tag:blogger.com,1999:blog-52047586995895565472024-03-18T09:39:21.441-07:00Yakub Adi's BlogsHanya seorang yang menjelajahi belantara intelektualitas, dan terjebak pada ekstase untuk selalu mendalami pengetahuan dan mencari jawab atas pergumulan pemikiran.Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/08089601422778918243noreply@blogger.comBlogger136125tag:blogger.com,1999:blog-5204758699589556547.post-75761534581703893742014-08-19T02:09:00.000-07:002014-08-19T02:09:02.033-07:00Membaca Hukum & Kematian Makna (Refleksi atas Hermeneutika Hukum)Membaca hukum merupakan pekerjaan yang kompleks, melibatkan seluruh aspek kehidupan si pembaca. Inilah menariknya membaca hukum, yang seolah hanya membaca namun sebenarnya sedang mentransformasi pengalaman menyejarah manusia yang berkoeksistensi.Transformasi pengalaman dalam membaca hukum menentukan arah dan kerangka berpikir menafsirkan teks hukum. <em>Pertama</em>, karena kata selalu tidak bermakna tunggal. Kemajemukan makna adalah kekayaan dari kata, selain memampukan kata tersebut ditempatkan pada konteks yang dikehendaki penulis. Makna kata inilah yang memungkinkan interaksi antara penulis dengan pembaca. <br />
<br />
Interaksi antara penulis dan pembaca bisa melalui kata melahirkan penafsiran yang tidak hanya didasarkan pada pembacaan si pembaca, melainkan rekontekstualisasi dari kata yang dimaknakan. Kata yang ditorehkan adalah kontekstualisasi penulis, kemudian dibaca dan melahirkan rekontekstualisasi yang didasarkan pada penafsiran pembaca. <em>Kedua</em>, penafsiran bukan hanya pembacaan atas teks (kata), melainkan refleksi dari olah pikir sekaligus mentransformasikan pengalaman pembaca dengan memasuki 'dunia' penulis dalam kata yang dibaca. <br />
<br />
Hukum yang bermuatan nilai terbungkus dalam kaedah (hukum) menjadi pengatur perilaku individu. Membaca hukum berarti menggali nilai yang terkandung dalam bunyi pasal, mencari makna dari teks (menafsirkan) dan menerapkan pada situasi tertentu (rekontekstualisasi). Ketiga tindakan yang simultan dilakukan bersanding dengan transformasi pengalaman menyejarah pembaca. Pengalaman menyejarah ini bukan yang utama dalam membaca hukum, namun mempengaruhi pembacaan hukum. Persandingan inilah sebenarnya terjadi 'pertempuran intrinsik' pembaca, sebelum kemudian melahirkan pemaknaan atas teks yang dibaca.<br />
<br />
Pertempuran intrinsic ini berada diranah bawah sadar, mengalir sampai muncul di pikiran bertemu dengan rasionalitas. Membaca hukum tidak sekedar berpikir, namun mempertemukan pengalaman dan pengalaman inilah yang memngaruhi penafsiran sebuah teks. Sehingga pada awalnya, membaca hukum adalah pertempuran nilai, yaitu nilai hukum yang ditetapkan dengan nilai individu yang dianut. Pertemuan inilah yang melahirkan corak penafsiran yang bisa berbeda satu dengan yang lainnya. Dengan tidak menutup kemungkinan, ketika nilai individu yang dianut sama maka akan menghasilkan penafsiran yang sama pula.<br />
<br />
Pertanyaannya adalah apakah nilai hukum bermakna tunggal? Ataukah nilai hukum bermakna jamak dan ditentukan oleh referensi pribadi yang menafsirkan. Sehingga didalam membaca hukum, memaknai nilai hukum menjadi penting bahkan pondasi bagi penafsiran atas kaidah hukum. Apabila nilai hukum adalah keadilan maka arti nilai hukum adalah tunggal, namun arti keadilan sendiri tidak tunggal. Ketidaktunggalan makna keadilan inilah yang memperkaya tafsir atas nilai hukum itu sendiri, termasuk hasil penafsiran atas bunyi teks dalam pasal.<br />
<br />
Kematian makna<br />
Mungkinkah makna mengalami kematian ketika teks selalu dibaca dan ditafsirkan? Makna akan mengalami titik ajalnya apabila membaca teks tidak melahirkan pemaknaan baru atau rekontekstualisasi dari makna awal saat teks tersebut dituliskan. Kematian makna didahului dengan kemandegkan tafsir. Tafsir teks yang 'jalan ditempat' akan mengerdilkan teks itu, karena makna yang ajeg. Padahal situasi yang menjadi konteks dari makna tersebut mengalami perubahan (atau perkembangan).<br />
<br />
Masyarakat mengalami perubahan. Jadi ketika membaca hukum tidak menghasilkan penafsiran makna yang sesuai dengan perubahan masyarakat maka teks akan mengalami kematian makna. Kematian makna atas teks hukum akhirnya akan menggiring pada kematian hukum itu sendiri. Dengan asumsi diatas bahwa membaca hukum adalah interaksi maka ketika makna yang dihasilkan ajeg maka sudah tidak terjadi interaksi lagi antara hukum dan masyarakat melalui pembacanya (pengemban hukum). <br />
<br />
Dalam situasi demikian hukum mengalami alienasi. Keterasingan hukum dari masyarakat, sekaligus kegagalan pembaca melakukan rekontekstualisasi teks. Hukum yang terasing dari masyarakatnya akan menjadi hukum yang menjadi penghukum semata, tidak berhasil menjadi inspirator perubahan yang menggiring masyarakat ke arah yang lebih baik. Hukum yang terasing akan 'mimpes' atau menyusut baik dari sisi maknanya maupun keberlakuannya. Inilah kematian hukum. Ketika hukum sudah tidak lagi bisa dimaknakan dan keberlakuannya hanya sekedar menjadi penghukum dari perilaku masyarakatnya, hukum menjadi arogan dan otoriter. <br />
<br />
<br />
<div style="text-align: justify;">
Hukum yang demikian harus dijungkalkan.
Penjungkalan ini dilakukan dengan kembali menginteraksikan hukum dengan
kenyataan. Kalau tidak membuat hukum baru, maka menghidupkan hukum dengan
penafsiran yang memperkaya makna dari teks. Apabila dilakukan maka akan disematkan
tindakan demikian sebagai langkah revolusi, padahal tindakan tersebut bukan
langkah revolusi hanya menafaskan teks dengan makna yang responsive dan
progresif. Ini bukan langkah revolusi, hanya mengembalikan hukum kepada
kedinamisannya. Yaitu membaca hukum dengan melibatkan interaksinya dengan
situasi dimana hukum akan diterapkan. Dalam hal ini pengemban hukum harus
memiliki kekayaan pengalaman menyejarah. <o:p></o:p></div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
Pengalaman menyejarah dapat membantu membaca
hukum. Membaca yang tidak sekedar mengeja, melainkan memberi makna kontekstual sesuai
dengan kondisi masyarakat. Membaca hukum adalah membaca masyarakat dengan
menggali (kembali) dan mempertemukan antara nilai hukum dengan nilai-nilai yang
masih dianut <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>oleh masyarakat. Hukum ada
untuk mengatur masyarakat, sehingga pembacaan hukum adalah membaca melalui
kacamata masyarakat berdasarkan pengalaman (hidup) pembaca. Dalam kerangka
demikian, dimungkinkan membaca hukum dengan empati. Membaca dengan rasa. Membaca
dengan melibatkan seluruh pengalaman menyejarah dapat menghidupkan hukum dan
mendekatkan pada nilai keadilan.<o:p></o:p></div>
<br />
<div style="text-align: justify;">
<o:p> </o:p></div>
. Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/08089601422778918243noreply@blogger.com285tag:blogger.com,1999:blog-5204758699589556547.post-6268459049064944432014-08-05T00:19:00.000-07:002014-08-05T00:19:15.735-07:00Surat Terbuka untuk Presiden Jokowi tentang Penegakan Hukum di IndonesiaIndonesia, menjelang peringatan 17 Agustus 1945<br />
<br />
Kepada yth. <br />
Presiden Republik Indonesia<br />
Ir. H. Joko Widodo<br />
di Istana Negara<br />
<br />
<br />
Salam Sejahtera,<br />
<br />
Pertama, kami mengucapkan selamat atas terpilihnya bapak sebagai Presiden RI ke 7 setelah perjuangan dalam pencapaiannya harus melalui berbagai prosedur hukum dan konstitusional atas nama demokrasi. Kedua, kami sebagai warga Negara Indonesia berharap bahwa bapak Presiden yang mendapatkan amanah dari rakyat Indonesia mampu mengangkat derajat Indonesia sesuai dengan cita-cita yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.<br />
<br />
Berkaitan dengan poin kedua tersebut maka kami bermaksud menyampaikan beberapa hal yang seharusnya menjadi perhatian bapak sebagai presiden dan mempunyai tugas dan kewenangan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pengalaman bapak sebagai kepala daerah (walikota dan gubernur) tentu menjadi pelajaran untuk mengatasi berbagai persoalan yang hendak kami sampaikan dibawah ini berdasarkan tata kelola pemerintahan yang baik (<em>good governance</em>).<br />
<br />
<em>Pertama</em>, mekanisme sanksi bagi penyelenggara pemerintahan (PNS) yang bertugas di garda depan pelayanan public. System perijinan, pengadaan barang dan jasa, administrasi kependudukan dan jaminan atau pelayanan kesehatan perlu dilakukan perombakan paradigma dari penyelenggaran pemerintahan. perombakan paradigma yang menempatkan rakyat adalah consumen sekaligus pemilik kedaulatan dilakukan sebagai pengejawantahan revolusi mental yang menjadi jargon kampanye bapak Presiden.<br />
<br />
yang dimaksud dengan mekanisme sanksi bukan dalam pemahaman pidana penjara, melainkan dalam konteksi <em>reward and punishment. </em>Yaitu bagaimana mekanisme pengaduan public (<em>public complaint</em>) terhadap pelayanan public yang dilakukan pemerintah dapat didengarkan dan menjadi acuan perbaikan bagi pelaksanaan pelayanan public. Salah satu jalan ditempatnya pelayanan public di Indonesia karena mekanisme pengaduan belum menjadi strategi untuk memperoleh <em>feedback </em>atau loloh balik bagi penyelenggara pemerintah (kepala dinas atau kepala daerah). <br />
<br />
Paradigma sebagai 'tuan' bukan sebagai pelayan masyarakat menjadi hambatan psikologis untuk pelayanan public yang berorientasi pada kepentingan rakyat (<em>public service based on public satisfication</em>). Ketika prosedur sudah dipatuhi, maka ketika terjadi penyimpangan dalih yang digunakan adalah sudah sesuai prosedur. Pameo yang berkembang di masyarakat terhadap kinerja aparat pemerintah, 'kalau bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah' menjadi cibiran masyarakat. Penyimpangan dari hakekat pelayanan public inilah yang membuka peluang bagi terjadi korupsi dan kolusi dalam pemberian pelayanan public (<em>corruption opportunity</em>).<br />
<br />
<em>Kedua</em>, korupsi di aparat POLRI dan Kejaksaan. POLRI dan Kejaksaan merupakan alat Negara bagi penegakan hukum yang berada di bawah Presiden. Artinya bahwa pelaksanaan tugas dan kewenangan penegakan hukum berada dibawah kendali bapak Presiden Jokowi. Cibiran masyarakat terhadap POLRI, 'lapor kehilangan kambing, pulang kehilangan sapi' menunjukkan betapa buruknya citra POLRI di masyarakat. Penegakan hukum yang menjadi monopoli POLRI dan Kejaksaan melahirkan kerentanan penyalahgunaan kewenangan yang merugikan masyarakat, termasuk citra bapak Presiden. <br />
<br />
Atau 'hukum itu tajam kebawah tapi tumpul ke atas' memberikan gambaran bahwa selama ini hukum menjadi alat kekuasaan bagi orang kaya, individu yang memiliki kuasa yang menjadikan (aparat) penegak hukum menjadi orang suruhan atau <em>babu</em> mereka. Istilah uang printer, uang kertas, uang jalan, uang damai menjadi sinyal dari aparat penegak hukum dalam melakukan korupsi dengan memanfaatkan kepentingan dari para pencari keadilan. Mekanisme setoran kepada atas juga mendorong terjadinya korupsi. Setoran ke kasat reskrim, kapolres, kapolda - POLRI, atau kasi, kejari atau kejati - kejaksaan telah menumbuh-suburkan korupsi.<br />
<br />
Dalam konteks korupsi, forum komunikasi pimpinan daerah (forkominda) juga menjadi ajang korupsi antara lembaga yang dipimpin. Bagaimana APBD memuat anggaran untuk lembaga atau pengadaan mobil kepada lembaga telah melahirkan rasa sungkan atau <em>ewuh pakewuh</em> ketika terjadi upaya penegakan hukum yang terjadi di lingkungan pemerintah daerah. <br />
<br />
Demikianlah surat ini kami sampaikan, agar bisa menjadi perhatian bapak Presiden Republik Indonesia atau menjadi masukan dalam melakukan pembenahan pelayanan public di Indonesia. Besar harapan kami, masukan kami ini bisa membantu mewujudkan revolusi mental yang bapak canangkan.<br />
<br />
Atas perhatiannya, kami mengucapkan terimakasih. <br />
<br />
Salam hormat,<br />
<br />
<br />
Yakub Adi Krisanto<em> </em>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/08089601422778918243noreply@blogger.com257tag:blogger.com,1999:blog-5204758699589556547.post-64124013543960880532014-08-04T17:45:00.000-07:002014-08-04T17:45:22.003-07:00Indonesia & Perlunya menggalang Solidaritas Kemanusiaan di konflik Palestina-IsraelSubuh tadi ketika melihat siaran CNN sedang memberitakan gencatan senjata antara Israel dan Palestina selama 72 jam. Kemudian membaca Kompas pagi harinya, pada pemberitaan mengenai gencatan senjata tersebut disertai dengan foto yang menampilkan sosok remaja yang sepertinya berlari dengan menenteng sangkar burung dengan latar belakang reruntuhan gedung. Foto tersebut mengusik hati dengan membandingkan kondisi Indonesia berkaitan dengan para pecinta burung yang saat ini sepertinya sedang mengalami <em>booming</em>. <br />
<br />
Masyarakat pecinta burung dapat menikmati (baik membeli atau memelihara) burung kicauan tanpa gangguan perang atau desingan peluru di sekitarnya. Tentunya dari foto tersebut dapat dimaknai bahwa sangkar burung adalah harta yang berharga (atau mungkin yang tersisa) selama serangan militer Israel ke wilayah Palestina.<br />
<br />
Melihat kondisi demikian maka masyarakat Indonesia melalui pemerintahannya perlu lebih proaktif dalam mengupayakan perdamaian antara Israel dan Palestina. Indonesia yang pernah tampil sebagai tokoh Negara non Blok (GNB) perlu kembali lebih agresif dalam konteks kemanusiaan agar dampak perang tidak mengakibatkan kerusakan social, ekonomi, budaya dan politik secara lebih massif. Upaya kemanusiaan mempunyai momentum pada gencatan senjata ini (<em>truce</em>) agar bantuan kemanusiaan dapat secara massif dialirkan ke wilayah Palestina untuk sedikit mengurangi beban warga Palestina akibat serangan militer Israel.<br />
<br />
Presiden SBY dapat memerintahkan PMI atau organisasi kemanusiaan yang berada di Indonesia untuk bisa agresif mengirim bantuan kemanusiaan. Didahului dengan upaya diplomasi baik bilateral maupun multilateral agar bantuan kemanusiaan dari Indonesia bisa masuk ke wilayah atau kantong-kantong pengungsian warga Palestina. Indonesia sebagai Negara dengan penduduk muslim yang mayoritas memiliki pengaruh atau memainkan peran penting dalam perdamaian dunia. SBY tidak cukup hanya mengumumkan bantuan untuk Palestina, tetapi memainkan peran politik non blok secara aktif dengan menggalang dukungan internasional dalam kerangka bantuan kemanusiaan.<br />
<br />
Selain tentunya, pemerintah Indonesia mempersiapkan personel kemanusiaan yang siap terjun ke wilayah konflik. Program pelatihan atau training kemanusiaan yang melibatkan PMI dan organisasi kemanusiaan dibawah koordinasi pemerintah Indonesia perlu di lakukan. Pengiriman bantuan kemanusiaan atas nama pemerintah Indonesia atau dukungan internasional yang berhasil digalang oleh pemerintah Indonesia.<br />
<br />
Selama ini sepertinya dunia internasional kurang pro aktif terhadap konflik bersenjata di Negara-Negara timur tengah. Mungkin disebabkan oleh kerepotan mengatasi krisis ekonomi atau politik di Negara masing-masing. Namun solidaritas perlu dilakukan, dan Indonesia perlu tampil sebagai pelopor untuk menggalang dukungan kemanusiaan.<br />
Ketika Indonesia menggalang dukungan solidaritas kemanusiaan, penegakan hokum bagi warga yang mendeklarasikan ISIS juga perlu dilakukan. <br />
<br />
Kewibawaan pemerintah harus dijaga, karena ketika OPM melakukan kontak senjata maka aparat TNI/POLRI juga melakukan operasi maka terhadap ISIS yang jelas bertentangan dengan UUD 1945 dan Pancasila merupakan tindakan subversive. Sehingga pemerintah Indonesia konsisten terhadap UUD 1945 khususnya pembukaan yang menjaga perdamaian dunia sekaligus menjaga ketertiban dalam negeri.Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/08089601422778918243noreply@blogger.com200tag:blogger.com,1999:blog-5204758699589556547.post-22441556720669762352014-08-01T20:10:00.000-07:002014-08-01T20:10:09.537-07:00SBY-Megawati: Wikileaks & Korupsi Lintas Negara<address>
Perintah Hakim MA yang disebut The Honourable Justice Hollingworth inilah yang melahirkan respon SBY dan PDIP terkait dengan dugaan penerimaan uang suap (bribe) atau penerimaan yang tidak pantas (improper payment). Adapun perintah hakim tersebut adalah there be no disclosure, by publication or otherwise, of any information (whether in electronic or paper form) derived from or prepared for the purposes of these proceedings (including the terms of these orders, and the affidavit of Gillian Elizabeth Bird affirmed on 12 June 2014) that reveals, implies, suggests or alleges that any person to whom this order applies: </address>
<ul class="alpha_list">
<li>received or attempted to receive a bribe or improper payment;</li>
<li>acquiesced in or was wilfully blind as to any person receiving or attempting to receive a bribe or improper payment; or </li>
<li>was the intended or proposed recipient of a bribe or improper payment.</li>
</ul>
Dalam perintah hakim tersebut tidak terdapat isi atau substansi dari <i>affidavit</i> dari Gillian Elizabeth Bird yang dilarang untuk diungkap (<i>no disclosure</i>) ke public. Kemudian yang berkembang di public adalah terkait peristiwa pencetakan uang di Australia tahun 1999 yang sudah dibantah oleh SBY dan PDIP. Memang menjadi pertanyaan, mengapa dikaitkan dengan pencetakan uang, padahal dalam perintah hakim tersebut tidak terdapat uraian tersebut.<br />
<br />
Kapasitas individu yang membuat <i>affidavit</i>-lah yang perlu dicermati sehingga hakim memberikan perintah (<i>order</i>) agar tidak diungkap ke public. Bahwa susbtansi <i>affidavit</i> sangat penting, tentu dapat diketahui dari <i>pertama</i>, perintah hakim agar tidak diungkap dan <i>kedua, </i>alasan yang dikemukakan yaitu "<i>The purpose of these orders is to prevent damage to Australia's international relations that may be caused by the publication of material that may damage the reputations of specified individuals who are not the subject of charges in these proceedings.</i>"<br />
<br />
Dasar pertimbangan hakim melarang pengungkapan <i>affidavit </i>Gillian adalah sebagai berikut, <i>pertama, necessary to prevent a real and substantial risk of prejudice to the proper administration of justice that cannot be prevented by other reasonably available means; and kedua, necessary to prevent prejudice to the interests of the Commonwealth in relation to national security. </i>Hakim menyadari bahwa substansi <i>affidavit </i>Gillian dapat melahirkan prasangka (<i>prejudice</i>) terhadap orang yang disebut dalam <i>affidavit </i>tersebut. Artinya bahwa hakim sendiri masih belum yakin terhadap kesahan (<i>validity</i>) dari <i>affidavit </i>tersebut.<br />
<br />
Masalah muncul adalah respon dilakukan tidak didasarkan pada perintah hakim tersebut, melainkan terhadap pers release WikiLeaks (<a href="http://wikileaks.org/aus-suppression-order/press.html">http://wikileaks.org/aus-suppression-order/press.html</a>). Dalam pers release tersebut dinyatakan, "The court-issued gag order follows the secret 19 June 2014 indictment of seven senior executives from subsidiaries of Australia's central bank, the Reserve Bank of Australia (RBA). The case concerns allegations of multi-million dollar inducements made by agents of the RBA subsidiaries Securency and Note Printing Australia in order to secure contracts for the supply of Australian-style polymer bank notes to the governments of Malaysia, Indonesia, Vietnam and other countries." Dari pernyataan tersebut diketahui bahwa perintah hakim - <em>The Honourable Justice Hollingworth - </em>berawal dari pemeriksaan yang melibatkan otoritas bank sentral Australia. Pemeriksaan dilakukan dalam kasus tuduhan tindakan yang melibatkan milyaran dollar yang dilakukan oleh pegawai bank sentral Australia dalam mengamankan kontrak <em>Australian-style polymer bank notes. </em><br />
<br />
Secara asumtif bahwa pegawai bank sentral diperiksa oleh pengadilan karena adanya dugaan suap atau pembayaran yang melibatkan pemerintah di Negara Malaysia, Vietnam dan Indonesia. Dan dugaan suap tersebut menjadi kewenangan penegak hokum Australia. Sehingga respon yang pantas adalah melakukan pemeriksaan internal terhadap Bank Indonesia (BI) dan aparat pemerintah terkait kontrak tersebut. Respon yang bertolak pada pers release WikiLeaks daripada perintah hakim menjad pertanyaan yang pantas diajukan. Dan kontrak tersebut tentunya ada dan kemudian memeriksa semua pihak yang terlibat dalam pembuatan kontrak tersebut.<br />
<br />
Disinilah letak urgensi dari pemberantasan korupsi lintas Negara, ketika pihak yang melakukan korupsi berasal dari dua atau beberapa Negara yang berbeda. Artinya UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi mendesak untuk di revisi dalam hal apabila terdapat pemeriksaan yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi di Negara lain dan berkaitan atau berhubungan dengan korupsi di Indonesia maka aparat penegak hokum juga harus melakukan upaya hokum atas kasus yang diperiksa di Negara lain tersebut. Dalam hal ini dibutuhkan kerjasama lintas Negara untuk melakukan pemberantasan korupsi, ketika korupsi melibatkan subyek hokum dari dua atau beberapa Negara yang berbeda.Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/08089601422778918243noreply@blogger.com87tag:blogger.com,1999:blog-5204758699589556547.post-35081126840257221602014-08-01T00:56:00.000-07:002014-08-01T00:56:03.242-07:00Siapakah Gillian Elizabeth Bird?Sosok ini menjadi penting tapi tidak menjadi sorotan media Indonesia pasca protesnya SBY dan Megawati terhadap laporan WikiLeaks yang menyebutkan keduanya terlibat dari apa yang diungkapkan Gillian Elizabeth Bird. Menurut laporan WikiLeaks (<a href="http://wikileaks.org/aus-suppression-order/">http://wikileaks.org/aus-suppression-order/</a>), Supreme Court of Victoria menyatakan sebagai berikut; <em>"there be no disclosure, by publication or otherwise, of any information (whether in electronic or paper form) derived from or prepared for the purposes of these proceedings (including the terms of these orders, and the affidavit of Gillian Elizabeth Bird affirmed on 12 June 2014) that reveals, implies, suggests or alleges that any person to whom this order applies: </em><br />
<blockquote>
<ul class="alpha_list">
<li><em>received or attempted to receive a bribe or improper payment;</em></li>
<li><em>acquiesced in or was wilfully blind as to any person receiving or attempting to receive a bribe or improper payment; or </em></li>
<li><em>was the intended or proposed recipient of a bribe or improper payment."</em></li>
</ul>
</blockquote>
Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa Gillian membuat suatu <em>affidavit </em>atau laporan tertulis yang berkaitan tentang sesuatu hal. Dalam ini dari uraian di WikiLeaks tersebut adalah mengenai <em>receive or attempted to receive a bribe or improper payment, acquiesced in or was wilfully blind as to ay person receiving or <strong>attempting to receive a bribe or improper</strong> payment </em>or <em>was the intended or proposed recipient of a bribe or improper payment</em>. Intinya bahwa Gillian melaporkan mengenai suatu usaha penyuapan atau pembayaran yang melanggar hukum. <br />
