Thursday, August 29, 2013

Bahaya Laten Diskriminasi Suku & Agama bagi Indonesia (2 Contoh Kasus di Jakarta dan Salatiga)

Ditengah hiruk pikuk politik, hukum dan ekonomi-perdagangan yang melahirkan diskusi hangat baik di media cetak maupun elektronik, terdapat dua kejadian yang mengganggu pondasi kebangsaan Indonesia. Pondasi kebangsaan yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan persatuan Indonesia. Kedua pondasi kebangsaan tersebut dijabarkan dalam bentuk perlindungan terhadap kemanusiaan dan khususnya bagi warga negara Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, “setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut.”

Bangsa Indonesia dengan keberagamannya menjadi dasar untuk melindungi warga negaranya dari perlakuan diskriminasi. Keberagaman yang dilatar belakangi oleh apapun tidak boleh menjadi alasan bagi sesama warga bangsa untuk melakukan diskriminasi. Hakekat bernegara sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia. Perlindungan ini menjadi manifestasi upaya menjaga Indonesia sebagai sebuah negara dengan kemajukan warga bangsanya. Kulminasi kesadaran berbangsa yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 berawal dari perjalanan perjuangan kemerdekaan yang sudah terbangun pada Sumpah Pemuda tahun 1928.

Diskriminasi karena perbedaan sudah sering menjadi berita bahkan tidak jarang terjadi solidaritas untuk bangsa lain melupakan perlakuan diskriminasi yang masih terjadi di dalam negeri. Dua kejadian yang dikemukakan di paragraph pertama tulisan ini memang tidak menghebohkan atau menjadi sorotan media cetak maupun elektronik. Namun peristiwanya dalam skala tertentu cukup menghebohkan, khususnya bagi keanekaraman Indonesia dan keindonesiaan itu sendiri. Dua peristiwa tersebut menjadi refleksi sekaligus benih pemberangusan kemajemukan Indonesia.
Description: http://stat.ks.kidsklik.com/statics/files/2013/08/13771101391343317593.jpgPertama, formulir administrasi kependudukan (adminduk) yang bermuatan SARA. Banyak pihak yang menulis bernuansa SARA, namun apabila melihat subsatansinya maka formulir tersebut sudah memuat diskriminasi suku dan agama. Formulir adminduk yang bermuatan SARA tersebut dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Salatiga c.q Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil). Dalam formulir tersebut terdapat tiga sesat pikir yang menjangkiti Pemkot Salatiga yaitu keturunan yang biasanya berkonotasi berkaitan dengan suku bangsa di Indonesia di campur adukkan dengan agama. Apakah pembuat konsep formulir ini tidak bisa membedakan antara konsep keturunan dengan agama? Konsep keturunan yang berkaitan dengan suku bangsa jauh lebih kompleks dibandingkan dengan konsep agama di Indonesia.

Sesat pikir selanjutnya adalah pembatasan agama yang dicantumkan dalam bagian keturunan hanya terbatas pada nasrani. Bagaimana  dengan agama-agama lain yang diakui negara? Di Indonesia, selain agama formal, terdapat agama local yang didasarkan pada keyakinan komunal tertentu di wilayah Indonesia. Agama-agama local tersebut berjuang agar eksistensinya juga diakui negara bersanding dengan agama formal. Artinya formulir adminduk tersebut hanya mengakui agama Nasrani dan mengesampingkan dengan mencampuradukan agama lain seperti Islam, Hindhu, dan Budha menjadi satu agama.

Sesat pikir yang lain adalah Pemerintah Kota Salatiga c.q Dinas Dukcapil mengesampingkan kenyataan bahwa di Salatiga terdapat berbagai macam suku yang berasal dari berbagai wilayah Indonesia. Dengan membatasi kolom keturunan yang menyebut Eropa dan Cina, maka seolah-olah tidak memberikan tempat bagi keturunan Batak, Ambon, Madura, Padang, Makassar, Manado, Papua, Sumba, Sunda, Aceh, Dayak dan suku bangsa lain yang tinggal di Indonesia. Seperti dikatakan sebelumnya bahwa konsep keturunan berkaitan dengan suku bangsa, dan suku bangsa di Indonesia, khususnya yang berada di Kota Salatiga sangatlah beragam.

Sesat pikir ini menjadi bahaya laten di Pemkot Salatiga yang dapat memicu lahirnya bentuk-bentuk diskriminasi warga negara lain. Kota Salatiga yang dikenal sebagai Indoensia Mini-nya, ternyata terdapat perspektif berpikir yang mendegradasi keIndonesiaan dan menciderai keberagaman.  Meskipun Kepala Dinas Dukcapil berdalih bahwa formulir tersebut berdasarkan Permendagri No. 28 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil di Daerah, namun dalam Permendagri tersebut tidak mengatur mengenai kolom keturunan yang digunakan di Kota Salatiga. Bahwa apabila benar mengacu pada Permendagri No. 28 Tahun 2005 maka Pemerintah Indonesia telah melakukan diskriminasi secara nasional dan melanggar UUD 1945 dan dasar negara Pancasila. Apabila ternyata formulir tersebut hanya terdapat di Kota Salatiga maka Walikota Salatiga c.q Kepala Dinas Dukcapil telah melakukan pembohongan public.

