Saturday, February 23, 2013

Partai Politik: Sarang Koruptik

Sabtu siang, 23 Februari 2013, ketua umum Partai Demokrat (PD) mengumumkan pengunduran dirinya sebagai ketua umum PD. Sikap ini diambil setelah dirinya dinyatakan sebagai tersangka kasus korupsi oleh KPK. Keputusan KPK yang sudah terbaca dari sinyalemen pidato ketua dewan pembina PD. Meski tidak hendak bertendensi bahwa KPK terdikte oleh sinyalemen tersebut, kebetulan ini bisa dimaknai saling terkait.

KPK selama 2 bulan ini di tahun 2013, tiap bulannya men-tersangka-kan pucuk pimpinan partai politik (parpol). Apabila KPK rajin mengulik aliran dana ke parpol di tahun ini, tidak mengherankan di tiap bulannya akan ada pucuk pimpinan parpol yang dijadikan tersangka. Katakanlah ada 11 parpol yang akan menjadi pesakitan KPK ditiap bulannya, kecuali di bulan Ramadhan (asumsinya PKPI juga menjadi peserta pemilu).

Pernyataan diatas tidak tendesius dengan melihat karakteristik parpol di Indonesia yang sumber dana untuk mengelola parpol belum ditopang oleh kesadaran iuran anggota atau kadernya. Iuran anggota dimaksud bukan sumbangan sukarela dari anggota yang sudah duduk di kursi parlemen atau eksekutif. Bukan juga dari simpatisan parpol yang bersangkutan dari kalangan non parpol, yaitu pengusaha atau pihak swasta yang memiliki preferensi politik terhadap parpol tersebut atau mereka yang sudah mendapatkan 'dukungan' usaha dari parpol tersebut.

Iuran anggota yang ada diseluruh pelosok negeri belum menjadi pilar utama pembiayaan parpol. Anggota atau kader parpol belum berdaulat atas partainya, seperti warga negara yang taat membayar pajak. Pihak yang berdaulat dalam partai adalah para pengurus partai dan atau pihak yang rajin memberikan donasi untuk membantu menyelenggarakan kegiatan parpol. Dengan mengesampingkan pihak swasta atau simpatisan dalam berkontribusi untuk pendanaan parpol, pengurus parpol khususnya yang duduk sebagai anggota dewan atau kepala daerah memiliki tanggung jawab untuk berkontribusi finansial dan material ke parpolnya.

Tanggung jawab berkontribusi kepada parpol sebenarnya memuat kewajiban untuk memberikan donasi dari hasil kerja politiknya baik di parlemen maupun di pemerintah daerah. Kader partai yang menjadi anggota legislatif atau kepala daerah memiliki kerja sampingan (political side job) untuk menggali potensi sumber-sumber dana yang tersedia untuk menggerakkan kerja parpol. Sumber dana ini tunggal, namun memiliki derivasi yaitu anggaran belanja negara atau daerah.

APBN/D menjadi sumber dana politik, ketika belanja pemerintah melalui pengadaan barang/jasa ditransformasikan menjadi komoditas politik. Sebagai komoditas politik, maka tercipta transaksi politik segitiga yaitu antara legislatif, eksekutif dan dunia usaha. Tiga pihak ini membentuk segitiga hitam koruptik (korupsi politik) yang selama ini terjadi dan sudah diungkap oleh aparat penegak hukum. Segitiga hitam inilah yang menjadikan anggaran negara dikapling untuk kepentingan dan keuntungan parpol.

Korupsi sudah bergeser sejak lama dari korupsi birokrasi ke korupsi yang didorong oleh partai politik (koruptik). Korupsi politik mendesak aparat pemerintah melakukan perintah elit politik yang terlebih dahulu 'menggoreng' anggaran pada saat pembahasan APBN/D. Fakta demikian harus menjadi perhatian penegakan hukum selain korupsi judicial oleh penegak hukum iu sendiri.

Pemahaman atas koruptik ini dapat diarahkan untuk memperbaiki kualitas demokrasi dan otonomi daerah. Perbaikan kualitas demokrasi dalam hal, pertama, biaya politik pencalonan kepala daerah. Kedua, transaksi politik terhadap APBN/D. Kritik atas demokrasi dan otonomi daerah adalah besarnya dana politik pilkada dan pencalonan kepala daerah yang mendorong setiap individu yang (hendak) terpilib untuk mengeluarkan biaya yang besar.

Permasalahan tersebut kemudian ditawarkan solusi untuk mendaur ulang demokrasi dalam pemilihan gubernur dari pemilihan langsung ke pemilihan yang dilakukan oleh DPRD. Solusi yang ditawarkan tidak sampai pada akar masalah yaitu bahwa selama ini sistem demokrasi dengan mekanisme pemilihannya mengembangbiakan transaksi politik yang koruptif. Biaya politik tidak dikontrol atau tersentuh tangan hukum, dan seolah-olah dibiarkan merajalela dan menggurita.

Tidak tersentuh dan pembiaran ini diduga karena adanya kesadaran dari elit parpol, khususnya mereka yang duduk di lembaga legislatif. Lembaga legislatif akan sulit didorong untuk membuat hukum positif yang berpotensi membatasi dirinya dan rumah politiknya dibongkar oleh produk buatannya. Namun aparat penegak hukum sudah menggunakan UU Tipikor untuk membongkar sarang koruptik. Dalam hal ini, berkaitan dengan peningkatan kualitas demokrasi, KPK harus melakukan pengawasan terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam setiap proses demokrasi disetiap levelnya.

Pada tahap awal, KPK memantau aliran dana anggota parpol, pasangan calon, tim sukses atau anggota legislatif dari parpol yang mengusung pasangan calon dalam pilkada. Pemantauan ini diharapkan dapat mulai membongkar embrio korupsi pasca pilkada. Dalam hal ini, langkah pemantauan menjadi upaya preventif korupsi yang bisa dilakukan oleh semua pihak yang terlibat dalam setiap proses demokrasi. Dengan demikian, penegak hukum mematahkan rangkaian korupsi dari proses demokrasi. Demokrasi tidak dipandang sebagai penyebab korupsi yang mulai menyeruak di benak publik dewasa ini.

