Tuesday, August 19, 2014

Membaca Hukum & Kematian Makna (Refleksi atas Hermeneutika Hukum)

Membaca hukum merupakan pekerjaan yang kompleks, melibatkan seluruh aspek kehidupan si pembaca. Inilah menariknya membaca hukum, yang seolah hanya membaca namun sebenarnya sedang mentransformasi pengalaman menyejarah manusia yang berkoeksistensi.Transformasi pengalaman dalam membaca hukum menentukan arah dan kerangka berpikir menafsirkan teks hukum. Pertama, karena kata selalu tidak bermakna tunggal. Kemajemukan makna adalah kekayaan dari kata, selain memampukan kata tersebut ditempatkan pada konteks yang dikehendaki penulis. Makna kata inilah yang memungkinkan interaksi antara penulis dengan pembaca.

Interaksi antara penulis dan pembaca bisa melalui kata melahirkan penafsiran yang tidak hanya didasarkan pada pembacaan si pembaca, melainkan rekontekstualisasi dari kata yang dimaknakan. Kata yang ditorehkan adalah kontekstualisasi penulis, kemudian dibaca dan melahirkan rekontekstualisasi yang didasarkan pada penafsiran pembaca. Kedua, penafsiran bukan hanya pembacaan atas teks (kata), melainkan refleksi dari olah pikir sekaligus mentransformasikan pengalaman pembaca dengan memasuki 'dunia' penulis dalam kata yang dibaca.

Hukum yang bermuatan nilai terbungkus dalam kaedah (hukum) menjadi pengatur perilaku individu. Membaca hukum berarti menggali nilai yang terkandung dalam bunyi pasal, mencari makna dari teks (menafsirkan) dan menerapkan pada situasi tertentu (rekontekstualisasi). Ketiga tindakan yang simultan dilakukan bersanding dengan transformasi pengalaman menyejarah pembaca. Pengalaman menyejarah ini bukan yang utama dalam membaca hukum, namun mempengaruhi pembacaan hukum. Persandingan inilah sebenarnya terjadi 'pertempuran intrinsik' pembaca, sebelum kemudian melahirkan pemaknaan atas teks yang dibaca.

Pertempuran intrinsic ini berada diranah bawah sadar, mengalir sampai muncul di pikiran bertemu dengan rasionalitas. Membaca hukum tidak sekedar berpikir, namun mempertemukan pengalaman dan pengalaman inilah yang memngaruhi penafsiran sebuah teks. Sehingga pada awalnya, membaca hukum adalah pertempuran nilai, yaitu nilai hukum yang ditetapkan dengan nilai individu yang dianut. Pertemuan inilah yang melahirkan corak penafsiran yang bisa berbeda satu dengan yang lainnya. Dengan tidak menutup kemungkinan, ketika nilai individu yang dianut sama maka akan menghasilkan penafsiran yang sama pula.

Pertanyaannya adalah apakah nilai hukum bermakna tunggal? Ataukah nilai hukum bermakna jamak dan ditentukan oleh referensi pribadi yang menafsirkan. Sehingga didalam membaca hukum, memaknai nilai hukum menjadi penting bahkan pondasi bagi penafsiran atas kaidah hukum. Apabila nilai hukum adalah keadilan maka arti nilai hukum adalah tunggal, namun arti keadilan sendiri tidak tunggal. Ketidaktunggalan makna keadilan inilah yang memperkaya tafsir atas nilai hukum itu sendiri, termasuk hasil penafsiran atas bunyi teks dalam pasal.

Kematian makna
Mungkinkah makna mengalami kematian ketika teks selalu dibaca dan ditafsirkan? Makna akan mengalami titik ajalnya apabila membaca teks tidak melahirkan pemaknaan baru atau rekontekstualisasi dari makna awal saat teks tersebut dituliskan. Kematian makna didahului dengan kemandegkan tafsir. Tafsir teks yang 'jalan ditempat' akan mengerdilkan teks itu, karena makna yang ajeg. Padahal situasi yang menjadi konteks dari makna tersebut mengalami perubahan (atau perkembangan).