<br />
Siapa saja yang dimaksudkan oleh Gillian? Terdapat 22 orang yang berasal dari 3 Negara yaitu Malaysia, Indonesia dan Vietnam. Untuk Indonesia terdapat tiga orang yang disebutkan oleh Gillian diduga menerima atau berusaha menerima penyuapan (<em>bribe</em>) atau pembayaran yang melanggar hukum yaitu SBY, Megawati dan Laksamana Sukardi. Kemudian muncullah bantahan dari SBY dan PDIP atas laporan WikiLeaks tersebut (<a href="http://www.theguardian.com/world/2014/aug/01/indonesian-president-calls-on-australia-to-explain-wikileaks-gag-order">http://www.theguardian.com/world/2014/aug/01/indonesian-president-calls-on-australia-to-explain-wikileaks-gag-order</a>).<br />
<br />
<table align="center" cellpadding="0" cellspacing="0" class="tr-caption-container" style="float: right; margin-left: 1em; text-align: right;"><tbody>
<tr><td style="text-align: center;"><img height="200" src="http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/d/d7/Gillian_Bird.jpg/640px-Gillian_Bird.jpg" style="margin-left: auto; margin-right: auto; max-height: 685px; max-width: 1349px;" width="186" /></td></tr>
<tr><td class="tr-caption" style="text-align: center;">Gillian Elizabeth Bird</td></tr>
</tbody></table>
Siapakah Gillian Elizabeth Bird yang laporannya mampu membuat Supreme Court of Virginia untuk melarang laporan tersebut di publikasikan dengan alasan, "<em>The purpose of these orders is to prevent damage to Australia's international relations that may be caused by the publication of material that may damage the reputations of specified individuals who are not the subject of charges in these proceedings</em>." Menurut Wikipedia (<a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Gillian_Bird">http://en.wikipedia.org/wiki/Gillian_Bird</a>), Gillian Elizabeth Bird adalah lulusan Universitas Sidney yang berkarier di Departemen Luar Negeri Australia pada tahun 1980. Pada 11 Juni 2014, Perdana Menteri Australia menunjuk Gillian sebagai Permanent Representative of Australia to the United Nations. <br />
<br />
Dengan kapasitas pribada sebagai perwakilan tetap Australia di PBB maka laporan Gillian (<em>affidavit</em>) bukan laporan yang memuat informasi <em>abal-abal</em>. <em>Affidavit </em>Gillian memuat informasi penting dan benar sehingga Supreme Court of Virginia melarang pempublikasian <em>affidavit</em> Gillian dalam kurun waktu 5 tahun sejak ditetapkan. Dalam hal ini benar yang disampaikan oleh SBY bahwa Pemerintah Australia harus melakukan klarifikasi atas informasi yang terdapat dalam WikiLeaks tersebut. Termasuk dalam hal apa Gillian membuat <em>affidavit</em> dan dilarang untuk dipublikasikan. Tentunya menarik apabila WikiLeaks juga menyampaikan <em>affidavit </em>Gillian. Dalam hal demikian Pemerintah Indonesia dapat mengambil tindakan diplomatic seperti pengusiran duta besar Australia atau menarik duta besar Indonesia di Australia.Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/08089601422778918243noreply@blogger.com126tag:blogger.com,1999:blog-5204758699589556547.post-67876956083294297832014-07-31T20:13:00.000-07:002014-07-31T20:18:58.671-07:00ISIS & UU Kewarganegaraan<span style="color: black;">ISIS merupakan akronim dari <em>Islamic State of Iraq and Syam. </em>ISIS adalah negara baru yang terbentuk akibat perang Suriah -meskipun belum dapat pengakuan dari negara lain. Bulan Juni tahun 2014 dunia dikejutkan dengan penaklukkan kilang minyak Baiji dan Kota Mosul yang merupakan kota terbesar kedua setelah Baghdad dan merupakan salah satu aset kekayaan pemerintahan Irak. Konon, rampasan perang yang diperoleh dari penaklukkan itu membuat ISIS menjadi kelompok perlawanan terkaya didunia. Secara berturut-turut daerah-daerah lain seperti provinsi Anbar, Kota Tikrit (Kota Kelahiran Saddam Husein), Provinsi Nineveh, Propinsi Diyala hingga setengah wilayah Irak dikuasai oleh kelompok ini. Kini, ISIS sedang bergerak menuju pusat pemerintahan dan kota suci Syiah di kota Baghdad dan Karbala. Pemerintahan berhala demokrasi dan tempat suci kaum kafir syiah Iran diambang kejatuhan. Hal ini membuat Iran dan AS harus turun tangan untuk mengamankan kepentingannya</span><span style="color: #222222;"> (<a href="http://www.eramuslim.com/suara-kita/suara-pembaca/who-are-isis.htm#.U9r7OtHlrIU">http://www.eramuslim.com/suara-kita/suara-pembaca/who-are-isis.htm#.U9r7OtHlrIU</a>).</span><br />
<span style="color: #222222;"></span><br />
<span style="color: #222222;"><span style="color: black;">Menariknya, tidak hanya warga Negara Indonesia (WNI) yang muncul pada video ISIS untuk meminta bergabung</span> (<a href="http://internasional.kompas.com/read/2014/07/30/09022331/Sejumlah.Warga.Indonesia.Muncul.dalam.Video.ISIS">http://internasional.kompas.com/read/2014/07/30/09022331/Sejumlah.Warga.Indonesia.Muncul.dalam.Video.ISIS</a>), </span><span style="color: black;">melainkan juga deklarasi ISIS di Bekasi, Jawa Barat dan Solo, Jawa Tengah. Bergabungnya WNI ke dalam organisasi yang berbasis ideology dan bersifat transnasional bukan sesuatu yang baru. Namun perlu dilakukan kajian terhadap penegakan hukum UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Kajian focus pada apakah keterlibatan WNI telah berdampak pada status kewarganegaraan WNI tersebut? Atau adakah pelanggaran status kewarganegaraan ketika WNI terlibat dalam organisasi yang berbasis ideology dan bersifat transnasional seperti Al-Qaeda atau saat ini ISIS?</span><br />
<span style="color: black;"></span><br />
<span style="color: black;">Kedua pertanyaan tersebut akan berkaitan dengan status organisasi tersebut dan ketentuannya dalam UU No. 12 Tahun 2006. Sedikit berbeda dengan Al-Qaeda yang di stigmatisasikan sebagai organisasi yang dinilai bertanggung atas aksi terror di beberapa Negara, ISIS dengan jelas dinyatakan sebagai Negara (<em>state</em>). Meskipun belum ada pengakuan internasional sebagai salah satu syarat kesahan sebuah Negara, namun aksi ISIS telah mengusik perhatian dunia. Dalam UU No. 12 Tahun 2006 terdapat terminology 'asing' dan 'negara asing', artinya memiliki tafsir yang terpisah dan berbeda. Istilah 'asing' tidak ditujukan hanya sebatas pada 'negara asing', yang berarti tidak harus negara, namun bisa diartikan sesuatu baik organisasi atau bentuk lain yang bukan Indonesia. Sedangkan 'negara asing' merujuk pada organisasi yang disebut negara dengan unsur-unsur yang sudah disepakati secara internasional.</span><br />
<span style="color: black;"></span><br />
<span style="color: black;">Pasal 23 UU No. 12 Tahun 2006 mengatur mengenai kehilangan kewarganegaraan. Khususnya Pasal 23 huruf d, e dan f dapat digunakan untuk meninjau status kewarganegaraan WNI yang terlibat dalam ISIS. "Masuk dalam dinas tentara asing tanpa ijin terlebih dahulu dari Presiden", "secara sukarela masuk dalam dinas negara asing yang jabatan dalam dinas semacam itu di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan hanya dijabat oleh WNI" dan "secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut" merupakan bunyi Pasal 23 huruf d, e dan f UU No. 12 Tahun 2006. ISIS merupakan negara (<em>state</em>), sehingga keikutsertaan dalam aktivitas 'kenegaraan' dari negara tersebut seperti ikut berperang artinya terlibat menjadi tentara perang negara tersebut.</span><br />
<span style="color: black;"></span><br />
<span style="color: black;">Selanjutnya dengan deklarasi ISIS di wilayah Indonesia dapat dimaknai sebagai "mengangkat supat atau menyatakan setia kepada negara asing." Mengacu pada fungsi dan tugas TNI berdasarkan UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia maka sudah seharusnya TNI menindak WNI yang mendeklarasikan ISIS. Deklarasi ISIS telah melanggar kedaulatan RI, yaitu membentuk negara dalam NKRI, dan ini merupakan ancaman di dalam negeri dan mengganggu kedaulatan Negara. Sehingga dalam hal ini, apabila mengkaitkan UU No. 12 Tahun 2006 dan UU No. 34 Tahun 2004 maka Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Pertahanan harus berkoordinasi untuk menyatakan bahwa <em>pertama</em>, terdapat WNI yang telah melepaskan kewarganegaraannya ketika terlibat dalam pendeklarasian ISIS. <em>Kedua</em>, TNI harus berani melakukan tindakan atas setiap deklarasi ISIS oleh WNI di seluruh wilayah Indonesia.</span><br />
<span style="color: black;"></span><br />
<span style="color: black;">Bahwa tanpa disadari, Negara Indonesia sudah dilemahkan oleh bangsanya sendiri dan kita diam tidak melakukan tindakan apapaun. Bagaimana akan menjadi Negara yang berdaulat ketika tidak mampu menjaga kedaulatannya didalam negeri sendiri. </span><br />
<span style="color: #222222;"></span><br />Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/08089601422778918243noreply@blogger.com51tag:blogger.com,1999:blog-5204758699589556547.post-2061246129342388682014-07-31T19:09:00.000-07:002014-07-31T19:09:33.954-07:00RUU KUHP & KUHAP: Unfinished Lawmaking ProjectKompas, 1 Agustus 2014 memberitakan bahwa pembahasan RUU KUHP dan KUHAP tidak akan tuntas oleh DPR periode 2009-2014. Sejak diserahkan drafnya oleh Pemerintahan pada Senin, 7 Oktober 2013, pesimisme terhadap penyelesaian pembahasan di DPR sudah menyeruak. Jumlah pasal yang mencapai 700 Pasal menjadi kendala meskipun saling melengkapi atas tidak tuntasnya pembahasan kedua RUU. Apabila pada tahun ini, DPR tidak dapat menyetujui kedua RUU tersebut menjadi UU maka harapan untuk mengubah dasar hukum pidana Indonesia menjadi tertunda.<br />
<br />
RUU KUHP dan KUHAP menjadi bagian dari pembaruan hukum pidana, sebagai momentum melakukan perbaikan dan perubahan dari system hukum pidana. Sebagaiman pembaruan yang sampaikan oleh Prof. Andi Hamzah dalam situs berikut, <a href="http://www.aai.or.id/v3/index.php?option=com_content&view=article&id=238:beberapa-hal-dalam-rancangan-kuhap-oleh-andi-hamzah-mengapa-perlu-menciptakan-kuhap-baru&catid=89&Itemid=547">http://www.aai.or.id/v3/index.php?option=com_content&view=article&id=238:beberapa-hal-dalam-rancangan-kuhap-oleh-andi-hamzah-mengapa-perlu-menciptakan-kuhap-baru&catid=89&Itemid=547</a>, menjadikan pengesahan kedua RUU menjadi UU merupakan salah satu tonggak hukum di Indonesia. Mengenai pembahasan mengenai pembaruan hukum pidana dapat dilihat di situs berikut, <a href="http://stih-malang.blogspot.com/2013/06/materi-kuliah-kebijakan-hukum-pidana.html">http://stih-malang.blogspot.com/2013/06/materi-kuliah-kebijakan-hukum-pidana.html</a>.<br />
<br />
Pembaruan hukum pidana diharapkan menjadi momentum memperbaiki system hukum pidana dan paradigma hukum pidana. Dengan mempertimbangkan aspek yuridis, sosiologis dan filosofis, kedua RUU ditunggu kehadirannya untuk merombak system dan struktur, sekaligus memperbaiki berbagai kekurangan baik yang berada pada aras normative (substansi pasal) maupun penegakan hukumnya oleh aparat penegak hukum - aspek yuridis. Penyesuaian dengan perkembangan masyarakat, baik dari perspektif <em>sociological jurisprudence</em> maupun <em>sociology of law</em> sangat dibutuhkan demi kemajuan hukum dan masyarakat. Aneka putusan hakim atau penerapan hukum oleh aparat penegak hukum sebagai penafsiran atas undang-undang agar sesuai dengan perkembangan masyarakat harus menjadi bagian dari pembaruan hukum pidana - aspek sosiologis.<br />
<br />
Pembaruan hukum pidana yang meliputi pendekatan yang berorientasi pada nilai (<em>value-oriented approach</em>) yaitu mengenai perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana, hukuman bagi tindak pidana, cara untuk menentukan bersalah sehingga perbuatan tersebut harus dikenai pemidanaan. Apabila saat ini hukum pidana bertolak dari aspek procedural, maka aspek tersebutlah yang harus didekati dengan <em>value-oriented approach</em> agar terwujud keadilan, atau pemidanaan yang tidak sewenang-wenang. Pemidanaan yang menjadi sarana balas dendam perlu diubah atau konsep <em>ultimum remedium</em> juga perlu ditinjau.<br />
<br />
<em>Economic detterence</em> sebagai salah satu konsep dari analisi ekonomi terhadap hukum perlu dipertimbangkan. Pemidaaan tidak hanya menempatkan subyek hukum ke dalam penjara, melainkan ada bentuk pemidanaan lain yang bias menjerakan subek hukum yang melakukan kejahatan. <em>Economic deterrence </em>secara sosiologis menjadi upaya pemidanaan bagi subyek hukum yang memiliki kemampuan ekonomi dan tidak mengalami dampak signifikan apabila hukuman dilakukan dalam bentuk penjara. Selain itu <em>economic deterrence </em>juga mengalami perubahan paradigma bagi hukum pidana Indonesia, yaitu yang semula subyek hukum hanya untuk pribadi ke subyek hukum badan hukum. Pemidanaan untuk subyek hukum badan hukum menjadi bagian dari pertanggungjawaban korporasi yang melakukan kejahatan baik kesalahan maupun kelalaian. Untuk penjelasan mengenai <em>economic deterrence </em>baca link berikut ini, <a href="http://scholarship.law.missouri.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1183&context=facpubs">http://scholarship.law.missouri.edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1183&context=facpubs</a>.<br />
<br />
Belum selesainya alias tidak mampunya DPR untuk mengundangkan kedua RUU tersebut menjadi lemahnya komitmen legislative baik masa orde baru atau reformasi terhadap pembaruan hukum pidana. Ataukah sebenarnya ini menunjukkan mentalitas bangsa ini yang diwakili oleh legislative, yang dalam bahasa anak muda sekarang adalah susah <em>move on</em>. Indonesia masih senang diatur oleh hukum peninggalan penjajah, atau menyukai produk lama (KUHAP). Selain hal ini menunjukkan kegagalan legislative periode 2009-2014 untuk melakukan pembaruan hukum, sehingga menjadikan kedua RUU tersebut sebagai <em>unfinished lawmaking project</em>.Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/08089601422778918243noreply@blogger.com38tag:blogger.com,1999:blog-5204758699589556547.post-34702361042260846112014-07-30T00:45:00.000-07:002014-07-30T00:45:43.944-07:00Salatiga Indah - Side Effect of BikeventuringSemula hanya berniat bersepeda dengan rute keliling Salatiga, tanpa berniat untuk mencari <em>spot</em> foto. Namun ketika memasuki daerah Gunung Sari dari arah Kalibening, berubah pikiran ketika berhenti untuk beristirahat sejenak melihat pemandangan hamparan sawah yang menguning dengan sebagian yang sedang di panen oleh (buruh) petani. Takjub melihat pemandangan itu, dan melintas<em> </em>ingatan mengenai<em> postingan </em>foto oleh dua teman di <em>Facebook</em> yang pertama terheran-heran dengan pemandangan Salatiga dari Salib Putih, dan yang kedua pemandangan di daerah Bali.<br />
<br />
Dengan mengacu dari <em>postingan </em>tersebut, berpikir bahwa apa yang saya lihat dibawah dengan hamparan sawah dan diseberang sungai ada terasiring yang tidak kalah indah dengan yang ada di Ubud, Bali. Salatiga memiliki pemandangan (<em>view</em>) yang harus diekplorasi agar keindahannya terekspose dan dikenal oleh khalayak. Dan inilah hasil dari bersepeda yang di istilahkan sebagai <em>bikeventuring, </em>tidak hanya untuk bersepeda semata mencari tempat <em>free ride</em> melainkan mengeksplore tempat yang dilalui.<br />
<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://1.bp.blogspot.com/-d96pSbqOnAY/U9ieYxXi4aI/AAAAAAAAAUE/TDj-VY8ljKM/s1600/IMG_0859.JPG" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="http://1.bp.blogspot.com/-d96pSbqOnAY/U9ieYxXi4aI/AAAAAAAAAUE/TDj-VY8ljKM/s1600/IMG_0859.JPG" height="239" width="320" /></a></div>
Dua gambar ini terambil dari celah pohon sengon yang seolah menghalangi keindahan pemandangan. <br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://3.bp.blogspot.com/-JvISP2bD4UM/U9ieZZjVibI/AAAAAAAAAUM/p-MKt9_EA3c/s1600/IMG_0860.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="http://3.bp.blogspot.com/-JvISP2bD4UM/U9ieZZjVibI/AAAAAAAAAUM/p-MKt9_EA3c/s1600/IMG_0860.JPG" /></a></div>
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://4.bp.blogspot.com/-zAbC24-_WcM/U9ieY4EVuPI/AAAAAAAAAUI/QHmk2NvYR5w/s1600/IMG_0861.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="http://4.bp.blogspot.com/-zAbC24-_WcM/U9ieY4EVuPI/AAAAAAAAAUI/QHmk2NvYR5w/s1600/IMG_0861.JPG" height="320" width="320" /></a></div>
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://4.bp.blogspot.com/-Glkw2KLwQxI/U9iepNmYmkI/AAAAAAAAAUs/b1F1vawyMOM/s1600/IMG_0862.JPG" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img border="0" src="http://4.bp.blogspot.com/-Glkw2KLwQxI/U9iepNmYmkI/AAAAAAAAAUs/b1F1vawyMOM/s1600/IMG_0862.JPG" height="320" width="320" /></a></div>
Gambar-gambar selanjutnya mencoba menghindari halangan pohon-pohon sengon, dengan beranjak mengayuh sedikit menuruni jalanan untuk melihat pemandangan secara 'bebas' tidak terhalang pohon.<a href="http://3.bp.blogspot.com/-Imh1WEZrj3s/U9ielKk08MI/AAAAAAAAAUc/yG2uY_cIOq8/s1600/IMG_0863.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="http://3.bp.blogspot.com/-Imh1WEZrj3s/U9ielKk08MI/AAAAAAAAAUc/yG2uY_cIOq8/s1600/IMG_0863.JPG" height="320" width="320" /></a><br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="http://3.bp.blogspot.com/-ngEqLceQWP4/U9ienx2wITI/AAAAAAAAAUk/1IptaUUkDmQ/s1600/IMG_0864.JPG" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" src="http://3.bp.blogspot.com/-ngEqLceQWP4/U9ienx2wITI/AAAAAAAAAUk/1IptaUUkDmQ/s1600/IMG_0864.JPG" height="320" width="320" /></a></div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: left;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: left;">
Pemandangan sawah dengan padi menguning, dengan latar belakang pohon kelapa dan terasiring sawah menjadi sebuah eksotisme yang tidak dapat dihindarkan untuk dinikmati. </div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: left;">
</div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: left;">
Ketika mencoba menanyakan di <em>Facebook, </em>apakah percaya kalau gambar ini berada di Salatiga? Banyak yang gamang, dan meski yakin itu Salatiga namun banyak yang tidak tahu daerah mana. </div>
<div class="separator" style="clear: both; text-align: left;">
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/08089601422778918243noreply@blogger.com35tag:blogger.com,1999:blog-5204758699589556547.post-75239424808820580042014-07-23T18:42:00.001-07:002014-07-23T18:42:50.732-07:00Refleksi Dirgahayu 1264 Kota Hati Beriman<p>Masyarakat sekarang sudah naik kelas dalam berdemokrasi, berbeda pendapat secara terbuka, akses informasi utk kebutuhan informasi dlm menentukan pilihan yang rasional. Lontaran2 pikiran di sampaikan di medsos sungguh menjadi kekayaan dalam diskursus demokrasi yang memperkaya dan memberdaya pada setiap pengambilan keputusan. Namun disebuah kota kecil, ketika pembangunan menjadi kue yang hny diolah oleh segelintir orang, kemudian dibagi oleh kelompok kecil dari segelintir orang. Ditingkahi dengan keserakahan hukum yang berseragam meminta jatah remahan kue pembangunan. Masyarakat yg bergiat dengan proyek pembangunan hanya bisa pasrah, lebih mengutamakan perut daripada kebenaran. Semua stakeholder sudah terbeli dalam jejaring kuasa yang kolutif. Dimanakah suaraku harus kugaungkan ketika rakyat dikelabui dengan ego dan kepasrahan bhw itu bukan urusanku. Suarapun hny mjd gema sebagai penanda bhw ada yg masih eksis, tp sendiri, tersesat tanpa teman menjelajah bentara yg menjulur akar korupsi. Apakah pantas satu tusukan pada kotak suara dijadikan pijakan untuk berharap bhw pilihannya mampu merubah sebuah kota kecil, ditengah mesin partai pendukung terlibat dalam jejaring korupsi dan kolusi yang tidak terjamah oleh keterbukaan apalagi hukum?</p>
<p>Kue (proyek) pembangunan yang dibagi di antara eksekutif, legislatif dan civil society telah melahirkan tradisi yang tiap tahun menjadi rebutan. Apabila rebutan kekuasaan sudah terlembaga setiap lima tahun melalui pemilu, maka rebutan kue proyek pembangunan terjadi setiap tahun (anggaran). Aktornya bisa berbeda, namun hakekat rebutannya selalu hadir menjadi agenda tiap tahun. Aktor yang terlibat adalah eksekutif, legislatif, dan civil society. Tentu bertanya, mengapa civil society terlibat dalam rebutan proyek yang diketahui sudah pasti berbau korupsi dan kolusi? Eksekutif yang pemimpinnya mengalami pergantian selama lima tahun, menjadi aktor terduga utama dalam bagi-bagi kue proyek pembangunan. Legislatif dengan modus term 'aspirasi dewan', menjadi upaya mendapatkan kue proyek dengan menggunakan badan usaha yang berafiliasi kepada partai atau individu anggota dewan. Semakin banyak jumlah anggota terpilih di gedung dewan, posisi tawar untuk mendapatkan bagian kue yang lebih b<i> </i>esar semakin kuat, termasuk mencaplok bagian eksekutif dan sesama anggota dewan yan lain baik dari partai yang sama atau berbeda.</p>
<p>Civil society yang terlibat dalam pembagian kue proyek pembangunan dapat di petakan sebagai berikut, kelompok profesi jurnalistik, individu atau lembaga penggiat anti korupsi, preman lokal, kelompok pengusaha jasa konstruksi, tim sukses pilkada, termasuk lembaga pemerintahan horizontal. Masif dan berjejaring menjadikan pengelolaan pemerintahan yang <i>good governance</i><b><i> </i></b>sulit direalisasikan di kota yang berdirgahayu 1264 ini. Mulai dari penunjukkan/pengadaan langsung atau lelang, terkondisikan bahwa yang memenangkan pelaksanaan pekerjaan proyek pembangunan adalah yang sudah ditentukan. Banyak-sedikitnya proyek yang diperoleh tergantung seberapa besar posisi tawar yang dimiliki oleh masing-masing kelompok terhadap pihak yang memiliki kapasitas untuk membagi kue pembangunan.</p>
<p>Masalah lain dari kota yang berdirgahayu 1264 adalah proyeksi perlunya rekayasa lalu-lintas untuk mengantisipasi keterbatasan ruas jalan dan meledaknya jumlah kendaraan bermotor. Tanpa rekayasa lalu-lintas maka kemacetan sudah menghadang di depan mata. Permasalahannya adalah rekayasa lalu-lintas membutuhkan pemikiran yang mendalam dengan melibatkan <i>stakeholder</i> kota, dan uji coba yang berulang untuk memperoleh hasil yang baik dalam pengaturan lalu-lintas. Kota dengan luas wilayah yang terbatas harus menyegerakan pemikiran tentang rekayasa lalu lintas yang berkorelasi dengan fokus pengembangan kantong perekonomian agar tidak terpusat di jalan Jenderal Sudirman. <i>Twin centre</i> atau pusat kota kembar perlu dilakukan untuk menjadi daya tarik pelaku usaha membuka gerai usahanya. Salatiga yang perekonomiannya mengandalakan sektor jasa dan perdagangan, perlu menggali berbagai potensi tersebu dengan <i>pertama</i><b><i>, </i></b>membuka pusat kota tandingan selain jenderal Sudirman. <i>Kedua</i>, mendorong pengembangan pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi sebagai <b>center of excelence</b> dalam pendidikan. Sehingga menjadi rujukan tempat atau kota lain untuk menyekolahkan anaknya di Salatiga. </p>