Saturday, February 16, 2013

Daur Ulang Demokrasi dalam Rancangan Pemilihan Gubernur melalui DPRD

Isu mengenai evaluasi pemilihan gubernur secara langsung sudah dilakukan dalam kurun waktu yang lama. Pelibatan kalangan akademisi tidak dapat dielakkan, selain untuk mengevaluasi juga mendapatkan dukungan yang legitimatif dari pemikiran intelektual. Kalangan akademis yang bersetuju dengan ide pemilihan gubernur melalui DPRD, apakah didasarkan pada pemikiran ilmiah yang objektif atau pesanan pihak tertentu sehingga menjadikan akademisi menjadi tukang ilmu daripada sebagai ilmuwan.

Ide pemilihan gubernur melalui DPRD mencerminkan kedangkalan berpikir dan minimnya kreatifitas dalam menyodorkan alternatif solusi atas permasalahan pemilihan gubernur secara langsung. Kedangkalan berpikir dilontarkan karena pelembagaan demokrasi pasca reformasi dan amandemen UUD 1945 hendak dilenyapkan dan dikembalikan pada kondisi sebelum reformasi dan amandemen. Demokrasi yang sudah berjalan sekian lama melahirkan anomali demokrasi dan mengarahkan pada dominasi aspek prosedural dan tingginya biaya politik pemilihan gubernur (pilgub).

Aspek prosedural terletak pada pilgub dengan tahap-tahap yang ditetapkan oleh penyelenggara pemilu. Pentahapan yang dilalui seolah bisa mendeklarasikan bahwa demokrasi sudah dilaksanakan. Pilgub yang demikian menafikan kemungkinan manipulasi dukungan yang dilahirkan bukan hasil sebuah proses pendidikan politik, melainkan hasil dari pencitraan instan dan politik uang. Kesadaran politik dalam berdemokrasi belum berubah dari mobilisasi pada saat orba berkuasa dengan mobilisasi citra dan politik uang saat ini.

Kesadaran politik inipun tidak dimiliki oleh tukang akademisi yang melegitimasi pilgub melalui pemilihan oleh DPRD. Kedaulatan rakyat yang sudah diberikan, diupayakan untuk ditarik dan didaur-ulang menjadi demokrasi perwakikan yang masih mengalami distorsi. Wakil rakyat yang tidak kompeten, karena terpilih dari hasil nepotisme politik, politik uang, pencintraan politik menghasilkan demokrasi yang koruptif.

Demokrasi yang koruptif dapat dilihat dari banyaknya transaksi politik dalam penganggaran di APBD/N. Hasilnya maraknya anggota DPRD yang terungkap melakukan korupsi oleh aparat penegak hukum. Watak demokrasi perwakilan yang koruptif terjadi karena tingginya biaya politik ketika mencalonkan diri menjadi anggota legislatif. Peluang politik diupayakan terjadi transaksi politik untuk menghasilkan uang kontan guna menutup biaya politik sebelum atau sesudah pemilihan legislatif.

Pertanyaannya adalah apakah keterkaitan watak demokrasi perwakilan yang masih koruptif dengan daur ulang demokrasi dalam pilgub melalui DPRD? Besarnya biaya politik pilgub yang menjadi dalih untuk mendaur ulang demokrasi tidak seharusnya menjadi solusi mutlak atas situasi anomali demokrasi. Dengan tingkat intelektualitas diatas rata-rata dengan gelar akademik berderet seharusnya mampu berpikir atas solusi anomali demokrasi. Kemampuan berpikir ditunjukkan dengan menggali alternatif solusi untuk mengatasi besarnya biaya politik yang dapat mempengaruhi pemenang pilgub melakukan korupsi.

Tukang ilmu yang melegitimasi sikap kemendagri untuk mendaur ulang demokrasi sudah mengalami kooptasi atas independensi keilmuan dan hegemoni negara atas kebebasan berpikir. Solusi tunggal menjadi manifestasi kedangkalan berpikir untuk lebih mengeksplorasi alternatif solusi yang tidak mendegradasi kualitas demokrasi. Pertama, pilgub serentak dengan pemilihan kepala daerah (pilkada). Keluhan atas besarnya biaya penyelengaraan pilgub dapat dikurangi ketika biayanya digunakan juga untuk pilkada. Mekanisme yang rumit dalam pelaksanaan menuntut kerja keras dalam berpikir.

Kedua, pembatasan biaya politik calon gubernur. Dukungan partai tetap diperlukan, namun bagaimana mencegah terjadinya transaksi politik yang spektakuler untuk 'mahar politik' dengab melibatkan pengawasan aparat penegak hukum. Penegak hukum yang sudah memiliki kemampuan penyadapan bisa memantau proses kontestasi di internal partai atau di akar rumput untuk calon independen. Calon gubernur yang diketahui melakukan pembelian kendaraan politik dapat didiskualifikasi atau dilarang mengikuti pilgub.

Ketiga, e-polling. Pilgub yang dilakukan secara elektronik bukan sebuah kemuskilan. Dengan diberlakukannya e-ktp maka single number identification menjadi syarat untuk mengirimkan pilihan politik warga negara. Tahapan pemilu konvensional tetap dilakukan untuk verifikasi data pemilih dan nomor identitasnya. Keempat, pengawasan dana kampanye. Dengan melibatkan penegak hukum dan PPATK, aliran dana kampanye dapat diketahui dan dilacak sumbernya. Dana kampanye yang tidak jelas sumbernya atau diduga merupakan hasil transaksi keuangan yang mencurigakan dapat menjadi alasan pembatalan pencalonan.

