dengan membandingkan pernyataan-pernyataannya yang disampaikan ke publik melalui media. Dengan berbagai manifestasi reaksi seperti menghujat, menghina, mediskreditkan atau secara umum dalam bahasa anak jaman sekarang adalah PS di-bully oleh publik. Pendukung PS yang rasional memiliki dua sikap yaitu mengucapkan selamat kepada Jokowi - JK dan mempertanyakan sikap PS, tidak percaya bahwa pernyataan tersebut adalah keputusan pribadi beliau, melainkan pembisik yang ada di sekeliling beliau.

Reaksi lain adalah dengan menautkan sikap mundur dengan ancaman pidana berdasarkan Pasal 245 dan 246 UU No. 42 Tahun 2008. Dan reaksi tersebut salah, karena sikap mundur Prabowo tidak bisa dipidanakan atau tidak memenuhi undur yang terdapat pada pasal tersebut. Sikap PS yang diambil pasca pemungutan suara tidak memiliki akibat hukum dan politik dalam tahapan pilpres. Publik di media sosial (medsos) memposting ketentuan pasal tersebut sebagai pengingat agar PS di jerat hukum. Sikap politik PS di luar nalar publik, namun rasional bagi egonya sendiri. Apakah tidak ada pihak yang mengajukan pertanyaan, lebih bermanfaat mana antara menyatakan mundur dan mengakui kekalahan, menerima kemenangan pesaing di pilpres?

Mengakui kekalahan adalah salah satu sikap ksatria. Kekalahan di kompetisi pilpres bukan akhir segalanya dalam sebuah proses demokrasi. PDIP dspat menjadi referensi, bagaimana berdemokrasi pasca mengalami kekalahan di dua pilpres yaitu mengambil posisi sebagai partai oposisi terhadap partai pemenang pemilu yang memenangkan pilpres. Ini adalah alternatif yang bisa atau harus diambil PS dengan Gerindranya. Menjadikan Gerindra dan Koalisi Merah Putihcounterpart yang kritis dan bersebrangan terhadap pemerintahan terpilih. PS memiliki kharisma dan bisa dikelola untuk menjadi negarawan sejati sebelum pernyataan mundurnya pada tanggal 22 Juli 2014. Selain kharisma, PS memiliki sumber daya politik untuk mengambil peran oposisi di legislatif baik nasional maupun daerah.

Sikap oposisi yang ekstrim bisa dilakukan dengan brutal menolak setiap kebijakan pemerintahan Jokowi baik yang harus dibahas di DPR maupun sebagai kebijakan eksekutif. Sikap oposisi yang demikian, apabila di kelola dengan baik dapat menjadi bekal untuk bersaing di pileg dan pilpres 2019. Sekali lagi, PDIP menjadi contoh yang baik dalam pilihan sikap politik ketika tidak menjadi pemenang pemilu. Dan memperoleh kehormatan di hati pemilih, ketika kader parpolnya sesuai dengan harapan rakyat. Beroposisi menjadi pilihan untuk menunjukkan secara bermartabat bahwa pilihan rakyat pada 9 Juli 2014 adalah salah. Kesalahan ditunjukkan dengan bergulirnya waktu berdasarkan kebijakan yang diambil oleh Presiden Jokowi. Sikap oposisi yang demikian sah dalam sebuah negara demokrasi. Oposisi legislatif dapat dijamin dengan sikap otoriter bagi anggota legislatif dari partai Gerindra yang melawan keputusan partai. Mekanisme PAW bagi kader partai yang melawan menjadi upaya menjaga konsistensi oposisi terhadap pemerintahan Jokowi.

Oposisi lain adalah dalam hal penegakan hukum. Dengan mengambil maksimnya Lord Acton, 'power tend to corrupt' maka mengintip pengemban kebijakan rentan terlibat dalam penyalahgunaan wewenang baik dalam perspektif Tata Usaha Negara maupun Tindak Pidana Korupsi menjadi pilihan untuk menaikkan kewibawaan politik. Mengawal penegakan hukum yang melibatkan pejabat baik di pusat maupun daerah akan memberikan poin positif bagi Gerindra dan PS. Termasuk apabila ada kader partai Gerindra yang terlibat pelanggaran hukum tetap akan di proses secara hukum san ecara transparan tanpa ada ada upaya kongkalikong untuk melepaskan diri dari jerat hukum. Pengawalan di kepolisian, kejaksaan dan KPK akan membentuk simpati publik dan menyenangkan hati rakyat yanb sering mengalami kesulitan ketika menuntut penegakan hukum yang melibatkan elit-elit politik.

