Thursday, August 29, 2013

Bahaya Laten Diskriminasi Suku & Agama bagi Indonesia (2 Contoh Kasus di Jakarta dan Salatiga)

Ditengah hiruk pikuk politik, hukum dan ekonomi-perdagangan yang melahirkan diskusi hangat baik di media cetak maupun elektronik, terdapat dua kejadian yang mengganggu pondasi kebangsaan Indonesia. Pondasi kebangsaan yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan persatuan Indonesia. Kedua pondasi kebangsaan tersebut dijabarkan dalam bentuk perlindungan terhadap kemanusiaan dan khususnya bagi warga negara Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, “setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut.”

Bangsa Indonesia dengan keberagamannya menjadi dasar untuk melindungi warga negaranya dari perlakuan diskriminasi. Keberagaman yang dilatar belakangi oleh apapun tidak boleh menjadi alasan bagi sesama warga bangsa untuk melakukan diskriminasi. Hakekat bernegara sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 adalah melindungi segenap bangsa Indonesia. Perlindungan ini menjadi manifestasi upaya menjaga Indonesia sebagai sebuah negara dengan kemajukan warga bangsanya. Kulminasi kesadaran berbangsa yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 berawal dari perjalanan perjuangan kemerdekaan yang sudah terbangun pada Sumpah Pemuda tahun 1928.

Diskriminasi karena perbedaan sudah sering menjadi berita bahkan tidak jarang terjadi solidaritas untuk bangsa lain melupakan perlakuan diskriminasi yang masih terjadi di dalam negeri. Dua kejadian yang dikemukakan di paragraph pertama tulisan ini memang tidak menghebohkan atau menjadi sorotan media cetak maupun elektronik. Namun peristiwanya dalam skala tertentu cukup menghebohkan, khususnya bagi keanekaraman Indonesia dan keindonesiaan itu sendiri. Dua peristiwa tersebut menjadi refleksi sekaligus benih pemberangusan kemajemukan Indonesia.
Description: http://stat.ks.kidsklik.com/statics/files/2013/08/13771101391343317593.jpgPertama, formulir administrasi kependudukan (adminduk) yang bermuatan SARA. Banyak pihak yang menulis bernuansa SARA, namun apabila melihat subsatansinya maka formulir tersebut sudah memuat diskriminasi suku dan agama. Formulir adminduk yang bermuatan SARA tersebut dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Salatiga c.q Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil). Dalam formulir tersebut terdapat tiga sesat pikir yang menjangkiti Pemkot Salatiga yaitu keturunan yang biasanya berkonotasi berkaitan dengan suku bangsa di Indonesia di campur adukkan dengan agama. Apakah pembuat konsep formulir ini tidak bisa membedakan antara konsep keturunan dengan agama? Konsep keturunan yang berkaitan dengan suku bangsa jauh lebih kompleks dibandingkan dengan konsep agama di Indonesia.

Sesat pikir selanjutnya adalah pembatasan agama yang dicantumkan dalam bagian keturunan hanya terbatas pada nasrani. Bagaimana  dengan agama-agama lain yang diakui negara? Di Indonesia, selain agama formal, terdapat agama local yang didasarkan pada keyakinan komunal tertentu di wilayah Indonesia. Agama-agama local tersebut berjuang agar eksistensinya juga diakui negara bersanding dengan agama formal. Artinya formulir adminduk tersebut hanya mengakui agama Nasrani dan mengesampingkan dengan mencampuradukan agama lain seperti Islam, Hindhu, dan Budha menjadi satu agama.

Sesat pikir yang lain adalah Pemerintah Kota Salatiga c.q Dinas Dukcapil mengesampingkan kenyataan bahwa di Salatiga terdapat berbagai macam suku yang berasal dari berbagai wilayah Indonesia. Dengan membatasi kolom keturunan yang menyebut Eropa dan Cina, maka seolah-olah tidak memberikan tempat bagi keturunan Batak, Ambon, Madura, Padang, Makassar, Manado, Papua, Sumba, Sunda, Aceh, Dayak dan suku bangsa lain yang tinggal di Indonesia. Seperti dikatakan sebelumnya bahwa konsep keturunan berkaitan dengan suku bangsa, dan suku bangsa di Indonesia, khususnya yang berada di Kota Salatiga sangatlah beragam.

Sesat pikir ini menjadi bahaya laten di Pemkot Salatiga yang dapat memicu lahirnya bentuk-bentuk diskriminasi warga negara lain. Kota Salatiga yang dikenal sebagai Indoensia Mini-nya, ternyata terdapat perspektif berpikir yang mendegradasi keIndonesiaan dan menciderai keberagaman.  Meskipun Kepala Dinas Dukcapil berdalih bahwa formulir tersebut berdasarkan Permendagri No. 28 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil di Daerah, namun dalam Permendagri tersebut tidak mengatur mengenai kolom keturunan yang digunakan di Kota Salatiga. Bahwa apabila benar mengacu pada Permendagri No. 28 Tahun 2005 maka Pemerintah Indonesia telah melakukan diskriminasi secara nasional dan melanggar UUD 1945 dan dasar negara Pancasila. Apabila ternyata formulir tersebut hanya terdapat di Kota Salatiga maka Walikota Salatiga c.q Kepala Dinas Dukcapil telah melakukan pembohongan public.

Kedua, penolakan lurah Lenteng Agung, Susan Jasmine Zulkifli oleh sekelompok warga karena masalah perbedaan agama. Sekelompok warga tersebut menolak lurah tersebut karena yang bersangkutan beragama minoritas (Kristen) ditengah masyarakat yang mayoritas Islam. Dasar penolakan ini menjadi bahaya dan serius bagi Indonesia apabila secara massif dan sistematis masyarakat mayoritas menolak pemimpin pemerintahan dari agama minoritas. Dengan kata lain bahwa dalam sebuah wilayah dengan mayoritas agama tertentu haruslah penyelenggara pemerintahannya beragama sama dengan mayoritas agama. Warga negara yang beragama minoritas tidak memiliki kesempatan untuk tampil sebagai pemimpin. Apakah Indonesia yang demikian yang dibentuk oleh para pendiri bangsa ini?

Dua contoh kasus diatas menjadi pembelajaran berharga bagi perjalanan berbangsa dan bernegara dari Ibukota dan kota kecil di Jawa Tengah. Kelompok yang sectarian lupa atau tidak tahu mengenai perjalanan sejarah bangsa ini yaitu bahwa sumpah pemuda dilaksanakan di rumah warga yang beretnis Cina, Kawilarang seorang Kawanua menjadi Panglima Divisi di Sumatera Utara, seorang Tapanuli Nasution menjadi Panglima Divisi Siliwangi. Kesadaran bahwa Indonesia dibangun oleh kelompok tunggal secara agama maupun suku harus diketahui oleh seluruh bangsa Indonesia. Indonesia tidak hadir hanya melayani agama atau suku tertentu. Karena dipastikan apabila Indonesia hanya untuk satu agama atau satu suku, maka Indonesia akan memudar dan menjadi tiada di muka bumi ini. Dalam hal ini, pemerintah menjadi actor penting untuk menjaga Indonesia yang menaungi dan melindungi seluruh suku dan agama yang berada di Indonesia.


Kebijakan Ekonomi, Media & Korupsi

Hasil pengamatan sekilas terhadap 3 (tiga) media online dalam dua hari ini menunjukkan bahwa mereka tergagap dengan berita ekonomi yang berkaitan dengan pertama, menurunnya nilai tukar nilai rupiah terhadap dollar yang sudah menembus jauh batas psikologis. Nilai tukar rupiah terhadap dollar sudah mencapai Rp. 11.900/US$. Kedua, nilai harga saham yang juga terjun ke titik terendah. Ketiga, ironi impor beberapa kebutuhan masyarakat. Solusi impor yang diusulkan pemerintah ketika harga kebutuhan tersebut merangkak naik atau pemerintah gagal menahan laju tingginya harga barang tersebut. Daging sapi dan kedelai menjadi contoh muktahir untuk menunjukkan bahwa pemerintah kurang kreatif dalam menuntaskan permasalahan tingginya harga kedua barang tersebut.

Ketergagapan media untuk bisa mengawal 4 paket kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk menstabilisasi ekonomi khususnya melemahnya nilai tukar rupiah, ketika harus mengelaborasinya dalam bahasa yang dipahami public. 4 paket kebijakan tersebut adalah pertama, focus untuk memperbaiki neraca transaksi berjalan dengan cara mendorong ekpor. Kebijakan ini ditempuh dengan cara memberikan tambahan pengurangan pajak untuk sektor padat karya yang memiliki ekspor minimal 30% dari total produksi. Kemudian, menurunkan impor migas dengan meningkatkan porsi penggunaan biodiesel dalam versi solar, sehingga mengurangi konsumsi solar yang berasal dari impor. Selanjutnya¸ menetapkan pengenaan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) yang berasal dari barang impor seperti mobil, barang bermerek menjadi 125-150%.

Kedua, menjaga pertumbuhan ekonomi. Ketiga, menjaga daya beli masyarakat dan tingkat inflasi. Keempat, mempercepat investasi (m.news.viva.co.id/news/read/438632-empat-jurus-pemerintah-untuk-stabilisasi-ekonomi). Ketergagapan media terjadi ketika harus menerjemahkan 4 paket kebijakan kepada masyarakat luas. Dimana 4 paket tersebut masih bersifat ‘abstrak’ meski sudah memuat kejelasan. Keabstrakan tersebut berkaitan dengan langkah konkrit yang akan ditempuh pemerintah untuk menguatkan nilai tukar rupiah. Masyarakat membutuhkan jaminan politik dari pemerintah bahwa 4 paket kebijakan tersebut akan berjalan sesuai rencana.

Dalam hal ini media memiliki peran penting untuk menajamkan keempat paket kebijakan tersebut agar rasional-solutif dengan melibatkan pelaku usaha, ekonom atau akademisi. Penajaman tersebut sebagai sarana membahasakan kembali dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh public yang mengalami kegalauan berkaitan dengan melemahnya nilai tukar dan naiknya harga kebutuhan pokok sepert daging sapi dan kedelai. Multiplier effect dari pelemahan nilai tukar harus diwaspadai, ditambah dengan solusi yang melahirkan ketergantungan atas impor juga membahayakan ketahanan ekonomi perdagangan nasional.

Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar menjadi salah satu indicator rapuhnya fundamental perekonomian Indonesia. Kerapuhan ini tidak seperti yang digembar-gemborkan pemerintah selama ini. Keempat paket kebijakan tersebut menjadi jawaban sekaligus ‘kelemahan’ yang hendak ditambal. Kelemahan tersebut menjadi indikasi kerapuhan fundamental ekonomi akibat rendahnya ekspor Indonesia atau derasnya arus masuk barang impor. Tidak hanya berkaitan dengan impor BBM, melainkan bahwa solusi yang sering dikemukakan pemerintah ketika harga barang merangka naik dan mengalami kesulitan untuk dikendalikan adalah impor.

Kebijakan impor telah menjadi entry point dari korupsi di republic ini.  Sebagaimana di tunjukkan dari kebijakan impor daging sapi, terungkap oleh KPK terdapat korupsi di dalamnya. Dan korupsi impor daging sapi dapat menjadi puncak gunung es korupsi kebijakan impor di negeri ini. kebijakan impor atas barang tertentu harus dicurigai terdapat rantai korupsi yang melibatkan tidak hanya eksekutif, melainkan juga legislative dan pelaku usaha. Dalam hal demikian maka, kebijakan impor menjadi modus baru korupsi di negeri ini baik yang dilakukan dengan cara suap maupun gratifikasi ataupun mark-up harga untuk meningkatkan margin profit para pelaku yang terlibat dalam impor.