Informasi terkini terkait dengan usulan pemerintah untuk pilgub melalui DPRD ditolak oleh DPR. Ini menjadi kabar baik karena wakil rakyat tidak hendak menarik kembali demokrasi yang sudah diberikan. Bahkan dari sikap politik tersebut termuat kesadaran anti korupsi yaitu bahwa dengan pilgub melalui DPRD akan mengumpulkan kuasa koruptif di lembaga perwakilan. Karena calon gubernur akan mengeluarkan sumber keuangan untuk membeli dukungan DPRD. Dititik ini pengusul dan pemberi legitimasi usulan terkena shortcut syndrom untuk mengatasi masalah dengan mengajukan jalan pintas.

Shortcut syndrom tidak melihat dampak berlanjut dari ide pilgub melalui DPRD yaitu keberlanjutan korupsi antara DPRD yang memilih gubernur terpilih dengan gubernur. Keberlanjutan korupsi berembrio pada pilgub, tererami saat pembahasan anggaran dan menetas pada saat realisasi anggaran. Kontrak politik tidak ada jaminan berhenti ketika para pihak yang bertransaksi politik sudah selesai melakukan tanggung jawabnya. Hubungan politik yang bersimbiosis mutualisme akan terus berlanjut. Dalam hal ini dapat terjadi pertarungan politik terlokalisasi pada hubungan DPRD-gubernur. Dimana rakyat berada diluar arena panggung politik.

Pemikiran yang harus diajukan pada usulan pilgub adalah bagaimana meningkatkan akuntabilitas politik gubernur terhadap rakyat pemilih. Ini yang harusnya mengemuka pada wacana akademik, bukan mengupayakan daur ulang demokrasi. Bagaimana rakyat bisa berpartisipasi terhadap program pembangunan gubernur dengan mengevaluasi perencanaan pembangunan yang sudah dijalankan. Daur ulang harus dicegah dan memikirkan kedua pertanyaan tersebut untuk meningkatkan kualitas demokrasi dari prosedural menjadi substasial dan deliberatif.

KPK: Plinplan atau Terkontaminasi

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang mengalami ujian independensi, tanpa banyak pihak menyadari dan menyorotinya. Ujian independensi berkaitan dengan drama politik partai berkuasa dalam menyikapi kenyataan korupnya para kader partai. Imbas drama politik partai menimpa lembaga ekstraordinary pemberantasan korupsi adalah inkonsistensi sikap yang mengarah pada plinplanitas dalam upaya penegakan hukum pemberantasan korupsi.

Plinplanitas KPK berkaitan dengan pengambilan sikap status hukum seorang ketua partai yang diduga oleh publik terkait dengan kasus korupsi yang sedang ditangani KPK. Dugaan publik lahir karena pernyataan yang kerap dilontarkan dan permainan logika publik yang terkadang tidak sejalan dengan logika hukum. Sikap KPK yang dinilai plinplan berkelindan dengan pidato ketua dewan pembina partai Demokrat, SBY. Pidato SBY yang menyatakan mengambil alih sebagian tugas ketua umum partai dengan tujuan bisa fokus dalam menghadapi kasus hukum melahirkan spekulasi hukum dan politik.

Spekulasi inilah yang membentuk sikap plinplan KPK. Pertama, pasca pidato SBY yang meminta Anas Urbaningrum fokus ke masalah hukum yang dihadapi muncul pernyataan dari KPK bahwa semua anggota KPK sudah setuju untuk meningkatkan status Anas dari saksi menjadi tersangka. Persetujuan tersebut secara legal-formal menunggu penandatanganan sprindiknya saja. Logikanya apabila hanya menunggu tanda tangan maka hari Senjn, 11 Ferbuari 2013 tanda tangan sudah bisa diberikan. Namun, kedua, muncul polemik mengenai bocornya sprindik yang hanya ditandatangani sebagian anggota KPK. Polemik inilah yang mengemuka dalam minggu ini dan menjadi perdebatan publik. Perdebatan yang dimunculkan sendiri oleb KPK bahwa diduga ada pihak yang membocorkan sprindik dan pelanggaran kode etik.

Ketiga, terdapat pernyataan  dari KPK bahwa status Anas akan diputuskan minggu ini (11-16 Februari 2013). Bahkan muncul spekulasi status Anas akan diputuskan pada saat KPK mengadakan rapat pleno pada tanggal 16 Februari 2013). Namun sampai dengan selesainya rapat sekitar pukul 22.00 dan pernyataan ke media tidak ada informasi mengenai perubahan status hukum Anas Urbaningrum. Informasi yang dihadirkan adalah KPK akan melakukan gelar perkara kasus korupsi Hambalang yang terkait dengan keterlibatan Anas pada minggu depan.

Proses hukum di KPK mempengaruhi langkah politik sebuah partai dan ini dalam kasus partai pemenang pemilu 2009 berlaku sebaliknya. Sedikit berbeda dengan yang terjadi dengan partai koalisinya yang hanya terjadi satu arah, penetapan tersangka ketua partai (baca: presiden PKS) oleh KPK mendorong penyesuaian cepat oleb partai untuk meminimalisasi dampak kerusakan politik. Sikap SBY sebagai ketua dewan pembina yang mengambil alih tugas ketua umum agar bisa fokus terhadap kasus hukum yang dihadapi, tentunya didasarkan pada informasi terpercaya berkaitan dengan proses hukum yang terjadi di KPK.

Keterandalan informasi yang menjadi dasar pengambilan sikap dan keputusan partai sangat penting. Namun fakta yang bergulir minggu lalu menunjukkan bahwa diduga terjadi distorsi informasi yang diterima SBY, karena info didasarkan pada sprindik aspal (asli tapi palsu). Bahkan muncul dugaan di dunia maya bahwa sumber kebocoran berasal dari ketua KPK sendiri yang memberikan informasi kepada wartawan stasiun televisi. Informasi status hukum yang menjadi dasar pidato SBY sangat penting dalam hal pertama, sikap SBY menjadi pertaruhan wibawa personal dan partainya. Bola politik di internal partai demokrat sudah menggelinding jauh dan bahkan mempolarisasi kekuatan internal partai antara pihak yang menghendaki Anas lengser dengan pendukungnya Anas.