Berada di samping rakyat pada setiap dampak kebijakan yang merugikan atau tidak berpihak kepada rakyat akan menjadikan PS sebagai pembela kaum tertindas. Menggunakan mesin partai untuk melakukan pembelaan nyata atas rakyat menempatkan PS adalah tokoh yang merakyat dan memiliki kepedulian. Radar politik harus di pertajam, karena pembangunan sering mengorbankan rakyat. Oposisi dalam kerangka pembelaan rakyat lebih bermartabat daripada sikap menyerah dan menuding pihak lain melakukan kecurangan.

Bahkan apabila benar tentang stigma bahwa PS adalah penampung para desertir Kopassus dan preman di wilayah tertentu, maka PS dapat menciptakan gangguan bagi pelaksanaan pembangunan yang dilakukan pemerintah. Disabilitas politik, ekonomi dan sosial dengan jaringan klandestin dapat merepotkan pemerintah bahkan menghambat keberhasilan pemerintahan Jokowi. Apabila rapi dilakukan dan mampu mengelabui pandangan publik, karena rapinya pengorganisasian jaringan klandestin, akan mampu menuai dukungan publik.

Paparan diatas menjadi alternatif strategi tanpa menyerah dan tidak mau mengakui kekalahan sebagaimana dilakukan pada saat hari penetapan hasil pilpres. PS yang berpikir bijaksana dapat menerima alternatif ini dan tetap tampil sebagai pemimpin yang bisa menerima kekalahan, dan kembali membangun modal politik untuk membesarkan tiang demokrasi yang beliau bangun yaitu partai Gerindra. PS yang tidak berpikir panjang lenih memilih menyatakan diri mundur dari tahapan pilpres. Sikap yang melahirkan olok-olok politik bagi beliau oleh minimal para pendukung capres no dua.

Tuesday, July 1, 2014

Pasca Pemungutan Suara, selain munculnya pemenang, adakah peristiwa lain?

Menjelang hari pemungutan suara tanggal 9 Juli 2014, dukungan terhadap kedua pasangan capres semakin riuh. Keriuhan di-rem dengan kehadiran bulan Ramadhan. Mengamati (membaca) isi dukungan, khususnya di jejaring sosial saling menyampaikan pernyataan mendukung atau mencerca satu sama lain.

Dukungan dan cercaan menjadi kelumrahan dalam berdemokrasi sebagai konsekuensi dari kebebasan berpendapat. Yang menjadi riuh dan tajam mengarah pada konflik horizontal antar sesama warga bangsa. Konflik horizontal di jejaring sosial bukan dalam bentuk kekerasan fisik, namun ketajaman perbedaan bisa menjadi benih-benih konflik di dunia faktual.

Bukan hendak mengatakan bahwa beberapa kejadian konflik dalam bentuk kekerasan antar pendukung di beberapa daerah akibat dari saling dukung di jejaring sosial. Saling dukung di jejaring sosial hanya menjadi salah satu pemicu atau trigger dari kekerasan yang terjadi. Sebagai pemicu, pernyataan-pernyataan di jejaring sosial yang memuat informasi yang akan menyebar jauh melintas batas virtual.

Pertama, pernyataan yang memuat informasi merupakan lontaran subyektif dari pihak yang menyatakan. Lontaran subyektif ini terdapat dua kemungkinan yaitu informasinya benar atau kebenaran informasi didasarkan pada keyakinan subyektif. Benar-salahnya informasi membutuhkan sebanyak-banyaknya informasi atau informasi pembanding dan sumber informasi yang digunakan. Dibutuhkan waktu dan cakupan dalam pencarian informasi maka tidak semua individu mampu memilah informasi yang benar dan tidak misleading.

Kedua, penyebaran informasi yang semula berada di wilayah virtual ke masyarakat non virtual. Informasi yang diposting di jejaring sosial dengan penyebaran yang tidak bisa diduga sampai sejauh mana informasi tersebut berakhir. Terkait dengan substansi informasi, benar, salah, atau masih dibutuhkan klarifikasi lagi untuk benar dan salahnya. Informasi yang benar akan mengarahkan pada pertimbangan pilihan yang benar, sedangkan informasi yang salah akan menjadikan fitnah dan menyesatkan dalam menentukan pilihan.

Berkembang dan mengalirnya informasi saling mendukung di jejaring sosial sudah mengerucut pada gangguan interaksi sosial. Tidak hanya debat yang substansial dengan argumen bernalar, namun sudah mengarah kepada unfriend ketika teman sudah menggunakan prinsip pokoke dan atau mengganggu dengan postingan yang substansinya belum bisa dipastikan kebenarannya. Namun informasi yang diposting akan mengalir sampai jauh dan menjadi referensi bagi masyarakat. Pereferensian informasi tersebut bagi masyarakat yang tidak memiliki kesempatan untuk check and recheck akan dinilai sebagai kebenaran. Apalagi informasi di sampaikan oleh individu yang memiliki kapabilitas atau kewibawaan, sehingga publik patut percaya dengan apa yang disampaikan.