Peran penting media sebagai ‘penerjemah’ kebijakan pemerintah akan membantu mencerdaskan masyarakat agar melek politik ekonomi dan perdagangan. Bahwa selama ini dengan derasnya arus informasi yang berkaitan dengan dunia politik dan hukum telah berhasil mencerdaskan rakyat dengan indikasi fasihnya masyarakat membahas masalah politik dan hukum. Bahkan mampu membangun analisis berdasarkan pemberitaan media dalam sebuah obrolan warung kopi atau diskusi di poskamling. Analisis masyarakat terkadang tidak kalah tajam dengan nara sumber terkenal yang sering tampil di televisi. Pendapat dinyatakan secara lugas sebagai wacana dalam dialog antar warga.

Di bidang ekonomi-perdagangan, penjelasan dari media baik ulasan dari dewan redaksi maupun pendapat yang berasal dari nara sumber perlu dilakukan. Ungkapan ‘luweh enak jamanku’ dengan gambar Presiden Soeharto menunjukkan bahwa masyarakat belum paham mengenai kondisi perekonomian nasional. Yang diketahui masyarakat adalah pada jaman orde baru, harga kebutuhan pokok murah dan terjangkau. Dan berbeda dengan kondisi pasca tergulingnya Soeharto pada tahun 1998 yang terus merangkak naik harga kebutuhan pokok. Peran media saat ini adalah mencerdaskan pemahaman masyarakat mengenai perekonomian nasional, termasuk didalamnya mengawal dan mengkritisi kebijakan di bidang ekonomi-perdagangan.

Selama kurun waktu 3 (tiga) kali pemilu, menjadi manifestasi kebebasan politik bangsa Indonesia. Namun secara ekonomi, perjuangan untuk meraih ketahanan ekonomi nasional sedang dimulai. Politik dan hukum telah menyita focus perhatian bangsa ini, dan perekonomian selain bangsa ini sudah sangat cinta uang dengan menguatnya konsumerisme telah lama diabaikan. Masalah kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok hanya disodorkan solusi impor. Solusi tersebut menunjukkan lemahnya kita sebagai bangsa yang berdikari dan kekurangan ketajaman dalam mencari alternative solusi dari hasil olah pikir pemimpinnya. Politik dan hukum tanpa ditopang dengan perekonomian yang kuat akan melahirkan konflik dari hasil kebebasan yang dijamin oleh demokrasi.  

Sunday, June 30, 2013

Partisipasi Publik & Keterbukaan Informasi Publik – Kesempatan & Tantangan

Pasca diundangkan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (selanjutnya disebut UU KIP) pada tanggal 30 April 2008, hak public untuk memperoleh informasi mendapatkan jaminan perlindungan dari negara. Hak untuk memperoleh informasi menjadi bagian dari upaya meningkatkan kualitas demokrasi, yang salah salah satu prinsipnya adalah kesempatan berpartisipasi masyarakat dalam setiap program dan atau kebijakan pembangunan. Partisipasi public dalam demokrasi memilik dua dimensi yaitu keterlibatan dan pengawasan masyarakat dalam penyelenggaraan negara.[1]
Ungkapan ‘knowledge is power’ (ipsa scientia potestas est) dari Sir Francis Bacon menjadi relevan untuk menjadi dasar bagi perlunya keterbukaan informasi public. Pengetahuan berasal dari informasi yang diperoleh dan dimanfaatkan bagi kehidupan manusia. Tanpa informasi, pengetahuan tidak akan terbentuk dan berguna untuk mengembangkan taraf kehidupan manusia. Menurut Pasal 1 angka 1 UU KIP,
“informasi adalah keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung nilai, makna dan pesan, baik data, fakta, maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan, dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik maupun nonelektronik.”
Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa informasi merupakan semua hal yang dapat ditangkap oleh panca indera yang disajikan dalam berbagai kemasan. Informasi inilah yang mampu menghadirkan kekuasaan bagi pemiliknya.

Keterbukaan informasi yang dijamin oleh UU KIP dapat meningkatkan kemampuan public untuk terlibat pada setiap proses pengambilan kebijakan atau menggunakan informasi yang dimiliki atau belum dimiliki untuk menyampaikan gagasan atau usulan kepada penyelenggara negara. UU KIP menjaga agar setiap badan publik[2] memberikan informasi yang dibutuhkan atau diminta oleh masyarakat. Dalam hal ini UU KIP menjamin tidak ada lagi dalih bagi penyelenggara negara atau badan public untuk tidak memberikan informasi yang dimiliki dengan alasan informasi tersebut termasuk kategori rahasia. Bagi masyarakat, terbuka kesempatan untuk mengakses informasi yang dapat digunakan untuk memberi masukan atau mengantisipasi apabila terdapat dampak atau akibat yang ditimbulkan dari kebijakan atau program badan public tersebut.

Informasi yang diakses atau diperoleh masyarakat meningkatkan peluang untuk memainkan posisi tawar ketika berdialog dengan penyelenggara negara. Posisi tawar masyarakat disatu sisi menjadi bagian dari pemberdayaan masyarakat, disisi lain mendorong penyelenggara negara untuk lebih memiliki sikap responsif dan akomodatif bagi masukan/usulan dari masyarakat. Tawar-menawar adalah bagian dari dialog antara masyarakat dan penyelenggara negara, dan sebagai bentuk komunikasi diantara keduanya dalam memperbincangkan suatu masalah public.

Dialog merupakan bagian dari demokrasi dalam menyampaikan pendapat terhadap suatu permasalahan. Dialog yang baik adalah ketika para pihak yang berdialog memiliki atau menguasai informasi yang setara. Ketidaksetaraan terhadap penguasaan informasi dapat menghasilkan penindasan atau kesewenang-wenangan. Sebagaimana terjadi pada masa dimana pemerintah lebih dominan dalam setiap aspek kehidupan bernegara, pemerintah menguasai informasi dan masyarakat merupakan pihak yang tidak memiliki informasi sama sekali atau kalaupun memiliki informasi sangat minim.

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 UU KIP bahwa dua tujuan undang-undang tersebut adalah pertama, menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan public, program kebijakan public, dan proses pengambilan keputusan public, serta alasan pengambilan suatu keputusan public. Kedua, mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan public. Hak untuk memperoleh informasi dan berpartisipasi menjadi kekuatan besar masyarakat untuk mengawasi setiap kebijakan public yang dihasilkan oleh pemerintah.

Pengawasan terjadi ketika public mampu melibatkan diri dalam setiap proses pembuatan kebijakan dan/atau memperoleh informasi untuk kemudian memberikan respon atas kebijakan yang diambil. Respon yang diberikan menjadi bentuk loloh balik atas kebijakan public, baik mendukung, menolak atau memberikan alternative kebijakan lain yang lebih sesuai dengan kondisi dan atau permasalahan masyarakat. Respon inilah yang menjadi partisipasi, sekaligus pengawasan terhadap kebijakan publik yaitu apakah sudah sesuai dengan kondisi masyarakat atau tidak, adakah penolakan atau permasalahan yang muncul dari kebijakan yang diambil.

Keterbukaan informasi public menjadi bagian penting untuk menempatkan masyarakat sebagai subyek pembangunan. Masyarakat memiliki peran strategis dengan jaminan untuk memperoleh informasi. Peran strategis tersebut menjadikan masyarakat memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dalam bentuk dialog public dengan penyelenggara negara. Dengan dialog, keinginan atau harapan para pihak dalam pembangunan dapat disampaikan dan kemudian berkontribusi positif bagi pengembangan dan kesejahteraan masyarakat.



[1] Bandingkan dengan bagian menimbang huruf b UU No. 14 Tahun 2008.
[2] Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislative, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD, atau organisasi non pemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD, sumbangan masyarakat dan/atau luar negeri (Pasal 1 angka 3 UU KIP).

Monday, June 24, 2013

Korupsi di Indonesia, seolah hukum-pun tidak mampu menjerakan

Berita tentang korupsi di Indonesia secara terus-menerus menjadi headline di setiap surat kabar. Media massa dengan jargon-nya bad news is good news, menempatkan korupsi sebagai berita buruk yang sudah menjadi berita baik. Dalam hal ini terjadi absurditas konten berita, yaitu apakah korupsi tanpa sadar merasuki bangsa ini sebagai berita baik. Berita baik ini berdampingan dengan kenyataan bahwa korupsi seolah belum bisa berhenti di republic ini, meskipun sudah dilakukan penegakan hukum.

Pertanyaan yang mengemuka adalah apakah hukum tidak efektif? Apakah bekerjanya hukum belum optimal? Apakah masih dapat diandalkan hukum untuk memberantas korupsi? Apakah masih terdapat kekurangan dari hukum untuk berkemampuan memberantas korupsi? Pertanyatan-pertanyaan tersebut menjadi refleksi kritis bangsa ini dalam menyikapi maraknya korupsi yang terjadi di Indonesia. Kemarakan korupsi dirayakan oleh individu yang memiliki kesempatan mengampu kekuasaan dan atau jabatan.


Korupsi di Indonesia tidak mengenal batasan. Sektor public seperti kesehatan, pendidikan, transportasi, perkebunan, olah-raga, teknologi informasi dan masih banyak yang bisa disebutkan sudah terjangkiti korupsi. Korupsi tidak mengenal strata atau hierarkhi, pusat-lokal, atas-bawah, dilakukan bagi setiap pihak yang termotivasi untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain. Motivasi pribadi yang dipengaruhi oleh berbagai hal baik yang bersifat personal maupun kolektif telah mampu memicu usaha untuk korupsi. Pemicu ini ‘dibuahi’ oleh mentalias instan dalam memperoleh kekayaan. 


*Tulisan ini merupakan materi kuliah tentang korupsi dalam perspektif hukum yang disampaikan pada kuliah di Magister Akuntansi UKSW tanggal 22 Juni 2013.

Korupsi Politik & Politik Korupsi

Praktek korupsi di Indonesia mengalami pergeseran pola yaitu dari yang melibatkan birokrasi, kepala daerah dan wakil rakyat ke pihak dengan actor yang hampir sama namun dengan perluasan cakupan keterlibatan. Perluasan cakupan keterlibatan ini sebenarnya terkait dengan sifat korupsi dari yang personal dan atau berjamaah ke sistematik terorganisir. Artinya bahwa awalnya pada kurun waktu 1999 sampai dengan 2009, korupsi yang melibatkan aktornya hanya berkaitan dengan pemuasan syahwat politik individual birokrasi atau kepala daerah bersangkutan.

Korupsi yang dilakukan wakil rakyat terjadi dengan memanfaatkan kewenangan yang dimiliki dalam hak budgeting sebagai lembaga legislative, namun pemanfaatan tersebut tidak dapat dikatakan bahwa lembaganya yang korup. Karena dengan hak budgeting yang dimiliki, anggota DPRD menginginkan tambahan pendapatan yang seolah-olah sah. Tambahan pendapatan dengan menganggarkan dalam APBD menjadi bentuk manipulasi anggaran. Korupsi yang berwatak individual inilah mengalami pergeseran pola pasca 2009.

Sebagaimana yang terungkap dalam kasus-kasus korupsi yang melibatkan 2 partai koalisi yaitu Nazaruddin dan Hambalang untuk Partai Demokrat, atau suap impor daging sapi untuk PKS adalah bentuk korupsi politik yang sistematif terorganisir. Bahkan apabila merujuk kasus korupsi PPID sebelumnya yang melibatkan kader PAN juga dapat menjadi referensi korupsi politik. Korupsi politik disini adalah korupsi yang dilakukan dengan mengambil keuntungan dari APBN/D untuk kepentingan pengelolaan mesin politik partai.

