Sabtu siang, 23 Februari 2013, ketua umum Partai Demokrat (PD) mengumumkan pengunduran dirinya sebagai ketua umum PD. Sikap ini diambil setelah dirinya dinyatakan sebagai tersangka kasus korupsi oleh KPK. Keputusan KPK yang sudah terbaca dari sinyalemen pidato ketua dewan pembina PD. Meski tidak hendak bertendensi bahwa KPK terdikte oleh sinyalemen tersebut, kebetulan ini bisa dimaknai saling terkait.
KPK selama 2 bulan ini di tahun 2013, tiap bulannya men-tersangka-kan pucuk pimpinan partai politik (parpol). Apabila KPK rajin mengulik aliran dana ke parpol di tahun ini, tidak mengherankan di tiap bulannya akan ada pucuk pimpinan parpol yang dijadikan tersangka. Katakanlah ada 11 parpol yang akan menjadi pesakitan KPK ditiap bulannya, kecuali di bulan Ramadhan (asumsinya PKPI juga menjadi peserta pemilu).
Pernyataan diatas tidak tendesius dengan melihat karakteristik parpol di Indonesia yang sumber dana untuk mengelola parpol belum ditopang oleh kesadaran iuran anggota atau kadernya. Iuran anggota dimaksud bukan sumbangan sukarela dari anggota yang sudah duduk di kursi parlemen atau eksekutif. Bukan juga dari simpatisan parpol yang bersangkutan dari kalangan non parpol, yaitu pengusaha atau pihak swasta yang memiliki preferensi politik terhadap parpol tersebut atau mereka yang sudah mendapatkan 'dukungan' usaha dari parpol tersebut.
Iuran anggota yang ada diseluruh pelosok negeri belum menjadi pilar utama pembiayaan parpol. Anggota atau kader parpol belum berdaulat atas partainya, seperti warga negara yang taat membayar pajak. Pihak yang berdaulat dalam partai adalah para pengurus partai dan atau pihak yang rajin memberikan donasi untuk membantu menyelenggarakan kegiatan parpol. Dengan mengesampingkan pihak swasta atau simpatisan dalam berkontribusi untuk pendanaan parpol, pengurus parpol khususnya yang duduk sebagai anggota dewan atau kepala daerah memiliki tanggung jawab untuk berkontribusi finansial dan material ke parpolnya.
Tanggung jawab berkontribusi kepada parpol sebenarnya memuat kewajiban untuk memberikan donasi dari hasil kerja politiknya baik di parlemen maupun di pemerintah daerah. Kader partai yang menjadi anggota legislatif atau kepala daerah memiliki kerja sampingan (political side job) untuk menggali potensi sumber-sumber dana yang tersedia untuk menggerakkan kerja parpol. Sumber dana ini tunggal, namun memiliki derivasi yaitu anggaran belanja negara atau daerah.
APBN/D menjadi sumber dana politik, ketika belanja pemerintah melalui pengadaan barang/jasa ditransformasikan menjadi komoditas politik. Sebagai komoditas politik, maka tercipta transaksi politik segitiga yaitu antara legislatif, eksekutif dan dunia usaha. Tiga pihak ini membentuk segitiga hitam koruptik (korupsi politik) yang selama ini terjadi dan sudah diungkap oleh aparat penegak hukum. Segitiga hitam inilah yang menjadikan anggaran negara dikapling untuk kepentingan dan keuntungan parpol.
Korupsi sudah bergeser sejak lama dari korupsi birokrasi ke korupsi yang didorong oleh partai politik (koruptik). Korupsi politik mendesak aparat pemerintah melakukan perintah elit politik yang terlebih dahulu 'menggoreng' anggaran pada saat pembahasan APBN/D. Fakta demikian harus menjadi perhatian penegakan hukum selain korupsi judicial oleh penegak hukum iu sendiri.
Pemahaman atas koruptik ini dapat diarahkan untuk memperbaiki kualitas demokrasi dan otonomi daerah. Perbaikan kualitas demokrasi dalam hal, pertama, biaya politik pencalonan kepala daerah. Kedua, transaksi politik terhadap APBN/D. Kritik atas demokrasi dan otonomi daerah adalah besarnya dana politik pilkada dan pencalonan kepala daerah yang mendorong setiap individu yang (hendak) terpilib untuk mengeluarkan biaya yang besar.
Permasalahan tersebut kemudian ditawarkan solusi untuk mendaur ulang demokrasi dalam pemilihan gubernur dari pemilihan langsung ke pemilihan yang dilakukan oleh DPRD. Solusi yang ditawarkan tidak sampai pada akar masalah yaitu bahwa selama ini sistem demokrasi dengan mekanisme pemilihannya mengembangbiakan transaksi politik yang koruptif. Biaya politik tidak dikontrol atau tersentuh tangan hukum, dan seolah-olah dibiarkan merajalela dan menggurita.
Tidak tersentuh dan pembiaran ini diduga karena adanya kesadaran dari elit parpol, khususnya mereka yang duduk di lembaga legislatif. Lembaga legislatif akan sulit didorong untuk membuat hukum positif yang berpotensi membatasi dirinya dan rumah politiknya dibongkar oleh produk buatannya. Namun aparat penegak hukum sudah menggunakan UU Tipikor untuk membongkar sarang koruptik. Dalam hal ini, berkaitan dengan peningkatan kualitas demokrasi, KPK harus melakukan pengawasan terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam setiap proses demokrasi disetiap levelnya.
Pada tahap awal, KPK memantau aliran dana anggota parpol, pasangan calon, tim sukses atau anggota legislatif dari parpol yang mengusung pasangan calon dalam pilkada. Pemantauan ini diharapkan dapat mulai membongkar embrio korupsi pasca pilkada. Dalam hal ini, langkah pemantauan menjadi upaya preventif korupsi yang bisa dilakukan oleh semua pihak yang terlibat dalam setiap proses demokrasi. Dengan demikian, penegak hukum mematahkan rangkaian korupsi dari proses demokrasi. Demokrasi tidak dipandang sebagai penyebab korupsi yang mulai menyeruak di benak publik dewasa ini.