Monday, January 13, 2014

Aksi Cabut Paku di Salatiga (dari Salatiga untuk Indonesia)


Titiek Budiprihyanti's photo.
Pelestarian lingkungan hidup tidak hanya terbatas pada penanaman pohon (reboisasi) untuk menambah pasokan oksigen dan memperkuat kemampuan tanah menyerap air. Menjaga keberadaan pohon dari 'hama' pengganggu seperti terlihat pada gambar juga penting dilakukan. Rendahnya kesadaran atas pentingnya keberadaan pohon tidak hanya pada sebatas pentingnya menanam pohon untuk memperbanyak jumlah pohon, melainkan juga menjaga agar pohon tidak digunakan sebagai sarana mempromosikan produk.

Pohon menjadi media promosi yang mengganggu tumbuh-kembang pohon dan estika kota. Media promosi dengan menempelkannya dipohon sering menggunakan benda tajam seperti paku. Paku tersebut menjadi 'hama' yang dihasilkan oleh manusia. Pemanfaatan pohon sebagai media promosi secara berulang telah menjadikan paku adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pertumbuhan pohon. Selama bertahun-tahun pohon silih berganti tertempel media promosi, dan semakin banyak jumlah paku yang menancap dari tahun ke tahun.


Berdasarkan fakta diatas melahirkan keprihatinan masyarakat sipil kota Salatiga untuk mengambil bagian dalam menyelamatkan lingkungan hidup. Sebagai bagian dari kampanye 'Stop Memaku Pohon', masyarakat sipil kota Salatiga yang meliputi Palang Merah Indonesia (PMI) Salatiga, Salatiga Facebook Community (SFC), Salatiga Peduli, TRC, Radio Suara Salatiga dan Jaringan Salatiga Liberal (JSL)melakukan Aksi Cabut Paku.

Gagasan besarnya adalah ketika pohon sebagai penopang lingkungan dapat diselamatkan dari paku-paku yang menancap maka satu langkah kecil untuk menyelamatkan pohon dari siksa paku dapat dihentikan. Dengan langkah kecil ini, masyarakat sipil kota Salatiga sedang melakukan kampanye lingkungan hidup untuk melakukan tindakan serupa di kota-kota Indonesia. Ketika kampanye Aksi Cabut Paku di mulai dari Salatiga dan kemudian dilakukan oleh masyarakat sipil di kota-kota Indonesia maka berapa banyak jumlah pohon yang bisa dilestari-selamatkan.

Tri Sukrisdyanto's photo.Aksi cabut paku merupakan langkah kecil untuk tujuan besar. Penyelamatan pohon berarti menyelamatkan lingkungan hidup. Menyelamatkan lingkungan hidup adalah menjamin bahwa bumi ini terus layak dihuni oleh umat manusia dengan kualitas yang tetap menunjang keberlangsungannya.   Tri Sukrisdyanto's photo.Tri Sukrisdyanto's photo.

Rendahnya kesadaran pelaku usaha dalam berpromosi telah mengorbankan eksistensi pohon. Termasuk pemerintah melalaikan tanggung jawab untuk menjaga pohon dari 'hama' usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha. Maraknya pemakuan pohon sebagai media promosi usaha atau politik telah menjadikan pohon sebagai korban kebarbaran motif ekonomi dan politik manusia. Untuk itu perlu ada yang memulai penyadaran dengan aksi pencabutan paku di pohon. Kelompok masyarakat sipil menunjukkan kepedulian dengan langkah kecil melakukan pada hari Minggu, 12 Januari 2014 kemaren.

Tri Sukrisdyanto's photo.Aksi pencabutan paku yang dilakukan oleh kelompok masyarakat menghasilkan hampir 2 kg paku dan itu hanya meliputi sebagian kecil dari pohon-pohon yang berada di Salatiga. Seperempat ruas jalan Osamaliki, jalan Wahid Hasyim, jalan Kartini, jalan Laksamana Adi Sucipto membuktikan bahwa paku begitu banyak. Dengan tingkat kesulitan diatas rata-rata yaitu butuh usaha ekstra dan tidak cukup hanya menggunakan tang menunjukkan paku yang ditanam telah 'menyakiti' pohon dalam kurun waktu yang lama. Satu paku yang tertancap di pohon harus 'dikeroyok' 3-4 orang agar bisa dicabut dari pohon. Usaha ekstra tersebut terjadi hampir di setiap pohon yang ditemukan paku yang tertancap.

Aksi di Salatiga oleh beberapa kelompok masyarakat menjadi langkah awal untuk melakukan aksi selanjutnya. Karena masifnya pemakuan di pohon-pohon di wilayah Salatiga, butuh konsistensi dalam mencabuti paku. Dan dari hasil diskusi dengan para aktivis yang terlibat mereka hendak melanjutkan aksi cabut paku dalam waktu dekat dengan melibatkan banyak elemen masyarakat. Dari Salatiga untuk Indonesia hendak menularkan virus cinta lingkungan dengan menghilangkan paku dari batang pohon.