Dalam hal ini, korupsi yang dilakukan oleh DPR/D tidak semata untuk kepentingan pribadi anggota yang melakukan korupsi. Dana korupsi mengalir ke pihak-pihak lain baik sesama anggota dewan atau pengurus partai politik. Aliran dana tersebut kemudian diperuntukkan untuk mengelola dan menjalankan organisasi partai, memenuhi kebutuhan partai termasuk biaya konsolidasi dalam memperkuat organisasi partai di aras propinsi maupun kota/kabupaten. Dengan kata lain, korupsi politik merupakan korupsi yang dilakukan oleh partai politik melalui anggota-anggotanya yang duduk sebagai anggota legislative maupun eksekutif.

Korupsi politik dilakukan dengan kesadaran untuk membantu partai politik tempat dimana anggota legislative atau eksekutif (menteri/kepala daerah) bernaung sebagai bentuk kompensasi politik terhadap partai. Kompensasi politik dimaksud adalah jabatan yang sekarang diraih sebagai legislative dan eksekutif tidak terlepas dari peran partai yang mencalonkan atau menominasikan untuk menjadi DPR/D atau menteri/kepala daerah. Niat melakukan korupsi untuk mengembangkan mesin partai dalam mempertahankan kekuasaan atau menambah kekuasaan yang sudah dalam genggaman.

Korupsi politik tidak bisa dilepaskan dari biaya politik tinggi dalam mengelola partai politik. Ditengah pragmatisme politik konstituen, biaya politik menjadi keniscayaan yang harus dikeluarkan untuk meraih massa atau memperluas basis dukungan partai. Konstituen saat ini tidak mempan hanya diiming-imingi ideology atau program partai. Mereka juga butuh ‘fresh money’ sebagai kompensasi dukungan terhadap partai politik yang bersangkutan. Biaya politik telah menciptakan politik yang korup.

Politik korupsi menjadi gambaran dari politik Indonesia, dimana parpol menjadi tiang demokrasi telah mengalami pembusukan. Pembusukan yang menimbulkan kerapuhan apabila tidak segera dibenahi akan meruntuhkan bangunan demokrasi yang sudah dibangun dengan susah payah. Partai politik tidak memperkuat pelembagaan demokrasi yang sehat dan jujur, namun menjadi bagian dari masalah demokrasi itu sendiri. Politik korupsi menjadi wacana actual khas Indonesia dengan menempatkan kerja politik tidak bisa dilepaskan dari langkah-langkah korupsi untuk mengeruk uang rakyat. Partai politik tidak berpikir untuk mengelola APBN/D dengan baik sehingga bisa untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Parpol hanya berpikir berapa prosentasi yang bisa diambil dan didistribusikan untuk biaya politik partai.

Monday, June 17, 2013

Kenaikan BBM & Down to the Lowest Point as a Nation

Tadi malam, tanggal 17 Juni 2012 Rapat Paripurna DPR menyetujui dengan voting APBN-P 2013 yang memenangkan fraksi-fraksi yang mendukung kenaikan harga BBM. Konsekuensi politis dari kemenangan voting tersebut menjadi dukungan politis bagi pemerintahan SBY untuk menaikkan harga BBM. Dengan asumsi bahwa apabila pemerintah tidak menaikkan harga BBM maka akan mengakibatkan membengkaknya subsidi BBM di APBN. Padahal masih menurut pemerintah subsidi BBM tersebut malah dinikmati oleh warga negara yang tidak seharusnya mendapatkan subsidi. Dengan kata lain, kenaikan harga BBM untuk mengurangi beban subsidi di APBN dan menghindari salah subsidi harga BBM. Wacana kenaikan harga BBM yang sudah digulirkan beberapa bulan sebelumnya dan diikuti dengan sosialisasi di berbagai media yang menelan biaya berpuluh-puluh milyar rupiah. Antisipasi dampak kenaikan harga BBM secara otomatis yaitu harga barang kebutuhan masyarakat sudah mulai merangkak naik. Bahkan masyarakat sudah tercekik sebelum benar-benar dicekik oleh kenaikan harga BBM yang dalam waktu dekat akan dilakukan. Masyarakat pasrah, mahasiswa berteriak lantang dan heroic. Partai oposisi dan partai yang baru belajar beroposisi menggunakan isu kenaikan harga BBM untuk menarik dukungan. Harga BBM menjadi konsumsi politik, ditelan kemudian di olah menjadi isu politik. Nampak sekali dari argumentasi fraksi parpol pada saat menjelang voting di Rapat Paripurna DPR tadi malam, fraksi mana yang menolak dengan argumentasi secara substansial dan fraksi mana yang argumentasinya hanya kosmetika politik semata. Argumentasi substansial menempatkan rasionalitas anggaran untuk menolak perubahan APBN-P yang akan menimbulkan dampak massif dari kenaikan harga BBM. Sinyal politik dari argumentasi tersebut salah satunya menyampaikan bahwa kenaikan harga BBM menjelang bulan puasa akan mencekik dan menindas kehidupan masyarakat. Berbeda dengan fraksi yang bermain dengan kosmetika politik karena sedang belajar beroposisi, menggunakan kondisi riil dari aksi mahasiswa dibeberapa kota yang menolak kenaikan harga BBM sebagai basis argumentasi. Aksi mahasiswa yang cenderung menggunakan cara kekerasan secara isu menyuarakan aspirasi masyarakat, namun cara-cara yang ditempuh membalikkan dukungan atas aksi mahasiswa berubah menjadi kecaman atas aksi kekerasan yang dilakukan. Merusak fasilitas umum, mengganggu pengguna jalan yang lain mencerminkan kurang kreatifnya gerakan mahasiswa dalam melakukan aksi massa. Apakah ini juga menjadi cermin hasil proses belajar mengajar dalam system pendidikan kita juga? Aksi anggota DPR di senayan tadi malam dan aksi mahasiswa di jalanan kota-kota di Indonesia menjadikan Indonesia “down to the lowest point as a nation”. Mengapa? Tiga kelompok politik yaitu DPR, Pemerintah dan mahasiswa tidak mencerminkan masyarakat yang cerdas untuk mencari banyak pilihan untuk mengatasi masalah klasik negara ini yaitu harga BBM. Tidak ingin mengatakan bahwa tiga kelompok politik tersebut tidak cerdas, namun kurang mau berpikir untuk menggali berbagai kemungkinan banyak pilihan. Satu masalah, satu solusi. Diluar solusi yang disampaikan adalah tidak baik atau tidak benar. Pemerintah kurang antisipatif-visioner untuk mengurangi konsumsi BBM yang berdampak pada membengkaknya subsidi BBM di APBN. Ketika bangsa Indonesia tidak lagi mau mencari aneka alternative solusi atas masalah-masalah yang dihadapi, maka sebenarnya bangsa ini sedang menggali kuburannya sendiri. Karena bangsa yang berkembang dan maju adalah mereka yang terus melakukan inovasi dan terobosan untuk mengatasi aneka persoalan. Menjadi kreatif tidak hanya pilihan, namun itu adalah proses dari hasil pembelajaran dalam rentang kehidupan. Menjadi kreatif tidak hanya berpikir dengan banyak perspektif, didalamnya memuat kemampuan mendengar banyak pihak yang memiliki tawaran pemikiran. Pemerintah berperan menyediakan ruang yang memungkinkan kreatifitas warga bangsa menjadi unit produkti dan memiliki nilai ekonomi yang berguna bagi kemajuan bangsa. Kemampuan mengapresiasi karya kreatif anak bangsa menjadi penting. Banyak hasil penelitian yang dihasilkan hanya menjadi konsep indah di ruang-ruang kelas pembelajaran. Kehilangan semangat untuk mengembangkan ketika kolega atau pemerintah melakukan cibiran, bukan karena tidak baiknya hasil temuan namun lebih pada pertimbangan politik yang tidak akan menguntungkan pemilik kepentingan politik tersebut. Untuk itu kenaikan harga BBM adalah cerminan kondisi bangsa ini yang sedang berada dititik terendah dan harus segera bangkit dengan menggali potensi sumber daya alam dan manusia untuk mengatasi berbagai masalah kebangsaan. Dan mulai meninggalkan polemic yang memundurkan kita sebagai bangsa, yaitu ketika bicara mengenai siapa yang berhak tinggal dirumah Indonesia dan upaya-upaya untuk mengusir penghuni rumah Indonesia yang berbeda baik agama, ideology, warna kulit atau kelas social.

Monday, April 1, 2013

Catatan si-Idjon Dua (Tanggapan atas Pernyataan Kapolri)

Pasca penyerangan Lapas Cebongan yang menewaskan 4 tahanan Polda DIY  telah menghasilkan dua reaksi yaitu, tuduhan yang diarahkan ke institusi yang anggotanya menjadi korban pembantaian preman di kafe ternama di Yogyakarta dan diunggahnya catatan di jejaring sosial dengan akun bernama Idjon Djanbi. Reaksi yang kedua menjadi respon atas stigma publik terhadap institusi yang anggotanya menjadi korban pembunuhan dan begitu dipercaya publik tanpa menimbang berbagai kemungkinan lain. Ketidakrelaan atas tuduhan publik mendorong Idjon Djanbi untuk memberikan klarifikasi yang juga membuat pencerahan terhadap publik.

Keunikan dari cacatan si-Idjon ini adalah minimnya respon dari pihak pemerintah baik POLRI, TNI, atau Presiden RI. Minimnya respon ini menjadi tanda tanya atas kemungkinan kebenaran dari substansi catatan tersebut, selain merupakan manifestasi kehati-hatian merespon isi catatan tersebut. Kehati-hatian ini juga patut dipertanyakan, kecuali hendak melihat dari sisi positif bahwa penyelidikan sedang dilakukan. Bahkan POLRI mengerahkan Densus 88 untuk mengejar pelaku pembataian. Dititik inilah pesimisme publik muncul, yaitu ketika Densus 88 mengejar dan memergoki pelaku yang sudah distigma dari kesatuan khusus TNI AD akan melempem alias ciut nyali untuk berhadap-hadapan. Diharapkan kalau benar pengandaian tersebut, POLRI tetap berpihak atas nama hukum untuk melawan siapapun yang melanggar hukum (Fiat Justitia Ruat Coelum).

Ditengah minimnya respon atas catatan si-Idjon muncul pernyataan dari KAPOLRI pasca pembantaian 4 tahanan Lapas Cebongan yang perlu dicermati. Pertama, berkaitan dengan pelaku yang tidak berpenutup kepala alias tidak menggunakan sebo. POLRI sedang membuat sketsa wajah dari keterangan para saksi dan akan menyebarkan sketsa wajah tersebut. KAPOLRI tidak memberikan penjelasan lebih lanjut dari ciri-ciri kepala atau wajah pelaku yang dilihat oleh saksi. Kepala dan wajah seseorang apabila sesuai dengan stigma publik bahwa pelaku dengan motif balas dendam berasal dari kesatuan khusus TNI AD maka akan sudah terlihat jelas yaitu kepala plontos alias cepak ala militer pada umumnya. Demikian pula seandainya kepala dan wajah pelaku tersebut berasal dari aparat POLRI sebagaimana dituliskan oleh Idjon Djanbi pada catatannya.

Kepala dan wajah pelaku yang tidak ber-sebo dapat menjadi petunjuk awal siapa pelakunya. Karena dengan tidak menutup kemungkinan pelaku menggunakan wig, maka apabila berasal dari kesatuan khusus TNI AD akan membutuhkan waktu lama untuk tidak berpenampilan ala militer pada umumnya. Potongan rambut cepak atau plontos ala militer mudah teridentifikasi, dan menjadi informasi awal pelaku pembantaian. Dalam hal ini patut diduga bahwa kehati-hatian KAPOLRI berkaitan dengan kebenaran dan ketidakbenaran isi catatan si-Idjon. Kebenaran dan ketidakbenaran tersebut memiliki implikasi politik atas dua institusi, TNI AD dan POLRI. Implikasi tersebut akan mampu menggemparkan dua institusi tersebut, minimal akan muncul kecaman publik yang keras.