<p><i>Ketiga</i><b><i>, </i></b>UMKM perlu terus didorong dengan berbagai insentif untuk melebarkan sayap pengembangan usaha tanpa nepotisme dalam pelaksanaannya. Pameran pembangunan sebagai ajang promosi produk UMKM semakin di giatkan. Termasuk mengadakan kegiatan pameran di kota Salatiga secara berkala, berdampingan dengan gelar budaya yang sudah menjadi tradisi beberapa tahun ini. Kegiatan dalam sekala besar dapat menarik minat masyarakat sekitar Salatiga untuk datang dan berbelanja dengan variasi produk yang menjadi unggulan UMKM Salatiga. Pemerintah melakukan pendampingan usaha, tidak hanya dalam bentuk modal namun pengembangan skala usaha UMKM seperti pelatihan manajemen, promosi atau marketing. Dalam konteks pusat kota kembar, sentra UMKM dapat dipikirkan. Termasuk penempatan PKL dalam suatu wadah yang dapat berkontribusi pada ketertiban, kebersihan dan keindahan kota. </p>
<p><i>Keempat</i>, peningkatan layanan publik oleh pemkot Salatiga. Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil atau Kantor Pelayanan Terpadu dan Penanaman Modal sudah menunjukkan peningkatan pelayanan dengan <i>standar operating procedure </i>yang berISO untuk kantor pelayanan terpadu adalah prestasi yang harus dibanggakan selain perlu ditingkat dan ditularkan ke satuan kerja yang lain. PNS yang berorientasi melayani seperti karyawan perusahaan yang melayani kepentingan konsumen perlu ditransformasikan, bukan pegawai pemerintah yang <i>bossy</i>. Keramahan pelayanan, kepastian waktu dan prosedur perlu terus ditingkatkan. </p>
<p>Inilah sekelumit refleksi atas kota yang sedang berdirgahayu 1264. Tentu masih banyak sisi yang bisa diungkap. SALATIGA HATTI BERIMAN!</p>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/08089601422778918243noreply@blogger.com44tag:blogger.com,1999:blog-5204758699589556547.post-3263842333407599402014-07-22T20:01:00.001-07:002014-07-22T20:01:26.970-07:00Skenario Politik Alternatif Prabowo pada Pemerintahan Jokowi-JK 2014-2019<p>Pasca pernyataan konferensi pers Prabowo Subianto (PS) yang banyak ditafsirkan sebagai pengunduran dirinya dalam proses pemilihan presiden 2014 menghasilkan reaksi yang intinya sama. Reaksi publik adalah menyayangkan keputusan beliau dengan membandingkan pernyataan-pernyataannya yang disampaikan ke publik melalui media. Dengan berbagai manifestasi reaksi seperti menghujat, menghina, mediskreditkan atau secara umum dalam bahasa anak jaman sekarang adalah PS di-<i>bully</i> oleh publik. Pendukung PS yang rasional memiliki dua sikap yaitu mengucapkan selamat kepada Jokowi - JK dan mempertanyakan sikap PS, tidak percaya bahwa pernyataan tersebut adalah keputusan pribadi beliau, melainkan pembisik yang ada di sekeliling beliau. </p>
<p>Reaksi lain adalah dengan menautkan sikap mundur dengan ancaman pidana berdasarkan Pasal 245 dan 246 UU No. 42 Tahun 2008. Dan reaksi tersebut salah, karena sikap mundur Prabowo tidak bisa dipidanakan atau tidak memenuhi undur yang terdapat pada pasal tersebut. Sikap PS yang diambil pasca pemungutan suara tidak memiliki akibat hukum dan politik dalam tahapan pilpres. Publik di media sosial (medsos) memposting ketentuan pasal tersebut sebagai pengingat agar PS di jerat hukum. Sikap politik PS di luar nalar publik, namun rasional bagi egonya sendiri. Apakah tidak ada pihak yang mengajukan pertanyaan, lebih bermanfaat mana antara menyatakan mundur dan mengakui kekalahan, menerima kemenangan pesaing di pilpres?</p>
<p>Mengakui kekalahan adalah salah satu sikap ksatria. Kekalahan di kompetisi pilpres bukan akhir segalanya dalam sebuah proses demokrasi. PDIP dspat menjadi referensi, bagaimana berdemokrasi pasca mengalami kekalahan di dua pilpres yaitu mengambil posisi sebagai partai oposisi terhadap partai pemenang pemilu yang memenangkan pilpres. Ini adalah alternatif yang bisa atau harus diambil PS dengan Gerindranya. Menjadikan Gerindra dan Koalisi Merah Putih<i>counterpart</i> yang kritis dan bersebrangan terhadap pemerintahan terpilih. PS memiliki kharisma dan bisa dikelola untuk menjadi negarawan sejati sebelum pernyataan mundurnya pada tanggal 22 Juli 2014. Selain kharisma, PS memiliki sumber daya politik untuk mengambil peran oposisi di legislatif baik nasional maupun daerah. </p>
<p>Sikap oposisi yang ekstrim bisa dilakukan dengan brutal menolak setiap kebijakan pemerintahan Jokowi baik yang harus dibahas di DPR maupun sebagai kebijakan eksekutif. Sikap oposisi yang demikian, apabila di kelola dengan baik dapat menjadi bekal untuk bersaing di pileg dan pilpres 2019. Sekali lagi, PDIP menjadi contoh yang baik dalam pilihan sikap politik ketika tidak menjadi pemenang pemilu. Dan memperoleh kehormatan di hati pemilih, ketika kader parpolnya sesuai dengan harapan rakyat. Beroposisi menjadi pilihan untuk menunjukkan secara bermartabat bahwa pilihan rakyat pada 9 Juli 2014 adalah salah. Kesalahan ditunjukkan dengan bergulirnya waktu berdasarkan kebijakan yang diambil oleh Presiden Jokowi. Sikap oposisi yang demikian sah dalam sebuah negara demokrasi. Oposisi legislatif dapat dijamin dengan sikap otoriter bagi anggota legislatif dari partai Gerindra yang melawan keputusan partai. Mekanisme PAW bagi kader partai yang melawan menjadi upaya menjaga konsistensi oposisi terhadap pemerintahan Jokowi. </p>
<p>Oposisi lain adalah dalam hal penegakan hukum. Dengan mengambil maksimnya Lord Acton, 'power tend to corrupt' maka mengintip pengemban kebijakan rentan terlibat dalam penyalahgunaan wewenang baik dalam perspektif Tata Usaha Negara maupun Tindak Pidana Korupsi menjadi pilihan untuk menaikkan kewibawaan politik. Mengawal penegakan hukum yang melibatkan pejabat baik di pusat maupun daerah akan memberikan poin positif bagi Gerindra dan PS. Termasuk apabila ada kader partai Gerindra yang terlibat pelanggaran hukum tetap akan di proses secara hukum san ecara transparan tanpa ada ada upaya kongkalikong untuk melepaskan diri dari jerat hukum. Pengawalan di kepolisian, kejaksaan dan KPK akan membentuk simpati publik dan menyenangkan hati rakyat yanb sering mengalami kesulitan ketika menuntut penegakan hukum yang melibatkan elit-elit politik. </p>
<p>Berada di samping rakyat pada setiap dampak kebijakan yang merugikan atau tidak berpihak kepada rakyat akan menjadikan PS sebagai pembela kaum tertindas. Menggunakan mesin partai untuk melakukan pembelaan nyata atas rakyat menempatkan PS adalah tokoh yang merakyat dan memiliki kepedulian. Radar politik harus di pertajam, karena pembangunan sering mengorbankan rakyat. Oposisi dalam kerangka pembelaan rakyat lebih bermartabat daripada sikap menyerah dan menuding pihak lain melakukan kecurangan. </p>
<p>Bahkan apabila benar tentang stigma bahwa PS adalah penampung para desertir Kopassus dan preman di wilayah tertentu, maka PS dapat menciptakan gangguan bagi pelaksanaan pembangunan yang dilakukan pemerintah. Disabilitas politik, ekonomi dan sosial dengan jaringan klandestin dapat merepotkan pemerintah bahkan menghambat keberhasilan pemerintahan Jokowi. Apabila rapi dilakukan dan mampu mengelabui pandangan publik, karena rapinya pengorganisasian jaringan klandestin, akan mampu menuai dukungan publik. </p>
<p>Paparan diatas menjadi alternatif strategi tanpa menyerah dan tidak mau mengakui kekalahan sebagaimana dilakukan pada saat hari penetapan hasil pilpres. PS yang berpikir bijaksana dapat menerima alternatif ini dan tetap tampil sebagai pemimpin yang bisa menerima kekalahan, dan kembali membangun modal politik untuk membesarkan tiang demokrasi yang beliau bangun yaitu partai Gerindra. PS yang tidak berpikir panjang lenih memilih menyatakan diri mundur dari tahapan pilpres. Sikap yang melahirkan olok-olok politik bagi beliau oleh minimal para pendukung capres no dua. </p>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/08089601422778918243noreply@blogger.com29tag:blogger.com,1999:blog-5204758699589556547.post-21767396859605818562014-07-01T20:45:00.001-07:002014-07-01T20:45:10.197-07:00Pasca Pemungutan Suara, selain munculnya pemenang, adakah peristiwa lain?<p dir="ltr">Menjelang hari pemungutan suara tanggal 9 Juli 2014, dukungan terhadap kedua pasangan capres semakin riuh. Keriuhan di-rem dengan kehadiran bulan Ramadhan. Mengamati (membaca) isi dukungan, khususnya di jejaring sosial saling menyampaikan pernyataan mendukung atau mencerca satu sama lain.</p>
<p dir="ltr">Dukungan dan cercaan menjadi kelumrahan dalam berdemokrasi sebagai konsekuensi dari kebebasan berpendapat. Yang menjadi riuh dan tajam mengarah pada konflik horizontal antar sesama warga bangsa. Konflik horizontal di jejaring sosial bukan dalam bentuk kekerasan fisik, namun ketajaman perbedaan bisa menjadi benih-benih konflik di dunia faktual.</p>
<p dir="ltr">Bukan hendak mengatakan bahwa beberapa kejadian konflik dalam bentuk kekerasan antar pendukung di beberapa daerah akibat dari saling dukung di jejaring sosial. Saling dukung di jejaring sosial hanya menjadi salah satu pemicu atau <i>trigger</i> dari kekerasan yang terjadi. Sebagai pemicu, pernyataan-pernyataan di jejaring sosial yang memuat informasi yang akan menyebar jauh melintas batas virtual. </p>
<p dir="ltr"><i>Pertama, </i>pernyataan yang memuat informasi merupakan lontaran subyektif dari pihak yang menyatakan. Lontaran subyektif ini terdapat dua kemungkinan yaitu informasinya benar atau kebenaran informasi didasarkan pada keyakinan subyektif. Benar-salahnya informasi membutuhkan sebanyak-banyaknya informasi atau informasi pembanding dan sumber informasi yang digunakan. Dibutuhkan waktu dan cakupan dalam pencarian informasi maka tidak semua individu mampu memilah informasi yang benar dan tidak <i>misleading.</i></p>
<p dir="ltr"><i>Kedua</i>, penyebaran informasi yang semula berada di wilayah virtual ke masyarakat non virtual. Informasi yang di<i>posting</i> di jejaring sosial dengan penyebaran yang tidak bisa diduga sampai sejauh mana informasi tersebut berakhir. Terkait dengan substansi informasi, benar, salah, atau masih dibutuhkan klarifikasi lagi untuk benar dan salahnya. Informasi yang benar akan mengarahkan pada pertimbangan pilihan yang benar, sedangkan informasi yang salah akan menjadikan fitnah dan menyesatkan dalam menentukan pilihan.</p>
<p dir="ltr">Berkembang dan mengalirnya informasi saling mendukung di jejaring sosial sudah mengerucut pada gangguan interaksi sosial. Tidak hanya debat yang substansial dengan argumen bernalar, namun sudah mengarah kepada <i>unfriend</i> ketika teman sudah menggunakan prinsip<i> pokoke</i> dan atau mengganggu dengan postingan yang substansinya belum bisa dipastikan kebenarannya. Namun informasi yang di<i>posting</i> akan mengalir sampai jauh dan menjadi referensi bagi masyarakat. Pereferensian informasi tersebut bagi masyarakat yang tidak memiliki kesempatan untuk <i>check and recheck</i> akan dinilai sebagai kebenaran. Apalagi informasi di sampaikan oleh individu yang memiliki kapabilitas atau kewibawaan, sehingga publik patut percaya dengan apa yang disampaikan.</p>
<p dir="ltr">Informasi yang tidak benar atau kebenarannya masih harus diklarifikasi terlanjur sampai di masyarakat dan dipegang sebagai kebenaran. Kondisi inilah yang memicu ketegangan ditengah masyarakat, mengarah pada konflik horizontal yang sudah terjadi. Apabila tidak ketahanan sosial dalam meredam setiap informasi yang beredar terkait dengan pilpres ini, maka pasca pemungutan suara akan mundah tersulut kekerasan horizontal antar pendukung.</p>
<p dir="ltr">Fanatisme pendukung capres di pilpres 2014 ini sungguh luarbiasa, berbeda dengan pilprea sebelumnya. Fanatisme yang sudah mengarah pada segregasi politik antar pendukung sudah kasat mata. Masyarakat berani menolak selebaran dari pasangan yang sedang kampanye dengan hanya menunjukkan jari tangan dalam jumlah tertentu. Kondisi demikian adalah lahan subur untuk menyemai benih-benih kekerasan, dan memanennya dengan menyebar 'bahan bakar' agar terjadi konflik terbuka.</p>
<p dir="ltr">Kekerasan horizontal menjadi potensi yang harus di waspadai pasca pemungutan suara. Aparat negara dituntut untuk netral ketika terjadi kekerasan. Kenetralannya dengan antisipasi konkrit dan menutup peluang terbukanya konflik di masyarakat. Koordinasi intelejen menjadi penting untuk mendeteksi potensi kekerasan massal akibat kekecewaan para pendukung capres ini. Keberadaan hanya 2 pasangan capres membuka peluang kekerasan pasca pemungutan suara. Masyarakat terpecah menjadi dua dengan kemungkinan berhadap-hadapan sangat besar.</p>
<p dir="ltr">Kita siap berbeda pendapat, namun siapkah menyelesaikan perbedaan tersebut dengan beradab dan akal sehat? </p>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/08089601422778918243noreply@blogger.com30tag:blogger.com,1999:blog-5204758699589556547.post-48907651521052628492014-07-01T01:33:00.000-07:002014-07-01T01:33:19.616-07:00Noumenon & Phenomenon dalam Pilpres 2014<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Noumenon & Phenomenon dalam Pilpres 2014</span><br />
<span style="font-family: Arial;"></span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Noumenon (<span class="pr">\<span class="unicode">ˈ</span>nü-mə-<span class="unicode">ˌ</span>nän\) menurut Merriem-Webster Dictionary adalah <em>a posited object or event as it appears in itself independent of perception by the senses. </em>Noumenon merupakan obyek atau peristiwa yang 'melayang-layang', keberadaannya tidak didasarkan atas sebab tertentu, dia ada sebagaimana adanya. Berbeda dengan phenomenon yaitu <em>an object or aspect known through the senses rather than by thought or intuition, </em>obyek yang diketahui melalui perantaraan akal dan bukan berdasarkan pikiran atau intuisi.</span></span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="pr"></span></span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="pr">Kandidasi dalam pilpres yang terwakili oleh dua pasangan, Prabowo-Hatta dan Jokowi-Kala merupakan fenomena demokrasi. Kedua pasangan tersebut adalah fakta, sedangkan fenomenanya adalah dukungan terhadap keduanya. Saling dukung telah terjadi dalam berbagai (lintas & multi) media. Dalam hal ini bukan bentuk medianya yang ingin di kaji, melainkan substansi dari pesan yang dimuatkan atau di unggahkan di berbagai media. </span></span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><br />
<span class="pr">Semua substansi saling dukung adalah fenomena dalam pengertian yang dikemukakan oleh capres lovers adalah hasil dari buah pikir alias nalar. Isi dukungan dalam kerangka kampanye merupakan buah pikir dari pendukungnya yang terambil dari proses berpikir. Berpikir (<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><em>thought</em>) menurut Merriem-Webster Dictionary adalah <em>the act or process of thinking </em>atau</span><span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><em> the act of carefully thinking about the details of something. </em></span><br />
<br />
Berpikir merupakan sebuah proses. Proses dari Merriem-Webster Dictionary adalah <em>a series of actions that produce something or that lead to a particular result </em>atau <em>a series of changes that happen naturally. </em>Proses berpikir tidak terjadi seketika dan tidak ada secara tiba-tiba, namun ada suatu rangkaian tindakan (berpikir). Tindakan berpikir meliputi ketersediaan informasi dalam jumlah yang mencukupi dan berimbang, pengolahan informasi baik dengan membandingkan, memilah atau menganalisis. Kemudian muncul hasil berpikir yang dapat berupa sebuah kesimpulan dalam suatu pernyataan. Pernyataan inilah yang menjadi isi dukungan kepada salah satu pasangan.<br />
<br />
Substansi dukungan tanpa proses berpikir akan mengarah pada sebuah stereotype yaitu <em>to believe unfairly that all people or things with a particular characteristic are the same. </em>Meski stereotype dapat merujuk pada hasil pengalaman, dan kemudian dikembangkan sebagai hasil berpikir namun arahnya adalah tuduhan yang sifatnya subyektif. </span></span><span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="pr"></span></span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="pr">Yang menjadi masalah adalah apabila isi yang disampaikan bukan dari hasil buah pikir. Parahnya isi dukungan dikategorikan sebagai noumenon, sesuatu yang hadir tanpa sebab-akibat. Dalam gradasi yang lebih bawah dari noumenon adalah hasil dari sebuah tebakan berdasarkan intuisi capres loversnya. Intuisi capres lovers yang tidak didukung oleh data atau informasi yang obyektif akan mengarah pada fitnah (gibah). Fitnah inilah yang harus dihindari oleh bangsa Indonesia, karena dapat mengarahkan pada pemecah-belahan.</span></span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="pr"></span></span><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;"><span class="pr">Noumenon dari pilpres ini (dan setiap pemilihan pemimpin negeri ini) adalah keadilan. Keadilan menjadi utopis ketika ternyata sang terpilih tidak mampu mendekatkan masyarakat pada keadilan. Artinya pemilih terbujuk dan kapasitas sang terpilih ternyata tidak <em>mumpuni</em> untuk mewujudkan keadilan. Dan ini terus berulang, apakah dalam pilpres 2014 akan terulang kembali? Capres lovers-lah yang menentukan. Selamat berpilpresphoria!!</span></span>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/08089601422778918243noreply@blogger.com42tag:blogger.com,1999:blog-5204758699589556547.post-37906141573390658592014-06-30T20:19:00.001-07:002014-06-30T20:19:28.183-07:00Hermeneutika Hukum: Penemuan Hukum atau Penafsiran Hukum?
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: justify;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-size: 16pt; line-height: 115%;"><span style="font-family: Calibri;">Hermeneutika Hukum: Penemuan Hukum atau Penafsiran Hukum?</span></span></b><a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftnref1" style="mso-footnote-id: ftn1;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[1]</span></span><!--[endif]--></span></span></span></a><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><span style="font-family: Calibri;">Yakub Adi Krisanto<o:p></o:p></span></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><span style="font-family: Calibri;">Pengantar <o:p></o:p></span></span></b></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><span style="font-family: Calibri;">Hukum menjadi kajian yang menarik terkait dengan substansi
didalamnya, dan keberadaannya dalam sudah masyarakat. Substansi hukum dalam
teks tertulis tidak hanya dipahami sebagai perintah dan larangan, sebagaimana
dianut oleh aliran legisme atau positivisme. Hukum mewakili suara jamannya dan
mampu melampaui masanya untuk diterapkan sebagai pemecah masalah yang dihadapi
masyarakat. Keberadaan hukum berkaitan dengan keberlakuannya. Hukum yang hidup
tidak sekedar hukum yang masih berlaku, melainkan hukum yang ditaati/dipatuhi
oleh masyarakat. Termasuk bagaimana hukum mengalami modifikasi oleh masyarakat,
beradaptasi dengan pemahaman masyarakat yang berkaitan dengan kultur dan sikap
hidup masyarakatnya.<o:p></o:p></span></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><span style="font-family: Calibri;">Adagium <i style="mso-bidi-font-style: normal;">het recht hinkt
achter de faiten aan</i> menemukan titik relevansinya ketika hukum yang dibuat
sebelum suatu masalah (hukum) terjadi harus menyelesaikan atau memberikan
solusi atas masalah yang terjadi setelah hukum tersebut dinyatakan berlaku.
Hukum disampaikan melalui wahana bahasa menjadi tanda yang mewakili dua pihak
yaitu antara lain pembuatnya (legislative atau hakim), dan kondisi masyarakat
(baik ekonomi, social, politik atau budaya). Masing-masing pihak terdiri dari
multi-aktor yang memegang kekuatan atas kepentingan keberlakuan hukum. Bahasa
hukum yang digunakan diresapi oleh asas hukum dengan menampilkan diri dalam
kaidah hukum.<o:p></o:p></span></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><span style="font-family: Calibri;">Meuwissen membedakan dua bahasa yuridikal yaitu <i style="mso-bidi-font-style: normal;">langage des juristes</i> dan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">langage des droits</i>.</span><a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftnref2" style="mso-footnote-id: ftn2;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[2]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: Calibri;">
<i style="mso-bidi-font-style: normal;">Langage des juristes </i>merupakan bahasa
yang digunakan dalam filsafat hukum, teori hukum dan ilmu hukum, sedangkan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">langage des droits </i>adalah bahasa hukum
otentik dalam peraturan perundang-undangan atau akta notarial. Bahasa yuridikal
memiliki karakteristik yang pembacaan atas teks tidak hanya sekedar membutuhkan
penafsiran semata, melainkan penafsiran yang dihasilkan dari pemahaman dari
kedalaman teks yang digunakan. Dalam hal pembuktian akta otentik nampak bahwa
meskipun akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna (Pasal 1870
KUHPerdata). Kesempurnaan kekuataan pembuktian ini terdapat batasan yaitu ‘bila
dituturkan (dalam akta) mempunyai hubungan langsung dengan isi akta (Pasal 1871
KUHPerdata).’ <o:p></o:p></span></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><span style="font-family: Calibri;">Hakim yang bertugas menyelesaikan sengketa akan melihat
kembali akta otentik yang diajukan sebagai alat bukti dengan melihat ketentuan
Pasal 1871 KUPerdata. Artinya bahwa hakim akan melakukan pembacaan atas teks di
akta otentik. Pembacaan tersebut tidak hanya terhadap bunyi teks (untuk melihat
hubungan antara yang dituturkan dengan isi akta), melainkan juga keterkaitannya
dengan kasus hukum yang diajukan ke depan hakim. Demikian pula pada ketentuan
mengenai penafsiran persetujuan, dalam Pasal 1343 KUHPerdata dinyatakan ‘jika
kata-kata suatu persetujuan dapat diberi tafsiran, maka lebih baik diselidiki
maksud kedua belah pihak yang membuat persetujuan, daripada dipegang teguh arti
kata menurut huruf.’ Pasal 1344<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>- 1346
KUHPerdata menentukan apabila terdapat dua arti dari suatu kata/teks dalam persetujuan
maka pengartian atas kata tersebut didasarkan pada arti yang mungkin
dilaksanakan, paling sesuai dengan sifat perjanjian dan menurut kebiasaan di
tempat persetujuan tersebut dibuat.<o:p></o:p></span></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><span style="font-family: Calibri;">Teks dalam bahasa dapat melahirkan banyak arti dari tafsiran yang
dilakukan oleh pengemban hukum. Bahkan hukum-pun memiliki banyak arti dan
definisi,dilihat dari ketiadaan keseragaman definisi hukum yang dilontarkan
oleh para ahli hukum. Bunyi teks undang-undang yang memiliki keberlakuan politik
dan bersifat otoritatif. Perbuatan melawan hukum yang terdapat dalam tindak
pidana korupsi di UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No.