Informasi yang tidak benar atau kebenarannya masih harus diklarifikasi terlanjur sampai di masyarakat dan dipegang sebagai kebenaran. Kondisi inilah yang memicu ketegangan ditengah masyarakat, mengarah pada konflik horizontal yang sudah terjadi. Apabila tidak ketahanan sosial dalam meredam setiap informasi yang beredar terkait dengan pilpres ini, maka pasca pemungutan suara akan mundah tersulut kekerasan horizontal antar pendukung.

Fanatisme pendukung capres di pilpres 2014 ini sungguh luarbiasa, berbeda dengan pilprea sebelumnya. Fanatisme yang sudah mengarah pada segregasi politik antar pendukung sudah kasat mata. Masyarakat berani menolak selebaran dari pasangan yang sedang kampanye dengan hanya menunjukkan jari tangan dalam jumlah tertentu. Kondisi demikian adalah lahan subur untuk menyemai benih-benih kekerasan, dan memanennya dengan menyebar 'bahan bakar' agar terjadi konflik terbuka.

Kekerasan horizontal menjadi potensi yang harus di waspadai pasca pemungutan suara. Aparat negara dituntut untuk netral ketika terjadi kekerasan. Kenetralannya dengan antisipasi konkrit dan menutup peluang terbukanya konflik di masyarakat. Koordinasi intelejen menjadi penting untuk mendeteksi potensi kekerasan massal akibat kekecewaan para pendukung capres ini. Keberadaan hanya 2 pasangan capres membuka peluang kekerasan pasca pemungutan suara. Masyarakat terpecah menjadi dua dengan kemungkinan berhadap-hadapan sangat besar.

Kita siap berbeda pendapat, namun siapkah menyelesaikan perbedaan tersebut dengan beradab dan akal sehat?

Noumenon & Phenomenon dalam Pilpres 2014

Noumenon & Phenomenon dalam Pilpres 2014

Noumenon (\ˈnü-mə-ˌnän\) menurut Merriem-Webster Dictionary adalah a posited object or event as it appears in itself independent of perception by the senses. Noumenon merupakan obyek atau peristiwa yang 'melayang-layang', keberadaannya tidak didasarkan atas sebab tertentu, dia ada sebagaimana adanya. Berbeda dengan phenomenon yaitu an object or aspect known through the senses rather than by thought or intuition, obyek yang diketahui melalui perantaraan akal dan bukan berdasarkan pikiran atau intuisi.

Kandidasi dalam pilpres yang terwakili oleh dua pasangan, Prabowo-Hatta dan Jokowi-Kala merupakan fenomena demokrasi. Kedua pasangan tersebut adalah fakta, sedangkan fenomenanya adalah dukungan terhadap keduanya. Saling dukung telah terjadi dalam berbagai (lintas & multi) media. Dalam hal ini bukan bentuk medianya yang ingin di kaji, melainkan substansi dari pesan yang dimuatkan atau di unggahkan di berbagai media.

Semua substansi saling dukung adalah fenomena dalam pengertian yang dikemukakan oleh capres lovers adalah hasil dari buah pikir alias nalar. Isi dukungan dalam kerangka kampanye merupakan buah pikir dari pendukungnya yang terambil dari proses berpikir. Berpikir (thought) menurut Merriem-Webster Dictionary adalah the act or process of thinking atau the act of carefully thinking about the details of something.

Berpikir merupakan sebuah proses. Proses dari Merriem-Webster Dictionary adalah a series of actions that produce something or that lead to a particular result atau a series of changes that happen naturally. Proses berpikir tidak terjadi seketika dan tidak ada secara tiba-tiba, namun ada suatu rangkaian tindakan (berpikir). Tindakan berpikir meliputi ketersediaan informasi dalam jumlah yang mencukupi dan berimbang, pengolahan informasi baik dengan membandingkan, memilah atau menganalisis. Kemudian muncul hasil berpikir yang dapat berupa sebuah kesimpulan dalam suatu pernyataan. Pernyataan inilah yang menjadi isi dukungan kepada salah satu pasangan.

Substansi dukungan tanpa proses berpikir akan mengarah pada sebuah stereotype yaitu to believe unfairly that all people or things with a particular characteristic are the same. Meski stereotype dapat merujuk pada hasil pengalaman, dan kemudian dikembangkan sebagai hasil berpikir namun arahnya adalah tuduhan yang sifatnya subyektif.

Yang menjadi masalah adalah apabila isi yang disampaikan bukan dari hasil buah pikir. Parahnya isi dukungan dikategorikan sebagai noumenon, sesuatu yang hadir tanpa sebab-akibat. Dalam gradasi yang lebih bawah dari noumenon adalah hasil dari sebuah tebakan berdasarkan intuisi capres loversnya. Intuisi capres lovers yang tidak didukung oleh data atau informasi yang obyektif akan mengarah pada fitnah (gibah). Fitnah inilah yang harus dihindari oleh bangsa Indonesia, karena dapat mengarahkan pada pemecah-belahan.