Kedua, berkaitan dengan tanggapan KAPOLRI terhadap foto-foto yang disertakan dalam catatan si-Idjon. KAPOLRI menyatakan bahwa foto-foto tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan. Pernyataan tersebut dapat dimaknai dua hal yaitu terhadap fotonya an sich ataukah foto-foto tersebut bukan dirilis oleh pihak yang berwenang. Namun KAPOLRI tidak berani untuk menyatakan bahwa foto-foto tersebut adalah tidak benar atau merupakan hasil teknologi informasi, dalam bahas lain foto-foto tersebut hasil rekayasa dengan menggunakan photoshop atau photo editor. Dalam hal ini publik dapat menilai bahwa foto-foto yang disertakan dalam catatan si-Idjon memang berasal dari hasil jepretan atau dokumentasi si pemilik akun Idjon Djanbi.

Hasil dokumentasi si-Idjon patut diduga benar ketika KAPOLRI tidak berani memastikan ketidakbenaran foto-foto yang diunggah dalam catatan si-Idjon. Kemungkinan kebenaran inilah yang menjadi tantangan investigasi yang dilakukan oleh POLRI, karena akan berhadapan dengan kepercayaan publik yang sudah dibangun melalui catatan si-Idjon. Informasi yang berbeda jauh atau bertolak belakang dengan informasi yang sudah disampaikan dengan foto-foto yang hampir sama atau mirip-lah akan membangun ketidakpercayaan publik. Untuk itu nantinya penjelasan tim investigasi POLRI harus juga menyanggah foto-foto yang disampaikan si-Idjon dengan menampilkan foto-foto lain yang bukan hasil rekayasa POLRI.

Pasca pembantaian 4 tahanan POLDA di Lapas Cebongan memunculkan komplikasi setelah terbitnya catatan si-Idjon ini. Ketiadaan sanggahan dan belum adanya pernyataan resmi atas kemajuan penyelidikan yang dilakukan akan memantabkan penilaian di benak publik atas catatan si-Idjon. Pemerintah harus tampil secara berwibawa, dan jangan sampai kewibawaannya digerus oleh sebuah catatan yang nampak sangat rasional karena substansi dan sistematisasi penyampaian. Logika publik sedang dijungkir-balikkan disaat minimnya penjelasan pemerintah atas tragedi Lapas Cebongan. Catatan si-Idjon yang bergerilya di kalangan kelas menengah jangan dipandang sebelah mata. Kelas menengah dengan daya nalar yang kritis tidak mudah di distorsi oleh pernyataan kabur dan mengambang.

Pertaruhan atas kewibawaan pemerintah (baca:SBY) menjelang pemilu 2014 akan dikenang publik. Jatuhnya wibawa pemerintah berada diatas sebuah cacatan di jejaring sosial. Bahkan POLRI-pun tidak mengeluarkan pernyataan untuk menelusuri akun jejaring sosial, padahal POLRI memiliki unit cyber crime yang paling handal di ASEAN. Penelusuran dilakukan atas lokasi pengunggahan catatan tersebut, dan menelusurinya dengan mengirim unit khusus untuk melacak. Ataukah ini yang sedang dilakukan POLRI dan menyembunyikan dari pandangan publik karena daya kejut dari informasi yang dikumpulkan dan membahayakan kredibilitas POLRI atau instansi lain di luar POLRI.

Publik menunggu kejelasan atas pembantaian tersebut, karena berkaitan dengan penegakan hukum dan motif sebenarnya dari peristiwa tersebut. God bless Indonesia!

Saturday, March 30, 2013

Idjon Djanbi & Kontra Opini di Dunia Maya

Sebuah note (catatan di Facebook) tidak menggemparkan, namun menghenyakkan pembacanya. Tidak menggemparkan karena ditulis dari sebuah jejaring sosial, dikirim melalui jejaring sosial lainnya. Meski jejaring sosial memiliki sifat kemassalan, namun itu berkaitan dengan pertemanan yang dimiliki. Kekuatannya selain terletak pada substansinya, penyebaran yang 'bergerilya' dari jejaring sosial dan melintas ke antar jejaring sosial. BBM (blackberry messenger) memegang peran penting penyebaran di kalangan kelas menengah.

Substansi note yang ditulis dengan account Idjon Djanbi menjadi 'kontra opini' pasca pembantaian tahanan lapas Cebongan, Sleman, Yogyakarta. Opini yang berkembang di masyarakat atau beberapa pihak yang dimuat di media cetak elektronik bahwa pembantaian tersebut dilatarbelakangi dendam. Pihak yang mempunyai dendam dan kemampuan balas dendam adalah institusi yang anggotanya dibantai oleh kelompok preman di sebuah kafe di Yogyakarta.

Analisis terhadap peristiwa pembantaian diuraikan secara runut, meski penggunaan tata bahasa carut marut. Pesan yang disampaikan jelas bahwa banyak kelemahan yang harus diperhatikan apabila pelaku pembantaian dituduhkan kepada institusi yang pertama kali dikomandani oleh 'pemilik' akun. Intinya adalah pelakunya bukan institusi yang pertama kali dikomandani oleh 'pemilik' akun melainkan aparat kepolisian sendiri. Oknum POLRI melakukan untuk menutupi 'aib' konflik dibalik pembantaian premab di sebuah kafe, yang oleh publik dilihat sebagai pemicu pembantaian di lapas Cebongan.

Catatan Idjon Djanbi menjadi kontra opini publik yang menjadi reaksi atas pembantaian lapas. Disertai dengan foto-foto korban pembantaian menjadi tantangan bagi ahli forensik dan balistik untuk memberi penjelasan komprehensif atas jenis senjata, luka tembak, posisi korban saat dibantai, berapa orang pelakunya dan berbagai kemungkinan lain yang bisa diungkap. Foto-foto ini penting selain menunjukkan akses pemilik akun terhadap kondisi dan situasi lapas dan korban pasca pembantaian. Dengan kemungkinan lain, pemilik akun merupakan salah satu pihak yang melakukan pembantaian. Artinya membantah bahwa yang dibela bukan pelaku, namun mempunyai kesempatan untuk mengabadikan peristiwa yang pemilik akun ikut terlibat.

Foto-foto itu akan menjadi pembanding bagi POLRI atau siapapun yang membentuk tim investigasi. Institusi yang melakukan investigasi sudah didahului dan dicegah untuk mendistorsi fakta sebagai upaya pengaburan bahkan menyembunyikan kejadian sebenarnya. Publik lebih dahulu disodorkan foto, dengan harapan melakukan penalaran sekaligus membangun pola pikir pembanding atas informasi yang akan disampaikan oleh pemerintah. Foto-foto berbicara banyak hal, melampaui kata-kata yang bisa dirangkai.

Hegemoni opini yang mendiskreditkan telah memicu reaksi dengan sebuah catatan. Setelah beredar di dunia maya, dan sampai ke media dan pihak-pihak terkait seperti POLRI, KOMNAS HAM atau TNI belum ada yang secara komprehensif menolak atau menyanggah foto atau isi dalam catatan tersebut. Dalam hal ini Idjon Djanbi selangkah lebih maju dari tim investigasi dari institusi manapun. Catatan yang sudah masif tersebar akan membentuk opini sebagai kontra opini. Akibatnya, penjelasan resmi yang kemudian disampaikan akan ditolak oleh (nalar) publik. Publik yang membandingkan akan sulit percaya dan mulai gamang dengan informasi yang ada. Kegamangan ini melahirkan sikap individu yang bisa berubah menjadi sikap publik ketika momentum bertemu.

Tuesday, March 26, 2013

Hukum koruptif memproduksi kekerasan

Pembantaian terhadap 4 (empat) tahanan Polda di LP Cebongan, Yogyakarya merupakan aksi susulan dari penyerbuan anggota TNI dari Armed terhadap Mapolres Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan. Digunakan istilah 'aksi susulan' tidak dimaksudkan bahwa kedua peristiwa saling terkait atau berurutan, melainkan terdapat benang merah dari kedua peristiwa tersebut. Benang merah yang terambil ini tidak hanya terambil dari dua peristiwa yang dilakukan oleh TNI dan atau kelompok bersenjata yang belum teridentifikasi. Aksi kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap simbol hukum seperti anggota POLRI, kantor polisi, gedung pengadilan atau bentuk tindakan lain yang menjadi manifestasi ketidakpercayaan terhadap hukum atau penegakan hukum.

Ketidakpercayaan yang ditunjukkan dengan aneka tindakan yang merusak menjadi artikukasi pandangan masyarakat terhadap (penegakan) hukum. Secara terang dan jelas, alasan penyerbuan yang dilakukan prajurit TNI ke Mapolres OKU adalah lambannya penanganan proses hukum untuk pelaku penembakan yang mengakibatkan meninggalnya rekan mereka. Untuk pembantaian di LP Cebongan, opini publik digiring bahwa pelaku adalah rekan mereka yang menadi korban penganiayaan yang berujung dengan meninggalnya anggota TNI. Bahkan secara tendensius, media online menulis 'diserbu oknum kopassus 4 tahanan LP Sleman tewas' yang berpotensi terjadi trial by press. Sebelumnya bisa diinventarisasi aneka tindakan masyarakat yang memporak-porandakan kantor polisi yang menjadi simbol (penegakan) hukum.

Benang merah yang hendak disampaikan adalah ketidakpercayaan terhadap (penegakan) hukum merupakan pandangan masyarakat, menjadi kepercayaan bersama yang hidup berdasarkan pengalaman sendiri atau berasal dari informasi teman atau keluarga. Kepercayaan atas ketidakpercayaan terhadap penegakan hukum berasal dari praktek penegakan hukum baik yang koruptif. Hukum yang koruptif dimaksud adalah penyalahgunaan kewenangan yang diberikan hukum dan menjadikan hukum sebagai sebuah komoditas yang dapat diperjual-belikan. Setiap tahap penegakan hukum, menjadi peluang bagi oknum aparat untuk memperoleh nilai nominal tertentu. Bahkan aparat penegak hukum tidak mampu berjalan lurus sesuai hukum lagi, karena kebiasaan untuk memperdagangkan hukum. Hukum sengaja diselewengkan, kemudian penyelewengannya dimanfaatkan untuk memeras pihak-pihak yang sedang berurusan dengan penegak hukum.

Hukum yang koruptif menempatkan hukum sebagai komoditas, prosedur dan substansi hukum diubah diperdagangkan dengan daya tafsir yang dimonopoli berdasarkan kewenangan yang berasal dari peraturan perundang-undangan. Tafsir teks hukum dilakukan berdasarkan pesanan baik atas inisiatif para pihak maupun dari oknum aparat penegak hukum. Dalam hal ini, aspek sumber daya manusia maupun hukumnya memegang peran penting untuk memunculkan hukum yang koruptif. Hukum dijalankan oleh penegak hukum taken for granted dari legislatif, dan tafsir atas teks hukum dipengaruhui orientasi nilai yang dianut oleh aparat penegak hukum. Kewenangan untuk menegakkan hukum menjadi lahan subur penyelewengan yang menghasilkan hukum yang koruptif, ketika tidak ada pengawasan baik internal maupun eksternal atas pelaksanaan kewenangan maka penyalahgunaannya tinggal menunggu waktu dan melembaga.

Saat digembar-gemborkan pemberantasan korupsi atau anti korupsi, banyak kalangan di masyarakat menjadi gamang. Kegamangan terjadi karena korupsi sudah berurat akar, bahkan sebagian kalangan memandang korupsi dapat mempermudah segala urusan yang bersinggungan dengan masyarakat dan dunia usaha. Masyarakat belum memiliki kesadaran dampak korupsi, sehingga pemberantasan korupsi yang hanya mengandalkan KPK atau penegak hukum  yang sudah tercemar dengan hukum koruptifnya akan seperti 'meninju angin'. Kekerasan yang ditampilkan dan diinformasikan oleh media menjadi pembelajaran bangsa Indonesia sebagai akibat dari hukum yang koruptif. Kelompok masyarakat yang sudah jengah dan jenuh atas praktek koruptif hukum selama ini seharusnya dapat melihat bahwa respon masyarakat atau TNI sebagai bentuk perlawanan terhadap hukum yang koruptif.