Pidato SBY apabila dimaknai dalam perspektif budaya jawa yang kuat semangat patron-klien adalah sabdo pandhito ratu, artinya sebagai perintah yang harus dituruti. Perintahnya terlepas valid tidaknya status hukum Anas yang berasal dari sumber internal KPK maka Anas harus melepaskan jabatan ketua umum. Dalih untuk memperbaiki citra partai atau memulihkan kepercayaan politik rakyat, hanya merupakan political gimmick. Dan sikap politik partai-nya SBY berpontensi untuk mendikte KPK yaitu agar Anas ditetapkan sebagai tersangka. Penetapan tersangka akan memuluskan langkah suksesi politik partai 'mercedes' jni, dan SBY tidak akan kehilangan muka atau mengalami degradasi kewibawaan.

Sikap politik partai berhasil menggalaukan lembaga sekaliber KPK yang berplinplan-ria dengan status hukum Anas. Jurubicara, anggota dan ketua KPK tertangkap media dalam pernyataannya yang plinplan dalam menentukan status hukum Anas. Dalam hal ini, pidato SBY dapat dimaknai sebagai usaha mendikte penegakan hukum pemberantasa  korupsi. Sikap SBY melahirkan saudara kembar pembunuhan karakter yaitu kriminalisasi dan politisasi status hukum Anas.

KPK sebagai lembaga dengan tingkat kepercayaan tinggi dari rakyat untuk memberantas korupsi diuji untuk independen terhadap pengaruh politik penguasa. Sadar atau tidak sikap KPK bermanifestasi plinplan atau sudah terkontaminasi sebagaimana ditunjukkan dari setiap pernyataan lembaga tersebut. Janji KPK untuk melakukan gelar perkara terhadap status hukum Anas yang dilakukan minggu depan sebagai hasil pertemuan pada tanggal 15 Februari 2013 dapat menjernihkan karut marut ini. Karut marut dari hasil pembuahan politik dan hukum, KPK dan partai politik.

Thursday, February 14, 2013

Cermin Kekuasaan

Gonjang ganjing politik di internal partai politik (parpol) yang berkelindan dengan kasus hukum di lembaga extraordinary pemberantasan korupsi melahirkan tsunami politik didalam tubuh parpol. Sebagai bagian dari pilarkan  politik yang bekerja dalam atmosfer demokrasi, parpol dengan tujuan utamanya meraih kekuasaan maka mempertahankan kekuasaan menjadi prioritas kegiatannya. Atas nama konsolidasi internal, sebenarnya sedang melakukan upaya penyelamatan partainya dari pencabikan citra politik pasca kasus hukum yang menimpa ketua parpolnya.

Keadaan demikian dapat menjadi cermin bagi institusi lain. Mencerminkan situasi lain berarti meletakkan keadaan gonjang-ganjing partai sebagai cermin bagi keadaan instusi lain yang tidak sama dengan hakekat cermin itu. Ketidaksamaan tersebut berkaitan dengan perbedaan hakiki dari institusi yang sedang dicerminkan. Institusi yang sedang dicerminkan bukan organisasi politik, tidak hendak mencapai kekuasaan politik dengan bertarung dalam suatu pemilihan umum.

Keduanya berbeda antara cermin dan yang dicerminkan, namun demikian memiliki kesamaan hakekat dengan wilayah obyek yang berbeda. Pendidikan adalah kesamaannya. Mendidik bangsa Indonesia dengan saling menopang antara cermin dan yang dicerminkan mampu menghasilkan sinergi, paling tidak sinergi dalam membangun dan mempertahankan demokrasi. Demokrasi menjadi penghubung nilai-nilai dalam mengembangkan diri masing-masing. Namun demokrasi itulah yang dapat menjadi pil pahit dengan kemungkinan membunuh dari dalam

Sifat cermin ketika memantulkan memiliki sifat berkebalikan yang berkesamaan. Demikianlah antara kedua institusi ini, kepanikan yang hadir ketika hendak mempertahankan kekuasaan mengakibatkan menggunakan daya-upaya yang dimiliki. Cermin menggunakan konsolidasi dengan diikuti pencopotan, pengunduran diri, rapat pimpinan sebagaj upaya menambal bopeng citra korupsinya. Yang dicerminkan menggunakan upaya politik dengan mementahkan hasil keputusan yang dibuat dalam sebuah kesadaran demokratis. Pertemuan dengan pengesahan dari yang hadir kemudian diingkari oleh yang hadir.

Aspek prosedural kemudian mengemuka dengan membuat pertemuan dari pihak yang menolak pertemuan agar menghasilkan keputusan. Proseduralitas ini didasari dengan dominasi pemikiran hukum yaitu 'yang terbaru mengesampingkan yang lama', artinya bahwa yang diakui sebagai keputusan adalah hasil keputusan yang terbaru untuk menggantikan keputusan yang dibuat sebelumnya.

Sikap orang dewasa dengan tingkat kesadaran dan pendidikan diatas orang awam, ketika mudah berubah dalam bersikap terdapat 3 (tiga) kemungkinan yaitu terjadi perubahan cepat kondisi eksternal sehingga membutuhkan kemampuan adaptasi, plinplan, dan terdapat usaha pihak tertentu yang mempengaruhi. Kemungkinan pertama dan ketiga akan sangat kental nuansa politiknya. Nuansa politik berkaitan dengan hakekatnya yaitu kepentingan dan siapa (akan) mendapatkan apa, kapan dan dimana.

Dua yang disebutkan yang terakhir menjadi kesamaan antara cermin dengan yang dicerminkan dengan wajah identik yang dihadirkan yaitu kekuasaan. Kekuasaan dimanapun berada mampu merayu dan merajuk siapapun yang tidak memiliki daya tahan terhadap godaan atau ingin membebaskan syahwat kekuasaan yang sebelumnya terkekang, kemudian ingin mempertahankan dan meneruskan kekuasaan yang berada dalam genggaman. Akademisi seketika bisa berubah menjadi politisi ulung yang hanya berani 'dikolam mini-nya'. Ikan besar yang berada dikolam 1X2 meter misalnya akan menimbulkan gelombang yang menggoyang seluruh isi kolam.