Masyarakat mengalami perubahan. Jadi ketika membaca hukum tidak menghasilkan penafsiran makna yang sesuai dengan perubahan masyarakat maka teks akan mengalami kematian makna. Kematian makna atas teks hukum akhirnya akan menggiring pada kematian hukum itu sendiri. Dengan asumsi diatas bahwa membaca hukum adalah interaksi maka ketika makna yang dihasilkan ajeg maka sudah tidak terjadi interaksi lagi antara hukum dan masyarakat melalui pembacanya (pengemban hukum).

Dalam situasi demikian hukum mengalami alienasi. Keterasingan hukum dari masyarakat, sekaligus kegagalan pembaca melakukan rekontekstualisasi teks. Hukum yang terasing dari masyarakatnya akan menjadi hukum yang menjadi penghukum semata, tidak berhasil menjadi inspirator perubahan yang menggiring masyarakat ke arah yang lebih baik. Hukum yang terasing akan 'mimpes' atau menyusut baik dari sisi maknanya maupun keberlakuannya. Inilah kematian hukum. Ketika hukum sudah tidak lagi bisa dimaknakan dan keberlakuannya hanya sekedar menjadi penghukum dari perilaku masyarakatnya, hukum menjadi arogan dan otoriter.


Hukum yang demikian harus dijungkalkan. Penjungkalan ini dilakukan dengan kembali menginteraksikan hukum dengan kenyataan. Kalau tidak membuat hukum baru, maka menghidupkan hukum dengan penafsiran yang memperkaya makna dari teks. Apabila dilakukan maka akan disematkan tindakan demikian sebagai langkah revolusi, padahal tindakan tersebut bukan langkah revolusi hanya menafaskan teks dengan makna yang responsive dan progresif. Ini bukan langkah revolusi, hanya mengembalikan hukum kepada kedinamisannya. Yaitu membaca hukum dengan melibatkan interaksinya dengan situasi dimana hukum akan diterapkan. Dalam hal ini pengemban hukum harus memiliki kekayaan pengalaman menyejarah.

Pengalaman menyejarah dapat membantu membaca hukum. Membaca yang tidak sekedar mengeja, melainkan memberi makna kontekstual sesuai dengan kondisi masyarakat. Membaca hukum adalah membaca masyarakat dengan menggali (kembali) dan mempertemukan antara nilai hukum dengan nilai-nilai yang masih dianut  oleh masyarakat. Hukum ada untuk mengatur masyarakat, sehingga pembacaan hukum adalah membaca melalui kacamata masyarakat berdasarkan pengalaman (hidup) pembaca. Dalam kerangka demikian, dimungkinkan membaca hukum dengan empati. Membaca dengan rasa. Membaca dengan melibatkan seluruh pengalaman menyejarah dapat menghidupkan hukum dan mendekatkan pada nilai keadilan.

 
.

Tuesday, August 5, 2014

Surat Terbuka untuk Presiden Jokowi tentang Penegakan Hukum di Indonesia

Indonesia, menjelang peringatan 17 Agustus 1945

Kepada yth.
Presiden Republik Indonesia
Ir. H. Joko Widodo
di Istana Negara


Salam Sejahtera,

Pertama, kami mengucapkan selamat atas terpilihnya bapak sebagai Presiden RI ke 7 setelah perjuangan dalam pencapaiannya harus melalui berbagai prosedur hukum dan konstitusional atas nama demokrasi. Kedua, kami sebagai warga Negara Indonesia berharap bahwa bapak Presiden yang mendapatkan amanah dari rakyat Indonesia mampu mengangkat derajat Indonesia sesuai dengan cita-cita yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.

Berkaitan dengan poin kedua tersebut maka kami bermaksud menyampaikan beberapa hal yang seharusnya menjadi perhatian bapak sebagai presiden dan mempunyai tugas dan kewenangan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pengalaman bapak sebagai kepala daerah (walikota dan gubernur) tentu menjadi pelajaran untuk mengatasi berbagai persoalan yang hendak kami sampaikan dibawah ini berdasarkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).