Pihak yang melawan dengan bekal yang dimiliki melahirkan dampak perlawanan yang signifikan. Dampak perlawanan menjadi suara yang mewakili mayoritas diam (silent majority). Mayoritas diam merupakan sebagian besar masyarakat yang tidak berdaya berhadapan dengan hukum yang koruptif. Selama ini mereka diam, mengikuti 'irama permainan' penegak hukum yang ditafsir sesuai dengan kehendak mereka. Mayoritas diam hanya bisa berbagi pengalaman yang secara kolektif membentuk kepercayaan publik.

Masyarakat pencari keadilan selama ini diteror baik secara fisik dan psikis oleh penegakan hukum yang koruptif. Kekerasan yang menggunakan hukum untuk menghadirkan keuntungan sepihak, membentuk masyarakat yang apatis dan muak terhadap penegak hukum. Kepanjangan KUHP sebagai 'kasih yang habis perkara', UUD sebagai 'ujung-ujungnya duit' menjadi bentuk cemoohan publik atas penegak hukum. Untuk itu ketika kantor polisi dibakar, polisi terbunuh, publik mencibir dan dalam hati mendukung sebagai bentuk cemoohan atas perilaku koruptif selama ini. Cibiran dan cemoohan merupakan balas dendam atas perilaku koruptif yang selama ini dilakukan.

Kegagalan memberangus hukum yang koruptif akan melahirkan kekerasan. Waktu dan tempat akan menjadi momentum pembuahan ketidakpercayaan atas rasa frustasi yang dialami pada kasus hukum yang sedang di hadapi. Titik kerawanannya adalah ketika masyarakat mengorganisir dirinya untuk melakukan perlawanan. TNI yang marah karena tidak percaya dan frustasi melampiaskannya kepada bangunan kantor polisi. Demikian juga masyarakat sipil yang terorganisir akan melawan simbol-simbol hukum yang koruptif. Kondisi yang berulang dalam kurun waktu tertentu hendaknya menyadarkan bangsa ini untuk mengambil langkah tegas dengan memperbaiki diri.

Friday, March 22, 2013

Hukum yang Terjual (Telusuri Harta Pejabat Negara atau Aparat Penegak Hukum)

Jumat, 22 Maret 2013 menjadi awal kelam hakim Setyabudi Tejocahyono dalam kariernya sebagai hakim. Pasalnya, beliau tertangkap tangan menerima suap dari Asep sebesar Rp. 150 juta di ruang kerjanya. Penangkapan ini harusnya mampu menyadarkan bangsa Indonesia mengenai darurat korupsi. Masih segar ingatan publik atas melimpahnya harta Irjen Polisi Djoko Susilo yang asetnya tersebar dimana-mana dalam bentuk tanah dan rumah, menunjukkan kemuskilan rasa percaya bahwa harta tersebut diperoleh secara sah. Seperti juga Gayus Tambunan atau Nazaruddin yang harta kekayaan berada diatas kemampuan penghasilan seorang pegawai atau anggota DPR. Harta pejabat atau penegak hukum berkorelasi dengan kualitas penegakan hukum. Semakin kaya penegak hukum, semakin bobrok penegakan hukumnya.

Kekayaan penegak hukum bukan berasal dari tingginya gaji yang diterima dari negara melainkan dari pendapatan karena menjual-belikan hukum. Apakah dengan demikian penegak hukum atau pejabat negara dilarang kaya atau menjadi orang kaya? Jawabannya tidak. Namun asal-usul harta kekayaannya harus dibuktikan tidak berasal dari sumber-sumber 'gelap' atau illegal. Pemilik harta harus bisa membuktikan bahwa kekayaannya berasal dari usaha yang sah dan bukan hasil menjual hukum terkait dengan kewenangan yang dimiliki. Pembuktian terbalik akan memudahkan lembaga anti korupsi (KPK atau PPATK) atau atasan penegak hukum untuk memeriksa asal-usul harta kekayaan tersebut. Termasuk didalamnya adalah ketika pejabat atau penegak hukum dalam laporan harta kekayaannya berbeda dengan yang dimiliki secara aktual maka patut diduga bahwa harta yang tidak dilaporkan merupakan hasil dari sebuah kejahatan (baca: korupsi).

Menjual hukum adalah modus operandi korupsi penegak hukum dalam menegakkan hukum bahkan ketika penegakan hukum tersebut dalam rangka pemberantasan korupsi. Pasal yang akan digunakan, pemerasan terhadap pihak-pihak yang sebenarnya tidak melanggark hukum, rkayasa kasus hukum, penangguhan penahanan, keistimewaan atau fasilitas khusus pada saat pemeriksaan oleh polisi atau kejaksaan, penyusunan dakwaan, berat-ringannya tuntutan, vonis hakim, isi putusan dengan tidak mencantumkan perintah penahanan, rekayasa penyitaan harta dan masih banyak lagi elaborasi jual-beli hukum. Jual-beli hukum membentuk transaksi antara penjual dan pembeli dalam hal substansi hukum dan nilai jual atau beli substansi hukumnya. Transaksi berkaitan dengan kewenangan yang dimiliki penegak hukum dalam memonopoli kewenangan penyidikan, penuntutan dan vonis  hakim.

Pundi-pundi kekayaan mengalir sepanjang karier individu yang melakukan tour of duty. Semakin tinggi posisi jabatan yang diduduki, semakin mahal nilai jual beli dan cakupan wilayah jual belinya. Inilah yang mempercepat akumulasi kekayaan penegak hukum, selain perkalian dari nilai jual beli dengan jumlah kasus hukum yang 'berhasil' ditransaksikan, dan penerimaan setoran dari bawahan yang melakukan hal serupa atas 'restu' atasannya. Dalam hal ini korupsi menjadi berurat-akar dan menjuntai meraih berbagai kemungkinan untuk melakukan jual beli hukum. Berurat akar dan penjuntaian akar berkontribusi pada pertumbuhan (harta kekayaan) individu dan tidak menutup kemungkinan semakin melesatnya karier individu tesebut. Semakin kaya penegak hukum, semakin bobrok penegakan hukumnya.

Bukan berarti bahwa penegak hukum yang miskin menjamin kualitas penegakan hukum yang baik, karena kemiskinan akan juga lebih mendorong untuk melakukan korupsi. Perbedaannya adalah kemiskinan sebagai sumber korupsi, kekayaan adalah akibat dari korupsi. Saat ini tentunya tidak bisa mengatakan bahwa gaji aparat penegak hukum rendah, berbeda dengan mengatakan bahwa biaya operasional penanganan kasus di tingkat penyidikan dan penuntutan sangat minim. Gaji polisi, jaksa dan hakim serta PNS terus mengalami perbaikan oleh pemerintah RI. Kekayaan yang diperoleh dan menggunung dalam ketidakwajaran dinilai dalam rasionalitas hukum melalui pembuktian terbalik. Namun tidak boleh bersifat pasif, artinya bahwa bangsa ini yang sedang berada dalam darurat korupsi harus berburuk sangka terhadap kekayaan yang tidak wajar selama belum ada pembuktian terbalik (presumption of guilty).

Pembuktian terbalik mendesak untuk diberlakukan karena sedikit yang bisa terjangkau hukum. Ketidakterjangkauan ini berkaitan dengan hukum yang sudah bobrok dan mudah diperjualbelikan, selain sudah terbentuk jejaring jahat antar penegak hukum. Tahu sama tahu atau dalam pertunjukan magis jalanan jaman dulu, pemain sering mengucapkan mantra 'bagi yang sama ilmu atau satu guru dimohon jangan saling mengganggu'. Satu ilmu dan satu guru dalam hal korupsi adalah cara yang dilakukan untuk melakukan korupsi. Kode etik koruptor adalah tidak saling menganggu dan saling bersolidaritas dengan prestasi yang bisa di negoisasikan. Hukum yang terjual menjadi biang korupsi. Dan menjadi salah satu modus korupsi negeri ini selain menggarong uang rakyat yang ada di APBD/APBN. Untuk itu, KPK perlu fokus pada korupsi aparat penegak hukum (polisi, jaksa, hakim dan pengacara). Pengawasan perlu ditingkatkan, sehingga ada pembalikan jenis kasus yang mendominasi penanganan oleh KPK dari pengadaan barang ke korupsi penegak hukum.

Thursday, March 21, 2013

Koalisi Korupsi Partai Politik (Menuju Penuntas-ungkapan Kasus Century)

Korupsi yang melibatkan anggota DPR-RI kembali terungkap pada kasus PON RIAU yang menyeret politisi Golkar. Kasus korupsi terakhir menjadi episode tiga pengungkapkan pidana korupsi setelah sebelumnya terungkap suap impor daging yang melibatkan Presiden PKS, suavp yang terkait dengan pembangunan wisma atlet di Hambalang yang aliran dananya diduga sampai ke Ketua Umum Partai Demokrat, dan terakhir namun bukan yang paling akhir adalah kasus korupsi PON RIAU yang dugaannya dananya mengalir ke politisi Golkar.

Ketiga partai politik (parpol) yang menerima sebagian dari APBN merupakan partai koalisi di kabinetnya presiden SBY. Tentu bukan serba kebetulan kasus korupsi melibatkan ketiga parpol yang berkoalisi. Koalisi korupsi menjadi fakta politik Indonesia dibawah presiden SBY yang dicitrakan sebagai sosok bersih dan santun. Citra bersih dan santun tidak cukup mampu terkelola dengan baik dengan mentransformasikannya pada organisasai yang dipimpinnya. Pemerintahan yang korup ditopang oleh partai yang menjadi 'tikus' APBN. Partai yang didirikan, demikian SBY menyebut partai pemenang pemilu ini ternyata mesin pokitiknya bekerja sebagian untuk tidak mengatakan seluruhnya dibiayai oleh hasil kerja tikus APBN.

Koalisi politik mendorong kepercayaan diri untuk melakukan korupsi. Koalisi yang awalnya dituding banyak pihak sebagai upaya membagi 'kue' kekuasaan ternyata terbukti benar. 'Kue' kekuasaan yang semula untuk basis dukungan politik bagi kepemimpinan SBY di parlemen ternyata melahirkan ekses yaitu godaan untuk korupsi. Kekuasaan membujuk elit parpol untuk berburu rente dari kebijakan pemerintah (baca: kementrian) untuk kepentingan diri dan patut diduga juga mengalir ke partainya. 'Gurih'nya APBN memunculkan keserakahan anggota DPR untuk menggoreng ketika ada kesempatan. Kebutuhan dana PON RIAU 'digoreng' oleh anggota DPR untuk kemudian mendapatkan fee dari anggaran yang berhasil 'digoreng renyah'.

Fee dari bagian proyek yang berhasil digoreng dalam APBN menjadi modus favorit korupsi APBN. Tentu publik masih ingat kasus Nazarudin dengan kicauan merdu bagi pemberantasan korupsi telah mengungkap korupsi dengan aliran dana ke pihak-pihak tertentu. Proyek menjadi lahan garapan parpol dan keberhasilannya akan memanen aneka fee. Kasus Simulator SIM yang tersangkanya memiliki kekayaan nyaris seperti konglomerat, diduga adanya fee ke anggota DPR. Belanja dan pembiayaan pembangunan telah terdistorsi sejak pembahasan. Pembangunan tidak berbasis kebutuhan masyarakat melainkan kebutuhan yang dapat memberi keuntungan kepada anggota DPR. Atau kebutuhan masyarakat dieksploitasi oleh DPR (baca: parpol) untuk diubah menjadi rupiah.