Noumenon dari pilpres ini (dan setiap pemilihan pemimpin negeri ini) adalah keadilan. Keadilan menjadi utopis ketika ternyata sang terpilih tidak mampu mendekatkan masyarakat pada keadilan. Artinya pemilih terbujuk dan kapasitas sang terpilih ternyata tidak mumpuni untuk mewujudkan keadilan. Dan ini terus berulang, apakah dalam pilpres 2014 akan terulang kembali? Capres lovers-lah yang menentukan. Selamat berpilpresphoria!!

Monday, June 30, 2014

Hermeneutika Hukum: Penemuan Hukum atau Penafsiran Hukum?


Hermeneutika Hukum: Penemuan Hukum atau Penafsiran Hukum?[1]

Yakub Adi Krisanto

Pengantar

Hukum menjadi kajian yang menarik terkait dengan substansi didalamnya, dan keberadaannya dalam sudah masyarakat. Substansi hukum dalam teks tertulis tidak hanya dipahami sebagai perintah dan larangan, sebagaimana dianut oleh aliran legisme atau positivisme. Hukum mewakili suara jamannya dan mampu melampaui masanya untuk diterapkan sebagai pemecah masalah yang dihadapi masyarakat. Keberadaan hukum berkaitan dengan keberlakuannya. Hukum yang hidup tidak sekedar hukum yang masih berlaku, melainkan hukum yang ditaati/dipatuhi oleh masyarakat. Termasuk bagaimana hukum mengalami modifikasi oleh masyarakat, beradaptasi dengan pemahaman masyarakat yang berkaitan dengan kultur dan sikap hidup masyarakatnya.

Adagium het recht hinkt achter de faiten aan menemukan titik relevansinya ketika hukum yang dibuat sebelum suatu masalah (hukum) terjadi harus menyelesaikan atau memberikan solusi atas masalah yang terjadi setelah hukum tersebut dinyatakan berlaku. Hukum disampaikan melalui wahana bahasa menjadi tanda yang mewakili dua pihak yaitu antara lain pembuatnya (legislative atau hakim), dan kondisi masyarakat (baik ekonomi, social, politik atau budaya). Masing-masing pihak terdiri dari multi-aktor yang memegang kekuatan atas kepentingan keberlakuan hukum. Bahasa hukum yang digunakan diresapi oleh asas hukum dengan menampilkan diri dalam kaidah hukum.

Meuwissen membedakan dua bahasa yuridikal yaitu langage des juristes dan langage des droits.[2] Langage des juristes merupakan bahasa yang digunakan dalam filsafat hukum, teori hukum dan ilmu hukum, sedangkan langage des droits adalah bahasa hukum otentik dalam peraturan perundang-undangan atau akta notarial. Bahasa yuridikal memiliki karakteristik yang pembacaan atas teks tidak hanya sekedar membutuhkan penafsiran semata, melainkan penafsiran yang dihasilkan dari pemahaman dari kedalaman teks yang digunakan. Dalam hal pembuktian akta otentik nampak bahwa meskipun akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna (Pasal 1870 KUHPerdata). Kesempurnaan kekuataan pembuktian ini terdapat batasan yaitu ‘bila dituturkan (dalam akta) mempunyai hubungan langsung dengan isi akta (Pasal 1871 KUHPerdata).’

Hakim yang bertugas menyelesaikan sengketa akan melihat kembali akta otentik yang diajukan sebagai alat bukti dengan melihat ketentuan Pasal 1871 KUPerdata. Artinya bahwa hakim akan melakukan pembacaan atas teks di akta otentik. Pembacaan tersebut tidak hanya terhadap bunyi teks (untuk melihat hubungan antara yang dituturkan dengan isi akta), melainkan juga keterkaitannya dengan kasus hukum yang diajukan ke depan hakim. Demikian pula pada ketentuan mengenai penafsiran persetujuan, dalam Pasal 1343 KUHPerdata dinyatakan ‘jika kata-kata suatu persetujuan dapat diberi tafsiran, maka lebih baik diselidiki maksud kedua belah pihak yang membuat persetujuan, daripada dipegang teguh arti kata menurut huruf.’ Pasal 1344  - 1346 KUHPerdata menentukan apabila terdapat dua arti dari suatu kata/teks dalam persetujuan maka pengartian atas kata tersebut didasarkan pada arti yang mungkin dilaksanakan, paling sesuai dengan sifat perjanjian dan menurut kebiasaan di tempat persetujuan tersebut dibuat.

