Monday, April 1, 2013

Catatan si-Idjon Dua (Tanggapan atas Pernyataan Kapolri)

Pasca penyerangan Lapas Cebongan yang menewaskan 4 tahanan Polda DIY  telah menghasilkan dua reaksi yaitu, tuduhan yang diarahkan ke institusi yang anggotanya menjadi korban pembantaian preman di kafe ternama di Yogyakarta dan diunggahnya catatan di jejaring sosial dengan akun bernama Idjon Djanbi. Reaksi yang kedua menjadi respon atas stigma publik terhadap institusi yang anggotanya menjadi korban pembunuhan dan begitu dipercaya publik tanpa menimbang berbagai kemungkinan lain. Ketidakrelaan atas tuduhan publik mendorong Idjon Djanbi untuk memberikan klarifikasi yang juga membuat pencerahan terhadap publik.

Keunikan dari cacatan si-Idjon ini adalah minimnya respon dari pihak pemerintah baik POLRI, TNI, atau Presiden RI. Minimnya respon ini menjadi tanda tanya atas kemungkinan kebenaran dari substansi catatan tersebut, selain merupakan manifestasi kehati-hatian merespon isi catatan tersebut. Kehati-hatian ini juga patut dipertanyakan, kecuali hendak melihat dari sisi positif bahwa penyelidikan sedang dilakukan. Bahkan POLRI mengerahkan Densus 88 untuk mengejar pelaku pembataian. Dititik inilah pesimisme publik muncul, yaitu ketika Densus 88 mengejar dan memergoki pelaku yang sudah distigma dari kesatuan khusus TNI AD akan melempem alias ciut nyali untuk berhadap-hadapan. Diharapkan kalau benar pengandaian tersebut, POLRI tetap berpihak atas nama hukum untuk melawan siapapun yang melanggar hukum (Fiat Justitia Ruat Coelum).

Ditengah minimnya respon atas catatan si-Idjon muncul pernyataan dari KAPOLRI pasca pembantaian 4 tahanan Lapas Cebongan yang perlu dicermati. Pertama, berkaitan dengan pelaku yang tidak berpenutup kepala alias tidak menggunakan sebo. POLRI sedang membuat sketsa wajah dari keterangan para saksi dan akan menyebarkan sketsa wajah tersebut. KAPOLRI tidak memberikan penjelasan lebih lanjut dari ciri-ciri kepala atau wajah pelaku yang dilihat oleh saksi. Kepala dan wajah seseorang apabila sesuai dengan stigma publik bahwa pelaku dengan motif balas dendam berasal dari kesatuan khusus TNI AD maka akan sudah terlihat jelas yaitu kepala plontos alias cepak ala militer pada umumnya. Demikian pula seandainya kepala dan wajah pelaku tersebut berasal dari aparat POLRI sebagaimana dituliskan oleh Idjon Djanbi pada catatannya.

Kepala dan wajah pelaku yang tidak ber-sebo dapat menjadi petunjuk awal siapa pelakunya. Karena dengan tidak menutup kemungkinan pelaku menggunakan wig, maka apabila berasal dari kesatuan khusus TNI AD akan membutuhkan waktu lama untuk tidak berpenampilan ala militer pada umumnya. Potongan rambut cepak atau plontos ala militer mudah teridentifikasi, dan menjadi informasi awal pelaku pembantaian. Dalam hal ini patut diduga bahwa kehati-hatian KAPOLRI berkaitan dengan kebenaran dan ketidakbenaran isi catatan si-Idjon. Kebenaran dan ketidakbenaran tersebut memiliki implikasi politik atas dua institusi, TNI AD dan POLRI. Implikasi tersebut akan mampu menggemparkan dua institusi tersebut, minimal akan muncul kecaman publik yang keras.

Kedua, berkaitan dengan tanggapan KAPOLRI terhadap foto-foto yang disertakan dalam catatan si-Idjon. KAPOLRI menyatakan bahwa foto-foto tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan. Pernyataan tersebut dapat dimaknai dua hal yaitu terhadap fotonya an sich ataukah foto-foto tersebut bukan dirilis oleh pihak yang berwenang. Namun KAPOLRI tidak berani untuk menyatakan bahwa foto-foto tersebut adalah tidak benar atau merupakan hasil teknologi informasi, dalam bahas lain foto-foto tersebut hasil rekayasa dengan menggunakan photoshop atau photo editor. Dalam hal ini publik dapat menilai bahwa foto-foto yang disertakan dalam catatan si-Idjon memang berasal dari hasil jepretan atau dokumentasi si pemilik akun Idjon Djanbi.

Hasil dokumentasi si-Idjon patut diduga benar ketika KAPOLRI tidak berani memastikan ketidakbenaran foto-foto yang diunggah dalam catatan si-Idjon. Kemungkinan kebenaran inilah yang menjadi tantangan investigasi yang dilakukan oleh POLRI, karena akan berhadapan dengan kepercayaan publik yang sudah dibangun melalui catatan si-Idjon. Informasi yang berbeda jauh atau bertolak belakang dengan informasi yang sudah disampaikan dengan foto-foto yang hampir sama atau mirip-lah akan membangun ketidakpercayaan publik. Untuk itu nantinya penjelasan tim investigasi POLRI harus juga menyanggah foto-foto yang disampaikan si-Idjon dengan menampilkan foto-foto lain yang bukan hasil rekayasa POLRI.

Pasca pembantaian 4 tahanan POLDA di Lapas Cebongan memunculkan komplikasi setelah terbitnya catatan si-Idjon ini. Ketiadaan sanggahan dan belum adanya pernyataan resmi atas kemajuan penyelidikan yang dilakukan akan memantabkan penilaian di benak publik atas catatan si-Idjon. Pemerintah harus tampil secara berwibawa, dan jangan sampai kewibawaannya digerus oleh sebuah catatan yang nampak sangat rasional karena substansi dan sistematisasi penyampaian. Logika publik sedang dijungkir-balikkan disaat minimnya penjelasan pemerintah atas tragedi Lapas Cebongan. Catatan si-Idjon yang bergerilya di kalangan kelas menengah jangan dipandang sebelah mata. Kelas menengah dengan daya nalar yang kritis tidak mudah di distorsi oleh pernyataan kabur dan mengambang.

Pertaruhan atas kewibawaan pemerintah (baca:SBY) menjelang pemilu 2014 akan dikenang publik. Jatuhnya wibawa pemerintah berada diatas sebuah cacatan di jejaring sosial. Bahkan POLRI-pun tidak mengeluarkan pernyataan untuk menelusuri akun jejaring sosial, padahal POLRI memiliki unit cyber crime yang paling handal di ASEAN. Penelusuran dilakukan atas lokasi pengunggahan catatan tersebut, dan menelusurinya dengan mengirim unit khusus untuk melacak. Ataukah ini yang sedang dilakukan POLRI dan menyembunyikan dari pandangan publik karena daya kejut dari informasi yang dikumpulkan dan membahayakan kredibilitas POLRI atau instansi lain di luar POLRI.

Publik menunggu kejelasan atas pembantaian tersebut, karena berkaitan dengan penegakan hukum dan motif sebenarnya dari peristiwa tersebut. God bless Indonesia!