20 Tahun 2001</span><a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftnref3" style="mso-footnote-id: ftn3;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[3]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: Calibri;">,
Mahkamah Konstitusi membatalkan penjelasan Pasal 2 ayat (1) sepanjang yang
mengenai pengertian perbuatan melawan hukum dalam arti materiil. Dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006 tertanggal 25 Juli 2005 menyatakan
pengertian perbuatan melawan <span style="mso-spacerun: yes;"> </span>secara
materiil bertentangan dengan UUD 1945. <o:p></o:p></span></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><span style="font-family: Calibri;">Dari putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memuat penafsiran
terhadap dua hal <i style="mso-bidi-font-style: normal;">pertama</i>, bahwa perbuatan
melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dibatasi pada pengertian yang formil.
Penjelasan Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor telah menerapkan pengertian perbuatan
melawan hukum (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">onrechtmatigedaad</i>)<i style="mso-bidi-font-style: normal;"> </i>yang dikenal di bidang hukum perdata
diterapkan dan menjadi ukuran pada perbuatan melawan hukum dalam pidang pidana
(<i style="mso-bidi-font-style: normal;">wederrechtelijkheid</i>). <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Kedua</i>, terjadi ‘pelurusan’ terhadap
norma baru yang terdapat dalam UU Tipikor. Bahwa dengan perluasan pengertian
perbuatan melawan hukum maka terbitlah norma baru dari penjelasan Pasal 2 ayat
(1) UU Tipikor. Penjelasan bukan menjadi tempat untuk memunculkan norma baru,
melainkan berfungsi untuk menjelaskan substansi norma yang terdapat dalam
pasal, apalagi memuat norma baru yang bertentangan dengan norma yang
dijelaskan.<o:p></o:p></span></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><span style="font-family: Calibri;">Perbuatan tidak menyenangkan yang semula menjadi delik pidana
berdasarkan Pasal 335 ayat (1) KUHP dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan
dibatalkan keberlakuannya. Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 1/PUU-XI/2013
menyatakan bahwa frasa ‘sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak
menyenangkan’ telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang
memberi peluang terjadinya kesewenang-wenangan bagi penyidik dan penuntut umum.
Ketidakpastian hukum dan ketidakadilan ini dapat terjadi karena kriteria yang
digunakan akan cenderung bersifat subyektif dan hanya akan didasarkan pada
penilaian korban, penyidik dan penuntut umum. Mahkamah Konstitusi memberikan
penafsiran baru atas Pasal 335 ayat (1) angka 1 KUHP berdasarkan asas kepastian
hukum dan keadilan, kemudian menghapusnya karena bertentangan dengan prinsip
konstitusi yang menjamin perlindungan atas hak untuk mendapatkan kepast.ian
hukum yang adil dalam proses penegakan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 28D
ayat (1) UUD 1945<o:p></o:p></span></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><span style="font-family: Calibri;">Dalam hukum persaingan usaha, Pasal 22 UU No. 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat</span><a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftnref4" style="mso-footnote-id: ftn4;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[4]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: Calibri;">
mengatur bahwa ’pelaku usaha dilarang bersekongkol dengan pihak lain untuk
mengatur dan atau pemenang tender sehingga dapat mengakibatkan terjadinya
persaingan usaha tidak sehat’ telah mengalami pemaknaan dari Komisi Pengawas
Persaingan Usaha (KPPU). Pasal ini dalam penerapannya pada kasus-kasus
persekongkolan memunculkan modifikasi definisi persekongkolan yang semula
diatur pada Pasal 1 angka<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>8 UU
Persaingan Usaha. Persekongkolan menurut pasal tersebut adalah bentuk kerjasama
yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pelaku usaha lain dengan maksud untuk
menguasai pasar bersangkutan bagi kepentingan pelaku usaha yang bersekongkol.
Perkembangan definisi persekongkolan mengikuti kasus-kasus yang ditangani oleh
KPPU yang berbeda dari definisi pada Pasal 1 angka 8 UU Persaingan Usaha (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">lihat table</i>).<o:p></o:p></span></span></div>
<br />
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 200%; margin: 0cm 0cm 10pt 14.2pt; text-align: center;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 200%;">Perkembangan
Definisi Persekongkolan<a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftnref5" style="mso-footnote-id: ftn5;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;">[5]</span></b></span><!--[endif]--></span></span></a><o:p></o:p></span></b></div>
<br />
<table border="1" cellpadding="0" cellspacing="0" class="MsoTableList3" style="border-collapse: collapse; border: currentColor; mso-border-bottom-alt: solid black 1.5pt; mso-border-top-alt: solid black 1.5pt; mso-padding-alt: 0cm 5.4pt 0cm 5.4pt; mso-table-layout-alt: fixed; mso-yfti-tbllook: 384;">
<tbody>
<tr style="mso-yfti-firstrow: yes; mso-yfti-irow: 0;">
<td style="background-color: transparent; border-color: black rgb(0, 0, 0); border-style: solid none; border-width: 1.5pt 0px 1pt; mso-border-bottom-alt: solid black .75pt; mso-border-top-alt: solid black 1.5pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 4cm;" valign="top" width="151">
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: center;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Putusan KPPU No. 07/KPPU-L-I/2001<o:p></o:p></span></b></div>
</td>
<td style="background-color: transparent; border-color: black rgb(0, 0, 0); border-style: solid none; border-width: 1.5pt 0px 1pt; mso-border-bottom-alt: solid black .75pt; mso-border-top-alt: solid black 1.5pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 4cm;" valign="top" width="151">
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: center;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Putusan KPPU No. 08/KPPU-L-I/2001 <i style="mso-bidi-font-style: normal;">jo </i>No. 09/KPPU-L/2001<o:p></o:p></span></b></div>
</td>
<td style="background-color: transparent; border-color: black rgb(0, 0, 0); border-style: solid none; border-width: 1.5pt 0px 1pt; mso-border-bottom-alt: solid black .75pt; mso-border-top-alt: solid black 1.5pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 4cm;" valign="top" width="151">
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: center;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Putusan KPPU No. 03/KPPU-I/2002<o:p></o:p></span></b></div>
</td>
<td style="background-color: transparent; border-color: black rgb(0, 0, 0); border-style: solid none; border-width: 1.5pt 0px 1pt; mso-border-bottom-alt: solid black .75pt; mso-border-top-alt: solid black 1.5pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 4cm;" valign="top" width="151">
<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: center;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Putusan KPPU No. 07/KPPU-L/2003<o:p></o:p></span></b></div>
</td>
</tr>
<tr style="mso-yfti-irow: 1; mso-yfti-lastrow: yes;">
<td style="background-color: transparent; border-color: rgb(0, 0, 0) rgb(0, 0, 0) black; border-style: none none solid; border-width: 0px 0px 1.5pt; mso-border-top-alt: solid black .75pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 4cm;" valign="top" width="151">
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin: 0cm 0cm 0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Kerjasama yang dilakukan oleh
pelaku usaha dengan pihak lain secara terang-terangan maupun rahasia atas
inisiatif pelaku usaha maupun pihak lain tersebut dapat berupa pemberian
kesempatan eksklusif oleh Penyelenggara Tender atau pihak terkait secara
langsung atau tidak langsung dengan melawan hukum kepada pelaku usaha yang
mengikuti Tender sebelum penentuan Pemenang Tender.<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="background-color: transparent; border-color: rgb(0, 0, 0) rgb(0, 0, 0) black; border-style: none none solid; border-width: 0px 0px 1.5pt; mso-border-top-alt: solid black .75pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 4cm;" valign="top" width="151">
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin: 0cm 0cm 0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Kerjasama antara pelaku usaha
dengan pihak lain baik atas inisiatif pelaku usaha dan atau pihak lain secara
terang-terangan maupun diam-diam melalui tindakan penyesuaian dan atau
membandingkan dokumen sebelum penyerahan dan atau menciptakan persaingan semu
dan atau menyetujui dan atau memfasilitasi dan atau tidak menolak melakukan
suatu tindakan meskipun mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa tindakan
tersebut dilakukan untuk mengatur dalam rangka memenangkan peserta tender
tertentu.<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="background-color: transparent; border-color: rgb(0, 0, 0) rgb(0, 0, 0) black; border-style: none none solid; border-width: 0px 0px 1.5pt; mso-border-top-alt: solid black .75pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 4cm;" valign="top" width="151">
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin: 0cm 0cm 0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Kerjasama antara dua pihak atau
lebih, secara terang-terangan maupun diam-diam melalui tindakan penyesuaian (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">concerted action</i>) dan atau
membandingkan dokumen <i style="mso-bidi-font-style: normal;">tender</i>
sebelum penyerahan (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">comparing</i> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Bid</i> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">prior</i> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">to</i> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">submission</i>) dan atau menciptakan
persaingan semu (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">sham</i> <i style="mso-bidi-font-style: normal;">competition</i>) dan atau menyetujui dan
atau memfasilitasi dan atau tidak menolak melakukan suatu tindakan meskipun
mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk
mengatur dalam rangka memenangkan peserta <i style="mso-bidi-font-style: normal;">tender</i>
tertentu.<o:p></o:p></span></div>
</td>
<td style="background-color: transparent; border-color: rgb(0, 0, 0) rgb(0, 0, 0) black; border-style: none none solid; border-width: 0px 0px 1.5pt; mso-border-top-alt: solid black .75pt; padding: 0cm 5.4pt; width: 4cm;" valign="top" width="151">
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin: 0cm 0cm 0pt; mso-layout-grid-align: none;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Kerjasama yang dilakukan oleh pelaku usaha dengan pihak
lain secara terang-terangan maupun rahasia atas inisiatif pelaku usaha maupun
pihak lain untuk<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>kemenangan pihak
tertentu berupa pemberian kesempatan eksklusif oleh penyelenggara tender
kepada peserta tender secara langsung maupun tidak langsung dengan melawan
hukum.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin: 0cm 0cm 0pt;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 10pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";"><o:p> </o:p></span></div>
</td>
</tr>
</tbody></table>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><o:p><span style="font-family: Calibri;"> </span></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><span style="font-family: Calibri;">Bunyi teks dalam sebuah pasal dapat mengalami pemaknanaan
yang berbeda dalam penegakan hukumnya. Pemaknaan ini menjadi tugas pengemban
hukum untuk menautkan pasal-pasal yang akan digunakan dengan konteks isu-isu
hukum yang membutuhkan penyelesaian masalah.</span><a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftnref6" style="mso-footnote-id: ftn6;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[6]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: Calibri;">
Dalam penyelesaian masalah inilah teks dari pasal menjadi obyek kajian untuk
diterapkan pada kasus-kasus actual. Teks pasal yang memuat kaidah kemudian
ditafsir baik dengan berbagai metode penafsiran maupun dikaitkan dengan
asas-asas hukum yang menjiwai bunyi teks tersebut. Hal ini dilakukan karena
bunyi teks menjadi tidak jelas atau membutuhkan pemahaman baru dalam rangka
menyelesaikan masalah hukum yang dihadapi untuk menegakkan hukum.<o:p></o:p></span></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><span style="font-family: Calibri;">Penemuan Hukum &
Penafsiran Hukum<o:p></o:p></span></span></b></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><span style="font-family: Calibri;">Sudikno Mertokusumo menyamakan pengertian penemuan hukum dan
penafsiran hukum. Bahwa dalam penemuan hukum dilakukan dengan metode penafsiran
(interpretasi).</span><a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftnref7" style="mso-footnote-id: ftn7;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[7]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: Calibri;">
Penafsiran oleh hakim harus menuju kepada penerapan (atau tidak menerapkan) suatu
peraturan hukum umum terhadap peristiwa konkrit yang dapat diterima oleh
masyarakat.</span><a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftnref8" style="mso-footnote-id: ftn8;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[8]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: Calibri;">
Penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim, atau aparat hukum
lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa
hukum konkrit.</span><a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftnref9" style="mso-footnote-id: ftn9;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[9]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: Calibri;">
Sebagai proses pembentukan hukum, maka penemuan hukum adalah konkretisasi atau
individualisasi persaturan hukum (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">das
sollen</i>) yang bersifat umum denagn mengingat akan peristiwa konkrit (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">das sein</i>) tertentu.</span><a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftnref10" style="mso-footnote-id: ftn10;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[10]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><span style="font-family: Calibri;">Penemuan hukum dari
berbagai pendapat dapat dikemukakan sebagai berikut, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">pertama, </i>merupakan penerapan peraturan pada peristiwa konkrit atau
fakta. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Kedua</i>, dilakukan ketika harus
menemukan hukum karena peraturannya tidak jelas atau menemukan hukum dengan
cara pembentukan hukum karena tidak terdapat peraturan.</span><a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftnref11" style="mso-footnote-id: ftn11;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[11]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: Calibri;">
Dalam hal ini muncul dua istilah yang nampak sama yaitu penemuan hukum (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">rechtvinding</i>) dan pembentukan hukum (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">rechtvorming</i>). Menurut Bambang Sutiyoso
demikian, <o:p></o:p></span></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 28.55pt 10pt 1cm; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><span style="font-family: Calibri;">Istilah penemuan hukum (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">rechtvinding</i>)
dengan pembentukan hukum (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">rechtvorming</i>)
dapat memunculkan polemic dalam penggunaannya. Meskipun demikian keduanya
mempunyai perbedaan antara satu dengan yang lain. Istilah rechtvinding dalam
arti bahwa bukan hukumnya tidak ada, tetapi hukumnya sudah ada, namun masih
perlu digali, dicari dan diketemukan, sedangkan istilah <i style="mso-bidi-font-style: normal;">rechtvorming</i> dalam arti hukumnya tidak ada, oleh karena itu perlu
ada pembentukan hukum, sehingga di dalamnya terdapat penciptaan hukum juga.</span><a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftnref12" style="mso-footnote-id: ftn12;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[12]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><span style="font-family: Calibri;">Pembentukan hukum tidak berarti bahwa tidak ada hukumnya sama
sekali, melainkan belum tertuang dalam kaidah-kaidah hukum. Asas-asas hukum
menjadi petunjuk untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Tugas hakim
mengaktualisasikan asas-asas tersebut dengan menggunakan berbagai metode
kajian. kemudian pembentukan hukum terjadi ketika putusan hakim hadir untuk
menyelesaikan masalah.</span><a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftnref13" style="mso-footnote-id: ftn13;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[13]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: Calibri;">
Putusan hakim adalah (sumber) hukum. Sehingga dalam hal ini, pembentukan hukum
sama dengan proses legislasi yang menghasilan undang-undang namun dilakukan
oleh hakim. <o:p></o:p></span></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><span style="font-family: Calibri;">Penafsiran hukum menjadi bagian dari penemuan hukum.
Penafsiran hukum menjadi metode penemuan hukum yang digunakan dalam menerapkan
hukum (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">das sollen</i>) pada peristiwa
konkrit (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">das sein</i>). Terdapat berbagai
metode penafsiran yaitu interpretasi gramatikal, sistematis, historis dan
teleologis. Berbagai metode penafsiran digunakan tidak terpisah, melainkan
seringkali bersama-sama (lebih dari satu atau semua digunakan) ketika melakukan
penemuan hukum.<o:p></o:p></span></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><o:p><span style="font-family: Calibri;"> </span></o:p></span></b></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><o:p><span style="font-family: Calibri;"> </span></o:p></span></b></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;">
<b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><span style="font-family: Calibri;">Hermeneutika Hukum<o:p></o:p></span></span></b></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><span style="font-family: Calibri;">Jazim Hamidi menempatkan hermeneutika hukum sebagai teori
penemuan hukum baru.</span><a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftnref14" style="mso-footnote-id: ftn14;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[14]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: Calibri;">
Bahkan Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa hermeneutika hukum sudah dikenal
pada abab 19 sebagai ajaran penemuan hukum atau ajaran penafsiran hukum yang
dikenal dengan hermeneutika yuridis.</span><a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftnref15" style="mso-footnote-id: ftn15;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[15]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: Calibri;">
Bahkan Jazim Hamidi dalam uraiannya tentang hermeneutika hukum mengajukan 11
(sebelas) metode penafsiran atau interpretasi hukum.</span><a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftnref16" style="mso-footnote-id: ftn16;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[16]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: Calibri;">
Berdasarkan hal tersebut apakah perbedaan hermeneutika hukum dengan penemuan
hukum? Ataukah memang hermeneutika hukum sebagaimana dikemukakan Jazim Hamidi
merupakan teori penemuan hukum baru?<o:p></o:p></span></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><span style="font-family: Calibri;">Gerald Bruns
menjelaskan mengenai posisi hermeneutika hukum sebagai berikut,<o:p></o:p></span></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 28.65pt 0pt 1cm; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><span style="font-family: Calibri;">Adapun mengenai hukum, kita bisa
mengawalinya dengan ketentuan bahwa hermeneutika tidak memandang hukum dalam
kaitannya dengan urusan konseptual atau metodologis seperti yang dipegang oleh
para teoretisi hukum, apalagi dalam kaitannya dengan persoalan strategi hukum
atau praktik yudisial; melainkan yang menjadi perhatian hermeneutika adalah
kondisi-kondisi di mana semua urusan ini dijalankan. Bisa dikatakan bahwa minat
hermeneutika lebih bersifat ontologis dan bukan bersifat teknis. Dalam
pengertian seperti ini, ‘hermeneutika hukum’ tidak akan sama pengertiannya
dengan teori hukum. Sebaliknya, hermeneutika cenderung agak liar atau bebas
dalam pemikirannya mengenai hukum (atau pokok bahasan apapun). Hal inilah yang
agaknya terjadi ketika kita sampa pada persoalan mengenai hukum dan bahasa,
atau yang dalam hermeneutika disebut sebagai linguistikalitas (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">sprachlickeit</i>) hukum.</span><a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftnref17" style="mso-footnote-id: ftn17;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[17]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><span style="font-family: Calibri;">Hermeneutika hukum berkaitan dengan ontology hukum maka hukum
tidak dapat direduksi sebagai produk politik semata. Melainkan hukum adalah
produk kebudayaan baik sebagai mahluk social maupun individu.</span><a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftnref18" style="mso-footnote-id: ftn18;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[18]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><span style="font-family: Calibri;">Hukum adalah realitas. Realitas hukum dapat mewujud dalam
berbagai bentuk baik tertulis maupun tidak tertulis. Bahwa realitas hukum
merupakan sebuah kebenaran menjadi keniscayaan yang tidak terbantahkan.
Hermeneutika hukum menempatkan pencarian kebenaran (dan keadilan) menjadi
sebuah kehakekatan dengan menggunakan tafsir atas teks. Theo Huijbers membagi
tiga bentuk penafsiran dalam upaya menafsirkan undang-undang yaitu penafsiran
penambah, penafsiran pelengkap dan penafsiran budaya.</span><a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftnref19" style="mso-footnote-id: ftn19;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[19]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: Calibri;">
Ketiga bentuk penafsiran tersebut akan mendekatkan penemuan hukum dalam
perspektif hermeneutika hukum.<o:p></o:p></span></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><span style="font-family: Calibri;">Hermeneutika hukum
yang berasal dari hermeneutika yang diartikan sebagai proses mengubah sesuatu
atau sistuasi ketidaktahuan menjadi mengerti.</span><a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftnref20" style="mso-footnote-id: ftn20;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[20]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: Calibri;">
Hermeneutika berhubungan dengan bahasa</span><a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftnref21" style="mso-footnote-id: ftn21;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[21]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: Calibri;">,
dan disinilah letak keterkaitan dengan hukum yang mengalami transliterasi dari
ide menjadi teks.<o:p></o:p></span></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 28.55pt 10pt 1cm; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><span style="font-family: Calibri;">Interpretasi terhadap hukum selalu berhubungan dengan isinya.
Setiap hukum mempunyai dua segi yaitu yang tersurat dan yang tersirat, atau
bunyi hukum dan semangat hukum. Dua hal itu selalu diperdepatkan oleh para ahli
hukum. Dalam hal ini bahasa menjadi penting. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Subtilitas intellegendi</i> (ketepatan pemahaman) dan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">subtilitas explicandi</i> (ketepatan
penjabarannya) adalah sangat relevan bagi hukum. Hermeneutic mau tidak mau
dibutuhkan untuk menerangkan dokumen hukum.</span><a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftnref22" style="mso-footnote-id: ftn22;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[22]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><span style="font-family: Calibri;">Teks menjadi bagian dari bahasa, penafsiran teks (hukum)
membutuhkan ketepatan pemahaman dan penjabaran ketika dilakukan penemuan hukum
oleh para pengemban hukum. Untuk itulah penafsiran teks membutuhkan penafsiran
budaya yaitu penafsiran perkara-perkara dibawah pengaruh keyakinan-keyakinan
suatu masyarakat tertentu. Keyakinan demikian tidak bersifat politik, melainkan
social-etis, menyatakan apa dalam suatu masyarakat tertentu dianggap layak apa
tidak.</span><a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftnref23" style="mso-footnote-id: ftn23;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[23]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: Calibri;">
Keberhasilan melakukan penafsiran dari perspektif hermenutika terletak pada talenta
bahasa dan talenta pengetahuan individu.</span><a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftnref24" style="mso-footnote-id: ftn24;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[24]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: Calibri;">
<o:p></o:p></span></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><span style="font-family: Calibri;">Paul Ricoeur menjelaskan mengenai hermeneutika sebagai teori
tentang kaidah-kaidah yang menata sebuah eksegesis atau sebuah interpretasi
teks particular atau kumpulan potensi tanda-tanda keberadaan yang dipandang
sebagai sebuah teks.</span><a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftnref25" style="mso-footnote-id: ftn25;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[25]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: Calibri;">
Hermeneutika yang berfungsi sebagai metode penafsiran mempunyai tugas
mengungkapkan dengan membawa keluar atau mengeluarkan potensi makna dari teks
untuk menangkap inti pesan yang disampaikan melalui teks.</span><a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftnref26" style="mso-footnote-id: ftn26;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[26]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><span style="font-family: Calibri;">Terdapat 10 (sepuluh) pengalaman hermeneutis yang menjadi
bagian dari tesis tentang interpretasi yaitu <i style="mso-bidi-font-style: normal;">pertama, </i>pengalaman hermeneutis bersifat historis. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Kedua</i>, pengalaman hermeneutis pada
dasarnya bersifat linguistic. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Ketiga, </i>pengalaman
hermeneutis bersifat dialektis. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Keempat</i>,
pengalaman hermeneutis bersifat ontologis. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Kelima,
</i>pengalaman hermeneutis merupakan sebuah peristiwa bahasa. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Keenam</i>, pengalaman hermeneutis itu
obyektif. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Ketujuh</i>¸ pengalaman
hermeneutis harus dibimbing oleh teks. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Kedelapan</i>,
pengalaman hermeneutis memahami apa yang dikatakan menurut keadaaan sekarang. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Kesembilan</i>, pengalaman hermeneutis
merupakan penyingkapan kebenaran. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Kesepuluh</i>,
estetik harus ditetapkan di dalam hermeneutika.</span><a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftnref27" style="mso-footnote-id: ftn27;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[27]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: Calibri;"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">Kesimpulan</span></b><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><o:p></o:p></span></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><span style="font-family: Calibri;">Hermeneutika hukum menjadi bagian dari cara melakukan
penafsiran dengan melakukan pendalaman atas teks (hukum). Dengan melibatkan
kajian terhadap bahasa dan potensi-potensi kebahasaan yang terkandung dalam
teks, pembacaan teks pasal dapat mendekatkan diri pada maksud pembentuk
undang-undang. Demikian juga membantu pengemban hukum dalam membaca teks dengan
mempertimbangkan potensi kebahasaan dalam teks, namun juga suasana kebatinan
dimana teks tersebut ditafsirkan.<o:p></o:p></span></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><span style="font-family: Calibri;">Dalam hal demikian kajian terhadap hermeneutika hukum sebagai
metode penemuan hukum tidak dapat dilepaskan dari semiotika hukum. Dalam
semiology akan mengeksplorasi makna terkait dengan signifikansi social-politis,
dan mengungkap obyek sebagai tanda yang menyembunyikan ‘mitos-mitos’ kultural
yang berada dibelakangnya.</span><a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftnref28" style="mso-footnote-id: ftn28;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[28]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: Calibri;">
Semiology bertugas memeriksa berbagai tanda dalam teks untuk
mengkarakterisasikan struktur-struktur dan mengidentifikasi makna-makna
potensialnya.</span><a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftnref29" style="mso-footnote-id: ftn29;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 12pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[29]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><o:p><span style="font-family: Calibri;"> </span></o:p></span></div>
<br />
<div style="mso-element: footnote-list;">
<!--[if !supportFootnotes]--><br clear="all" />
<hr align="left" size="1" width="33%" />
<!--[endif]-->
<div id="ftn1" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin: 0cm 0cm 0pt;">
<a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftn1" style="mso-footnote-id: ftn1;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[1]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-size: x-small;"><span style="font-family: Calibri;">
Makalah disampaikan pada Diskusi Bulanan Kerjasama antara FH UKSW, PN Salatiga
dan PN Mungkid di Salatiga, 13 Juni 2014.<o:p></o:p></span></span></div>
</div>
<div id="ftn2" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin: 0cm 0cm 0pt;">
<a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftn2" style="mso-footnote-id: ftn2;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[2]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-size: x-small;"><span style="font-family: Calibri;">
Arief Sidharta (Penerjemah), Meuwissen tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum,
Teori Hukum dan Filsafat Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung, 2009, hal. 45.<o:p></o:p></span></span></div>
</div>
<div id="ftn3" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin: 0cm 0cm 0pt;">
<a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftn3" style="mso-footnote-id: ftn3;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[3]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-size: x-small;"><span style="font-family: Calibri;">
Selanjutnya disebut dengan UU Tipikor.<o:p></o:p></span></span></div>
</div>
<div id="ftn4" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin: 0cm 0cm 0pt;">
<a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftn4" style="mso-footnote-id: ftn4;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[4]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-size: x-small;"><span style="font-family: Calibri;">
Selanjutnya disebut dengan UU Persaingan Usaha.<o:p></o:p></span></span></div>
</div>
<div id="ftn5" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin: 0cm 0cm 0pt;">
<a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftn5" style="mso-footnote-id: ftn5;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[5]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-size: x-small;"><span style="font-family: Calibri;">
Yakub Adi Krisanto, <span style="mso-bidi-font-weight: bold;">Terobosan Hukum
Putusan KPPU dalam Mengembangkan Penafsiran Hukum Persekongkolan Tender:
Analisis Putusan KPPU terhadap Pasal 22 UU No. 5/1999 pasca Tahun 2006</span>,
Jurnal Hukum Bisnis Vol. 27 – No. 3 – Tahun 2008, hal. 63-85, ISSN: 0852/4912.<o:p></o:p></span></span></div>
</div>
<div id="ftn6" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin: 0cm 0cm 0pt;">
<a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftn6" style="mso-footnote-id: ftn6;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[6]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-size: x-small;"><span style="font-family: Calibri;">
Menurut Bambang Sutiyoso, dalam berpikir yuridis (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">het jurisdisch denken</i>) memuat satu tugas yaitu memecahkan
masalah-masalah hukum (Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum -<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan
Berkeadilan, UII Press, Jogjakarta, 2009, hal 26-27.) Bandingkan dengan
pendapat Sudikno Mertokusumo, bahwa dalam ilmu hukum yang harus dipecahkan
adalah masalah-masalah hukum, konflik hukum atau kasus hukum (Sudikno Mertokusumo,
Penemuan Hukum, Liberty, Yogyakarta, 2009, hal. 32.)<o:p></o:p></span></span></div>
</div>
<div id="ftn7" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin: 0cm 0cm 0pt;">
<a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftn7" style="mso-footnote-id: ftn7;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[7]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-size: x-small;"><span style="font-family: Calibri;">
Sudikno Mertokusumo, ibid. hal. 56.<o:p></o:p></span></span></div>
</div>
<div id="ftn8" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin: 0cm 0cm 0pt;">
<a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftn8" style="mso-footnote-id: ftn8;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[8]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-size: x-small;"><span style="font-family: Calibri;">
Ibid.<o:p></o:p></span></span></div>
</div>
<div id="ftn9" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin: 0cm 0cm 0pt;">
<a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftn9" style="mso-footnote-id: ftn9;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[9]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-size: x-small;"><span style="font-family: Calibri;">
Ibid. hal. 37.<o:p></o:p></span></span></div>
</div>
<div id="ftn10" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin: 0cm 0cm 0pt;">
<a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftn10" style="mso-footnote-id: ftn10;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[10]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-size: x-small;"><span style="font-family: Calibri;">
Ibid.<o:p></o:p></span></span></div>
</div>
<div id="ftn11" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin: 0cm 0cm 0pt;">
<a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftn11" style="mso-footnote-id: ftn11;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[11]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-size: x-small;"><span style="font-family: Calibri;">
Bambang Sutiyoso, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">loc. Cit. </i>hal.