Koalisi korupsi menjadi siklus korupsi dari hasil situasi persaingan antar parpol (yang berkoalisi). PKS-DEMOKRAT-GOLKAR menjadi gambaran siklus korupsi di awal tahun 2013. Situasi persaingan mendorong parpol bersiaga untuk saling membidik, menjerat kelengahan dan kelemahan lawan. Kerusakan politik yang ditimbulkan oleh terungkapnya kasus korupsi tidak ingin dialami sendiri. Karena sesama tikus APBN tentu sudah saling nengetahui tabiat atau perilakunya. Dalam situasi demikian, satu (kasus) korupsi akan menyeret pengungkapan kasus korupsi yang lain. Persaingan ini menjadi manifestasi ketat dan sengitnya pertarungan ke arah pemilu 2014. Hal ini disebabkan oleh kesadaran parpol bahwa untuk berkiprah dalam pemilu dan memenangkannya membutuhkan dana politik yang besar.

Citra politik dan pemenangan pilkada menjadi political supporting tools pada pemilu 2014. Utamanya adalah dana untum menggerakkan mesin parpol. Ketika citra politik rusak maka dukungan rakyat menjadi berkurang. Situasi ini mendorong untuk merusak citra pihak lain. Saling merusak bertujuan agar pihak lain tidak memiliki modal politik yang lebih baik ketika berlomba memperoleh tempat tertinggi perolehan suara. Parpol tidak menginginkan kompetitornya memiliki keunggulan dibanding dirinya. Keunggulan itu akan bisa mempengaruhi hasil pemilu.

Bertolak dari situasi politik dan hukum yang dinamis ini, parpol melalui anggotanya di DPR akan mendorong penuntas-ungkapan kasus century. Partai-partai politik sudah lama percaya bahwa aliran dana Century mengalir ke kompetitornya. Kasus Century semakin relevan dan menjadi keukeuh untuk dibongkar karena motivasi tidak ingin kompetitor mempunyai awal politik yang lebih baik saat memasuki lintasan lari politik di pemilu 2014. Tahun ini tidak hanya menjadi tahun yang riuh menjelang 2014, namun juga keras karena gesekan politik akan semakin intens dan kuat. Kerasnya sudah mulai terasa dari penggeledahan kantor anggota DPR dan adu mulut ketika timwas Century sedang berapat.

Untuk masyarakat Indonesia, selamat menyimak sinetron politik.

Saturday, March 16, 2013

Dalam Bayangan (phobia) Kudeta

Politik Indonesia bergejolak dalam gemuruh pertarungan pemberantasan korupsi, saling menjatuhkan kawan koalisi dengan meminjam aneka kemungkinan yang dapat teraih. Kesilih-gantian untuk menempatkan kawan koalisi sebagai tersangka kasus korupsi lembaga anti rasuah, mengintip kelemahan mengekang syahwat hedonisme untuj dikonversi menjadi pembunuhan politik. Menarik kemudian adalah kunjungan atau versi pihak yang dikunjungi adalah permintaan untuk bertemu, yaitu pertama, pertemuan Prabowo Subianto; kedua, rombongan purnawirawan TNI berpangkat Jenderal dan ketiga, kehadiran perkumpulan ormas Islam. Judul diatas tertulis 'dalam bayangan (phobia) kudeta' terambil dari pernyataan yang terlontar pasca pertemuan. Dalam hal ini, hanya dua pihak minus Prabowo Subianto yang menyatakan adanya upaya untuk mengulingkan pemerintahan yang sah.

Lontaran pernyataan yang mengisyaratkan adanya gerakan politik warga negara untuk menggulingkan pemerintahan lepas dari sorotan publik, hanya menjadi bagian pemberitaan mengenai adanya pertemuan. Media mainstream seolah mengesampingkan salah satu isu yang melatarbelakangi pertemuan dan melepaskan diri menggali isu tersebut. Padahal pernyataan yang dilontarkan tersebut apabila ditempatkan pada jaman orde baru dinilai sebagai subversif. Selain bahwa terdapat sifat sensitivitas mengenai kondisi keamanan bangsa, dimana saat ini ancaman atas keamanan bangsa disematkan atas tindakan teror atau terorisme. Pernyataan bahwa terdapat langkah politik untuk menggulingkan pemerintah harusnya menjadi isu krusial bagi bangsa ini. Kegentingan penggulingan kekuasaan bukan lagi menjadi kekuatiran bangsa ini.

Isu kudeta sejak masuk ke orde yang disebut reformasi semakin sering muncul sebagai isu pada tahun 2009 atau sejak terpilihnya SBY untuk periode kedua. Sejak saat itu, isu kudeta selalu muncul tiap tahun isu politik khususnya ketika penilaian publik terhadap ketidakbecusan SBY menguat bertemu dengan keinginan ekstra-konstitusional sebagai manifestasi onani politik elit republik ini. Sayangnya, penggalangan opini untuk menciptakan momentum kudeta lebih sering gagal atau tidak bertemu dengan mayoritas kehendak publik. Tahun ini, isu kudeta muncul tidak berasal dari aktivis politik yang berkelana diluar politik formal, melainkan digulirkan oleh tokoh setelah bertemu dengan Presiden. Pihak-pihak yang bertemu Presiden memberikan political guarantee kepada publik bahwa tidak akan ada upaya penggulingan kekuasaan sebelum pemilu 2014.

Digulirkannya isu kudeta sebenarnya mengungkapkan bahwa gerakan politik ekstra konstitusional hanya mati suri, bergerak klandestin untuk mencuri kesempatan menggerakan massa ke ibukota dan atau kota-kota tertentu. Pergerakan massa ke (ibu)kota menjadi bagian langkah menstimulasi distabilitas politik. Kegiatan ekstraparlementer dapat didesain untuk menciptakan tindak kekerasan yang memancing represi negara. Represi negara akan memicu perlawanan rakyat yang tidak bersepakat dengan kekerasan negara dan menolaknya jatuhnya korban baik luka-luka maupun tewas. Kondisi chaotic  akan mengingatkan pergantian kekuasaan yang pada saat itu masih dipegang Soeharto, dalih bahwa rakyat dan para menteri sudah tidak mendukung Soeharto menjadi sarana pemaksa. Instabilitas politik adalah salah satu prasyarat untuk terjadi pemaksaan peralihan kekuasaan.

Kondisi kekacauan yang mengarah pada instabilitas nasional tidak nampak pada kekinian, namun mengapa tokoh-tokoh yang bertemu dengan SBY melontarkan isu kudeta? Apakah prahara politik yang terkait dengan pemberantasan korupsi yang melibatkan tokoh-tokoh partai politik dapat dinilai sebagai instabilitas politik? Keriuhan yang diberitakan media atas keterlibatan elit-elit partai politik dalam kasus-kasus korupsi dimaknai sebagai instabilitas ataukah hanya sekedar menjadi potensi terciptanya situasi chaotic dan memberikan kesempatan pihak-pihak tertentu untuk mencuri kesempatan menimbulkan kekerasan. Media dan potensi penciptaan ketidakpuasan publik yang dibuahi oleh aktivis yang mengagitasi publik untuk menyuarakan penolakan kepemimpinan nasional. Pernyataan tokoh ormas keagamaan dan para jenderal mengenai ketidakmungkinan adanya kudeta melahirkan pembalikan opini atas ketidakmungkinan.

Ketidakmungkinan kudeta berarti mengindikasikan adanya gerakan yang mengarah kesana, dan para tokoh yang bertemu Presiden seolah memberikan jaminan ketidakmungkinan itu. Para jenderal, mantan pemimpin teritorial maupun pasukan tentunya masih memiliki jaringan yang masih mengendus adanya setiap gerakan politik ke arah manapun. Pernyataan ketidakmungkinan bisa dimaknai sebagai bagian dari ketiadaan gerakan yang mengarah ke upaya penggulingan kekuasaan ataukah ada gerakan namun para tokoh tersebut menjamin bahwa gerakan tersebut masih prematur untuk bisa menggulingkan kekuasaan. Kemungkinan lainnya adalah fakta kemungkinan gerakan klandestin menjadi bagian tawar-menawar politik para tokoh yang menginginkan peran dalam mengelola kehidupan bernegara. Ketidakmungkinan atas kemungkinan yang disampaikan mengartikan bahwa pernyataan ketiadaan upaya penggulingan adalah sebuah phobia yang mengilusikan adanya sesuatu yang seolah nyata dan menakutkan yang mengancam.

Thursday, March 14, 2013

Paus Fransiskus & Korupsi Kita

Paus Fransikus adalah nama yang dipilih oleh Kardinal Jorge Mario Bergoglio sebagai Paus menggantikan Paus sebelumnya yang mengundurkan diri. Pilihan nama dan latar belakang kehidupan ketika menjalani kehidupan sebagai pastor menjadi sorotan media. Nama Fransiskus dipilih selain untuk menghormati pendiri serikat Jesuit, Paus baru tersebut seolah sedang mengirimkan pesan kepada dunia untuk hidup bersahaja.

Nama inilah yang kemudian dikaitkan dengan kehidupan yang dijalani selama menjadi pastor di Argentina. Kehidupan yang sederhana dan pembelaannya dalam setiap kotbahnya terhadap kaum miskin dan marjinal sering ditujukan kepada pemerintah. Kotbah yang bersolider terhadap kaum marjinal menjadi pembelaan atas mereka yang dalam proses pengambilan kebijakan teralienasi pemegang kekuasaan. Alienasi inilah yang mencerminkan, pertama, ketidakterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan tidak hanya meminggirkan tetapi juga ketidaktepatan dalam mengangregasi kepentingan atau kebutuhan masyarakat.

Kedua, watak kekuasaan yang tidak mampu dan/ tidak mau mendengarkan aspirasi masyarakat dan lebih nemilih untuk memuaskan kepentingan atau kebutuhan dirinya. Watak kekuasaan inilah yang membujuk pemiliknya untuk melakukan pilihan kebijakan yang meenguntungkan dirinya daripada mengutamakan kepentingan masyarakat. Kebijakan yang menguntungkan dirinya membentuk perilaku korup yang tidak terbatas pada kriteria pidana, namun juga lebih luas lagi dalam kategori moralitas dan etika yang merupakan meta yuridis.

Pengambilan kebijakan yang bukan public-centered based mengambil pilihan untuk mengalirkan keuntungan yang berwujud kebendaan atau bisa dikonversi dengan uang. Pilihan ini dilatarbelakangi tidak hanya dalam rangka mempertahankan kekuasaan semata. Dorongan penguasaan harta kebendaan atau kepemikikan memanfatkan kekuasaan yang dipegang untuk mengais kelimpahan materi. Perolehan harta kekayaan dengan memanfaatkan kekuasaan menjerumuskan pemegangnya pada kejahatan yang dilakukan karena alasan ketamakan (crime by greed).

Korupsi dilakukan oleh pemegang kekuasaan bukan hanya karena kesempatan. Pemegang kekuasaan tergoda untuk menyalahgunakan kekuasaan agar memuasakan kedahagaan atas kelimpahan materi. Pejabat Indonesia yang sedang terjerat kasus korupsi tanpa sengaja digambarkan dengan simbol-simbol kebendaan yang hanya bisa diperoleh dengan nilai nominal yang berlimpah. Ketaksengajaan ini sebagai keniscayaan dari proses pembuktian perilaku korup. Deretan kekayaan dapat mengantarkan penilaian ada tidaknya penyalahgunaan kekuasaan yang terkonversi menjadi aneka harta kebendaan.