Dititik inilah keberanian untuk mengembangkan kapasitas individu ketika hendak berolah politik di kolam besar seperti parpol atau organisasi lain dalam skala nasional adalah bentuk nyali yang berkembang sesuai dengan kapasitas individu yang melekat. Lumba-lumba yang ditaruh kolam sirkus akan menghasilkan gelombang besar. Kecuali ternyata politisi-akademis sebenarnya tikus yang menggunakan topeng singa kekuasaan, sehingga ketika berhadapan dengan tikuspun tidak mampu menyembunyikan nyali tikus yang sebenarnya.

Kekuasaan menggoda dan merayu untuk terus diraih dan dipertahankan. Politisi akan mengatasnamakan rakyat ketika membuat kebijakan yang dampaknya merugikan rakyat. Bahkan seorang despotis-pun memproklamirkan mencintai rakyatnya ketika dia menebas habis nyawa-nyawa rakyatnya. Kekuasaan tidak hanya mampu mentransformasi penampakan seperti cermin yang digunakan untuk mendadani dirinya. Kekuasaan juga menciptakan zat adiktif yang merasuki penggunanya untuk terus menggunakan dengan tetap mempertahankannya. Seperti cermin yang menjadi sarana narsis, demikianlah kekuasaan membentuk rasa cinta terhadap dirinya melampaui apapun dan siapapun.

Hasil Korupsi: Nampak Berulang Minim Kesadaran (Pentingnya Pembuktian Terbalik)

Sekali lagi, dua hari ini publik disuguhi berita tentang hasil korupsi. Setelah kasus korupsi pajak yang melibatkan pegawai pajak golongan III A, Gayus Tambunan, Nazarudin, Angelina Sondakh dan saat inj Irjen Djoko Susilo. Keempatnya adalah sample pelaku korupsi dari populasi korupsi dengan penambahan harta kekayaan yang signifikan dari hasil korupsi. Penambahan kekayaan bagi masyarakat dengan tingkat pendidikan yang minimal belajar matematika atau logika berhitung tentu tidak akan mengalami kesulitan.

Secara sederhana, jumlah pendapatan dari pekerjaan dikurangi kebutuhan hidup riil akan menghasilkan jumlah kekayaan. Rasionalisasi kekayaan menjadi relevan dengan pembuktian terbalik. Yaitu siempunya kekayaan harus membuktiksn bahwa kekayaannya berasal dari pekerjaan yang sah dan halal. Jumlah kekayaan yang tidak sesuai dengan pendapatan pekerjaannya, dapat diduga merupakan hasil kejahatan dan atau korupsi.

Kekayaan Irjen Djoko Susilo yang terungkap saat penyitaan terhadap rumahnya oleh KPK menjadi salah satu bukti irasionalitas kekayaan. Berapa gaji dan pendapatan seorang jenderak polisi, sehingga mampu membeli rumah miliaran rupiah di beberapa tempat. Atau kekayaan Angelina Sondakh yang berlipat sejak duduk sebagai anggota DPR pada tahun 2004. Demikian juga kekayaan Gayus Tambunan yang hanya pegawai golongan IIIA, namun memiliki kekayaan yang sangat besar.

Masyarakat bisa melihat disekelilingnya apakah ada tetangga yang memiliki kekayaan yang tidak signifikan dengan gaji atau pendapatannya. Jaman dulu di pulau Jawa ketika ada tetangga yang memiliki kekayaan yang melimpah dan tidak bisa dinalar, stigmatisasi publik adalah memiliki pesugihan atau cara memiliki kekayaan dg cara mistis seperti memelihara tuyul. Saat ini bagi individu yang bekerja sbg PNS, POLRI, DPRD atau yang berkaitan dengan pemerintah akan terbentuk opini publik sebagai gosip bahwa yang bersangkutan dapat posisi 'basah' atau korupsi.

Kekayaan yang melimpah bagi pejabat publik atau pemerintah saat ini hanya sebatas gosip bahwa mereka korupsi. Tetapi penegak hukum tidak curiga karena mereka memiliki strata sosial dan politik yang tinggi di masyarakat. Bahkan penegak hukum dalam menangani kasus korupsi harus menunggu yang bersangkutan lengser atau sudah tidak menjabat lagi. Model penegakan hukum seperti ini adalah kepengecutan sosial. Dalam hal ini KPK memberi teladan, dengan nyali tinggi mengungkap dan menyita kekayaan dari hasil korupsi.

Regulasi mengenai pembuktian terbalik harus ditegaskan dan atau diatur lagi, bahwa pejabat publik, POLRI, TNI, DPR/D, PNS, BUMN/D harus diminta membuktikan secara terbalik bahwa kekayaan yang dimiliki bukan hasil korupsi atau kejahatan. Pada tahap awal aturan tersebut, bagi kekayaan yang terbukti sebagai hasil korupsi akan disita oleh negara. Tahap selanjutnya adalah penerapan sanksi pidana bagi individu yang memiliki kekayaan dari hasil korupsi. Pengawasan terhadap regulasi ini dilakukan KPK dan masyarakat, sedangkan pelaksanaannya oleh Kejaksaan. Sedangkan untuk Jaksa dilakukan oleh KPK.

Pembuktian terbalik menjadi bagian membangkitkan kesadaran bahwa negara tidak membiarkan penambahan kekayaan dengan cara-cara korup atau mengambil uang rakyat. Pembiaran negara terjadi karena daya jangkau penegak hukum untuk memberantas korupsi terbatas. Namun gurita korupsi sudah mencapai titik kritis bagi negara yang demokrasinya masih dominan prosedural. Kekayaan tidak sesuai dengan penghasilan dan gaya hidup. Dititik inilah, pendapat yang menyatakan korupsi terjadi karena rendahnya gaji sehingga dibutuhkan kenaikan gaji sudah tidak relevan.