Kedua, penolakan lurah Lenteng Agung, Susan Jasmine Zulkifli oleh sekelompok warga karena masalah perbedaan agama. Sekelompok warga tersebut menolak lurah tersebut karena yang bersangkutan beragama minoritas (Kristen) ditengah masyarakat yang mayoritas Islam. Dasar penolakan ini menjadi bahaya dan serius bagi Indonesia apabila secara massif dan sistematis masyarakat mayoritas menolak pemimpin pemerintahan dari agama minoritas. Dengan kata lain bahwa dalam sebuah wilayah dengan mayoritas agama tertentu haruslah penyelenggara pemerintahannya beragama sama dengan mayoritas agama. Warga negara yang beragama minoritas tidak memiliki kesempatan untuk tampil sebagai pemimpin. Apakah Indonesia yang demikian yang dibentuk oleh para pendiri bangsa ini?

Dua contoh kasus diatas menjadi pembelajaran berharga bagi perjalanan berbangsa dan bernegara dari Ibukota dan kota kecil di Jawa Tengah. Kelompok yang sectarian lupa atau tidak tahu mengenai perjalanan sejarah bangsa ini yaitu bahwa sumpah pemuda dilaksanakan di rumah warga yang beretnis Cina, Kawilarang seorang Kawanua menjadi Panglima Divisi di Sumatera Utara, seorang Tapanuli Nasution menjadi Panglima Divisi Siliwangi. Kesadaran bahwa Indonesia dibangun oleh kelompok tunggal secara agama maupun suku harus diketahui oleh seluruh bangsa Indonesia. Indonesia tidak hadir hanya melayani agama atau suku tertentu. Karena dipastikan apabila Indonesia hanya untuk satu agama atau satu suku, maka Indonesia akan memudar dan menjadi tiada di muka bumi ini. Dalam hal ini, pemerintah menjadi actor penting untuk menjaga Indonesia yang menaungi dan melindungi seluruh suku dan agama yang berada di Indonesia.


Kebijakan Ekonomi, Media & Korupsi

Hasil pengamatan sekilas terhadap 3 (tiga) media online dalam dua hari ini menunjukkan bahwa mereka tergagap dengan berita ekonomi yang berkaitan dengan pertama, menurunnya nilai tukar nilai rupiah terhadap dollar yang sudah menembus jauh batas psikologis. Nilai tukar rupiah terhadap dollar sudah mencapai Rp. 11.900/US$. Kedua, nilai harga saham yang juga terjun ke titik terendah. Ketiga, ironi impor beberapa kebutuhan masyarakat. Solusi impor yang diusulkan pemerintah ketika harga kebutuhan tersebut merangkak naik atau pemerintah gagal menahan laju tingginya harga barang tersebut. Daging sapi dan kedelai menjadi contoh muktahir untuk menunjukkan bahwa pemerintah kurang kreatif dalam menuntaskan permasalahan tingginya harga kedua barang tersebut.

Ketergagapan media untuk bisa mengawal 4 paket kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk menstabilisasi ekonomi khususnya melemahnya nilai tukar rupiah, ketika harus mengelaborasinya dalam bahasa yang dipahami public. 4 paket kebijakan tersebut adalah pertama, focus untuk memperbaiki neraca transaksi berjalan dengan cara mendorong ekpor. Kebijakan ini ditempuh dengan cara memberikan tambahan pengurangan pajak untuk sektor padat karya yang memiliki ekspor minimal 30% dari total produksi. Kemudian, menurunkan impor migas dengan meningkatkan porsi penggunaan biodiesel dalam versi solar, sehingga mengurangi konsumsi solar yang berasal dari impor. Selanjutnya¸ menetapkan pengenaan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) yang berasal dari barang impor seperti mobil, barang bermerek menjadi 125-150%.

Kedua, menjaga pertumbuhan ekonomi. Ketiga, menjaga daya beli masyarakat dan tingkat inflasi. Keempat, mempercepat investasi (m.news.viva.co.id/news/read/438632-empat-jurus-pemerintah-untuk-stabilisasi-ekonomi). Ketergagapan media terjadi ketika harus menerjemahkan 4 paket kebijakan kepada masyarakat luas. Dimana 4 paket tersebut masih bersifat ‘abstrak’ meski sudah memuat kejelasan. Keabstrakan tersebut berkaitan dengan langkah konkrit yang akan ditempuh pemerintah untuk menguatkan nilai tukar rupiah. Masyarakat membutuhkan jaminan politik dari pemerintah bahwa 4 paket kebijakan tersebut akan berjalan sesuai rencana.