Melacak korupsi berarti juga melacak (asal usul) harta kekayaan. Mengungkap korupsi berarti menelusuri sejarah peningkatan harta kekayaan secara kronologis. Dalam hal ini tidak sibutuhkan logika hukum, melainkan akal sehat untuk menilai kemasukakalan peningkatan harta kekayaan dalam kurun waktu. Masyarakat kita yang sudah konsumtif cenderung mengabaikan akal sehat dan membudakkan akal sehatnya pada capaian kekayaan seseorang. Keterpukauan atas pencapaian kekayaan tidak hanya menyilaukan, namun tanpa sadar mendudukan si pemilik harta kekayaan pada strata sosial tertentu. Sikap permisif atas asal usul harta kekayaan, tidak hanya menjadi pengabaian daya nalar, namun juga mendegradasi sensitivitas atas kemiskinan dan marjinalisasi.

Memudarnya sensitivitas atau kepekaan terhadap realitas kemiskinan dan penindasan strukrural masyarakat akan mendorong kelahiran kebijakan yang tidak memihak dari rahim penyalahgunaan kekuasaan. Marginalisasi masyarakat terjadi karena pemegang kekuasaan lebih dahulu mengalami peminggiran dari realitas sosial. Peminggiran tersebut terjadi karena pemegang kekuasaan sudah tersekat kenyamanan yang berasal dari kepungan harta kekayaan. Dalam hal demikian solidaritas terhadap masyarakat miskin dan marjinal tidak bisa terbentuk atas dasar citra dari hasil blusukan atau turba (turba). Penolakan penggunaan harta kekayaan yang berpotensi mendegradasi solidaritas harus terlebih dulu dilakukan.

Penolakan tidak berarti anti, melainkan tidak tergantung atau memujanya sehingga menjadi sebuah obsesi kehidupan. Sebagaimana ditunjukkan oleh Kardinal Jorge Mario Bergoglio sebelum terpilih menjadi Paus hendaknya bisa menginspirasi kita dalam meraih dan atau menggunakan kekayaan dan kekuasaan. Kerendahan hati menjadi kunci dalam menjalani kehidupan yang bersahaja. Pamer atau unjuk gigi kekuasaan bukan bagian dari kesederhanaan, karena mudah terjebak pada tinggi hati dan keinginan untuk dipuja dari kekuasaan yang sedang dipegang atau kebendaan yang dimiliki. Korupsi hanya manifestasi, kemiskinan merupakan dampak, pilihan keberpihakan akan menentukan kebijakan yang diambil oleh pemegang kekuasaan.

Monday, March 11, 2013

TNI vs POLRI di Baturaja, Sumsel: Distorsi Akar Masalah & Momentum Membangun Kontrol atas Proses Penegakan Hukum

Publik terhenyak ketika video rekaman aksi pembakaran markas Polres dilakukan oleh kelompok pasukan TNI. Kekagetan publik timbul karena ketiadaan tanda yang mengemuka sebagai pemicu yang terekspose ke media. Publik baru mengetahui pasca aksi tersebut dilakukan dari paparan investigasi yang dilakukan media berdasarkan sumber-sumber informasi yang dimiliki. Aksi menimbulkan reaksi, meniadakan kemungkinan tanpa penyebab dari akibat yang terekspose media. Bahkan sebuah tindakan spontan-pun terjadi karena pemicu yang hadir sebelumnya.

Pemicu yang di konstruksi sebagai akar masalah dari aksi pasukan TNI menjadi manifestasi kekecewaan peserta aksi atas kematian rekannya. Manufestasi kekecewaan yang mendorong rasa frustasi terakumulasi dengan superioritas yang ditundukkan oleh pihak lain. Superioritas yang ditundukkan ini berhadapan dengan pihak yang secara personal maupun institusional bisa di kalahkan. Kemampuan yang dibanggakan dan solidaritas korps mendorong ketidakmasukalan yang memberangus batas imajiner kewenangan masing-masing institusi.

Pembunuhan rekannya dan penanganan kasus penembakan yang menyebabkan terbunuhnya rekan mereka memuncak pada kelambanan proses hukum yang menjadi kewenangan POLRI. Pihak yang mempunyai kewenangan sama dengan atau disamakan dengan pihak mengakibatkan rekannya terbunuh melahirkan  benih prasangka yang terpupuk oleh superioritas yang ditundukkan. Benih prasangka inilah yang mendorong sebuah reaksi yang termanifestasi dalam tindakan tidak bernalar yaitu membakar bangunan dan melukai pihak yang menghuni bangunan. Tindakan ini dapat dianalogikan atas aksi anakekhis yang dilakukan warga sipil yang tidak puas dengan pemerintah terkait dengan kebijakan tertentu.

Akar masalah inilah yang tidak tertangkap dengan baik oleh para pemuka negara ini dalam menyikapi peristiwa tersebut. Ketidakpuasan atas proses hukum terhadap penegakan hukum pembunuhan rekannya harus dilihat dalam obyektifitas. Karena reaksi pasukan TNI ini juga banyak dialami oleh warga sipil yang tidak puas dengan penegakan hukum oleh POLRI. Rasa keadilan masyarakat yang terusik dengan penilaian kelambatan menjadi distorsi antara harapan dan kenyataan. Keterusikan ini dapat berubah menjadi tindakan perlawanan yang berujung pada tindakan anarkhis.

Aneka pernyataan yang merespon aksi pasukan TNI mendistorsi akar masalah. Sehingga substansinya hanya berkutat pada periferal permasalahan dan membuahkan solusi yang artifisial. Bahkan solusi sebagai langkah antisipatif nampak hanya terkesan seremonial dan sementara. Bahwa yang dibutuhkan adalah kemampuan untuk mengindera akar masalah yang memicu tindakan anarkhis aparat militer. Termasuk melihat bahwa akar masalah tersebut juga sering terjadi dan dialami oleh warga sipil yang menuntut keadilan. Perbedaannya bukan terletak pada pihak yang melakukan, melainkan adalah terlatih atau tidak terlatihnya pihak yang melakukan perlawanan.

Ketidakpuasan yang dialami mendorong untuk melakukan tindakan yang saat itu dipandang sebagai sebuah pilihan rasionalitas. Kemampuan melawan atas ketidakadilan yang menindas tidak terletak pada keberanian, namun kemampuan merusak memiliki strata lebih besar dibandingkan apabila dilakukan oleh warga sipil. Bahkan daya rusak dapat berlipat ketika dilakukan oleh TNI yang dilatih dengan pola pikir 'membunuh atau terbunuh.' TNI yang dilatih untuk bertempur atau berperang membedakan daya rusak yang dihasilkan dibandingkan apabila dilakukan oleh masyarakat. Terlepas dari kemendadakan tindakan, apabila dilakukan oleh warga sipil akan mudah diantisipasi. Penyisiran untuk menangkap pelaku pembakaran akan mudah ditebak pasca pembakaran/perusakan. Namun ketika dilakukan oleh TNJ, protap penanganan aksi anarkhis tidak dilakukan oleh POLRI.

Solusi pasca perusakan dan pembakaran harus ditarik dari akar masalah yaitu kelambanan proses penegakan hukum dan ketertutupan penggunaan kewenangan penyidikan. Peningkatan kemampuan komunikasi publik POLRI tanpa melanggar kerahasiaan dalam proses penegakan hukum perlu dilakukan. Kontrol atas kewenangan penegakan hukum harus memberi ruang bagi publik untuk melakukan pengawasan yang menjamin keadilan dan ketaatan atas hukum. Ruang bagi publik dapat dilakukan melalui civil society dan/atau hakim. Kontrol atas penegakan hukum yang dapat ditingkatkan adalah pra peradilan. Lembaga ini harus menjadi upaya kontrol sementara sebelum ditemukan formula pengawasan yang tepat.

Peningkatannya dapat dilakukan dengan memasang pemberitahuan di wilayah penyidikan bahwa pihak yang tidak puas dengan proses hukum yang dilakukan polisi disarankan untuk melakukan pra peradilan. Pengumuman tersebut menjadi pakta integritas pihak POLRI untuk menjamin transparansi dan ketaatan terhadap hukum. Langkah ini perlu dilakukan agar tidak terjadi pengulangan sebagai reaksi ketidakpuasan publik atas proses penegakan hukum. Pemerintah perlu melihat dengan komprehensif bahwa tindakn kekerasan terhadap POLRI pernah marak dan menjadk pola perlawanan masyarakat atas ketidakprofesionalan penggunaan kewenangan POLRI.

Friday, March 8, 2013

PKS, ditengah prahara menyembunyikan strategi mencetak pemimpin daerah & nasional

Prahara yang menimpa PKS yang menimpa (mantan) presiden PKS masih meninggalkan jejak proses hukum yang masih dilakukan oleh KPK. Kasus (dugaan) suap yang mengarah pada (mantan) presidennya cukup mengusik kepercayaan publik yang selama ini menaruh asa bahwa PKS merupakan partai yang masih menjaga komitmen sebagai partai yang bersih dan bebas korupsi. Pada waktu yang bersamaan, PKS yang digoncang prahara menghadapi pilkada pada tahun 2013 antara lain Jabar, Sumut dan Jateng.

Setelah kekalahan di Pilgub DKI dan terbongkarnya (dugaan) suap kepada (mantan) presidennya, beban berat untuk merengkuh kepercayaan publik untuk menarik kemenangan dalam kompetisi menjadi beban berat. Pembuktian bahwa opini publik yang terbangun pasca prahara suap daging ditunjukkan pada saat pilgub Jabar. Dengan kemenangan pasangan yang didukung oleh PKS yang sudah diketahui sejak dari hasil quick  count lembaga survey dan tegaskan oleh real count KPU, mesin partai tetap solid mendukung PKS.

Perolehan suara pasangan Aher-Deddy menjadi bukti tidak hanya dukungan kader partai, melainkan tertransformasinya kerja keras dari dukungan kader  tersebut menjadi dukungan publik. Keberhasilan strategi diawali dari kejelian dalam memilih calon yang hendak di dukung dalam pilgub. Pilihan calon PKS mengkombinasikan pengalaman dan menduetkan dengan kader partai. Pertama, individu berpengalaman adalah incumbent baik petahana gubernur maupun wagub, atau jajaran puncak birokrasi misalnya sekdaprov.

Pilihan ini menjadi shortcut untuk tidak memulai dari awal 'polesan' politik calon atau pasangan calon. Incumbent  sudah dikenal publik, minimal sudah memiliki jejaring dukungan di internal birokrasi yang pernah/sedang dipimpin. Modal awal inilah yang tidak perlu lagi energi untuk mengenalkan, membangun dan meyakinkan citra dan prestasi dari pasangan yang didukung. Dukungan dari internal birokrasi akan memudahkan mendorong mesin birokrasi untuk berkiprah dalam menentukan pendulangan suara.

Kedua, petahana diduetkan dengan kader partai. Ini merupakan strategi jitu dalam mencantrik alias proses pemagangan politik kadernya yang minim pengalaman. Kejituan ini terletak pada peluang untuk mengkarbit kadernya sebagai pemimpin daerah. Strategi ini adalah bagian dari 'program' atau rencana partai tersebut untuk nantinya mengambil alih kepemimpinan nasional. Ketika kader-kadernya sudah memiliki pengalaman birokrasi, dikenal publik, dan prestasi maka 'persediaan' pemimpin (daerah dan nasional) akan melimpah.

Dalam hal ini PKS menjadi partai yang secara sistematis membangun kaderisasi pemimpin politik. PKS saat ini bukan hanya partai kader semata, melainkan partai kader pemimpin (daerah dan nasional). Semangat partai kader berhasil ditransformasikan menjadi semangat partai kader mencetak kader pemimpin. Kondisi inilah yang membedakan PKS dengan partai lain, bahkan meninggalkan jauh pesaing parpol lainnya yang masih terjebak pada figur atau  keturunan darah biru politik.