Korupsi saat ini adalah bagian dari crime by greedy. Ketamakan terjadi bukan karena kebutuhab hidup, melainkan tuntutan gaya hidup. Berapapun gaji atau penghasilan seseorang tidak akan mencukupi ketika gaya hidup mengalami peningkatan. Kekayaan yang diperoleh merupakan bagian yang disisihkan dari biaya pemenuhan gaya hidup. Dalam hal ini bisa berlaku hukum Gossen atas gaya hidup yaitu kenikmatan konsumsi akan mengalami penurunan ketika sudah dilakukan secara berulang. Ketika gaya hidup sudah menjadi hanya semata pengulangan atau mempertahankan peer group maka akan ada pengalihan.

Kekayaan saat ini sudah menjadi simbol status sosial. Hukum tidak mampu merendahkan martabat kelompok sosial yang mengutamakan kekayaan. Mereka tetap diterima dan disanjung oleh masyarakat selagi dapat 'membeli' dengan pemberian yang akan menjadikan mereka sebagai 'orang baik'. Masyarakat yang 'konsumtif' tidak memedulikan asal usul kekayaan, karena yang utama adalah dibeli atau membeli. Keduanya bermuara pada uang sebagai sumber kekayaan. Hasil dari korupsi tidak dipedulikan. Tetap terpandang dengan kekayaan yang melekat. 

Industri Sepakbola Indonesia ditengah Karut Marut Wajah Organisasinya

Kisruh (organisasi) sepakbola yang mewujud dalam faksi PSSI & KPSI relatif tidak membawa pengaruh signifikan bagi perkembangan industri sepakbola. Kompetisi profesional dengan dinamika permasalahan yang mengiringi tidak mampu menahan laju antusiasme pencinta sepakbola. Klub profesional yang berlaga di Liga Super Indonesia sejak bulan Januari 2013 mampu membiayai pengelolaan klub. Kemampuan ini hadir ditengah larangan pembiayaan dari APBN/APBD untuk klub sepakbola profesional.

Ditengah larangan tersebut mendorong klub untuk mencari alternatif pembiayaan dalam rangka pengelolaan klub sepakbola. Alternatif yang tersedia adalah pembiayaan dari sektor swasta atau masyarakat. Idealnya klub sepakbola dalam pengelolaan mampu menggali sumber daya keuangan yang berasal dari supporter atau penjualan merchandise klub yang bersangkutan. Sumber pembiayaan dari supporter khususnya dihasilkan dari penjualan tiket pertandingan.

Sumber alternatif pembiayaan klub dari sektor swasta dalam bentuk sponsorship. Model pembiaayaan ini akan menopang pengeluaran klub untuk pengelolaan sepakbola, khususnya untuk ko ntrak pelatih, pemain, latihan, akomodasi, pemeliharaan stadion dan lain-lain. Sponsorship pada saat ini mendominasi pembiaayaan yang menopang klub sepakbola. Bahwa dunia usaha memiliki kepercayaan terhadap sepakbola di Indonesia untuk menanamkan citra merek (brand image) perusahaan yang menjadi sponsor klub sepakbola. Citra merek ini memuat potensi mendongkrak penjualan suatu produk, minimal bagi suporter klub yang bersangkutan.

Maraknya perusahaan menjadi sponsor bagi klub yang berlaga dalam kompetisi profesional perlu mendapat poin positif. Sisi positif ini berkaitan dengan industri sepakbola yaitu mulai dapat melepaskan diri dari ketergantungan pembiayaan klub sepakbola. Selain itu, sektor swasta mempunyai perspektif bahwa sepakbola merupakan pangsa pasar potensial untuk mendongkrak laba perusahaan. Kepercayaan inilah yang harus dijawab klub sepakbola dengan prestasi atau pengelolaan klub yang baik.

Adanya perusahaan yang menjadi sponsor klub sepakbola berarti industri sepakbola sudah bergulir dan memiliki dampak bagi kualitas kompetisi sepakbola. Dititik ini dapat dimaknai bhw sektor swasta relatif 'steril' dari konflik. Artinya sektor swasta tidak mempermasalahkan konflik yang sedang terjadi. Sektor swasta hanya melihat potensi pasar yang terbuka untuk memasarkan produk.

Industri sepakbola yang sudah menggeliat sejak pertama kompetisi sepakbola digulirkan, harus bisa menjadi pertimbangan rekonsiliasi sepakbola Indonesia. Industri yang berpotensi melahirkan multiplier effect bagi sepakbola hendaknya tidak disia-siakan oleh 'birokrat' sepakbola. Karena tanpa dukungan sektor swasta dan masyarakat, sepakbola akan 'sepi' dari hiruk pikuk hiburan masyarakat. Kompetisi menjadi tidak menarik dan akhirnya akan dijauhi publik sepakbola.

Tuesday, February 12, 2013

Tolak Tarik Hukum & Politik: Silang Sengkarut SBY, KPK & Anas

Pasca pidato SBY, tidak hanya partainya yang gonjang-ganjing. KPK sebagai pihak tidak langsung yang memegang 'kunci' terhadap status Anas terkena muntahan bola politik SBY. Substansi pidato yang ditafsir sebagai pelucutan sebagian wewenang Anas sebagai ketua umum partai. Pelucutan wewenang disertai dengan saran agar fokus terhadap masalah hukum yang sedang dihadapi seperti sebuah sinyal agar segera lengser.

Keberanian SBY untuk melucuti kewenangan Anas memang menjadi kompromi agar tidak melanggar AD/ART partai. SBY tetap menunggu kepastian proses hukun di KPK. Dititik inilah KPK seperti diseret pada pusaran politik SBY- Anas ketika beredar surat mirip Sprindik yang menyatakan status Anas sudah menjadi tersangka. Surat mirip Sprindik menjadi bola liar sekaligus bisa menjadi bentuk pengalihan isu dari pokok persoalan langkah politik SBY. Bola liar ini akan memaksa KPK untuk mengambil sikap terhadap Anas.