Masih Mandulnya Hukum & Lelapnya Masyarakat


Bagaimana menegakkan hukum agar berkeadilan? Ditengah maraknya korupsi di Indonesia, kontrol atau pengawasan menjadi penting. Korupsi yang dilakukan oleh para pejabat public bukan tanpa kesadaran bahwa public tidak akan mengamati. Atau menjadi bagian dari ketidaksadaran dari pejabat korup bahwa suatu saat public akan mampu mengindera korupsi yang dilakukan. Kepala daerah, anggota legislative daerah maupun pusat, menteri atau PNS yang terlibat korupsi melalaikan kemampuan masyarakat mengendus penyalahgunaan wewenang.

Terungkapnya korupsi banyak bermula dari laporan masyarakat yang disampaikan ke penegak hukum. Masyarakat sipil berperan, namun sejauh mana peran masyarakat sipil ini menyebar menjadi kesadaran kolektif untuk mengambil bagian dari upaya pemberantasan korupsi. Selain keberanian dan komitmen, tembok prosedur yang tertuang dalam sebaran peraturan menjadi penghalang membangun kesadaran masyarakat untuk ikut terlibat dalam pengawasan anggaran Negara.

Namun bagaimana mekanisme mengontrol hukum apabila masyarakat belum paham dan bahkan tidak mau untuk berbicara (melaporkan) setiap bentuk penyimpangan. Salah satu penyebabnya adalah system perlindungan bagi pelapor (whistle blower) atau perlindungan saksi belum maksimal melindungi mereka. Keterbukaan informasi public belum banyak dipahami oleh masyarakat dan lembaga penegak hukum berlindung atas dalih penyidikan.

Dobrakan dapat dimulai dari kesadaran kolektif yang tanpa lelah mendorong pengawasan penegakan hukum dan mengungkap praktek gelap transaksi hukum. Indonesia bebas korupsi masih jauh, sejauh terbentuknya kesadaran masyarakat untuk melakukan pengawasan public. Masyarakat mengandalkan KPK dalam menjerat koruptor, tanpa menyadari keterbatasan KPK untuk menjangku korupsi dalam penyelenggaraan negara di republic ini.

Masyarakat terlelap dalam gemerincing rupiah yang menjadi moda korupsi, terjebak pada komoditas hukum. Keterlelapan ini dimanfaatkan secara masih oleh bandit-bandit hukum, termasuk politisi yang memainkan multi peran dalam penegakan hukum. Hukum bekerja dari kebusukan ke kebusukan tanpa ada peluang menjadi baik, kecuali terdapat kesadaran hati nurani yang tercerahkan dari aparat penegak hukum.

Penegakan hukum menjadi berpihak kepada keadilan dan kebenaran ketika masyarakat melakukan pengawalan, dalam bentuk tekanan melalui media dan aksi unjuk rasa. Pengawalan atas penegakan hukum perlu dilakukan karena mudahnya hukum diselewengkan oleh penegaknya. Namun masyarakat yang apriori menjadikan pengawalan ini menjadi sulit. Ketidaksadaran kolektif atas potensi yang dimiliki masyarakat perlu di dobrak.

Tidak ada hukum yang tidak adil, semua hukum adalah adil. Yang tidak adil adalah pelaku hukum, dimana hukum melahirkan multi perspektif. Kesatuan perspektif yang terjadi saat ini adalah korupsi. Bunyi pasal bergemerincing bunyi rupiah, dan itulah dikerubuti para pencari keadilan. Hukum tidak hanya indah dalam teks, namun juga indah dalam bentuk rupiah dan menjadi malapetaka bagi kaum lemah tak berduit.

Hukum akan selalu tebang pilih ketika subyektifitas hukum berada dibalik kepentingan aparat penegak hukum. Subyektifitas hukum harus diletakkan pada rasionalitas hukum yang berbasis argumentasi untuk mendukung aksi subyektifitas tersebut. Argumentasi yang lemah bahkan tanpa dasar hukum menjadi pengabaian atas prinsip Negara hukum. Ketakberpijakan hukum menjadi embrio kesewenang-wenangan, bahkan akan lahir bahasa ketidakadilan dalam penegakan hukum.

Pandangan masyarakat atas hukum yang tebang pilih bertolak dari realitas hukum bahwa dalam hukum terdapat subyektifitas. bagaimana agar hukum tidak subyektif? Pandangan utilitarian dapat digunakan yaitu ketika hukum mendatangkan manfaat bagi sebanyak2nya masyarakat. Pertanyaannya adalah bagaimana apabila manfaat bagi banyak orang tersebut ternyata memuat perilaku korup? Pertanyaan ini menjadi penting sebagai antisipasi lahirnya tiran yang lahir dari pemilihan yang demokratis, dan memanfaatkan 'manfaat bagi banyak orang' untuk menarik simpati, namun mengangangi hukum.

Kerinduan atas pemimpin yang merakyat, membela rakyat dapat membuka peluang untuk mengesampingkan hukum apabila nalar public tidak dilatih untuk kritis. Nalar public yang sehat penting untuk terus menjaga kesadaran dalam mengawal setiap kebijakan dan penegakan hukum. Mengawal hukum harus diawal dengan membangun kesadaran masyarakat. Hukum yang tidak terkawal dengan baik akan terus melanggengkan korupsi di republic ini.