Teks dalam bahasa dapat melahirkan banyak arti dari tafsiran yang dilakukan oleh pengemban hukum. Bahkan hukum-pun memiliki banyak arti dan definisi,dilihat dari ketiadaan keseragaman definisi hukum yang dilontarkan oleh para ahli hukum. Bunyi teks undang-undang yang memiliki keberlakuan politik dan bersifat otoritatif. Perbuatan melawan hukum yang terdapat dalam tindak pidana korupsi di UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001[3], Mahkamah Konstitusi membatalkan penjelasan Pasal 2 ayat (1) sepanjang yang mengenai pengertian perbuatan melawan hukum dalam arti materiil. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006 tertanggal 25 Juli 2005 menyatakan pengertian perbuatan melawan  secara materiil bertentangan dengan UUD 1945.

Dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memuat penafsiran terhadap dua hal pertama, bahwa perbuatan melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dibatasi pada pengertian yang formil. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor telah menerapkan pengertian perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) yang dikenal di bidang hukum perdata diterapkan dan menjadi ukuran pada perbuatan melawan hukum dalam pidang pidana (wederrechtelijkheid). Kedua, terjadi ‘pelurusan’ terhadap norma baru yang terdapat dalam UU Tipikor. Bahwa dengan perluasan pengertian perbuatan melawan hukum maka terbitlah norma baru dari penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor. Penjelasan bukan menjadi tempat untuk memunculkan norma baru, melainkan berfungsi untuk menjelaskan substansi norma yang terdapat dalam pasal, apalagi memuat norma baru yang bertentangan dengan norma yang dijelaskan.

Perbuatan tidak menyenangkan yang semula menjadi delik pidana berdasarkan Pasal 335 ayat (1) KUHP dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan dibatalkan keberlakuannya. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 1/PUU-XI/2013 menyatakan bahwa frasa ‘sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan’ telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang memberi peluang terjadinya kesewenang-wenangan bagi penyidik dan penuntut umum. Ketidakpastian hukum dan ketidakadilan ini dapat terjadi karena kriteria yang digunakan akan cenderung bersifat subyektif dan hanya akan didasarkan pada penilaian korban, penyidik dan penuntut umum. Mahkamah Konstitusi memberikan penafsiran baru atas Pasal 335 ayat (1) angka 1 KUHP berdasarkan asas kepastian hukum dan keadilan, kemudian menghapusnya karena bertentangan dengan prinsip konstitusi yang menjamin perlindungan atas hak untuk mendapatkan kepast.ian hukum yang adil dalam proses penegakan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945

Dalam hukum persaingan usaha, Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat[4] mengatur bahwa ’pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk mengatur dan atau pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat’ telah mengalami pemaknaan dari Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Pasal ini dalam penerapannya pada kasus-kasus persekongkolan memunculkan modifikasi definisi persekongkolan yang semula diatur pada Pasal 1 angka  8 UU Persaingan Usaha. Persekongkolan menurut pasal tersebut adalah bentuk kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol. Perkembangan definisi persekongkolan mengikuti kasus-kasus yang ditangani oleh KPPU yang berbeda dari definisi pada Pasal 1 angka 8 UU Persaingan Usaha (lihat table).

Perkembangan Definisi Persekongkolan[5]

Putusan KPPU No. 07/KPPU-L-I/2001
Putusan KPPU No. 08/KPPU-L-I/2001 jo No. 09/KPPU-L/2001
Putusan KPPU No. 03/KPPU-I/2002
Putusan KPPU No. 07/KPPU-L/2003
Kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pihak lain secara terang-terangan maupun rahasia atas inisiatif pelaku usaha maupun pihak lain tersebut dapat berupa pemberian kesempatan eksklusif oleh Penyelenggara Tender atau pihak terkait secara langsung atau tidak langsung dengan melawan hukum kepada pelaku usaha yang mengikuti Tender sebelum penentuan Pemenang Tender.
Kerjasama antara pelaku usaha dengan pihak lain baik atas inisiatif pelaku usaha dan atau pihak lain secara terang-terangan maupun diam-diam melalui tindakan penyesuaian dan atau membandingkan dokumen sebelum penyerahan dan atau menciptakan persaingan semu dan atau menyetujui dan atau memfasilitasi dan atau tidak menolak melakukan suatu tindakan meskipun mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk mengatur dalam rangka memenangkan peserta tender tertentu.
Kerjasama antara dua pihak atau lebih, secara terang-terangan maupun diam-diam melalui tindakan penyesuaian (concerted action) dan atau membandingkan dokumen tender sebelum penyerahan (comparing Bid prior to submission) dan atau menciptakan persaingan semu (sham competition) dan atau menyetujui dan atau memfasilitasi dan atau tidak menolak melakukan suatu tindakan meskipun mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk mengatur dalam rangka memenangkan peserta tender tertentu.
Kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pihak lain secara terang-terangan maupun rahasia atas inisiatif pelaku usaha maupun pihak lain untuk  kemenangan pihak tertentu berupa pemberian kesempatan eksklusif oleh penyelenggara tender kepada peserta tender secara langsung maupun tidak langsung dengan melawan hukum.
 