Ambil contoh dari uraian diatas adalah mulai dari pilgub DKI yang mendukung Fauzi Bowo, kemudian pilgub Jabar yang mendukung Ahmad Heryawan dengan memasangkan kadernya Deddy Mizwar. Selanjutnya yang baru saja dilakukan pemungutan suara adalah pilgub Sumut yang memasangkan Plt Gubernur, Gatot Pudjo Nugroho dengan  Tengku Erry mememenangkan pilgub versi quick count. Dan untuk pilgub Jateng yang sudah selesai di tahap pendaftaran cagub, PKS menduetkan sekdaprov, Hadi Prabowo bahkan lebih 'ekstrim' lagiin pasangannya adalah kader PDIP.

Dalam hal kader pemimpin, prahara yang diuraikan di paragraf awal tidak melalui polemik berkepanjangan seperti terjadi di teman koalisinya. Dalam hitungan jam, PKS sudah tampil dan mentransformasikan diri dengan pemimpin (baca: pnresiden) baru. Berbeda dengan partai Demokrat pasca berhentinya ketua umumnya, internal partainya masih galau memilih nahkodanya bahkan meminta pihak lain untuk mengakomodasi prahara partainya.

PKS memiliki rencana besar ketika pasangan cagub yang didukung menjadi kepala daerah. PKS yang nantinya tidak niscaya memenangkan pemilu tahun 2019. Karena kepala daerah dari PKS akan memainkan mesin  birokrasi untuk mendukung program pembangunan kepala daerah. Meski hal ini dapat menjadi bumerang namun sinyal siaga sudah dikirimkan ke parpol lainnya bahwa PKS memiliki kader pemimpin yang melimpah dan sarat dengan pengalaman. Dalam hal ini, PKS hanya memainkan peranan untuk membangun koalisi dengan TNI dalam membangun dukungan di suksesi pemimpin nasional.

Tuesday, March 5, 2013

PDIP Berjaya di Pilgub Jateng 2013 (Sebelum Pilgub digelar)

Pada pukul 00.00, Rabu, 6 Maret 2013  sudah 3 pasangan calon gubernur (cagub) Jateng yang mendaftarkan diri ke KPUD Jateng. Ketiga pasangan tersebut antara lain Bibit Waluyo-Sudijono, Ganjar Pranowo-Heru Sudjatmiko dan Hadi Prabowo-Don Murdono. Dalam Pilgub Jateng pasca pendaftaran ke KPU memunculkan 'keunikan' dari calon-calon gubernur dan pasangannya.

Pertama, semua nama cagub dan pasangannya akhiran namanya adalah huruf 'o'. Akhiran huruf 'o' ini menjadi penonjolan sisi kejawaannya dari sisi nama. Dimana pelafalan logat jawa pada umumnya di konotasikan dengan akhiran huruf 'o'. Artinya pertimbangan putra daerah benar-benar menjadi keutamaan dalam mengajukan pasangan calon. Meskipun pertimbangan tersebut dibungkus dengan argumentasi diplomatis-politik, tidak dapat menghindarkan diri dari pengaruh pertimbangan kedaerahan. Argumentasi diplomatis-politik mencuat dengan jargon seperti kader partai, mempertahankan atau meneruskan keberhasilan, atau pengalaman birokrasi.

Lafal 'o' juga mencerminkan keumuman dari figur yang dicalonkan. Keumuman dimaksud bahwa tidak ada calon yang mengejutkan dari kalangan pengusaha atau pemuda seperti pada pilgub sebelumnya. Kondisi ini bisa menunjukkan kegagalan kaderisasi di Jateng dan atau para tokoh-tokoh di Jateng kapok mencalonkan diri. Kedua hal tersebut menjadi sinergi dalih dari tokoh Jateng untuk berkompetisi yang melibatkan ongkos politik yang tidak sedikit. Sinergi dalih melahirkan kegamangan, sambil melihat kondisi diri yang belum keceh duit untuk sekedar 'menghamburkan' kekayaan dengan resiko politik yang tinggi.

Kedua, semua pasangan cagub sebenarnya adalah kader PDIP atau pernah menjadi 'kader' PDIP. Ganjar-Heru dan Don Murdono adalah kader PDIP yang masih aktif. Bibit adalah calon petahana yang memenangkan pilgub dengan PDIP sebagai gerbongnya. Hadi Prabowo, sekda provinsi Jateng yang melamar PDIP untuk menjadi gerbong pencalonannya sebelum pindah gerbong ke koalisi partai setelah rekomendasi PDIP turun ke pihak lain. Semua pasangan cagub nyaris mambu PDIP, yang menempatkan PDIP sebagai pencetak kader pemimpin di level Jateng atau bahkan nasional pasca runtuhnya 32 tahun rejim militer.

Sebagai pencetak kader pemimpin, PDIP berhasil melakukan kaderisasi dibandingkan dengan partai lain. Pencalonan cagub Jateng bisa menjadi bukti didepan partai politik lain yang masih bersusah payah menelorkan pemimpin mumpuni. Partai politik yang di pemberitaan media selalu hiruk pikuk dalam menampilkan kader partainya, ternyata tidak bernyali untuk menerjunkan kadernya di kompetisi pilgub Jateng. Atmosfer pertarungan menciutkan nyali kader-kader partai untuk tampil bersaing, bahkan 'menyewa' kader pemimpin lain untuk ditampilkan sebagai cagub.

Kondisi demikian menempatkan Jateng dalam peta politik nasional yang nggegirisi bagi parpol. Selain ketidakbisaan untuk mencalonkan sendiri karena tidak memenuhi kuota kursi yang dipersyaratkan, pragmatisme politik parpol mendorong untuk melakukan 'persewaan' kader baik non parpol maupun dari parpol. Pragmatisme politik diupayakan mendatangkan political benefit ketika pasangan cagub yg didukung memenangi pertarungan.

Ketiga, dengan jumlah pemilih yang tinggi namun pasangan calon yang sedikit akan membentuk atmosfer pertarungan yang seru. Dihantui suara dominan golongan putih, memperebutkan suara 'sisa' golput untuk mendulang kemenangan akan dilakukan oleh 3 pasangan calon. Perebutan suara apabila mendasarkan diri pada keunikan kedua maka sejatinya yang sedang direbutkan adalah suara kader PDIP. Suara kader non PDIP akan melengkapi perolehan suara. Meski pelengkap, suara non PDIP menjadi penentu akumulasi suara yang akan mengantarkan cagub menempati urutan teratas.

Sunday, March 3, 2013

Watak Kekuasaan: Hukumpun Hendak diintervensi

Publik masih menyisakan kesadaran bocornya Sprindik Anas dan penetapan tersangkannya terjadi setelah pidato SBY yang meminta ketua umum Partai Demokrat agar fokus pada kasus hukum yang sedang dihadapi. Pidato ketua dewan pembina kemudian seolah menjadi 'instruksi' bagi penegak hukum untuk menyegerakan proses hukum. Keseolahan instruksi ini melahirkan pesan intervensi kekuasaan SBY yang merupakan presiden RI terhadap KPK untuk mengkriminalisasi individu yang tidak dikenan oleh penguasa.

Praktek intervensi kekuasaan tidak hanya berhenti sampai pada penetapan tersangka, namun berlanjut pada peraturan KPU mengenai penetapan Daftar Caleg Sementara (DCS). Kisruh partai pemenang pemilu berimbas pada usaha partai tersebut yang meminta KPU agar membuat peraturan yang mengakomodasi kisruh partainya. Law by request sedang diusahakan oleh partai Demokrat karena ada potensi gangguan dalam proses politik pendaftaran DCS.

Intervensi kekuasaan menjadi salah satu bentuk penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Penyalahgunaan kekuasaan yang ditujukan untuk penyelenggara negara berkesesuaian dengan kehendak atau kepentingan pemegang kekuasaan. Pemegang kuasa tanpa kontrol kuat dari publik dan rapuhnya dignitas pemegang kekuasaan, intervensi menjadi cara agar kekuasaan lain agar mudah direngkuh dan ditundukkan. Perengkuhan dan penundukkan kemudian menempatkan kekuasaan dibawah 'ketiak' pemegang kekuasaan.

Kisruh partai yang kehilangan ketua umum tidak boleh ditransformasikan menjadi masalah publik. Dengan meminta KPU agar membuat peraturan yang bisa mengakomodasi kisruh partai demokrat menjadikan partai tersebut sebenarnya tidak siap dengan dinamika partai. Dengan tidak mengupayakan solusi internal, dan lebih memilih pihak eksternal untuk memberikan solusi menjadikan partai demokrat merupakan political infant.

Intervensi tidak hanya sampai disini, pada saat hendak berangkat ke luar negeri juga melakukannya dengan menyatakan agar mantan ketua umumnya bisa tidak terbukti atau bebas dari dakwaan korupsi. Pernyataan ini menjadi upaya mengirim sinyal politik seperti saat pidato agar ketua umumnya fokus pada masalah hukum. Sinyal politik yang dapat dimaknai sebagai intervensi menunjukkan keinginan untuk menampilkan superioritas dan kemampuan mengendalikan pihak-pihak tertentu.

Superioritas dan kemampuan kontrol yang ditonjolkan menjadikan karakteristik kekuasaan yang otoriter. Kekuasaan yang tidak bisa ditentang bahkan keinginan untuk berada diatas hukum. Bahkan ketika hukum tidak mampu mengakomodasi kepentingannya maka hukum di paksa-upayakan agar sesuai (law by request). Perilaku berhukum yang demikian berbahaya dalam demokrasi, kekuasaan yang dicerminkan dengan suara terbanyak (mayoritas). Suara terbanyak akan mengintervensi hukum dengan mengatasnamakan mayoritas agar sesuai dengan kepentingan mayoritas.

Perilaku kekuasaan yang diperlihatkan oleh pemegang kekuasaan saat ini dapat menginspirasi pihak pemegang kekuasaan ditempat dan waktu yang berbeda. Hukum yang diharapkan menjadi kontrol bagi kekuasaan, dapat terjebak pada teror intervensi mayoritas sebagai pemegang kekuasaan tanpa mempertimbangkan kepentingan publik yang lebih luas. Hukum akhirnya hanya refleksi pemegang kekuasaan dengan modus intervensi ke pihak lain.

Saturday, March 2, 2013

Stasiun Susu: Profil Enterpreneur Muda Salatiga

Stasiun susu bukan stasiun biasa seperti kereta api, melainkan sebuah merek dagang yang mempionir pengolahan susu sapi secara 'istimewa'. Keistimewaan ini dalam konteks kota Salatiga adalah pertama, susu sapi disajikan tidak hanya sebatas susu biasa seperti banyak disajikan oleh warung susu yang ada di Salatiga. Pengolahan penyajian susu dengan di-blender bercampur rasa yang dikehendaki menqhasilkan cita rasa yang berbeda.

Kedua, selain menu susu, disajikan leker yang lebih mirip crepes. Warga Salatiga yang familiar dengan leker depan kampus swasta terkenal akan mengalami petualangan rasa leker yang berbeda dari bentuk dan rasa. Ketiga, stasiun susu terletak bukan di zona perdagangan Salatiga. Sehingga kehadirannya didahului dengan nama yang populer. Artinya rasa yang enak melahirkan penasaran konsumen untuk bisa mengunjunginya. Lokasi berjualan yang dekat dengan bangjo Grogol cukup sulit untuk diketahui konsumen yang penasaran.

Keempat, olah susu telah menghadirkan prestasi atas inovasi yang dilakukan. Pengakuan terhadap inovasi menjadi bentuk orisinalitas kewirausahaan yang dilakukan (lihat foto). Penghargaan ini sangat jarang diperoleh wirausaha di Salatiga. Sehingga penghargaan ini menjadi bentuk keberanian dalam berwirausaha dan melakukan usaha yang berbeda dengan warung serupa yang menjual susu.