28-29.<i style="mso-bidi-font-style: normal;"><o:p></o:p></i></span></span></div>
</div>
<div id="ftn12" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin: 0cm 0cm 0pt;">
<a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftn12" style="mso-footnote-id: ftn12;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[12]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-size: x-small;"><span style="font-family: Calibri;">
Ibid. hal. 31.<o:p></o:p></span></span></div>
</div>
<div id="ftn13" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin: 0cm 0cm 0pt;">
<a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftn13" style="mso-footnote-id: ftn13;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[13]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-size: x-small;"><span style="font-family: Calibri;">
Bandingkan dengan pendapat Paul Scholten dalam Arief Sidharta (Penerjemah),
Struktur Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 203, hal. 63-68.<o:p></o:p></span></span></div>
</div>
<div id="ftn14" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin: 0cm 0cm 0pt;">
<a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftn14" style="mso-footnote-id: ftn14;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[14]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-size: x-small;"><span style="font-family: Calibri;">
Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum – Teori Penemuan Hukum Baru dengan
Interpretasi Teks, UII Press, Jogjakarta, 2005, hal. 39-72.<o:p></o:p></span></span></div>
</div>
<div id="ftn15" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin: 0cm 0cm 0pt;">
<a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftn15" style="mso-footnote-id: ftn15;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[15]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-size: x-small;"><span style="font-family: Calibri;">
Sudikno Mertokusumo, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">loc.cit. </i>hal.
37.<o:p></o:p></span></span></div>
</div>
<div id="ftn16" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin: 0cm 0cm 0pt;">
<a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftn16" style="mso-footnote-id: ftn16;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[16]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-size: x-small;"><span style="font-family: Calibri;">
Jazim Hamidi, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">op.cit. </i>hal. 53-59.<o:p></o:p></span></span></div>
</div>
<div id="ftn17" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin: 0cm 0cm 0pt;">
<a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftn17" style="mso-footnote-id: ftn17;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[17]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-size: x-small;"><span style="font-family: Calibri;">
Gregory Leyh (Ed.), Hermeneutika Hukum – Sejarah, Teori dan Praktik, Nusa
Media, Bandung, 2008, hal. 46.<o:p></o:p></span></span></div>
</div>
<div id="ftn18" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin: 0cm 0cm 0pt;">
<a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftn18" style="mso-footnote-id: ftn18;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[18]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-size: x-small;"><span style="font-family: Calibri;">
Sidharta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta,
2013, hal. 64.<o:p></o:p></span></span></div>
</div>
<div id="ftn19" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin: 0cm 0cm 0pt;">
<a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftn19" style="mso-footnote-id: ftn19;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[19]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-size: x-small;"><span style="font-family: Calibri;">
Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1995, hal.
133-135.<o:p></o:p></span></span></div>
</div>
<div id="ftn20" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin: 0cm 0cm 0pt;">
<a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftn20" style="mso-footnote-id: ftn20;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[20]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-size: x-small;"><span style="font-family: Calibri;">
Sumaryono, Hermeneutik – Sebuah Metode Filsafat, Penerbit Kanisius, Yogyakarta,
1993, hal. 24. Hermeneutik berasal dari bahasa Yunani <i style="mso-bidi-font-style: normal;">hermeneuein</i> yang berarti menafsirkan.<o:p></o:p></span></span></div>
</div>
<div id="ftn21" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin: 0cm 0cm 0pt;">
<a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftn21" style="mso-footnote-id: ftn21;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[21]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-size: x-small;"><span style="font-family: Calibri;">
Ibid. hal. 26.<o:p></o:p></span></span></div>
</div>
<div id="ftn22" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin: 0cm 0cm 0pt;">
<a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftn22" style="mso-footnote-id: ftn22;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[22]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-size: x-small;"><span style="font-family: Calibri;">
Ibid. hal. 29.<o:p></o:p></span></span></div>
</div>
<div id="ftn23" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin: 0cm 0cm 0pt;">
<a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftn23" style="mso-footnote-id: ftn23;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[23]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-size: x-small;"><span style="font-family: Calibri;">
Theo Huijbers, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">op.cit.</i> hal. 134-135.
Bandingkan dengan ketentuan Pasal 1344<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>-
1346 KUHPerdata.<o:p></o:p></span></span></div>
</div>
<div id="ftn24" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin: 0cm 0cm 0pt;">
<a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftn24" style="mso-footnote-id: ftn24;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[24]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-size: x-small;"><span style="font-family: Calibri;">
Syafa’atun Al-Mirzanah dan Sahiron Syamsuddin (Ed.), Pemikiran Hermeneutika
dalam Tradisi Barat – Reader, Lembaga Penelitian Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga, Yogyakarta, 2011, hal. 16.<o:p></o:p></span></span></div>
</div>
<div id="ftn25" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin: 0cm 0cm 0pt;">
<a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftn25" style="mso-footnote-id: ftn25;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[25]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-size: x-small;"><span style="font-family: Calibri;">
Richard Palmer, Hermeneutika – Teori Baru Mengenai Interpretasi, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal. 47.<o:p></o:p></span></span></div>
</div>
<div id="ftn26" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin: 0cm 0cm 0pt;">
<a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftn26" style="mso-footnote-id: ftn26;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[26]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-size: x-small;"><span style="font-family: Calibri;">
Eksegese berasal dari bahasa Yunani, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">exegeomai
</i>yang berart membawa keluar atau mengeluarkan.<o:p></o:p></span></span></div>
</div>
<div id="ftn27" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin: 0cm 0cm 0pt;">
<a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftn27" style="mso-footnote-id: ftn27;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[27]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-size: x-small;"><span style="font-family: Calibri;">
Richard Palmer, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">loc.cit. </i>hal.
288-293.<o:p></o:p></span></span></div>
</div>
<div id="ftn28" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin: 0cm 0cm 0pt;">
<a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftn28" style="mso-footnote-id: ftn28;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[28]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-size: x-small;"><span style="font-family: Calibri;">
Roland Barthes, Elemen-Elemen Semiologi, IRCIsoD, Yogyakarta, 2012, hal. 7.<o:p></o:p></span></span></div>
</div>
<div id="ftn29" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin: 0cm 0cm 0pt;">
<a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hermeneutika%20Hukum.docx" name="_ftn29" style="mso-footnote-id: ftn29;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[29]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-size: x-small;"><span style="font-family: Calibri;">
Ibid. hal. 10.<o:p></o:p></span></span></div>
</div>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/08089601422778918243noreply@blogger.com23tag:blogger.com,1999:blog-5204758699589556547.post-4907196769432666972014-06-30T19:54:00.001-07:002014-06-30T19:58:23.366-07:00Hukum dalam Konstruksi Seni & Imajinasi Masyarakat<div style="text-align: justify;">
<span class="usercontent"><span lang="EN" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: EN;">Terdapat
dua kutipan yang mendorong untuk menulis tentang tema hukum yang
dikonstruksikan sebagai seni dan hasil imajinasi. Yang pertama adalah “<i style="mso-bidi-font-style: normal;">imagination is more important than knowledge</i>"
dari Einstein dan kedua adalah <i style="mso-bidi-font-style: normal;">tagline</i>
sebuah stasiun televisi SyFy yaitu “<i style="mso-bidi-font-style: normal;">imagine
greater</i>” yang diperhatikan ketika melihat acara yang merupakan liputas CAS
2014. Imagination menurut merriam-webster dictionary memiliki arti sebagai
berikut (1) </span></span><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">the ability to imagine things that are
not real: the ability to form a picture in your mind of something that you have
not seen or experienced; (2) the ability to think of new things </span></i><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">dan (3) <i style="mso-bidi-font-style: normal;">something that only exists or happens in your mind</i>.<a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hukum%20dalam%20Konstruksi%20Seni.docx" name="_ftnref1" style="mso-footnote-id: ftn1;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;"><span style="color: blue;">[1]</span></span></span><!--[endif]--></span></span></a> <o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Wikipedia
memberikan definisi <i style="mso-bidi-font-style: normal;">imagination</i>
adalah sebagai berikut <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“</i></span><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span lang="EN" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: EN;">is the ability to form new images and sensations that are
not perceived through senses such as sight, hearing, or other senses.
Imagination helps make knowledge applicable in solving problems and is
fundamental to integrating experience and the learning process.”<a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hukum%20dalam%20Konstruksi%20Seni.docx" name="_ftnref2" style="mso-footnote-id: ftn2;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN" style="font-family: "Arial","sans-serif"; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;"><span style="color: blue;">[2]</span></span></b></span><!--[endif]--></span></span></a>
</span></i><span lang="EN" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: EN;">Yang menarik dari dua definisi yang dikemukakan diatas adalah bahwa
imaginasi merupakan kemampuan (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">abilitity</i>),
keterampilan untuk melakukan atau mengerjakan suatu pekerjaan (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">the power or skill to do something</i>).<a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hukum%20dalam%20Konstruksi%20Seni.docx" name="_ftnref3" style="mso-footnote-id: ftn3;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN" style="font-family: "Arial","sans-serif"; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;"><span style="color: blue;">[3]</span></span></span><!--[endif]--></span></span></a> Selanjutnya
dalam imajinasi terkandung makna transformasi bentuk yang melibatkan
pengetahuan dari yang bersifat abstrak (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">intagible</i>)
menjadi suatu yang diterapkan untuk memecahkan masalah (kehidupan).<o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;">
<span lang="EN" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: EN;">Seni (art) menurut wikipedia adalah
“<i style="mso-bidi-font-style: normal;">art may be characterized in terms of
mimesis (its representation of reality), expression, communication of emotion,
or other qualities. During the Romantic period, art came to be seen as "a
special faculty of the human mind to be classified with religion and science".
Though the definition of what constitutes art is disputed and has changed over
time, general descriptions mention an idea of imaginative or technical skill
stemming from human agency and creation.</i>”<a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hukum%20dalam%20Konstruksi%20Seni.docx" name="_ftnref4" style="mso-footnote-id: ftn4;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN" style="font-family: "Arial","sans-serif"; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;"><span style="color: blue;">[4]</span></span></span><!--[endif]--></span></span></a> Dari
definisi seni tersebut dapat dikemukakan bahwa <i style="mso-bidi-font-style: normal;">pertama</i>, seni merupakan sebuah mimesis atau representasi dari
realitas. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Kedua</i>, seni menjadi hasil
imajinasi dari pikiran yang berupa gagasan (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">an
idea of imaginative</i>). <o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Arial","sans-serif";">Hukum
dalam konstruksi seni dan imajinasi maka dapat dikemukakan 3 (tiga) thesis
bahwa <i style="mso-bidi-font-style: normal;">pertama, </i>hukum sebagai seni dan
imajinasi merupakan representasi dari ide atau gagasan sebuah keteraturan (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">order</i>) yang dimiliki oleh suatu
masyarakat. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Kedua</i>, hukum dalam
representasinya tersebut menjadi sebuah kemampuan dari masyarakat dan para
pengembannya untuk memecahkan masalah yang terjadi dalam masyarakat – <i style="mso-bidi-font-style: normal;">applicable in solving problems</i>. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Ketiga, </i>hukum sebagai produk masyarakat
berintegrasi dengan pengalaman sosialnya, artinya hukum menjadi bagian dari
proses pembelajaran suatu masyarakat untuk menciptakan keteraturan dalam
bingkai keadilan dan keseimbangan<i style="mso-bidi-font-style: normal;">.<o:p></o:p></i></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;">
<span class="usercontent"><span lang="EN" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: EN;">Hukum merupakan
seni dikaitkan dengan kelola rasa (keadilan) dlm pengembanannya. Maka hukum
juga membutuhkan imajinasi, karena sebagai seni hanya bisa di desain dg
imajinasi. Imajinasi dalam hukum merupakan refleksi kekinian, namun juga memuat
proyeksi atas masa depan. Hukum sebagai refleksi kekinian memiliki keterbatasan
dalam menc</span></span><span class="textexposedhide2"><span lang="EN" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: EN;">akup semua hal,
sehingga hukum hanya termanifestasi dalam bentuknya yang general. Namun muatan
proyeksi, memungkinkan hukum melihat ke depan dengan melakukan antisipasi baik
dalam bentuknya yang preemtif maupun preventif. Hukum berada dalam pusaran seni
dan imajinasi. Transformasi ide atau gagasan yang hidup dalam suatu masyarakat
ke bentuk hukum menjadi aktualisasi dari karya imajinasi, dan proses dan
hasilnya merupakan sebuah seni.<o:p></o:p></span></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;">
<span class="textexposedhide2"><span lang="EN" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: EN;">Seni yang
merepresentasi lingkungan (baca: sosial – kemasyarakatan) akan menggambarkan (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">describe</i>) dalam wahana bentuk. Dan
dengan hukum, gambaran masyarakat bisa dilacak sebagai keteraturan yang dicita-citakan.
Keteraturan yang dicita-citakan ini merupakan sebuah preskripsi dari kondisi
kekinian, sekaligus proyeksi dari harapan yang dikejar-wujudkan di masa depan.
Preskripsi kekinian memuat dua hal yaitu <i style="mso-bidi-font-style: normal;">pertama</i>,
penormaan dari preskripsi yang diimajinasikan oleh masyarakat. Pasca penormaan
akan dilakukan positivisasi dari norma yang masih berbentuk
preskripsi-imajinatif ke dalam bentuknya yang ‘konkrit’ di bingkai dengan
kaidah hukum yang membentuk unsur-unsur suatu pasal.<o:p></o:p></span></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;">
<span class="textexposedhide2"><span lang="EN" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: EN;">Penormaan
dari preskripsi yang diimajinasikan adalah seni, yang didalamnya terjadi
mimesis.</span></span><a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hukum%20dalam%20Konstruksi%20Seni.docx" name="_ftnref5" style="mso-footnote-id: ftn5;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: EN;"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN" style="font-family: "Arial","sans-serif"; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;"><span style="color: blue;">[5]</span></span></span><!--[endif]--></span></span></span></a><span class="textexposedhide2"><span lang="EN" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: EN;"> Hukum menjadi hasil representasi dari alam (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">nature</i>), termasuk masyarakat.
Keteraturan yang menjadi hakekat alam, menginspirasi untuk juga menciptakan
keteraturan dalam kehidupan bermasyarakat. Keteraturan adalah imajinasi yang
terindera kemudian mendorong penciptaan mekanisme yang memungkinkan keteraturan
hadir dalam kehidupan nyata. Dalam keteraturan juga memuat ide tentang keadilan
dan ketertiban yang menjadi abstraksi dari imajinasi manusia dalam pengaturan
kehidupan bersama. Penuangan ide yang masih terimajinasi menjadi seni yang
dituangkan dalam kata-kata (teks). Pemilihan kata untuk merepresentasi
imajinasi ide merupakan bagian imitakesi agar kata yang dipilih mewakili ide
dalam komprehensifitas maknanya. <o:p></o:p></span></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;">
<span class="textexposedhide2"><span lang="EN" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: EN;">Kata atau
teks menjadi media merepresentasi ide keteraturan (termasuk keadilan dan
ketertiban). Penuangan ide ke dalam teks atau yang disebut dengan <i style="mso-bidi-font-style: normal;">drafting</i> merupakan seni yang mengkreasi
ide keteraturan yang imajinatif dengan kata-kata yang mampu merepresentasikan
keseluruhan ide baik substansi maupun makna yang terkandung dalam substansi
tersebut. Teks (hukum) bermuatan preskripsi dengan norma-norma yang
menginspirasi kaidah hukum yang tertuang dalam pasal-pasalnya Kerangka pasal terdiri
dari norma dan kaidah, yang mengandung nilai preskripsi dari perasan ide
keteraturan yang imajinatif. <o:p></o:p></span></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;">
<span class="textexposedhide2"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span lang="EN" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: EN;">Kedua</span></i></span><span class="textexposedhide2"><span lang="EN" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: EN;">, dalam
hal demikian, membaca hukum juga harus dilakukan dengan imajinasi. Imajinasi
yang bertolak dari ide keteraturan yang preskriptif. Pembacaan teks harus
dikembalikan pada ide yang preskriptif tanpa melihat jenis metode penafsiran
yang digunakan. Pembacaan yang tidak menggunakan perspektif imajinasi ide yang
preskriptif akan melepaskan diri dari maksud baik substansi maupun maknanya. Perspektif
imajinasi ide yang preskriptif adalah seni dalam membaca teks. Yaitu menarik
kembali makna substansi yang terkandung dalam teks yang merupakan hasil dari
imajinasi ide yang preskriptif. Penarikan makna tersebut dilakukan sebagai
upaya untuk penerapan hukum pada kasus-kasus yang terjadi di masyarakat. <o:p></o:p></span></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;">
<span class="textexposedhide2"><span lang="EN" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: EN;">Keteraturan
adalah imajinasi. Ketidakteraturan menjadi realitas yang anomali dari
keteraturan. Realitas yang demikian harus diselesaikan agar tidak melahirkan
musibah atau bencana (sosial – kemasyarakatan). Musibah sosial dalam bentuk
konflik dari pihak yang menciptakan ketidakteraturan dengan pihak yang
mengharapkan kesinambungan keteraturan yang terjaga dalam kehidupan bersama. Ketegangan
antara kedua pihak tersebut adalah realitas, bukan lagi imajinasi.
Ketidakteraturan merupakan bentuk anti-preskriptif, dapat dimaknai sebagai
perlawanan atas keteraturan atau penolakan terhadap kemapanan yang memberontak
karena terdapat ketidakmampuan untuk meraih yang diharapkan ketika berada dalam
bingkai keteraturan.<o:p></o:p></span></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;">
<span class="textexposedhide2"><span lang="EN" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: EN;">Pembacaan
teks dengan imajinasi dalam bingkai seni menjadi upaya menghadirkan kekinian
dari teks lampau, sekaligus memproyeksikan dengan mengacu kekinian menabur
benih keadilan untuk masa depan. Kedua hal tersebut menjadi bagian dari
berhukum dalam pengembanannya untuk menjaga keteraturan. Pengembanan hukum oleh
berbagai pengembannya adalah penafsiran atau pembacaan kembali teks hukum
ketika bertemu dengan pelanggaran hukum baik dalam bentuk perilaku yang
menyimpang yang diklasifikasikan sebagai kejahatan atau sengketa hak antar
pemilik hak yang masing-masing mengklaim sebagai pihak yang berhak.<o:p></o:p></span></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;">
<span class="textexposedhide2"><span lang="EN" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: EN;">Pengemban
hukum yang membaca teks sedang menghadirkan kontekstualisasi teks lampau
sebagai hasil ide preskriptif yang imajinatif ke dalam fungsinya yang operasional.