 

Bunyi teks dalam sebuah pasal dapat mengalami pemaknanaan yang berbeda dalam penegakan hukumnya. Pemaknaan ini menjadi tugas pengemban hukum untuk menautkan pasal-pasal yang akan digunakan dengan konteks isu-isu hukum yang membutuhkan penyelesaian masalah.[6] Dalam penyelesaian masalah inilah teks dari pasal menjadi obyek kajian untuk diterapkan pada kasus-kasus actual. Teks pasal yang memuat kaidah kemudian ditafsir baik dengan berbagai metode penafsiran maupun dikaitkan dengan asas-asas hukum yang menjiwai bunyi teks tersebut. Hal ini dilakukan karena bunyi teks menjadi tidak jelas atau membutuhkan pemahaman baru dalam rangka menyelesaikan masalah hukum yang dihadapi untuk menegakkan hukum.

Penemuan Hukum & Penafsiran Hukum

Sudikno Mertokusumo menyamakan pengertian penemuan hukum dan penafsiran hukum. Bahwa dalam penemuan hukum dilakukan dengan metode penafsiran (interpretasi).[7] Penafsiran oleh hakim harus menuju kepada penerapan (atau tidak menerapkan) suatu peraturan hukum umum terhadap peristiwa konkrit yang dapat diterima oleh masyarakat.[8] Penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim, atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa hukum konkrit.[9] Sebagai proses pembentukan hukum, maka penemuan hukum adalah konkretisasi atau individualisasi persaturan hukum (das sollen) yang bersifat umum denagn mengingat akan peristiwa konkrit (das sein) tertentu.[10]

Penemuan hukum dari berbagai pendapat dapat dikemukakan sebagai berikut, pertama, merupakan penerapan peraturan pada peristiwa konkrit atau fakta. Kedua, dilakukan ketika harus menemukan hukum karena peraturannya tidak jelas atau menemukan hukum dengan cara pembentukan hukum karena tidak terdapat peraturan.[11] Dalam hal ini muncul dua istilah yang nampak sama yaitu penemuan hukum (rechtvinding) dan pembentukan hukum (rechtvorming). Menurut Bambang Sutiyoso demikian,

Istilah penemuan hukum (rechtvinding) dengan pembentukan hukum (rechtvorming) dapat memunculkan polemic dalam penggunaannya. Meskipun demikian keduanya mempunyai perbedaan antara satu dengan yang lain. Istilah rechtvinding dalam arti bahwa bukan hukumnya tidak ada, tetapi hukumnya sudah ada, namun masih perlu digali, dicari dan diketemukan, sedangkan istilah rechtvorming dalam arti hukumnya tidak ada, oleh karena itu perlu ada pembentukan hukum, sehingga di dalamnya terdapat penciptaan hukum juga.[12]

Pembentukan hukum tidak berarti bahwa tidak ada hukumnya sama sekali, melainkan belum tertuang dalam kaidah-kaidah hukum. Asas-asas hukum menjadi petunjuk untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Tugas hakim mengaktualisasikan asas-asas tersebut dengan menggunakan berbagai metode kajian. kemudian pembentukan hukum terjadi ketika putusan hakim hadir untuk menyelesaikan masalah.[13] Putusan hakim adalah (sumber) hukum. Sehingga dalam hal ini, pembentukan hukum sama dengan proses legislasi yang menghasilan undang-undang namun dilakukan oleh hakim.

Penafsiran hukum menjadi bagian dari penemuan hukum. Penafsiran hukum menjadi metode penemuan hukum yang digunakan dalam menerapkan hukum (das sollen) pada peristiwa konkrit (das sein). Terdapat berbagai metode penafsiran yaitu interpretasi gramatikal, sistematis, historis dan teleologis. Berbagai metode penafsiran digunakan tidak terpisah, melainkan seringkali bersama-sama (lebih dari satu atau semua digunakan) ketika melakukan penemuan hukum.

 

 

Hermeneutika Hukum

Jazim Hamidi menempatkan hermeneutika hukum sebagai teori penemuan hukum baru.[14] Bahkan Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa hermeneutika hukum sudah dikenal pada abab 19 sebagai ajaran penemuan hukum atau ajaran penafsiran hukum yang dikenal dengan hermeneutika yuridis.[15] Bahkan Jazim Hamidi dalam uraiannya tentang hermeneutika hukum mengajukan 11 (sebelas) metode penafsiran atau interpretasi hukum.[16] Berdasarkan hal tersebut apakah perbedaan hermeneutika hukum dengan penemuan hukum? Ataukah memang hermeneutika hukum sebagaimana dikemukakan Jazim Hamidi merupakan teori penemuan hukum baru?