Selain masalah dugaan pelanggaran kode etij internal KPK, komisioner KPK dituntut segera mengklarifikasi. Apalagi ketua KPK pernah berujar bahwa status tersangka Anas sudah disetujui semua komisioner, dan menunggu penandatanganan. Dengan kondisi demikian maka seharusnya status Anas tidak perlu menunggu berpuluh-puluh jam. Namun mengapa kemudian yang digulirkan adalah surat mirip Sprindik yang beredar dengan format diluar kebiasaan yang ada di KPK?

Daripada mempersoalkan asli tidaknya surat tersebut, alangkah baiknya KPK segera merespon betedarnya surat tersebut dengan kepastian status hukum Anas. Apakah polemik yang dilontarkan merupakan bagian untuk mengulur waktu bagi pihak-pihak tertentu termasuk komisioner KPK yang sebenarnya belum memutuskan status hukum Anas selain sebagai saksi. Dan pidato SBY adalah pemicu gonjang-ganjing hukum status Anas.

KPK seolah didesak untuk menyegerakan status Anas. Desakan ini agar pengambilalihan kursi yang saat ini di duduki Anas dapat berjalan mulus. Kemulusan ini mendapatkan pijakan hukum dalam AD/ART partai. Namun, bagi KPK menjadi permasalahan dalam hal untuk bekerja keras menetukan sikap. Dititik ini tidak hanya integritas KPK yang dipertaruhkan, namun SBY juga. Karena apabila KPK tetap mempertahankan status Anas sebagai saksi maka SBY harus memulihkan kewenangan Anas.

Keadilan: Tafsir Penegak Hukum

Media tidak begitu gempita ketika (penegak) hukum memperlakukan secara berbeda pelanggar hukum, meski pasal yang digunakan sama (http://megapolitan.kompas.com/read/2013/02/12/12021696/Sopir.Angkot.Maut.Dikenakan.Pasal.Seperti.Rasyid.Rajasa). Perbedaan perlakuan yang berpotensi terjadinya diskriminasi hukum yang bertentangan dengan prinsip equality before the law. Prinsip tersebut dengan tegas diatur pada Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, 'setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.'

Ketidakgempitan media diduga karena sedang fokus atas prahara politik yang berkelindan dengan penegakan hukum terhadap ketua umum partai penguasa dan partai kolusinya. Perbedaan perlakuan dalam sistem hukum Indonesia dapat dimaklumi sebagai akibat praktek korup yang dilakukan oleh mafia hukum dengan keseolahan dibiarkan atau dibina. Pembiaran atau pembinaan terjadi karena praktek tersebut dapat menjadi 'darah' bagi proses penegakan hukum.

Korupsi (dalam arti luas, tidak terbatas pada tindak pidana korupsi) menghidupkan penegakan hukum dengan 'asupan gizi, oksigen' untuk memompa darah ke jantung hukum. Tanpa 'gizi dan oksigen', hukum akan lemas tak berdaya. Keberdayaan hukum yang seharusnya bersumber pada keadilan dan integritas baik hukum atau penegak hukum. Gizi dan oksigen membentuk ketergantungan penegak hukum untuk terus menerimanya agar hukum berjalan. Dalam hal demikian, jalannya hukum akan berkesesuaian dengan 'pemasok' gizi dan oksigen.

Hukum yang berkesesuaian dengan para pemasok yang sering disebut dengan makelar kasus, mafia peradilan atau teman ketidakadilan (injustice collabolator) akan menampilkan aktualisasi hukum yang  berbeda. Perbedaan aktualisasi tidak hanya disebabkan adanya perbedaan fakta hukum yang menjadi dasar penegakan hukun, melainkan stratifikasi sosial, politik, budaya dan ekonomi memungkinkan hadirnya diskriminasi hukum. Hukum yang diaktualisasikan oleh penegaknya secara berbeda karena terkikis derajat keadilan dan integritasnya.

Degradasi keadilan dan integritas terjadi karena responsivitas meniada, kepekaan menipis ketika hukum mengalami ketergantungan terhadap gizi dan oksigen. Akibatnya hukum terjatuh pada semata-mata tafsir penegaknya yang dikendalikan oleh pemasok. Hukum menjadi 'robot' yang dikendalikan oleh pemegang kendali. Pemegang kendali ini tentunya memiliki status sosial yang kuat untuk mempengaruhi tafsir hukum. Mudahnya hukum diintervensi bukan karena lemahnya hukum, melainkan terlalu seringnya mendapatkan asupan gizi dan bantuan oksigen dalam setiap penegakan hukum.

Hukum yang mudah diintervensi adalah hukum yang tanpa wibawa, dan mencerminkan rendahnya integritas wibawa penegak hukumnya. Ketidakadilan menjadi manifestasi kualitas dan kuantitas intervensi. Hukum kemudian tidak melahirkan keadilan, tetapi menabur benih kekerasan yang nantinya akan berbuah kekacauan dari perkawinan ketidakpuasan dan kondisi saat kekerasan itu termanifestasi. Salah satu bentuknya adalah mudahnya masyarakat melakukan main hakim sendiri (eigenrechting). Dalam cakupan yang lebih luas kemungkinan terjadinya revolusi sosial.

Saturday, February 9, 2013

Hukum adalah Positivasi Kepentingan Politik

Hukum adalah positivasi kepentingan politik menjadi refleksi terhadap pengungkapan suap yang berkaitan dengan kebijakan kuota impor daging sapi. Positivasi kepentingan bukan hal baru, kebijakan kementrian pertanian menambah deret panjang bahwa hukum tidak akan pernah steril dari kepentingan (politik). Purifikasi hukum menjadi kemuskilan dalam proses pembentukan hukum, khususnya di 'dapur' lembaga legislatif.

Pun demikian, pembentukan hukum oleh hakimpun dalam cengkeraman mafia hukum akan dipengaruhi oleh aneka kepentingan diluar hukum. Hukum nenjadi positivasi kepentingan non hukum. Kepentingan non hukum dibingkai dalam kerangka hukum, atau dilakukan normativasi. Hukum yang demikian dicarikan dalil hukumnya, diformulasikan dalam bahasa hukum dan akhirnya mentransformasikan menjadi hukum.