Dalam hal ini media memiliki peran penting untuk menajamkan keempat paket kebijakan tersebut agar rasional-solutif dengan melibatkan pelaku usaha, ekonom atau akademisi. Penajaman tersebut sebagai sarana membahasakan kembali dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh public yang mengalami kegalauan berkaitan dengan melemahnya nilai tukar dan naiknya harga kebutuhan pokok sepert daging sapi dan kedelai. Multiplier effect dari pelemahan nilai tukar harus diwaspadai, ditambah dengan solusi yang melahirkan ketergantungan atas impor juga membahayakan ketahanan ekonomi perdagangan nasional.

Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar menjadi salah satu indicator rapuhnya fundamental perekonomian Indonesia. Kerapuhan ini tidak seperti yang digembar-gemborkan pemerintah selama ini. Keempat paket kebijakan tersebut menjadi jawaban sekaligus ‘kelemahan’ yang hendak ditambal. Kelemahan tersebut menjadi indikasi kerapuhan fundamental ekonomi akibat rendahnya ekspor Indonesia atau derasnya arus masuk barang impor. Tidak hanya berkaitan dengan impor BBM, melainkan bahwa solusi yang sering dikemukakan pemerintah ketika harga barang merangka naik dan mengalami kesulitan untuk dikendalikan adalah impor.

Kebijakan impor telah menjadi entry point dari korupsi di republic ini.  Sebagaimana di tunjukkan dari kebijakan impor daging sapi, terungkap oleh KPK terdapat korupsi di dalamnya. Dan korupsi impor daging sapi dapat menjadi puncak gunung es korupsi kebijakan impor di negeri ini. kebijakan impor atas barang tertentu harus dicurigai terdapat rantai korupsi yang melibatkan tidak hanya eksekutif, melainkan juga legislative dan pelaku usaha. Dalam hal demikian maka, kebijakan impor menjadi modus baru korupsi di negeri ini baik yang dilakukan dengan cara suap maupun gratifikasi ataupun mark-up harga untuk meningkatkan margin profit para pelaku yang terlibat dalam impor.

Peran penting media sebagai ‘penerjemah’ kebijakan pemerintah akan membantu mencerdaskan masyarakat agar melek politik ekonomi dan perdagangan. Bahwa selama ini dengan derasnya arus informasi yang berkaitan dengan dunia politik dan hukum telah berhasil mencerdaskan rakyat dengan indikasi fasihnya masyarakat membahas masalah politik dan hukum. Bahkan mampu membangun analisis berdasarkan pemberitaan media dalam sebuah obrolan warung kopi atau diskusi di poskamling. Analisis masyarakat terkadang tidak kalah tajam dengan nara sumber terkenal yang sering tampil di televisi. Pendapat dinyatakan secara lugas sebagai wacana dalam dialog antar warga.

Di bidang ekonomi-perdagangan, penjelasan dari media baik ulasan dari dewan redaksi maupun pendapat yang berasal dari nara sumber perlu dilakukan. Ungkapan ‘luweh enak jamanku’ dengan gambar Presiden Soeharto menunjukkan bahwa masyarakat belum paham mengenai kondisi perekonomian nasional. Yang diketahui masyarakat adalah pada jaman orde baru, harga kebutuhan pokok murah dan terjangkau. Dan berbeda dengan kondisi pasca tergulingnya Soeharto pada tahun 1998 yang terus merangkak naik harga kebutuhan pokok. Peran media saat ini adalah mencerdaskan pemahaman masyarakat mengenai perekonomian nasional, termasuk didalamnya mengawal dan mengkritisi kebijakan di bidang ekonomi-perdagangan.

Selama kurun waktu 3 (tiga) kali pemilu, menjadi manifestasi kebebasan politik bangsa Indonesia. Namun secara ekonomi, perjuangan untuk meraih ketahanan ekonomi nasional sedang dimulai. Politik dan hukum telah menyita focus perhatian bangsa ini, dan perekonomian selain bangsa ini sudah sangat cinta uang dengan menguatnya konsumerisme telah lama diabaikan. Masalah kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok hanya disodorkan solusi impor. Solusi tersebut menunjukkan lemahnya kita sebagai bangsa yang berdikari dan kekurangan ketajaman dalam mencari alternative solusi dari hasil olah pikir pemimpinnya. Politik dan hukum tanpa ditopang dengan perekonomian yang kuat akan melahirkan konflik dari hasil kebebasan yang dijamin oleh demokrasi.