Gerald Bruns menjelaskan mengenai posisi hermeneutika hukum sebagai berikut,

Adapun mengenai hukum, kita bisa mengawalinya dengan ketentuan bahwa hermeneutika tidak memandang hukum dalam kaitannya dengan urusan konseptual atau metodologis seperti yang dipegang oleh para teoretisi hukum, apalagi dalam kaitannya dengan persoalan strategi hukum atau praktik yudisial; melainkan yang menjadi perhatian hermeneutika adalah kondisi-kondisi di mana semua urusan ini dijalankan. Bisa dikatakan bahwa minat hermeneutika lebih bersifat ontologis dan bukan bersifat teknis. Dalam pengertian seperti ini, ‘hermeneutika hukum’ tidak akan sama pengertiannya dengan teori hukum. Sebaliknya, hermeneutika cenderung agak liar atau bebas dalam pemikirannya mengenai hukum (atau pokok bahasan apapun). Hal inilah yang agaknya terjadi ketika kita sampa pada persoalan mengenai hukum dan bahasa, atau yang dalam hermeneutika disebut sebagai linguistikalitas (sprachlickeit) hukum.[17]

Hermeneutika hukum berkaitan dengan ontology hukum maka hukum tidak dapat direduksi sebagai produk politik semata. Melainkan hukum adalah produk kebudayaan baik sebagai mahluk social maupun individu.[18]

Hukum adalah realitas. Realitas hukum dapat mewujud dalam berbagai bentuk baik tertulis maupun tidak tertulis. Bahwa realitas hukum merupakan sebuah kebenaran menjadi keniscayaan yang tidak terbantahkan. Hermeneutika hukum menempatkan pencarian kebenaran (dan keadilan) menjadi sebuah kehakekatan dengan menggunakan tafsir atas teks. Theo Huijbers membagi tiga bentuk penafsiran dalam upaya menafsirkan undang-undang yaitu penafsiran penambah, penafsiran pelengkap dan penafsiran budaya.[19] Ketiga bentuk penafsiran tersebut akan mendekatkan penemuan hukum dalam perspektif hermeneutika hukum.

Hermeneutika hukum yang berasal dari hermeneutika yang diartikan sebagai proses mengubah sesuatu atau sistuasi ketidaktahuan menjadi mengerti.[20] Hermeneutika berhubungan dengan bahasa[21], dan disinilah letak keterkaitan dengan hukum yang mengalami transliterasi dari ide menjadi teks.

Interpretasi terhadap hukum selalu berhubungan dengan isinya. Setiap hukum mempunyai dua segi yaitu yang tersurat dan yang tersirat, atau bunyi hukum dan semangat hukum. Dua hal itu selalu diperdepatkan oleh para ahli hukum. Dalam hal ini bahasa menjadi penting. Subtilitas intellegendi (ketepatan pemahaman) dan subtilitas explicandi (ketepatan penjabarannya) adalah sangat relevan bagi hukum. Hermeneutic mau tidak mau dibutuhkan untuk menerangkan dokumen hukum.[22]

Teks menjadi bagian dari bahasa, penafsiran teks (hukum) membutuhkan ketepatan pemahaman dan penjabaran ketika dilakukan penemuan hukum oleh para pengemban hukum. Untuk itulah penafsiran teks membutuhkan penafsiran budaya yaitu penafsiran perkara-perkara dibawah pengaruh keyakinan-keyakinan suatu masyarakat tertentu. Keyakinan demikian tidak bersifat politik, melainkan social-etis, menyatakan apa dalam suatu masyarakat tertentu dianggap layak apa tidak.[23] Keberhasilan melakukan penafsiran dari perspektif hermenutika terletak pada talenta bahasa dan talenta pengetahuan individu.[24]

Paul Ricoeur menjelaskan mengenai hermeneutika sebagai teori tentang kaidah-kaidah yang menata sebuah eksegesis atau sebuah interpretasi teks particular atau kumpulan potensi tanda-tanda keberadaan yang dipandang sebagai sebuah teks.[25] Hermeneutika yang berfungsi sebagai metode penafsiran mempunyai tugas mengungkapkan dengan membawa keluar atau mengeluarkan potensi makna dari teks untuk menangkap inti pesan yang disampaikan melalui teks.[26]

Terdapat 10 (sepuluh) pengalaman hermeneutis yang menjadi bagian dari tesis tentang interpretasi yaitu pertama, pengalaman hermeneutis bersifat historis. Kedua, pengalaman hermeneutis pada dasarnya bersifat linguistic. Ketiga, pengalaman hermeneutis bersifat dialektis. Keempat, pengalaman hermeneutis bersifat ontologis. Kelima, pengalaman hermeneutis merupakan sebuah peristiwa bahasa. Keenam, pengalaman hermeneutis itu obyektif. Ketujuh¸ pengalaman hermeneutis harus dibimbing oleh teks. Kedelapan, pengalaman hermeneutis memahami apa yang dikatakan menurut keadaaan sekarang. Kesembilan, pengalaman hermeneutis merupakan penyingkapan kebenaran. Kesepuluh, estetik harus ditetapkan di dalam hermeneutika.[27]