Kerja hukum yang membaca hukum merupakan seni menarik kembali ide preskriptif
untuk ‘dipertarungkan’ dengan realitas anomali. Pertarungan ini berada pada dua
ranah, yaitu dalam diri pengembannya yang sedang membaca teks dan ketika hasil
pembacaan tersebut diterapkan pada realitas anomali. Inilah yang disebut dengan
penegakan hukum, pengemban hukum yang membaca teks menghadapi pergumulan dalam
hal membaca teks sesuai dengan arti gramatikalnya, ataukah memahami makna teks
secara lebih komprehensif dengan mempertimbangkan ide preskriptif imajinatif
yang terkandung dalam teks.<o:p></o:p></span></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;">
<span class="textexposedhide2"><span lang="EN" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: EN;">Membaca
teks (hukum) dalam pengembanan hukum merupakan bagian dari kerja-kerja yuridis
yaitu meliputi penalaran dan penafsiran hukum. Keduanya dilakukan secara
simultan dalam pembacaan teks. Penalaran hukum (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">legal reasoning</i>) adalah <i style="mso-bidi-font-style: normal;">“is
particular method of arguing used when applying legal rules to particular
interactions among legal person. The process of legal reasoning in
law-application begins by accepting the relevance of the law and proceed to
work within the existing legal system.”</i></span></span><a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hukum%20dalam%20Konstruksi%20Seni.docx" name="_ftnref6" style="mso-footnote-id: ftn6;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span lang="EN" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: EN;"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><b style="mso-bidi-font-weight: normal;"><span lang="EN" style="font-family: "Arial","sans-serif"; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;"><span style="color: blue;">[6]</span></span></b></span><!--[endif]--></span></span></i></span></a><span class="textexposedhide2"><span lang="EN" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: EN;"> Penalaran hukum menurut Sidharta mencakup tiga aspek
hukum yaitu ontologis, epistemologis dan aksiologis.</span></span><a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hukum%20dalam%20Konstruksi%20Seni.docx" name="_ftnref7" style="mso-footnote-id: ftn7;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: EN;"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN" style="font-family: "Arial","sans-serif"; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;"><span style="color: blue;">[7]</span></span></span><!--[endif]--></span></span></span></a><span class="textexposedhide2"><span lang="EN" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: EN;"> Sedangkan penafsiran hukum yang merupakan metode
penemuan hukum menurut Sudikno Mertokusumo adalah penjelasa yang harus menuju
kepada penerapan (atau tidak menerapkan) suatu peraturan hukum umum terhadap
peristiwa konkrit yang dapat diterima oleh masyarakat.</span></span><a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hukum%20dalam%20Konstruksi%20Seni.docx" name="_ftnref8" style="mso-footnote-id: ftn8;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: EN;"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN" style="font-family: "Arial","sans-serif"; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;"><span style="color: blue;">[8]</span></span></span><!--[endif]--></span></span></span></a><span class="textexposedhide2"><span lang="EN" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: EN;"> Metode penafsiran antara lain interpretasi gramatikal,
sistematis, historis, teleologis, kompararif dan antisipatif.</span></span><a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hukum%20dalam%20Konstruksi%20Seni.docx" name="_ftnref9" style="mso-footnote-id: ftn9;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: EN;"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN" style="font-family: "Arial","sans-serif"; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;"><span style="color: blue;">[9]</span></span></span><!--[endif]--></span></span></span></a><span class="textexposedhide2"><span lang="EN" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: EN;"><o:p></o:p></span></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;">
<span class="textexposedhide2"><span lang="EN" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: EN;">Membaca
teks hukum berarti menalar dan menafsir teks tersebut untuk diterapkan dengan
peristiwa anomali yang terjadi dalam masyarakat. Pengemban hukum yang membaca
teks hukum tidak hanya memahami (<i style="mso-bidi-font-style: normal;">verstehen</i>),
melainkan juga menafsirkan teks hukum. Menurut van Peursen, memahami memiliki
dua arti yaitu <i style="mso-bidi-font-style: normal;">pertama</i>, digunakan
untuk memahami perasaan dan keadaan batin sesama manusia. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Kedua</i>, menangkap arti teks. Arti yang kedua inilah yang mengarahkan
bahwa memahami berarti menafsirkan.</span></span><a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hukum%20dalam%20Konstruksi%20Seni.docx" name="_ftnref10" style="mso-footnote-id: ftn10;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: EN;"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN" style="font-family: "Arial","sans-serif"; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;"><span style="color: blue;">[10]</span></span></span><!--[endif]--></span></span></span></a><span class="textexposedhide2"><span lang="EN" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: EN;"> Pemahaman (dan penafsiran) teks hukum juga membutuhkan
imajinasi dari pengembannya. Imajinasi menjadi daya untuk <i style="mso-bidi-font-style: normal;">pertama</i>, menggali makna teks yang mungkin termuat didalamnya. <i style="mso-bidi-font-style: normal;">Kedua</i>, mencari aneka hubungan yang bisa
terkait dengan kata dan suasana kebatinan dari penggunaan teks tersebut.<o:p></o:p></span></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="margin: 0cm 0cm 10pt; text-align: justify;">
<span class="textexposedhide2"><span lang="EN" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: EN;">Mengambil
pengertian imajinasi diatas mengenai<span style="mso-spacerun: yes;"> </span></span></span><i style="mso-bidi-font-style: normal;"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">the
ability to form a picture in your mind of something that you have not seen or
experienced </span></i><span style="font-family: "Arial","sans-serif";">dan<i style="mso-bidi-font-style: normal;"> the ability to think of new things</i>,
maka pembacaan teks memampukan menghadirkan sesuatu pemahaman atas tafsir yang
belum pernah ada atau memberi pemaknaan baru yang berbeda dari yang pernah
dilakukan. Teks hukum mengalami rekonstruksi, bahkan dimungkinkan dilakukan
dekonstruksi untuk mencapai pemaknaan baru. </span><span class="textexposedhide2"><span lang="EN" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: EN;">Imajinasi akan terwujud dengan berkoeksistensi dengan
pengetahuan. Aneka pengetahuan akan membantu mengembangkan imajinasi ketika
sedang membaca teks hukum.<o:p></o:p></span></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: justify;">
<span style="color: black; font-family: "Arial","sans-serif"; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Pembacaan hukum mengacu
pada definisi yang sudah dikemukakan sama dengan definisi penegakan hukum.
Padahal penegakan hukum menurut Jimly Assidiqie adalah proses dilakukannya
upaya tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman
perilaku dalam laku lintas atau hubungan-hubungan dalam kehidupan bermasyarakat
dan bernegara. Dalam definisi tersebut, penegakan hukum aktualisasi kaedah
hukum dan sekaligus menjadi transformasi bentuk hukum dari yang berwujud teks
yang memuat ide preskripsi imajinatif menjadi teks yang memiliki kemampuan
memaksa manusia untuk mematuhi bunyi teks </span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";"><o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: justify;">
<span style="font-family: "Times New Roman","serif"; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";"><o:p> </o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: justify;">
<span style="color: black; font-family: "Arial","sans-serif"; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Teks hukum yang semula
normatif menjadi teks yang berwibawa, memiliki daya paksa yg aktual. Proses
transformasi inilah melibatkan berbagai aspek yang mempengaruhi hukum, seperti
hukumnya sendiri, pemahaman pengemban hukum terhadap cita hukum atau situasi
masyarakat yang menjadi ladang hukum, tempat bahan hukum digali dan persemaian
benih hukum. Berbagai aspek yang berpengaruh yang difokuskan adalah
representasi ide preskripsi imajinatif dan pembacaan teks dalam fungsinya untuk
menegakkan hukum. Representasi dan pembacaan teks (hukum) menjadi kerja-kerja
yuridis dalam menjaga keteraturan masyarakat.</span><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";"><o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin: 0cm 0cm 0pt; text-align: justify;">
<span style="color: black; font-family: "Arial","sans-serif"; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Kerja-kerja yuridis
dalam hal demikian meliputi <i>pertama</i>, <i>legal drafting</i> dan <i>kedua,
</i>penegakan hukum (<i>law enforcement</i>). <i>Legal drafting</i> adalah
proses penyusunan dokumen-dokumen hukum baik yang berbentuk otoritative
document maupun non autoritative document. Definisi <i style="mso-bidi-font-style: normal;">legal drafting</i> merujuk pada pembentukan hukum yang tdk terbatas
pada proses perancangan peraturan perundang-undangan, namun juga meliputi
pembentukan hukum oleh hakim. Termasuk pembentukan hukum yang dilakukan oleh
subyek hukum privat dalam bentuk perjanjian.<o:p></o:p></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin: 0cm 0cm 12pt; text-align: justify;">
<span style="color: black; font-family: "Arial","sans-serif"; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Hukum baik dalam
wujudnya yang tertulis maupun lisan, keduanya hidup dan hadir dalam kehidupan
masyarakat. Pemaknaan hukum pada kehadirannya yang tidak dapat dihindari
menjadi bagian dari imajinasi masyarakat tentang keteraturan yang merupakan ide
preskriptif. Imajinasi ini terus berlangsung bahkan ketika hukum sudah
terbentuk dan diterapkan untuk menjadi ide preskripif tersebut. Untuk
mengembangkan hukum maka jangan menjauhkan hukum dari imajinasi. Tetap menjaga
asa hukum dalam setiap pemaknaannya, dan menggali manifestasi gagasan tentang
keteraturan yang bisa hadir dalam aneka facet seperti keadilan, harmoni,
keseimbangan, ketertiban, namun ontologis dari hukum adalah menjaga
keteraturan. </span></div>
<span style="color: black; font-family: "Arial","sans-serif"; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";"><div style="text-align: justify;">
<span style="color: black; font-family: "Arial","sans-serif"; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Hukum baik dalam
wujudnya yang tertulis maupun lisan, keduanya hidup dan hadir dalam kehidupan
masyarakat. Pemaknaan hukum pada kehadirannya yang tidak dapat dihindari
menjadi bagian dari imajinasi masyarakat tentang keteraturan yang merupakan ide
preskriptif. Imajinasi ini terus berlangsung bahkan ketika hukum sudah
terbentuk dan diterapkan untuk menjadi ide preskripif tersebut. Untuk
mengembangkan hukum maka jangan menjauhkan hukum dari imajinasi. Tetap menjaga
asa hukum dalam setiap pemaknaannya, dan menggali manifestasi gagasan tentang
keteraturan yang bisa hadir dalam aneka facet seperti keadilan, harmoni,
keseimbangan, ketertiban, namun ontologis dari hukum adalah menjaga
keteraturan. <o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Times New Roman;">
</span></div>
<div class="MsoNormal" style="line-height: normal; margin: 0cm 0cm 12pt; text-align: justify;">
<span style="color: black; font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11.5pt; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";"><span style="font-size: small;">Dengan menjaga asa
hukum<span style="mso-spacerun: yes;"> </span>bersama imajinasi maka hukum
menemukan relevansinya ketika berhadapan dengan perkembangan masyarakat. Dimana
perkembangan masyarakat juga merupakan hasil dari imajinasi para anggotanya.
Untuk itu,membangun hukum dengan imajinasi yang preskriptif akan bertemu dengan
hasil imajinasi yang membentuk masyarakat tempat dimana hukum diberlakukan.</span> <o:p></o:p></span></div>
<div style="text-align: justify;">
<span style="font-family: Times New Roman;">
</span><span class="textexposedhide2"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin;"><span style="mso-spacerun: yes;"> </span></span></span></div>
</span><div style="text-align: justify;">
<!--[if !supportFootnotes]--><br /></div>
<div style="mso-element: footnote-list;">
<hr align="left" size="1" width="33%" />
<!--[endif]-->
<br />
<div id="ftn1" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin: 0cm 0cm 0pt;">
<a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hukum%20dalam%20Konstruksi%20Seni.docx" name="_ftn1" style="mso-footnote-id: ftn1;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;"><span style="color: blue;">[1]</span></span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: Calibri;"> </span><a href="http://www.merriam-webster.com/dictionary/imagination"><span style="color: blue; font-family: Calibri;">http://www.merriam-webster.com/dictionary/imagination</span></a><span style="font-family: Calibri;">
diakses pada tanggal 28 Juni 2014 pukul 9:50.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn2" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin: 0cm 0cm 0pt;">
<a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hukum%20dalam%20Konstruksi%20Seni.docx" name="_ftn2" style="mso-footnote-id: ftn2;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;"><span style="color: blue;">[2]</span></span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: Calibri;"> </span><a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Imagination"><span style="color: blue; font-family: Calibri;">http://en.wikipedia.org/wiki/Imagination</span></a><span style="font-family: Calibri;">
diakses pada tanggal 28 June 2014 pukul 9:54.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn3" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin: 0cm 0cm 0pt;">
<a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hukum%20dalam%20Konstruksi%20Seni.docx" name="_ftn3" style="mso-footnote-id: ftn3;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;"><span style="color: blue;">[3]</span></span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: Calibri;"> </span><a href="http://www.merriam-webster.com/dictionary/ability"><span style="color: blue; font-family: Calibri;">http://www.merriam-webster.com/dictionary/ability</span></a><span style="font-family: Calibri;">
diakses pada tanggal 28 June 2014 pukul 9:59.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn4" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin: 0cm 0cm 0pt;">
<a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hukum%20dalam%20Konstruksi%20Seni.docx" name="_ftn4" style="mso-footnote-id: ftn4;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;"><span style="color: blue;">[4]</span></span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: Calibri;"> </span><a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Art#cite_note-britannica.com-7"><span style="color: blue; font-family: Calibri;">http://en.wikipedia.org/wiki/Art#cite_note-britannica.com-7</span></a><span style="font-family: Calibri;">
diakses pada tanggal 28 June 2014 pukul 10:11.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn5" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin: 0cm 0cm 0pt;">
<a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hukum%20dalam%20Konstruksi%20Seni.docx" name="_ftn5" style="mso-footnote-id: ftn5;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;"><span style="color: blue;">[5]</span></span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: Calibri;"> <span lang="EN" style="mso-ansi-language: EN;">Aristotle also defined mimesis as the
perfection and imitation of nature. </span></span><a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Mimesis"><span lang="EN" style="mso-ansi-language: EN;"><span style="color: blue; font-family: Calibri;">http://en.wikipedia.org/wiki/Mimesis</span></span></a><span style="font-family: Calibri;"><span lang="EN" style="mso-ansi-language: EN;"> diakses pada tanggal 28 June 2014 pukul 10:44.
Michael Davis mengatakan, “</span><i>Mimêsis</i> involves a framing of reality
that announces that what is contained within the frame is not simply real.<span lang="EN" style="mso-ansi-language: EN;">” (ibid.) </span><o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn6" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin: 0cm 0cm 0pt;">
<a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hukum%20dalam%20Konstruksi%20Seni.docx" name="_ftn6" style="mso-footnote-id: ftn6;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;"><span style="color: blue;">[6]</span></span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: Calibri;">
M.J Peterson, Legal Reasoning, </span><a href="http://courses.umass.edu/polsc356/legal-reasoning.pdf"><span style="color: blue; font-family: Calibri;">http://courses.umass.edu/polsc356/legal-reasoning.pdf</span></a><span style="font-family: Calibri;">
diakses pada tanggal 29 June 2014 pukul 2:39.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn7" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin: 0cm 0cm 0pt;">
<a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hukum%20dalam%20Konstruksi%20Seni.docx" name="_ftn7" style="mso-footnote-id: ftn7;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;"><span style="color: blue;">[7]</span></span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: Calibri;">
Sidharta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta,
2013.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn8" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin: 0cm 0cm 0pt;">
<a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hukum%20dalam%20Konstruksi%20Seni.docx" name="_ftn8" style="mso-footnote-id: ftn8;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;"><span style="color: blue;">[8]</span></span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: Calibri;">
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, CV. Liberty, Yogyakarta,
2009, hal. 56. <o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn9" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin: 0cm 0cm 0pt;">
<a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hukum%20dalam%20Konstruksi%20Seni.docx" name="_ftn9" style="mso-footnote-id: ftn9;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;"><span style="color: blue;">[9]</span></span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: Calibri;">
Ibid. hal. 57.<o:p></o:p></span></div>
</div>
<div id="ftn10" style="mso-element: footnote;">
<div class="MsoFootnoteText" style="margin: 0cm 0cm 0pt;">
<a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Karya%20Tulis/Hukum%20dalam%20Konstruksi%20Seni.docx" name="_ftn10" style="mso-footnote-id: ftn10;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="mso-special-character: footnote;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;"><span style="color: blue;">[10]</span></span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: Calibri;">
Sidharta, <i style="mso-bidi-font-style: normal;">loc.cit.</i> hal 37.<o:p></o:p></span></div>
</div>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/08089601422778918243noreply@blogger.com29tag:blogger.com,1999:blog-5204758699589556547.post-88403996077316468732014-01-13T23:54:00.001-08:002014-01-13T23:54:51.043-08:00Aksi Cabut Paku di Salatiga (dari Salatiga untuk Indonesia)<div style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;">
<img alt="" aria-busy="false" aria-describedby="fbPhotosSnowliftCaption" class="spotlight" height="720" src="https://fbcdn-sphotos-h-a.akamaihd.net/hphotos-ak-prn2/1526932_280155902135906_1269417680_n.jpg" style="height: 631px; width: 841px;" width="960" /></div>
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://fbcdn-sphotos-f-a.akamaihd.net/hphotos-ak-prn2/p160x160/1538637_484934711615823_140793327_n.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img alt="Titiek Budiprihyanti's photo." border="0" class="_46-i img" height="213" src="https://fbcdn-sphotos-f-a.akamaihd.net/hphotos-ak-prn2/p160x160/1538637_484934711615823_140793327_n.jpg" style="left: -1px; top: 0px;" width="160" /></a></div>
<span style="font-family: Arial;">Pelestarian lingkungan hidup tidak hanya terbatas pada penanaman pohon (reboisasi) untuk menambah pasokan oksigen dan memperkuat kemampuan tanah menyerap air. Menjaga keberadaan pohon dari 'hama' pengganggu seperti terlihat pada gambar juga penting dilakukan. Rendahnya kesadaran atas pentingnya keberadaan pohon tidak hanya pada sebatas pentingnya menanam pohon untuk memperbanyak jumlah pohon, melainkan juga menjaga agar pohon tidak digunakan sebagai sarana mempromosikan produk. </span><br />
<span style="font-family: Arial;"></span><br />
<span style="font-family: Arial;">Pohon menjadi media promosi yang mengganggu tumbuh-kembang pohon dan estika kota. Media promosi dengan menempelkannya dipohon sering menggunakan benda tajam seperti paku. Paku tersebut menjadi 'hama' yang dihasilkan oleh manusia. Pemanfaatan pohon sebagai media promosi secara berulang telah menjadikan paku adalah bagian yang tidak terpisahkan dari pertumbuhan pohon. Selama bertahun-tahun pohon silih berganti tertempel media promosi, dan semakin banyak jumlah paku yang menancap dari tahun ke tahun.</span><br />
<span style="font-family: Arial;"></span><br />
<a href="https://fbcdn-sphotos-a-a.akamaihd.net/hphotos-ak-frc3/1499499_1505867172972739_1312554433_n.jpg" imageanchor="1" style="clear: right; float: right; margin-bottom: 1em; margin-left: 1em;"><img alt="" aria-busy="false" aria-describedby="fbPhotosSnowliftCaption" border="0" class="spotlight" height="960" src="https://fbcdn-sphotos-a-a.akamaihd.net/hphotos-ak-frc3/1499499_1505867172972739_1312554433_n.jpg" style="height: 631px; width: 446px;" width="678" /></a><br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Berdasarkan fakta diatas melahirkan keprihatinan masyarakat sipil kota Salatiga untuk mengambil bagian dalam menyelamatkan lingkungan hidup. Sebagai bagian dari kampanye 'Stop Memaku Pohon', masyarakat sipil kota Salatiga yang meliputi Palang Merah Indonesia (PMI) Salatiga, Salatiga Facebook Community (SFC), Salatiga Peduli, TRC, Radio Suara Salatiga dan Jaringan Salatiga Liberal (JSL)melakukan Aksi Cabut Paku. </span><br />
<span style="font-family: Arial;"></span><br />
<span style="font-family: Arial;">Gagasan besarnya adalah ketika pohon sebagai penopang lingkungan dapat diselamatkan dari paku-paku yang menancap maka satu langkah kecil untuk menyelamatkan pohon dari siksa paku dapat dihentikan. Dengan langkah kecil ini, masyarakat sipil kota Salatiga sedang melakukan kampanye lingkungan hidup untuk melakukan tindakan serupa di kota-kota Indonesia. Ketika kampanye Aksi Cabut Paku di mulai dari Salatiga dan kemudian dilakukan oleh masyarakat sipil di kota-kota Indonesia maka berapa banyak jumlah pohon yang bisa dilestari-selamatkan.</span><br />
<br />
<img alt="Tri Sukrisdyanto's photo." class="img" height="300" src="https://fbcdn-sphotos-g-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash3/s851x315/1546128_3861573114616_1017055950_n.jpg" style="left: -15px;" width="557" /><span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Aksi cabut paku merupakan langkah kecil untuk tujuan besar. Penyelamatan pohon berarti menyelamatkan lingkungan hidup. Menyelamatkan lingkungan hidup adalah menjamin bahwa bumi ini terus layak dihuni oleh umat manusia dengan kualitas yang tetap menunjang keberlangsungannya. </span><img alt="Tri Sukrisdyanto's photo." class="img" height="130" src="https://fbcdn-sphotos-e-a.akamaihd.net/hphotos-ak-prn1/p130x130/994417_3861574994663_2142268635_n.jpg" style="left: -55px;" width="240" /><img alt="Tri Sukrisdyanto's photo." class="img" height="130" src="https://fbcdn-sphotos-c-a.akamaihd.net/hphotos-ak-prn2/p130x130/1509873_3861574194643_1145950987_n.jpg" width="240" /><br />
<br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Rendahnya kesadaran pelaku usaha dalam berpromosi telah mengorbankan eksistensi pohon. Termasuk pemerintah melalaikan tanggung jawab untuk menjaga pohon dari 'hama' usaha yang dilakukan oleh pelaku usaha. Maraknya pemakuan pohon sebagai media promosi usaha atau politik telah menjadikan pohon sebagai korban kebarbaran motif ekonomi dan politik manusia. Untuk itu perlu ada yang memulai penyadaran dengan aksi pencabutan paku di pohon. Kelompok masyarakat sipil menunjukkan kepedulian dengan langkah kecil melakukan pada hari Minggu, 12 Januari 2014 kemaren. </span><br />
<br />
<img alt="Tri Sukrisdyanto's photo." class="_46-i img" height="195" src="https://fbcdn-sphotos-g-a.akamaihd.net/hphotos-ak-ash3/s261x260/1525712_3861957804233_431616339_n.jpg" style="left: 0px; top: 0px;" width="261" /><span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Aksi pencabutan paku yang dilakukan oleh kelompok masyarakat menghasilkan hampir 2 kg paku dan itu hanya meliputi sebagian kecil dari pohon-pohon yang berada di Salatiga. Seperempat ruas jalan Osamaliki, jalan Wahid Hasyim, jalan Kartini, jalan Laksamana Adi Sucipto membuktikan bahwa paku begitu banyak. Dengan tingkat kesulitan diatas rata-rata yaitu butuh usaha ekstra dan tidak cukup hanya menggunakan tang menunjukkan paku yang ditanam telah 'menyakiti' pohon dalam kurun waktu yang lama. </span><span style="font-family: Arial;">Satu paku yang tertancap di pohon harus 'dikeroyok' 3-4 orang agar bisa dicabut dari pohon. Usaha ekstra tersebut terjadi hampir di setiap pohon yang ditemukan paku yang tertancap. </span><br />
<span style="font-family: Arial;"></span><br />
<span style="font-family: Arial;">Aksi di Salatiga oleh beberapa kelompok masyarakat menjadi langkah awal untuk melakukan aksi selanjutnya. Karena masifnya pemakuan di pohon-pohon di wilayah Salatiga, butuh konsistensi dalam mencabuti paku. Dan dari hasil diskusi dengan para aktivis yang terlibat mereka hendak melanjutkan aksi cabut paku dalam waktu dekat dengan melibatkan banyak elemen masyarakat. Dari Salatiga untuk Indonesia hendak menularkan virus cinta lingkungan dengan menghilangkan paku dari batang pohon. </span><br />
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/08089601422778918243noreply@blogger.com564tag:blogger.com,1999:blog-5204758699589556547.post-88432655194912396932014-01-13T01:37:00.001-08:002014-01-13T01:37:29.880-08:00Masih Mandulnya Hukum & Lelapnya Masyarakat<br />
<span style="font-family: Arial, Helvetica, sans-serif;">Bagaimana menegakkan hukum agar berkeadilan? Ditengah maraknya korupsi di Indonesia, kontrol atau pengawasan menjadi penting. Korupsi yang dilakukan oleh para pejabat public bukan tanpa kesadaran bahwa public tidak akan mengamati. Atau menjadi bagian dari ketidaksadaran dari pejabat korup bahwa suatu saat public akan mampu mengindera korupsi yang dilakukan. Kepala daerah, anggota legislative daerah maupun pusat, menteri atau PNS yang terlibat korupsi melalaikan kemampuan masyarakat mengendus penyalahgunaan wewenang.<br />
<br />
Terungkapnya korupsi banyak bermula dari laporan masyarakat yang disampaikan ke penegak hukum. Masyarakat sipil berperan, namun sejauh mana peran masyarakat sipil ini menyebar menjadi kesadaran kolektif untuk mengambil bagian dari upaya pemberantasan korupsi. Selain keberanian dan komitmen, tembok prosedur yang tertuang dalam sebaran peraturan menjadi penghalang membangun kesadaran masyarakat untuk ikut terlibat dalam pengawasan anggaran Negara. <br />
<br />
Namun bagaimana mekanisme mengontrol hukum apabila masyarakat belum paham dan bahkan tidak mau untuk berbicara (melaporkan) setiap bentuk penyimpangan. Salah satu penyebabnya adalah system perlindungan bagi pelapor (whistle blower) atau perlindungan saksi belum maksimal melindungi mereka. Keterbukaan informasi public belum banyak dipahami oleh masyarakat dan lembaga penegak hukum berlindung atas dalih penyidikan.<br />
<br />
Dobrakan dapat dimulai dari kesadaran kolektif yang tanpa lelah mendorong pengawasan penegakan hukum dan mengungkap praktek gelap transaksi hukum. Indonesia bebas korupsi masih jauh, sejauh terbentuknya kesadaran masyarakat untuk melakukan pengawasan public. Masyarakat mengandalkan KPK dalam menjerat koruptor, tanpa menyadari keterbatasan KPK untuk menjangku korupsi dalam penyelenggaraan negara di republic ini.<br />