Dalam pandangan yang sosiologis, proses pembentukan hukum yang melibatkan unsur non hukum akan memperkaya hukum. Pengaruh aspek non hukum terhadap hukum adalah baik selama sifat aspek tersebut berasal dari 'benih' yang baik. Kepentingan politik sebagai salah satu aspek non hukum akan melahirkan hukum yang baik apabila tidak bermuatan kepentingan diri sendiri atau kelompoknya. Artinya kepentingan politik harus mempertimbangkan kepentingan publik dan demi sebesar-besarnya selain diri sendiri atau kelompoknya.

Pengaruh ini diharapkan mampu mendekatkan jarak das sein dan das sollen. Kesenjangan jarak dapat memperpendek hukum normatif yang sering tidak membumi. Hukum normatif mengabaikan pengaruh dan mendasarkan diri pada keterandalan logika positivistik. Logika positivistik meletakkan analisisnya pada kajian internal yang bersifat tertutup dan menganggap diluar logika tersebut bukanlah hukum. Hukum normatif menjadi 'kering', tidak meluapkan air dari mata air keadilan. Dan didominasi pencapaian cita hukum yang berkepastian dan berketertiban 

Pengaruh non hukum menjadi racun normatif ketika bersifat koruptif. Koruptif dalam hal jni merupakan distorsi dari hakekat hukum dan cita kehidupan bernegara. Mengutamakan kepentingan diri sendiri dan kelompok dari perspektif cita kehidupan bernegara tidak hanya koruptif, namun juga subversif. Positivasi kepentingan politik dapat dimaknai subversif ketika terungkap sebagai korupsi, melainkan melakukannya sudah menjadi pengkhianatan terhadap konstitusi yang memuat pengakuan sebagai negara hukum.

Kepentingan politik dalam rentang menjadi norma berpeluang menjadi komoditas. Kepentingan sebagai komoditas menempatkannya pada siklus penawaran dan permintaan. Istilah politik dagang sapi, yang saat jni tidak sekedar menjadi metafora pasca terungkapnya suap kuota impor sapi telah menempatkan politik berada pada pasar yang menjadi tempat bertemunya penjual dan pembeli. Positivasi kepentingan politik dipenuhi skandal yang mengotori kemurnian norma yang akan mengatur kehidupan masyarakat. Hukum tercemar oleh kepentingan politik yang tidak hanya koruptif namun juga subversif.

Komunikasi Politik SBY ala Soeharto

Jumat malam (8/2/2013) menjadi saat yang ditunggu oleh media dan pemerhati politik berkaitan dengan janji SBY untuk menyikapi 'ontran-ontran' politik yang mendera partai yang didirikannya. Kalangan internal partai membuka diri untuk terjadinya tarik-menarik pada polarisasi pro-kontra Anas Urbaningrum atau perlu tidaknya SBY turun tangan atas gejolak yang melanda Partai Demokrat. Spekulasi politik yang sebelumnya berkembang terjawab dengan pidato SBY sebagai ketua dewan pembina partai.

Pidato tersebut memang menjawab kegalauan politik yang melanda Partai Demokrat. Namun melahirkan keberlanjutan spekulasi politik yaitu pertama, SBY mengambil alih secara halus tongkat kendali Partai Demokrat. Kedua, dengan peran tersebut SBY mempersilahkan Anas Urbaningrum untuk fokus terhadap masalah hukum yang dihadapi. Ketiga, SBY melakukan political judgement terhadap Anas.

Tindakan politik SBY dapat dimaknai sebagai silent coup terhadap ketua umum terpilih. Kudeta diam yang dilakukan SBY tentunya bukan tanpa dasar kuat, selain beberapa kasus korupsi yang mendera kabinet parfai-nya Anas, kemungkinannya SBY mempunyai informasi dengan tingkat keterandalan tinggi mengenai keterlibatan dalam kasus korupsi. Informasi ini, publik dapat mencandranya dalam pernyataan Ketua KPK bahwa komisioner KPK sudah sepakat untuk meningkatkan status ketua Partai Demokrat menjadi tersangka.

Dalam konteks pidato SBY pada jumat malam, pernyataan yang disampaikan ke publik adalah komunikasi simbolik ala jawa. Komunikasi simbolik tersebut dalam gaya bahasa yang vulgar hendak menyatakan agar Anas mundur secara ksatria dari kursi ketua umum. Permintaan SBY dengan komunikasi simbolik ala jawa dimaksudkan pertama, kalah tanpa ngasorake artinya tidak ingin mempermalukan Anas apabila mengetahui bahasa simbol tersebut. Komunikasi demikian dilakukan karena lawan bicara atau pihak yang dituju adalah Anas yang merupakan orang jawa.

Kedua, SBY hendak mengantisipasi penularan virus politik PKS yang menimbulkan hentakan politik di tubuh partai. Virus politik tersebut adalah penetapan tersangka presiden PKS yang masih resmi menjabat. SBY dan kalangan internal Partai Demokrat mengetahui dampak hentakan politik di tubuh PKS, khususnya berkaitan dengan citra partai yang susah payah dan berpeluh keringat dibangun dari setiap pemilu.

Untuk itu antisipasi perlu dilakukan dengan melakukan silent coup atas ketua partai terpilih. Ini dilakukan untuk meredam goncangan politik pasca ditetapkannya Anas sebagai tersangka oleh KPK. Tentunya SBY tahu bahwa mekanisme penggantian ketua umum harus sesuai dengan konstitusi partai. Sehingga SBY tidak memecat Anas, melainkan mengambil sebagian peran ketu umum.

Analisis ini akan terbukti ketika kemudian KPK menetapkan Anas sebagai tersangka. Ketika itu terjadi maka pertama, SBY tepat dalam mengambil langkah dan Anas adalah politisi yang tidak peka terhadap bahasa politik pendiri partai. Kedua, siapakah pengganti Anas. Apakah sekjen partai ataukah figur lain? Apabila Ibas yang dipilih maka derita politik Partai Demokrat akan terus berlanjut.