Kesimpulan

Hermeneutika hukum menjadi bagian dari cara melakukan penafsiran dengan melakukan pendalaman atas teks (hukum). Dengan melibatkan kajian terhadap bahasa dan potensi-potensi kebahasaan yang terkandung dalam teks, pembacaan teks pasal dapat mendekatkan diri pada maksud pembentuk undang-undang. Demikian juga membantu pengemban hukum dalam membaca teks dengan mempertimbangkan potensi kebahasaan dalam teks, namun juga suasana kebatinan dimana teks tersebut ditafsirkan.

Dalam hal demikian kajian terhadap hermeneutika hukum sebagai metode penemuan hukum tidak dapat dilepaskan dari semiotika hukum. Dalam semiology akan mengeksplorasi makna terkait dengan signifikansi social-politis, dan mengungkap obyek sebagai tanda yang menyembunyikan ‘mitos-mitos’ kultural yang berada dibelakangnya.[28] Semiology bertugas memeriksa berbagai tanda dalam teks untuk mengkarakterisasikan struktur-struktur dan mengidentifikasi makna-makna potensialnya.[29]

 



[1] Makalah disampaikan pada Diskusi Bulanan Kerjasama antara FH UKSW, PN Salatiga dan PN Mungkid di Salatiga, 13 Juni 2014.
[2] Arief Sidharta (Penerjemah), Meuwissen tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan Filsafat Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung, 2009, hal. 45.
[3] Selanjutnya disebut dengan UU Tipikor.
[4] Selanjutnya disebut dengan UU Persaingan Usaha.
[5] Yakub Adi Krisanto, Terobosan Hukum Putusan KPPU dalam Mengembangkan Penafsiran Hukum Persekongkolan Tender: Analisis Putusan KPPU terhadap Pasal 22 UU No. 5/1999 pasca Tahun 2006, Jurnal Hukum Bisnis Vol. 27 – No. 3 – Tahun 2008, hal. 63-85, ISSN: 0852/4912.
[6] Menurut Bambang Sutiyoso, dalam berpikir yuridis (het jurisdisch denken) memuat satu tugas yaitu memecahkan masalah-masalah hukum (Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum -  Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, UII Press, Jogjakarta, 2009, hal 26-27.) Bandingkan dengan pendapat Sudikno Mertokusumo, bahwa dalam ilmu hukum yang harus dipecahkan adalah masalah-masalah hukum, konflik hukum atau kasus hukum (Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Liberty, Yogyakarta, 2009, hal. 32.)
[7] Sudikno Mertokusumo, ibid. hal. 56.
[8] Ibid.
[9] Ibid. hal. 37.
[10] Ibid.
[11] Bambang Sutiyoso, loc. Cit. hal. 28-29.
[12] Ibid. hal. 31.
[13] Bandingkan dengan pendapat Paul Scholten dalam Arief Sidharta (Penerjemah), Struktur Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 203, hal. 63-68.
[14] Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum – Teori Penemuan Hukum Baru dengan Interpretasi Teks, UII Press, Jogjakarta, 2005, hal. 39-72.
[15] Sudikno Mertokusumo, loc.cit. hal. 37.
[16] Jazim Hamidi, op.cit. hal. 53-59.
[17] Gregory Leyh (Ed.), Hermeneutika Hukum – Sejarah, Teori dan Praktik, Nusa Media, Bandung, 2008, hal. 46.
[18] Sidharta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, 2013, hal. 64.
[19] Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1995, hal. 133-135.
[20] Sumaryono, Hermeneutik – Sebuah Metode Filsafat, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1993, hal. 24. Hermeneutik berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan.
[21] Ibid. hal. 26.
[22] Ibid. hal. 29.
[23] Theo Huijbers, op.cit. hal. 134-135. Bandingkan dengan ketentuan Pasal 1344  - 1346 KUHPerdata.
[24] Syafa’atun Al-Mirzanah dan Sahiron Syamsuddin (Ed.), Pemikiran Hermeneutika dalam Tradisi Barat – Reader, Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2011, hal. 16.
[25] Richard Palmer, Hermeneutika – Teori Baru Mengenai Interpretasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal. 47.
[26] Eksegese berasal dari bahasa Yunani, exegeomai yang berart membawa keluar atau mengeluarkan.
[27] Richard Palmer, loc.cit. hal. 288-293.
[28] Roland Barthes, Elemen-Elemen Semiologi, IRCIsoD, Yogyakarta, 2012, hal. 7.
[29] Ibid. hal. 10.