<br />
Masyarakat terlelap dalam gemerincing rupiah yang menjadi moda korupsi, terjebak pada komoditas hukum. Keterlelapan ini dimanfaatkan secara masih oleh bandit-bandit hukum, termasuk politisi yang memainkan multi peran dalam penegakan hukum. Hukum bekerja dari kebusukan ke kebusukan tanpa ada peluang menjadi baik, kecuali terdapat kesadaran hati nurani yang tercerahkan dari aparat penegak hukum.<br />
<br />
Penegakan hukum menjadi berpihak kepada keadilan dan kebenaran ketika masyarakat melakukan pengawalan, dalam bentuk tekanan melalui media dan aksi unjuk rasa. Pengawalan atas penegakan hukum perlu dilakukan karena mudahnya hukum diselewengkan oleh penegaknya. Namun masyarakat yang apriori menjadikan pengawalan ini menjadi sulit. Ketidaksadaran kolektif atas potensi yang dimiliki masyarakat perlu di dobrak. <br /><br />Tidak ada hukum yang tidak adil, semua hukum adalah adil. Yang tidak adil adalah pelaku hukum, dimana hukum melahirkan multi perspektif. Kesatuan perspektif yang terjadi saat ini adalah korupsi. Bunyi pasal bergemerincing bunyi rupiah, dan itulah dikerubuti para pencari keadilan. Hukum tidak hanya indah dalam teks, namun juga indah dalam bentuk rupiah dan menjadi malapetaka bagi kaum lemah tak berduit.<br /><br />Hukum akan selalu tebang pilih ketika subyektifitas hukum berada dibalik kepentingan aparat penegak hukum. Subyektifitas hukum harus diletakkan pada rasionalitas hukum yang berbasis argumentasi untuk mendukung aksi subyektifitas tersebut. Argumentasi yang lemah bahkan tanpa dasar hukum menjadi pengabaian atas prinsip Negara hukum. Ketakberpijakan hukum menjadi embrio kesewenang-wenangan, bahkan akan lahir bahasa ketidakadilan dalam penegakan hukum.<br />
<br />
Pandangan masyarakat atas hukum yang tebang pilih bertolak dari realitas hukum bahwa dalam hukum terdapat subyektifitas. bagaimana agar hukum tidak subyektif? Pandangan utilitarian dapat digunakan yaitu ketika hukum mendatangkan manfaat bagi sebanyak2nya masyarakat. Pertanyaannya adalah bagaimana apabila manfaat bagi banyak orang tersebut ternyata memuat perilaku korup? Pertanyaan ini menjadi penting sebagai antisipasi lahirnya tiran yang lahir dari pemilihan yang demokratis, dan memanfaatkan 'manfaat bagi banyak orang' untuk menarik simpati, namun mengangangi hukum.<br />
<br />
Kerinduan atas pemimpin yang merakyat, membela rakyat dapat membuka peluang untuk mengesampingkan hukum apabila nalar public tidak dilatih untuk kritis. Nalar public yang sehat penting untuk terus menjaga kesadaran dalam mengawal setiap kebijakan dan penegakan hukum. Mengawal hukum harus diawal dengan membangun kesadaran masyarakat. Hukum yang tidak terkawal dengan baik akan terus melanggengkan korupsi di republic ini.</span>Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/08089601422778918243noreply@blogger.com84tag:blogger.com,1999:blog-5204758699589556547.post-46474598296026724842013-08-29T19:49:00.000-07:002013-08-29T19:49:16.396-07:00Bahaya Laten Diskriminasi Suku & Agama bagi Indonesia (2 Contoh Kasus di Jakarta dan Salatiga)<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt;">Ditengah
hiruk pikuk politik, hukum dan ekonomi-perdagangan yang melahirkan diskusi
hangat baik di media cetak maupun elektronik, terdapat dua kejadian yang
mengganggu pondasi kebangsaan Indonesia. Pondasi kebangsaan yang terdapat dalam
pembukaan UUD 1945 yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia, dan persatuan Indonesia. Kedua pondasi kebangsaan tersebut
dijabarkan dalam bentuk perlindungan terhadap kemanusiaan dan khususnya bagi
warga negara Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, “</span><i style="font-size: 12pt;">setiap orang berhak bebas atas perlakuan
yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut</i><span style="font-size: 12pt;">.”</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt;">Bangsa
Indonesia dengan keberagamannya menjadi dasar untuk melindungi warga negaranya
dari perlakuan diskriminasi. Keberagaman yang dilatar belakangi oleh apapun
tidak boleh menjadi alasan bagi sesama warga bangsa untuk melakukan
diskriminasi. Hakekat bernegara sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945
adalah melindungi segenap bangsa Indonesia. Perlindungan ini menjadi
manifestasi upaya menjaga Indonesia sebagai sebuah negara dengan kemajukan
warga bangsanya. Kulminasi kesadaran berbangsa yang tertuang dalam Pembukaan
UUD 1945 berawal dari perjalanan perjuangan kemerdekaan yang sudah terbangun
pada Sumpah Pemuda tahun 1928. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt;">Diskriminasi
karena perbedaan sudah sering menjadi berita bahkan tidak jarang terjadi
solidaritas untuk bangsa lain melupakan perlakuan diskriminasi yang masih
terjadi di dalam negeri. Dua kejadian yang dikemukakan di paragraph pertama
tulisan ini memang tidak menghebohkan atau menjadi sorotan media cetak maupun
elektronik. Namun peristiwanya dalam skala tertentu cukup menghebohkan,
khususnya bagi keanekaraman Indonesia dan keindonesiaan itu sendiri. Dua peristiwa
tersebut menjadi refleksi sekaligus benih pemberangusan kemajemukan Indonesia. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<!--[if gte vml 1]><v:shapetype
id="_x0000_t75" coordsize="21600,21600" o:spt="75" o:preferrelative="t"
path="m@4@5l@4@11@9@11@9@5xe" filled="f" stroked="f">
<v:stroke joinstyle="miter"/>
<v:formulas>
<v:f eqn="if lineDrawn pixelLineWidth 0"/>
<v:f eqn="sum @0 1 0"/>
<v:f eqn="sum 0 0 @1"/>
<v:f eqn="prod @2 1 2"/>
<v:f eqn="prod @3 21600 pixelWidth"/>
<v:f eqn="prod @3 21600 pixelHeight"/>
<v:f eqn="sum @0 0 1"/>
<v:f eqn="prod @6 1 2"/>
<v:f eqn="prod @7 21600 pixelWidth"/>
<v:f eqn="sum @8 21600 0"/>
<v:f eqn="prod @7 21600 pixelHeight"/>
<v:f eqn="sum @10 21600 0"/>
</v:formulas>
<v:path o:extrusionok="f" gradientshapeok="t" o:connecttype="rect"/>
<o:lock v:ext="edit" aspectratio="t"/>
</v:shapetype><v:shape id="Picture_x0020_1" o:spid="_x0000_s1026" type="#_x0000_t75"
alt="Description: http://stat.ks.kidsklik.com/statics/files/2013/08/13771101391343317593.jpg"
style='position:absolute;left:0;text-align:left;margin-left:0;margin-top:423.75pt;
width:216.75pt;height:228pt;z-index:251658240;visibility:visible;
mso-wrap-style:square;mso-wrap-distance-left:9pt;mso-wrap-distance-top:0;
mso-wrap-distance-right:9pt;mso-wrap-distance-bottom:0;
mso-position-horizontal:absolute;mso-position-horizontal-relative:margin;
mso-position-vertical:absolute;mso-position-vertical-relative:margin'>
<v:imagedata src="file:///C:\Users\EWALDU~1\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image001.jpg"
o:title="13771101391343317593"/>
<w:wrap type="square" anchorx="margin" anchory="margin"/>
</v:shape><![endif]--><!--[if !vml]--><img align="left" alt="Description: http://stat.ks.kidsklik.com/statics/files/2013/08/13771101391343317593.jpg" height="304" hspace="12" src="file:///C:\Users\EWALDU~1\AppData\Local\Temp\msohtmlclip1\01\clip_image002.jpg" v:shapes="Picture_x0020_1" width="289" /><!--[endif]--><i><span style="font-size: 12.0pt;">Pertama</span></i><span style="font-size: 12.0pt;">,
formulir administrasi kependudukan (adminduk) yang bermuatan SARA. Banyak pihak
yang menulis bernuansa SARA, namun apabila melihat subsatansinya maka formulir
tersebut sudah memuat diskriminasi suku dan agama. Formulir adminduk yang
bermuatan SARA tersebut dikeluarkan oleh Pemerintah Kota Salatiga c.q Dinas
Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil). Dalam formulir tersebut terdapat tiga
sesat pikir yang menjangkiti Pemkot Salatiga yaitu keturunan yang biasanya berkonotasi
berkaitan dengan suku bangsa di Indonesia di campur adukkan dengan agama. Apakah
pembuat konsep formulir ini tidak bisa membedakan antara konsep keturunan
dengan agama? Konsep keturunan yang berkaitan dengan suku bangsa jauh lebih
kompleks dibandingkan dengan konsep agama di Indonesia. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt;">Sesat
pikir selanjutnya adalah pembatasan agama yang dicantumkan dalam bagian
keturunan hanya terbatas pada nasrani. Bagaimana dengan agama-agama lain yang diakui negara? Di
Indonesia, selain agama formal, terdapat agama local yang didasarkan pada
keyakinan komunal tertentu di wilayah Indonesia. Agama-agama local tersebut
berjuang agar eksistensinya juga diakui negara bersanding dengan agama formal. Artinya
formulir adminduk tersebut hanya mengakui agama Nasrani dan mengesampingkan
dengan mencampuradukan agama lain seperti Islam, Hindhu, dan Budha menjadi satu
agama. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt;">Sesat
pikir yang lain adalah Pemerintah Kota Salatiga c.q Dinas Dukcapil
mengesampingkan kenyataan bahwa di Salatiga terdapat berbagai macam suku yang
berasal dari berbagai wilayah Indonesia. Dengan membatasi kolom keturunan yang
menyebut Eropa dan Cina, maka seolah-olah tidak memberikan tempat bagi
keturunan Batak, Ambon, Madura, Padang, Makassar, Manado, Papua, Sumba, Sunda,
Aceh, Dayak dan suku bangsa lain yang tinggal di Indonesia. Seperti dikatakan
sebelumnya bahwa konsep keturunan berkaitan dengan suku bangsa, dan suku bangsa
di Indonesia, khususnya yang berada di Kota Salatiga sangatlah beragam.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt;">Sesat
pikir ini menjadi bahaya laten di Pemkot Salatiga yang dapat memicu lahirnya
bentuk-bentuk diskriminasi warga negara lain. Kota Salatiga yang dikenal
sebagai Indoensia Mini-nya, ternyata terdapat perspektif berpikir yang
mendegradasi keIndonesiaan dan menciderai keberagaman. Meskipun Kepala Dinas Dukcapil berdalih bahwa
formulir tersebut berdasarkan Permendagri No. 28 Tahun 2005 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil di Daerah, namun
dalam Permendagri tersebut tidak mengatur mengenai kolom keturunan yang
digunakan di Kota Salatiga. Bahwa apabila benar mengacu pada Permendagri No. 28
Tahun 2005 maka Pemerintah Indonesia telah melakukan diskriminasi secara
nasional dan melanggar UUD 1945 dan dasar negara Pancasila. Apabila ternyata
formulir tersebut hanya terdapat di Kota Salatiga maka Walikota Salatiga c.q
Kepala Dinas Dukcapil telah melakukan pembohongan public.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<i><span style="font-size: 12.0pt;">Kedua</span></i><span style="font-size: 12.0pt;">, penolakan lurah Lenteng Agung, Susan Jasmine Zulkifli oleh sekelompok
warga karena masalah perbedaan agama. Sekelompok warga tersebut menolak lurah
tersebut karena yang bersangkutan beragama minoritas (Kristen) ditengah
masyarakat yang mayoritas Islam. Dasar penolakan ini menjadi bahaya dan serius
bagi Indonesia apabila secara massif dan sistematis masyarakat mayoritas
menolak pemimpin pemerintahan dari agama minoritas. Dengan kata lain bahwa
dalam sebuah wilayah dengan mayoritas agama tertentu haruslah penyelenggara
pemerintahannya beragama sama dengan mayoritas agama. Warga negara yang
beragama minoritas tidak memiliki kesempatan untuk tampil sebagai pemimpin. Apakah
Indonesia yang demikian yang dibentuk oleh para pendiri bangsa ini?<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt;">Dua
contoh kasus diatas menjadi pembelajaran berharga bagi perjalanan berbangsa dan
bernegara dari Ibukota dan kota kecil di Jawa Tengah. Kelompok yang sectarian lupa
atau tidak tahu mengenai perjalanan sejarah bangsa ini yaitu bahwa sumpah
pemuda dilaksanakan di rumah warga yang beretnis Cina, Kawilarang seorang
Kawanua menjadi Panglima Divisi di Sumatera Utara, seorang Tapanuli Nasution
menjadi Panglima Divisi Siliwangi. Kesadaran bahwa Indonesia dibangun oleh
kelompok tunggal secara agama maupun suku harus diketahui oleh seluruh bangsa
Indonesia. Indonesia tidak hadir hanya melayani agama atau suku tertentu. Karena
dipastikan apabila Indonesia hanya untuk satu agama atau satu suku, maka
Indonesia akan memudar dan menjadi tiada di muka bumi ini. Dalam hal ini,
pemerintah menjadi actor penting untuk menjaga Indonesia yang menaungi dan
melindungi seluruh suku dan agama yang berada di Indonesia.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<br /></div>
<br />Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/08089601422778918243noreply@blogger.com71tag:blogger.com,1999:blog-5204758699589556547.post-14520698397509831292013-08-29T00:01:00.001-07:002013-08-29T00:01:32.861-07:00Kebijakan Ekonomi, Media & Korupsi<div class="MsoNormal">
<div style="text-align: justify;">
Hasil pengamatan sekilas terhadap 3 (tiga) media online
dalam dua hari ini menunjukkan bahwa mereka tergagap dengan berita ekonomi yang
berkaitan dengan <i>pertama</i>, menurunnya
nilai tukar nilai rupiah terhadap dollar yang sudah menembus jauh batas
psikologis. Nilai tukar rupiah terhadap dollar sudah mencapai Rp. 11.900/US$. <i>Kedua</i>, nilai harga saham yang juga
terjun ke titik terendah. <i>Ketiga</i>, ironi
impor beberapa kebutuhan masyarakat. Solusi impor yang diusulkan pemerintah
ketika harga kebutuhan tersebut merangkak naik atau pemerintah gagal menahan
laju tingginya harga barang tersebut. Daging sapi dan kedelai menjadi contoh
muktahir untuk menunjukkan bahwa pemerintah kurang kreatif dalam menuntaskan
permasalahan tingginya harga kedua barang tersebut.<o:p></o:p></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div class="MsoNormal">
<div style="text-align: justify;">
Ketergagapan media untuk bisa mengawal 4 paket kebijakan
yang dikeluarkan pemerintah untuk menstabilisasi ekonomi khususnya melemahnya
nilai tukar rupiah, ketika harus mengelaborasinya dalam bahasa yang dipahami public.
4 paket kebijakan tersebut adalah <i>pertama</i>,
focus untuk memperbaiki neraca transaksi berjalan dengan cara mendorong ekpor. Kebijakan
ini ditempuh dengan cara memberikan tambahan pengurangan pajak untuk sektor
padat karya yang memiliki ekspor minimal 30% dari total produksi. Kemudian, menurunkan
impor migas dengan meningkatkan porsi penggunaan biodiesel dalam versi solar,
sehingga mengurangi konsumsi solar yang berasal dari impor. Selanjutnya<i>¸ </i>menetapkan pengenaan pajak penjualan
barang mewah (PPnBM) yang berasal dari barang impor seperti mobil, barang
bermerek menjadi 125-150%.<o:p></o:p></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div class="MsoNormal">
<div style="text-align: justify;">
<i>Kedua</i>, menjaga
pertumbuhan ekonomi. <i>Ketiga</i>, menjaga
daya beli masyarakat dan tingkat inflasi. <i>Keempat</i>,
mempercepat investasi (m.news.viva.co.id/news/read/438632-empat-jurus-pemerintah-untuk-stabilisasi-ekonomi).
Ketergagapan media terjadi ketika harus menerjemahkan 4 paket kebijakan kepada
masyarakat luas. Dimana 4 paket tersebut masih bersifat ‘abstrak’ meski sudah
memuat kejelasan. Keabstrakan tersebut berkaitan dengan langkah konkrit yang
akan ditempuh pemerintah untuk menguatkan nilai tukar rupiah. Masyarakat membutuhkan
jaminan politik dari pemerintah bahwa 4 paket kebijakan tersebut akan berjalan
sesuai rencana.<o:p></o:p></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div class="MsoNormal">
<div style="text-align: justify;">
Dalam hal ini media memiliki peran penting untuk menajamkan
keempat paket kebijakan tersebut agar rasional-solutif dengan melibatkan pelaku
usaha, ekonom atau akademisi. Penajaman tersebut sebagai sarana membahasakan
kembali dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh public yang mengalami
kegalauan berkaitan dengan melemahnya nilai tukar dan naiknya harga kebutuhan
pokok sepert daging sapi dan kedelai. Multiplier effect dari pelemahan nilai
tukar harus diwaspadai, ditambah dengan solusi yang melahirkan ketergantungan
atas impor juga membahayakan ketahanan ekonomi perdagangan nasional.<o:p></o:p></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div class="MsoNormal">
<div style="text-align: justify;">
Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar menjadi salah
satu indicator rapuhnya fundamental perekonomian Indonesia. Kerapuhan ini tidak
seperti yang digembar-gemborkan pemerintah selama ini. Keempat paket kebijakan
tersebut menjadi jawaban sekaligus ‘kelemahan’ yang hendak ditambal. Kelemahan tersebut
menjadi indikasi kerapuhan fundamental ekonomi akibat rendahnya ekspor
Indonesia atau derasnya arus masuk barang impor. Tidak hanya berkaitan dengan impor
BBM, melainkan bahwa solusi yang sering dikemukakan pemerintah ketika harga
barang merangka naik dan mengalami kesulitan untuk dikendalikan adalah impor. <o:p></o:p></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div class="MsoNormal">
<div style="text-align: justify;">
Kebijakan impor telah menjadi entry point dari korupsi di republic
ini. Sebagaimana di tunjukkan dari
kebijakan impor daging sapi, terungkap oleh KPK terdapat korupsi di dalamnya. Dan
korupsi impor daging sapi dapat menjadi puncak gunung es korupsi kebijakan
impor di negeri ini. kebijakan impor atas barang tertentu harus dicurigai
terdapat rantai korupsi yang melibatkan tidak hanya eksekutif, melainkan juga legislative
dan pelaku usaha. Dalam hal demikian maka, kebijakan impor menjadi modus baru
korupsi di negeri ini baik yang dilakukan dengan cara suap maupun gratifikasi
ataupun mark-up harga untuk meningkatkan margin profit para pelaku yang
terlibat dalam impor.<o:p></o:p></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div class="MsoNormal">
<div style="text-align: justify;">
Peran penting media sebagai ‘penerjemah’ kebijakan
pemerintah akan membantu mencerdaskan masyarakat agar melek politik ekonomi dan
perdagangan. Bahwa selama ini dengan derasnya arus informasi yang berkaitan
dengan dunia politik dan hukum telah berhasil mencerdaskan rakyat dengan
indikasi fasihnya masyarakat membahas masalah politik dan hukum. Bahkan mampu
membangun analisis berdasarkan pemberitaan media dalam sebuah obrolan warung
kopi atau diskusi di poskamling. Analisis masyarakat terkadang tidak kalah
tajam dengan nara sumber terkenal yang sering tampil di televisi. Pendapat dinyatakan
secara lugas sebagai wacana dalam dialog antar warga.<o:p></o:p></div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
</div>
<div class="MsoNormal">
<div style="text-align: justify;">
Di bidang ekonomi-perdagangan, penjelasan dari media baik
ulasan dari dewan redaksi maupun pendapat yang berasal dari nara sumber perlu
dilakukan. Ungkapan ‘luweh enak jamanku’ dengan gambar Presiden Soeharto
menunjukkan bahwa masyarakat belum paham mengenai kondisi perekonomian
nasional. Yang diketahui masyarakat adalah pada jaman orde baru, harga
kebutuhan pokok murah dan terjangkau. Dan berbeda dengan kondisi pasca
tergulingnya Soeharto pada tahun 1998 yang terus merangkak naik harga kebutuhan
pokok. Peran media saat ini adalah mencerdaskan pemahaman masyarakat mengenai
perekonomian nasional, termasuk didalamnya mengawal dan mengkritisi kebijakan
di bidang ekonomi-perdagangan.<o:p></o:p></div>
</div>
<div style="text-align: justify;">
<br /></div>
<div class="MsoNormal">
<div style="text-align: justify;">
Selama kurun waktu 3 (tiga) kali pemilu, menjadi manifestasi
kebebasan politik bangsa Indonesia. Namun secara ekonomi, perjuangan untuk
meraih ketahanan ekonomi nasional sedang dimulai. Politik dan hukum telah
menyita focus perhatian bangsa ini, dan perekonomian selain bangsa ini sudah
sangat cinta uang dengan menguatnya konsumerisme telah lama diabaikan. Masalah
kenaikan harga barang-barang kebutuhan pokok hanya disodorkan solusi impor. Solusi
tersebut menunjukkan lemahnya kita sebagai bangsa yang berdikari dan kekurangan
ketajaman dalam mencari alternative solusi dari hasil olah pikir pemimpinnya. Politik
dan hukum tanpa ditopang dengan perekonomian yang kuat akan melahirkan konflik
dari hasil kebebasan yang dijamin oleh demokrasi. <o:p></o:p></div>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/08089601422778918243noreply@blogger.com27tag:blogger.com,1999:blog-5204758699589556547.post-2594055022288205002013-06-30T21:16:00.000-07:002013-06-30T21:16:04.697-07:00Partisipasi Publik & Keterbukaan Informasi Publik – Kesempatan & Tantangan<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 6pt;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 115%; text-align: justify;">Pasca diundangkan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik (</span><i style="font-size: 12pt; line-height: 115%; text-align: justify;">selanjutnya disebut UU KIP</i><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%; text-align: justify;">)
pada tanggal 30 April 2008, hak public untuk memperoleh informasi mendapatkan
jaminan perlindungan dari negara. Hak untuk memperoleh informasi menjadi bagian
dari upaya meningkatkan kualitas demokrasi, yang salah salah satu prinsipnya
adalah kesempatan berpartisipasi masyarakat dalam setiap program dan atau
kebijakan pembangunan. Partisipasi public dalam demokrasi memilik dua dimensi
yaitu keterlibatan dan pengawasan masyarakat dalam penyelenggaraan negara.</span><a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Partisipasi%20Publik%20&amp;%20UU%20KIP_UPBH.docx#_ftn1" name="_ftnref1" style="font-size: 12pt; line-height: 115%; text-align: justify;" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[1]</span></span></span></a></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Ungkapan ‘knowledge is
power’ (ipsa scientia potestas est) dari Sir Francis Bacon menjadi relevan
untuk menjadi dasar bagi perlunya keterbukaan informasi public. Pengetahuan berasal
dari informasi yang diperoleh dan dimanfaatkan bagi kehidupan manusia. Tanpa informasi,
pengetahuan tidak akan terbentuk dan berguna untuk mengembangkan taraf
kehidupan manusia. Menurut Pasal 1 angka 1 UU KIP,<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: .5in; margin-right: .5in; margin-top: 0in; text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">“informasi adalah keterangan,
pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung nilai, makna dan pesan,
baik data, fakta, maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca
yang disajikan dalam berbagai kemasan, dan format sesuai dengan perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik maupun nonelektronik.”<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa informasi
merupakan semua hal yang dapat ditangkap oleh panca indera yang disajikan dalam
berbagai kemasan. Informasi inilah yang mampu menghadirkan kekuasaan bagi
pemiliknya. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Keterbukaan informasi yang dijamin oleh UU KIP dapat
meningkatkan kemampuan public untuk terlibat pada setiap proses pengambilan
kebijakan atau menggunakan informasi yang dimiliki atau belum dimiliki untuk
menyampaikan gagasan atau usulan kepada penyelenggara negara. UU KIP menjaga
agar setiap badan publik<a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Partisipasi%20Publik%20&amp;%20UU%20KIP_UPBH.docx#_ftn2" name="_ftnref2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[2]</span></span><!--[endif]--></span></a>
memberikan informasi yang dibutuhkan atau diminta oleh masyarakat. Dalam hal
ini UU KIP menjamin tidak ada lagi dalih bagi penyelenggara negara atau badan public
untuk tidak memberikan informasi yang dimiliki dengan alasan informasi tersebut
termasuk kategori rahasia. Bagi masyarakat, terbuka kesempatan untuk mengakses
informasi yang dapat digunakan untuk memberi masukan atau mengantisipasi apabila
terdapat dampak atau akibat yang ditimbulkan dari kebijakan atau program badan public
tersebut.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Informasi yang diakses atau diperoleh masyarakat meningkatkan
peluang untuk memainkan posisi tawar ketika berdialog dengan penyelenggara
negara. Posisi tawar masyarakat disatu sisi menjadi bagian dari pemberdayaan
masyarakat, disisi lain mendorong penyelenggara negara untuk lebih memiliki
sikap responsif dan akomodatif bagi masukan/usulan dari masyarakat. Tawar-menawar
adalah bagian dari dialog antara masyarakat dan penyelenggara negara, dan
sebagai bentuk komunikasi diantara keduanya dalam memperbincangkan suatu
masalah public.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Dialog merupakan bagian dari demokrasi dalam menyampaikan
pendapat terhadap suatu permasalahan. Dialog yang baik adalah ketika para pihak
yang berdialog memiliki atau menguasai informasi yang setara. Ketidaksetaraan
terhadap penguasaan informasi dapat menghasilkan penindasan atau
kesewenang-wenangan. Sebagaimana terjadi pada masa dimana pemerintah lebih
dominan dalam setiap aspek kehidupan bernegara, pemerintah menguasai informasi
dan masyarakat merupakan pihak yang tidak memiliki informasi sama sekali atau
kalaupun memiliki informasi sangat minim.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 UU KIP bahwa dua tujuan
undang-undang tersebut adalah <i>pertama, </i>menjamin
hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan public, program
kebijakan public, dan proses pengambilan keputusan public, serta alasan
pengambilan suatu keputusan public. <i>Kedua</i>,
mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan public. Hak
untuk memperoleh informasi dan berpartisipasi menjadi kekuatan besar masyarakat
untuk mengawasi setiap kebijakan public yang dihasilkan oleh pemerintah.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Pengawasan terjadi ketika public mampu melibatkan diri dalam
setiap proses pembuatan kebijakan dan/atau memperoleh informasi untuk kemudian
memberikan respon atas kebijakan yang diambil. Respon yang diberikan menjadi
bentuk loloh balik atas kebijakan public, baik mendukung, menolak atau
memberikan alternative kebijakan lain yang lebih sesuai dengan kondisi dan atau
permasalahan masyarakat. Respon inilah yang menjadi partisipasi, sekaligus
pengawasan terhadap kebijakan publik yaitu apakah sudah sesuai dengan kondisi
masyarakat atau tidak, adakah penolakan atau permasalahan yang muncul dari
kebijakan yang diambil.<o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Keterbukaan informasi public menjadi bagian penting untuk
menempatkan masyarakat sebagai subyek pembangunan. Masyarakat memiliki peran
strategis dengan jaminan untuk memperoleh informasi. Peran strategis tersebut
menjadikan masyarakat memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dalam bentuk
dialog public dengan penyelenggara negara. Dengan dialog, keinginan atau
harapan para pihak dalam pembangunan dapat disampaikan dan kemudian
berkontribusi positif bagi pengembangan dan kesejahteraan masyarakat.<o:p></o:p></span></div>
<br />
<div>
<!--[if !supportFootnotes]--><br clear="all" />
<hr align="left" size="1" width="33%" />
<!--[endif]-->
<div id="ftn1">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Partisipasi%20Publik%20&amp;%20UU%20KIP_UPBH.docx#_ftnref1" name="_ftn1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[1]</span></span><!--[endif]--></span></a> Bandingkan
dengan bagian menimbang huruf b UU No. 14 Tahun 2008.<o:p></o:p></div>
</div>
<div id="ftn2">
<div class="MsoFootnoteText">
<a href="file:///C:/Users/Ewaldus%20Tukan/Documents/Partisipasi%20Publik%20&amp;%20UU%20KIP_UPBH.docx#_ftnref2" name="_ftn2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Calibri","sans-serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-ascii-theme-font: minor-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-language: AR-SA; mso-bidi-theme-font: minor-bidi; mso-fareast-font-family: Calibri; mso-fareast-language: EN-US; mso-fareast-theme-font: minor-latin; mso-hansi-theme-font: minor-latin;">[2]</span></span><!--[endif]--></span></a> Badan
Publik adalah lembaga eksekutif, legislative, yudikatif, dan badan lain yang fungsi
dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau
seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD, atau organisasi non
pemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau
APBD, sumbangan masyarakat dan/atau luar negeri (Pasal 1 angka 3 UU KIP).<o:p></o:p></div>
</div>
</div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/08089601422778918243noreply@blogger.com15tag:blogger.com,1999:blog-5204758699589556547.post-31252138807759497262013-06-24T21:35:00.002-07:002013-06-24T21:44:52.428-07:00Korupsi di Indonesia, seolah hukum-pun tidak mampu menjerakan<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">Berita tentang korupsi di Indonesia secara terus-menerus
menjadi </span><i style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">headline</i><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"> di setiap surat
kabar. Media massa dengan jargon-nya </span><i style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">bad
news is good news</i><span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;">, menempatkan korupsi sebagai berita buruk yang sudah
menjadi berita baik. Dalam hal ini terjadi absurditas konten berita, yaitu
apakah korupsi tanpa sadar merasuki bangsa ini sebagai berita baik. Berita baik
ini berdampingan dengan kenyataan bahwa korupsi seolah belum bisa berhenti di
republic ini, meskipun sudah dilakukan penegakan hukum.</span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Pertanyaan yang mengemuka adalah apakah hukum tidak efektif?
