Ditengah
hiruk pikuk politik, hukum dan ekonomi-perdagangan yang melahirkan diskusi
hangat baik di media cetak maupun elektronik, terdapat dua kejadian yang
mengganggu pondasi kebangsaan Indonesia. Pondasi kebangsaan yang terdapat dalam
pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, dan persatuan Indonesia. Kedua pondasi kebangsaan tersebut
dijabarkan dalam bentuk perlindungan terhadap kemanusiaan dan khususnya bagi
warga negara Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, “setiap orang berhak bebas atas perlakuan
yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut.”
Bangsa
Indonesia dengan keberagamannya menjadi dasar untuk melindungi warga negaranya
dari perlakuan diskriminasi. Keberagaman yang dilatar belakangi oleh apapun
tidak boleh menjadi alasan bagi sesama warga bangsa untuk melakukan
diskriminasi. Hakekat bernegara sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945
adalah melindungi segenap bangsa Indonesia. Perlindungan ini menjadi
manifestasi upaya menjaga Indonesia sebagai sebuah negara dengan kemajukan
warga bangsanya. Kulminasi kesadaran berbangsa yang tertuang dalam Pembukaan
UUD 1945 berawal dari perjalanan perjuangan kemerdekaan yang sudah terbangun
pada Sumpah Pemuda tahun 1928.
Diskriminasi
karena perbedaan sudah sering menjadi berita bahkan tidak jarang terjadi
solidaritas untuk bangsa lain melupakan perlakuan diskriminasi yang masih
terjadi di dalam negeri. Dua kejadian yang dikemukakan di paragraph pertama
tulisan ini memang tidak menghebohkan atau menjadi sorotan media cetak maupun
elektronik. Namun peristiwanya dalam skala tertentu cukup menghebohkan,
khususnya bagi keanekaraman Indonesia dan keindonesiaan itu sendiri. Dua peristiwa
tersebut menjadi refleksi sekaligus benih pemberangusan kemajemukan Indonesia.

Sesat
pikir selanjutnya adalah pembatasan agama yang dicantumkan dalam bagian
keturunan hanya terbatas pada nasrani. Bagaimana dengan agama-agama lain yang diakui negara? Di
Indonesia, selain agama formal, terdapat agama local yang didasarkan pada
keyakinan komunal tertentu di wilayah Indonesia. Agama-agama local tersebut
berjuang agar eksistensinya juga diakui negara bersanding dengan agama formal. Artinya
formulir adminduk tersebut hanya mengakui agama Nasrani dan mengesampingkan
dengan mencampuradukan agama lain seperti Islam, Hindhu, dan Budha menjadi satu
agama.
Sesat
pikir yang lain adalah Pemerintah Kota Salatiga c.q Dinas Dukcapil
mengesampingkan kenyataan bahwa di Salatiga terdapat berbagai macam suku yang
berasal dari berbagai wilayah Indonesia. Dengan membatasi kolom keturunan yang
menyebut Eropa dan Cina, maka seolah-olah tidak memberikan tempat bagi
keturunan Batak, Ambon, Madura, Padang, Makassar, Manado, Papua, Sumba, Sunda,
Aceh, Dayak dan suku bangsa lain yang tinggal di Indonesia. Seperti dikatakan
sebelumnya bahwa konsep keturunan berkaitan dengan suku bangsa, dan suku bangsa
di Indonesia, khususnya yang berada di Kota Salatiga sangatlah beragam.
Sesat
pikir ini menjadi bahaya laten di Pemkot Salatiga yang dapat memicu lahirnya
bentuk-bentuk diskriminasi warga negara lain. Kota Salatiga yang dikenal
sebagai Indoensia Mini-nya, ternyata terdapat perspektif berpikir yang
mendegradasi keIndonesiaan dan menciderai keberagaman. Meskipun Kepala Dinas Dukcapil berdalih bahwa
formulir tersebut berdasarkan Permendagri No. 28 Tahun 2005 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil di Daerah, namun
dalam Permendagri tersebut tidak mengatur mengenai kolom keturunan yang
digunakan di Kota Salatiga. Bahwa apabila benar mengacu pada Permendagri No. 28
Tahun 2005 maka Pemerintah Indonesia telah melakukan diskriminasi secara
nasional dan melanggar UUD 1945 dan dasar negara Pancasila. Apabila ternyata
formulir tersebut hanya terdapat di Kota Salatiga maka Walikota Salatiga c.q
Kepala Dinas Dukcapil telah melakukan pembohongan public.
Kedua, penolakan lurah Lenteng Agung, Susan Jasmine Zulkifli oleh sekelompok
warga karena masalah perbedaan agama. Sekelompok warga tersebut menolak lurah
tersebut karena yang bersangkutan beragama minoritas (Kristen) ditengah
masyarakat yang mayoritas Islam. Dasar penolakan ini menjadi bahaya dan serius
bagi Indonesia apabila secara massif dan sistematis masyarakat mayoritas
menolak pemimpin pemerintahan dari agama minoritas. Dengan kata lain bahwa
dalam sebuah wilayah dengan mayoritas agama tertentu haruslah penyelenggara
pemerintahannya beragama sama dengan mayoritas agama. Warga negara yang
beragama minoritas tidak memiliki kesempatan untuk tampil sebagai pemimpin. Apakah
Indonesia yang demikian yang dibentuk oleh para pendiri bangsa ini?
Dua
contoh kasus diatas menjadi pembelajaran berharga bagi perjalanan berbangsa dan
bernegara dari Ibukota dan kota kecil di Jawa Tengah. Kelompok yang sectarian lupa
atau tidak tahu mengenai perjalanan sejarah bangsa ini yaitu bahwa sumpah
pemuda dilaksanakan di rumah warga yang beretnis Cina, Kawilarang seorang
Kawanua menjadi Panglima Divisi di Sumatera Utara, seorang Tapanuli Nasution
menjadi Panglima Divisi Siliwangi. Kesadaran bahwa Indonesia dibangun oleh
kelompok tunggal secara agama maupun suku harus diketahui oleh seluruh bangsa
Indonesia. Indonesia tidak hadir hanya melayani agama atau suku tertentu. Karena
dipastikan apabila Indonesia hanya untuk satu agama atau satu suku, maka
Indonesia akan memudar dan menjadi tiada di muka bumi ini. Dalam hal ini,
pemerintah menjadi actor penting untuk menjaga Indonesia yang menaungi dan
melindungi seluruh suku dan agama yang berada di Indonesia.