Pertama, mekanisme sanksi bagi penyelenggara pemerintahan (PNS) yang bertugas di garda depan pelayanan public. System perijinan, pengadaan barang dan jasa, administrasi kependudukan dan jaminan atau pelayanan kesehatan perlu dilakukan perombakan paradigma dari penyelenggaran pemerintahan. perombakan paradigma yang menempatkan rakyat adalah consumen sekaligus pemilik kedaulatan dilakukan sebagai pengejawantahan revolusi mental yang menjadi jargon kampanye bapak Presiden.

yang dimaksud dengan mekanisme sanksi bukan dalam pemahaman pidana penjara, melainkan dalam konteksi reward and punishment. Yaitu bagaimana mekanisme pengaduan public (public complaint) terhadap pelayanan public yang dilakukan pemerintah dapat didengarkan dan menjadi acuan perbaikan bagi pelaksanaan pelayanan public. Salah satu jalan ditempatnya pelayanan public di Indonesia karena mekanisme pengaduan belum menjadi strategi untuk memperoleh feedback atau loloh balik bagi penyelenggara pemerintah (kepala dinas atau kepala daerah).

Paradigma sebagai 'tuan' bukan sebagai pelayan masyarakat menjadi hambatan psikologis untuk pelayanan public yang berorientasi pada kepentingan rakyat (public service based on public satisfication). Ketika prosedur sudah dipatuhi, maka ketika terjadi penyimpangan dalih yang digunakan adalah sudah sesuai prosedur. Pameo yang berkembang di masyarakat terhadap kinerja aparat pemerintah, 'kalau bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah' menjadi cibiran masyarakat. Penyimpangan dari hakekat pelayanan public inilah yang membuka peluang bagi terjadi korupsi dan kolusi dalam pemberian pelayanan public (corruption opportunity).

Kedua, korupsi di aparat POLRI dan Kejaksaan. POLRI dan Kejaksaan merupakan alat Negara bagi penegakan hukum yang berada di bawah Presiden. Artinya bahwa pelaksanaan tugas dan kewenangan penegakan hukum berada dibawah kendali bapak Presiden Jokowi. Cibiran masyarakat terhadap POLRI, 'lapor kehilangan kambing, pulang kehilangan sapi' menunjukkan betapa buruknya citra POLRI di masyarakat. Penegakan hukum yang menjadi monopoli POLRI dan Kejaksaan melahirkan kerentanan penyalahgunaan kewenangan yang merugikan masyarakat, termasuk citra bapak Presiden.

Atau 'hukum itu tajam kebawah tapi tumpul ke atas' memberikan gambaran bahwa selama ini hukum menjadi alat kekuasaan bagi orang kaya, individu yang memiliki kuasa yang menjadikan (aparat) penegak hukum menjadi orang suruhan atau babu mereka. Istilah uang printer, uang kertas, uang jalan, uang damai menjadi sinyal dari aparat penegak hukum dalam melakukan korupsi dengan memanfaatkan kepentingan dari para pencari keadilan. Mekanisme setoran kepada atas juga mendorong terjadinya korupsi. Setoran ke kasat reskrim, kapolres, kapolda - POLRI, atau kasi, kejari atau kejati - kejaksaan telah menumbuh-suburkan korupsi.

Dalam konteks korupsi, forum komunikasi pimpinan daerah (forkominda) juga menjadi ajang korupsi antara lembaga yang dipimpin. Bagaimana APBD memuat anggaran untuk lembaga atau pengadaan mobil kepada lembaga telah melahirkan rasa sungkan atau ewuh pakewuh ketika terjadi upaya penegakan hukum yang terjadi di lingkungan pemerintah daerah.

Demikianlah surat ini kami sampaikan, agar bisa menjadi perhatian bapak Presiden Republik Indonesia atau menjadi masukan dalam melakukan pembenahan pelayanan public di Indonesia. Besar harapan kami, masukan kami ini bisa membantu mewujudkan revolusi mental yang bapak canangkan.

Atas perhatiannya, kami mengucapkan terimakasih.

Salam hormat,


Yakub Adi Krisanto 

Monday, August 4, 2014

Indonesia & Perlunya menggalang Solidaritas Kemanusiaan di konflik Palestina-Israel

Subuh tadi ketika melihat siaran CNN sedang memberitakan gencatan senjata antara Israel dan Palestina selama 72 jam. Kemudian membaca Kompas pagi harinya, pada pemberitaan mengenai gencatan senjata tersebut disertai dengan foto yang menampilkan sosok remaja yang sepertinya berlari dengan menenteng sangkar burung dengan latar belakang reruntuhan gedung. Foto tersebut mengusik hati dengan membandingkan kondisi Indonesia berkaitan dengan para pecinta burung yang saat ini sepertinya sedang mengalami booming.

Masyarakat pecinta burung dapat menikmati (baik membeli atau memelihara) burung kicauan tanpa gangguan perang atau desingan peluru di sekitarnya. Tentunya dari foto tersebut dapat dimaknai bahwa sangkar burung adalah harta yang berharga (atau mungkin yang tersisa) selama serangan militer Israel ke wilayah Palestina.

Melihat kondisi demikian maka masyarakat Indonesia melalui pemerintahannya perlu lebih proaktif dalam mengupayakan perdamaian antara Israel dan Palestina. Indonesia yang pernah tampil sebagai tokoh Negara non Blok (GNB) perlu kembali lebih agresif dalam konteks kemanusiaan agar dampak perang tidak mengakibatkan kerusakan social, ekonomi, budaya dan politik secara lebih massif. Upaya kemanusiaan mempunyai momentum pada gencatan senjata ini (truce) agar bantuan kemanusiaan dapat secara massif dialirkan ke wilayah Palestina untuk sedikit mengurangi beban warga Palestina akibat serangan militer Israel.

Presiden SBY dapat memerintahkan PMI atau organisasi kemanusiaan yang berada di Indonesia untuk bisa agresif mengirim bantuan kemanusiaan. Didahului dengan upaya diplomasi baik bilateral maupun multilateral agar bantuan kemanusiaan dari Indonesia bisa masuk ke wilayah atau kantong-kantong pengungsian warga Palestina. Indonesia sebagai Negara dengan penduduk muslim yang mayoritas memiliki pengaruh atau memainkan peran penting dalam perdamaian dunia. SBY tidak cukup hanya mengumumkan bantuan untuk Palestina, tetapi memainkan peran politik non blok secara aktif dengan menggalang dukungan internasional dalam kerangka bantuan kemanusiaan.

Selain tentunya, pemerintah Indonesia mempersiapkan personel kemanusiaan yang siap terjun ke wilayah konflik. Program pelatihan atau training kemanusiaan yang melibatkan PMI dan organisasi kemanusiaan dibawah koordinasi pemerintah Indonesia perlu di lakukan. Pengiriman bantuan kemanusiaan atas nama pemerintah Indonesia atau dukungan internasional yang berhasil digalang oleh pemerintah Indonesia.

Selama ini sepertinya dunia internasional kurang pro aktif terhadap konflik bersenjata di Negara-Negara timur tengah. Mungkin disebabkan oleh kerepotan mengatasi krisis ekonomi atau politik di Negara masing-masing. Namun solidaritas perlu dilakukan, dan Indonesia perlu tampil sebagai pelopor untuk menggalang dukungan kemanusiaan.
Ketika Indonesia menggalang dukungan solidaritas kemanusiaan, penegakan hokum bagi warga yang mendeklarasikan ISIS juga perlu dilakukan.

Kewibawaan pemerintah harus dijaga, karena ketika OPM melakukan kontak senjata maka aparat TNI/POLRI juga melakukan operasi maka terhadap ISIS yang jelas bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila merupakan tindakan subversive. Sehingga pemerintah Indonesia konsisten terhadap UUD 1945 khususnya pembukaan yang menjaga perdamaian dunia sekaligus menjaga ketertiban dalam negeri.