Apakah bekerjanya hukum belum optimal? Apakah masih dapat diandalkan hukum
untuk memberantas korupsi? Apakah masih terdapat kekurangan dari hukum untuk
berkemampuan memberantas korupsi? Pertanyatan-pertanyaan tersebut menjadi
refleksi kritis bangsa ini dalam menyikapi maraknya korupsi yang terjadi di
Indonesia. Kemarakan korupsi dirayakan oleh individu yang memiliki kesempatan
mengampu kekuasaan dan atau jabatan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Korupsi di Indonesia tidak mengenal batasan. Sektor public
seperti kesehatan, pendidikan, transportasi, perkebunan, olah-raga, teknologi
informasi dan masih banyak yang bisa disebutkan sudah terjangkiti korupsi. Korupsi
tidak mengenal strata atau hierarkhi, pusat-lokal, atas-bawah, dilakukan bagi
setiap pihak yang termotivasi untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain.
Motivasi pribadi yang dipengaruhi oleh berbagai hal baik yang bersifat personal
maupun kolektif telah mampu memicu usaha untuk korupsi. Pemicu ini ‘dibuahi’
oleh mentalias instan dalam memperoleh kekayaan. <o:p></o:p></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: left;">
<span style="font-size: 12.0pt; line-height: 115%;">Tulisan selengkapnya dapat dibaca di </span><span style="line-height: 18px;"> <a href="https://docs.google.com/file/d/0BxSIkFFC2CDhQXVTTEJSZkNZWDQ/edit?usp=sharing">https://docs.google.com/file/d/0BxSIkFFC2CDhQXVTTEJSZkNZWDQ/edit?usp=sharing</a></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: left;">
<span style="line-height: 18px;"><br /></span></div>
<div class="MsoNormal" style="text-align: left;">
<span style="line-height: 18px;">*Tulisan ini merupakan materi kuliah tentang korupsi dalam perspektif hukum yang disampaikan pada kuliah di Magister Akuntansi UKSW tanggal 22 Juni 2013.</span></div>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/08089601422778918243noreply@blogger.com13tag:blogger.com,1999:blog-5204758699589556547.post-477668990412959472013-06-24T21:21:00.004-07:002013-06-24T21:30:14.756-07:00Korupsi Politik & Politik KorupsiPraktek korupsi di Indonesia mengalami pergeseran pola yaitu dari yang melibatkan birokrasi, kepala daerah dan wakil rakyat ke pihak dengan actor yang hampir sama namun dengan perluasan cakupan keterlibatan. Perluasan cakupan keterlibatan ini sebenarnya terkait dengan sifat korupsi dari yang personal dan atau berjamaah ke sistematik terorganisir. Artinya bahwa awalnya pada kurun waktu 1999 sampai dengan 2009, korupsi yang melibatkan aktornya hanya berkaitan dengan pemuasan syahwat politik individual birokrasi atau kepala daerah bersangkutan.<br />
<br />
Korupsi yang dilakukan wakil rakyat terjadi dengan memanfaatkan kewenangan yang dimiliki dalam hak budgeting sebagai lembaga legislative, namun pemanfaatan tersebut tidak dapat dikatakan bahwa lembaganya yang korup. Karena dengan hak budgeting yang dimiliki, anggota DPRD menginginkan tambahan pendapatan yang seolah-olah sah. Tambahan pendapatan dengan menganggarkan dalam APBD menjadi bentuk manipulasi anggaran. Korupsi yang berwatak individual inilah mengalami pergeseran pola pasca 2009.<br />
<br />
Sebagaimana yang terungkap dalam kasus-kasus korupsi yang melibatkan 2 partai koalisi yaitu Nazaruddin dan Hambalang untuk Partai Demokrat, atau suap impor daging sapi untuk PKS adalah bentuk korupsi politik yang sistematif terorganisir. Bahkan apabila merujuk kasus korupsi PPID sebelumnya yang melibatkan kader PAN juga dapat menjadi referensi korupsi politik. Korupsi politik disini adalah korupsi yang dilakukan dengan mengambil keuntungan dari APBN/D untuk kepentingan pengelolaan mesin politik partai.<br />
<br />
Dalam hal ini, korupsi yang dilakukan oleh DPR/D tidak semata untuk kepentingan pribadi anggota yang melakukan korupsi. Dana korupsi mengalir ke pihak-pihak lain baik sesama anggota dewan atau pengurus partai politik. Aliran dana tersebut kemudian diperuntukkan untuk mengelola dan menjalankan organisasi partai, memenuhi kebutuhan partai termasuk biaya konsolidasi dalam memperkuat organisasi partai di aras propinsi maupun kota/kabupaten. Dengan kata lain, korupsi politik merupakan korupsi yang dilakukan oleh partai politik melalui anggota-anggotanya yang duduk sebagai anggota legislative maupun eksekutif.<br />
<br />
Korupsi politik dilakukan dengan kesadaran untuk membantu partai politik tempat dimana anggota legislative atau eksekutif (menteri/kepala daerah) bernaung sebagai bentuk kompensasi politik terhadap partai. Kompensasi politik dimaksud adalah jabatan yang sekarang diraih sebagai legislative dan eksekutif tidak terlepas dari peran partai yang mencalonkan atau menominasikan untuk menjadi DPR/D atau menteri/kepala daerah. Niat melakukan korupsi untuk mengembangkan mesin partai dalam mempertahankan kekuasaan atau menambah kekuasaan yang sudah dalam genggaman.<br />
<br />
Korupsi politik tidak bisa dilepaskan dari biaya politik tinggi dalam mengelola partai politik. Ditengah pragmatisme politik konstituen, biaya politik menjadi keniscayaan yang harus dikeluarkan untuk meraih massa atau memperluas basis dukungan partai. Konstituen saat ini tidak mempan hanya diiming-imingi ideology atau program partai. Mereka juga butuh ‘fresh money’ sebagai kompensasi dukungan terhadap partai politik yang bersangkutan. Biaya politik telah menciptakan politik yang korup.<br />
<br />
Politik korupsi menjadi gambaran dari politik Indonesia, dimana parpol menjadi tiang demokrasi telah mengalami pembusukan. Pembusukan yang menimbulkan kerapuhan apabila tidak segera dibenahi akan meruntuhkan bangunan demokrasi yang sudah dibangun dengan susah payah. Partai politik tidak memperkuat pelembagaan demokrasi yang sehat dan jujur, namun menjadi bagian dari masalah demokrasi itu sendiri. Politik korupsi menjadi wacana actual khas Indonesia dengan menempatkan kerja politik tidak bisa dilepaskan dari langkah-langkah korupsi untuk mengeruk uang rakyat. Partai politik tidak berpikir untuk mengelola APBN/D dengan baik sehingga bisa untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Parpol hanya berpikir berapa prosentasi yang bisa diambil dan didistribusikan untuk biaya politik partai.Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/08089601422778918243noreply@blogger.com18tag:blogger.com,1999:blog-5204758699589556547.post-27971288104289776442013-06-17T18:46:00.002-07:002013-06-17T18:51:50.229-07:00Kenaikan BBM & Down to the Lowest Point as a NationTadi malam, tanggal 17 Juni 2012 Rapat Paripurna DPR menyetujui dengan voting APBN-P 2013 yang memenangkan fraksi-fraksi yang mendukung kenaikan harga BBM. Konsekuensi politis dari kemenangan voting tersebut menjadi dukungan politis bagi pemerintahan SBY untuk menaikkan harga BBM. Dengan asumsi bahwa apabila pemerintah tidak menaikkan harga BBM maka akan mengakibatkan membengkaknya subsidi BBM di APBN. Padahal masih menurut pemerintah subsidi BBM tersebut malah dinikmati oleh warga negara yang tidak seharusnya mendapatkan subsidi. Dengan kata lain, kenaikan harga BBM untuk mengurangi beban subsidi di APBN dan menghindari salah subsidi harga BBM.
Wacana kenaikan harga BBM yang sudah digulirkan beberapa bulan sebelumnya dan diikuti dengan sosialisasi di berbagai media yang menelan biaya berpuluh-puluh milyar rupiah. Antisipasi dampak kenaikan harga BBM secara otomatis yaitu harga barang kebutuhan masyarakat sudah mulai merangkak naik. Bahkan masyarakat sudah tercekik sebelum benar-benar dicekik oleh kenaikan harga BBM yang dalam waktu dekat akan dilakukan. Masyarakat pasrah, mahasiswa berteriak lantang dan heroic. Partai oposisi dan partai yang baru belajar beroposisi menggunakan isu kenaikan harga BBM untuk menarik dukungan.
Harga BBM menjadi konsumsi politik, ditelan kemudian di olah menjadi isu politik. Nampak sekali dari argumentasi fraksi parpol pada saat menjelang voting di Rapat Paripurna DPR tadi malam, fraksi mana yang menolak dengan argumentasi secara substansial dan fraksi mana yang argumentasinya hanya kosmetika politik semata. Argumentasi substansial menempatkan rasionalitas anggaran untuk menolak perubahan APBN-P yang akan menimbulkan dampak massif dari kenaikan harga BBM. Sinyal politik dari argumentasi tersebut salah satunya menyampaikan bahwa kenaikan harga BBM menjelang bulan puasa akan mencekik dan menindas kehidupan masyarakat.
Berbeda dengan fraksi yang bermain dengan kosmetika politik karena sedang belajar beroposisi, menggunakan kondisi riil dari aksi mahasiswa dibeberapa kota yang menolak kenaikan harga BBM sebagai basis argumentasi. Aksi mahasiswa yang cenderung menggunakan cara kekerasan secara isu menyuarakan aspirasi masyarakat, namun cara-cara yang ditempuh membalikkan dukungan atas aksi mahasiswa berubah menjadi kecaman atas aksi kekerasan yang dilakukan. Merusak fasilitas umum, mengganggu pengguna jalan yang lain mencerminkan kurang kreatifnya gerakan mahasiswa dalam melakukan aksi massa. Apakah ini juga menjadi cermin hasil proses belajar mengajar dalam system pendidikan kita juga?
Aksi anggota DPR di senayan tadi malam dan aksi mahasiswa di jalanan kota-kota di Indonesia menjadikan Indonesia “down to the lowest point as a nation”. Mengapa? Tiga kelompok politik yaitu DPR, Pemerintah dan mahasiswa tidak mencerminkan masyarakat yang cerdas untuk mencari banyak pilihan untuk mengatasi masalah klasik negara ini yaitu harga BBM. Tidak ingin mengatakan bahwa tiga kelompok politik tersebut tidak cerdas, namun kurang mau berpikir untuk menggali berbagai kemungkinan banyak pilihan. Satu masalah, satu solusi. Diluar solusi yang disampaikan adalah tidak baik atau tidak benar. Pemerintah kurang antisipatif-visioner untuk mengurangi konsumsi BBM yang berdampak pada membengkaknya subsidi BBM di APBN.
Ketika bangsa Indonesia tidak lagi mau mencari aneka alternative solusi atas masalah-masalah yang dihadapi, maka sebenarnya bangsa ini sedang menggali kuburannya sendiri. Karena bangsa yang berkembang dan maju adalah mereka yang terus melakukan inovasi dan terobosan untuk mengatasi aneka persoalan. Menjadi kreatif tidak hanya pilihan, namun itu adalah proses dari hasil pembelajaran dalam rentang kehidupan. Menjadi kreatif tidak hanya berpikir dengan banyak perspektif, didalamnya memuat kemampuan mendengar banyak pihak yang memiliki tawaran pemikiran. Pemerintah berperan menyediakan ruang yang memungkinkan kreatifitas warga bangsa menjadi unit produkti dan memiliki nilai ekonomi yang berguna bagi kemajuan bangsa.
Kemampuan mengapresiasi karya kreatif anak bangsa menjadi penting. Banyak hasil penelitian yang dihasilkan hanya menjadi konsep indah di ruang-ruang kelas pembelajaran. Kehilangan semangat untuk mengembangkan ketika kolega atau pemerintah melakukan cibiran, bukan karena tidak baiknya hasil temuan namun lebih pada pertimbangan politik yang tidak akan menguntungkan pemilik kepentingan politik tersebut. Untuk itu kenaikan harga BBM adalah cerminan kondisi bangsa ini yang sedang berada dititik terendah dan harus segera bangkit dengan menggali potensi sumber daya alam dan manusia untuk mengatasi berbagai masalah kebangsaan. Dan mulai meninggalkan polemic yang memundurkan kita sebagai bangsa, yaitu ketika bicara mengenai siapa yang berhak tinggal dirumah Indonesia dan upaya-upaya untuk mengusir penghuni rumah Indonesia yang berbeda baik agama, ideology, warna kulit atau kelas social.
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/08089601422778918243noreply@blogger.com10tag:blogger.com,1999:blog-5204758699589556547.post-53466992733072044432013-04-01T06:05:00.001-07:002013-04-01T06:43:17.869-07:00Catatan si-Idjon Dua (Tanggapan atas Pernyataan Kapolri)<p dir=ltr>Pasca penyerangan Lapas Cebongan yang menewaskan 4 tahanan Polda DIY  telah menghasilkan dua reaksi yaitu, tuduhan yang diarahkan ke institusi yang anggotanya menjadi korban pembantaian preman di kafe ternama di Yogyakarta dan diunggahnya catatan di jejaring sosial dengan akun bernama Idjon Djanbi. Reaksi yang kedua menjadi respon atas stigma publik terhadap institusi yang anggotanya menjadi korban pembunuhan dan begitu dipercaya publik tanpa menimbang berbagai kemungkinan lain. Ketidakrelaan atas tuduhan publik mendorong Idjon Djanbi untuk memberikan klarifikasi yang juga membuat pencerahan terhadap publik.</p>
<p dir=ltr>Keunikan dari cacatan si-Idjon ini adalah minimnya respon dari pihak pemerintah baik POLRI, TNI, atau Presiden RI. Minimnya respon ini menjadi tanda tanya atas kemungkinan kebenaran dari substansi catatan tersebut, selain merupakan manifestasi kehati-hatian merespon isi catatan tersebut. Kehati-hatian ini juga patut dipertanyakan, kecuali hendak melihat dari sisi positif bahwa penyelidikan sedang dilakukan. Bahkan POLRI mengerahkan Densus 88 untuk mengejar pelaku pembataian. Dititik inilah pesimisme publik muncul, yaitu ketika Densus 88 mengejar dan memergoki pelaku yang sudah distigma dari kesatuan khusus TNI AD akan melempem alias ciut nyali untuk berhadap-hadapan. Diharapkan kalau benar pengandaian tersebut, POLRI tetap berpihak atas nama hukum untuk melawan siapapun yang melanggar hukum (<i>Fiat Justitia Ruat Coelum</i>).</p>
<p dir=ltr>Ditengah minimnya respon atas catatan si-Idjon muncul pernyataan dari KAPOLRI pasca pembantaian 4 tahanan Lapas Cebongan yang perlu dicermati. <i>Pertama</i>, berkaitan dengan pelaku yang tidak berpenutup kepala alias tidak menggunakan sebo. POLRI sedang membuat sketsa wajah dari keterangan para saksi dan akan menyebarkan sketsa wajah tersebut. KAPOLRI tidak memberikan penjelasan lebih lanjut dari ciri-ciri kepala atau wajah pelaku yang dilihat oleh saksi. Kepala dan wajah seseorang apabila sesuai dengan stigma publik bahwa pelaku dengan motif balas dendam berasal dari kesatuan khusus TNI AD maka akan sudah terlihat jelas yaitu kepala plontos alias cepak <i>ala</i> militer pada umumnya. Demikian pula seandainya kepala dan wajah pelaku tersebut berasal dari aparat POLRI sebagaimana dituliskan oleh Idjon Djanbi pada catatannya.</p>
<p dir=ltr>Kepala dan wajah pelaku yang tidak ber-sebo dapat menjadi petunjuk awal siapa pelakunya. Karena dengan tidak menutup kemungkinan pelaku menggunakan <i>wig</i>, maka apabila berasal dari kesatuan khusus TNI AD akan membutuhkan waktu lama untuk tidak berpenampilan <i>ala</i> militer pada umumnya. Potongan rambut cepak atau plontos <i>ala</i> militer mudah teridentifikasi, dan menjadi informasi awal pelaku pembantaian. Dalam hal ini patut diduga bahwa kehati-hatian KAPOLRI berkaitan dengan kebenaran dan ketidakbenaran isi catatan si-Idjon. Kebenaran dan ketidakbenaran tersebut memiliki implikasi politik atas dua institusi, TNI AD dan POLRI. Implikasi tersebut akan mampu menggemparkan dua institusi tersebut, minimal akan muncul kecaman publik yang keras.</p>
<p dir=ltr><i>Kedua</i>, berkaitan dengan tanggapan KAPOLRI terhadap foto-foto yang disertakan dalam catatan si-Idjon. KAPOLRI menyatakan bahwa foto-foto tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan. Pernyataan tersebut dapat dimaknai dua hal yaitu terhadap fotonya <i>an sich</i> ataukah foto-foto tersebut bukan dirilis oleh pihak yang berwenang. Namun KAPOLRI tidak berani untuk menyatakan bahwa foto-foto tersebut adalah tidak benar atau merupakan hasil teknologi informasi, dalam bahas lain foto-foto tersebut hasil rekayasa dengan menggunakan photoshop atau photo editor. Dalam hal ini publik dapat menilai bahwa foto-foto yang disertakan dalam catatan si-Idjon memang berasal dari hasil jepretan atau dokumentasi si pemilik akun Idjon Djanbi. </p>
<p dir=ltr>Hasil dokumentasi si-Idjon patut diduga benar ketika KAPOLRI tidak berani memastikan ketidakbenaran foto-foto yang diunggah dalam catatan si-Idjon. Kemungkinan kebenaran inilah yang menjadi tantangan investigasi yang dilakukan oleh POLRI, karena akan berhadapan dengan kepercayaan publik yang sudah dibangun melalui catatan si-Idjon. Informasi yang berbeda jauh atau bertolak belakang dengan informasi yang sudah disampaikan dengan foto-foto yang hampir sama atau mirip-lah akan membangun ketidakpercayaan publik. Untuk itu nantinya penjelasan tim investigasi POLRI harus juga menyanggah foto-foto yang disampaikan si-Idjon dengan menampilkan foto-foto lain yang bukan hasil rekayasa POLRI. </p>
<p dir=ltr>Pasca pembantaian 4 tahanan POLDA di Lapas Cebongan memunculkan komplikasi setelah terbitnya catatan si-Idjon ini. Ketiadaan sanggahan dan belum adanya pernyataan resmi atas kemajuan penyelidikan yang dilakukan akan memantabkan penilaian di benak publik atas catatan si-Idjon. Pemerintah harus tampil secara berwibawa, dan jangan sampai kewibawaannya digerus oleh sebuah catatan yang nampak sangat rasional karena substansi dan sistematisasi penyampaian. Logika publik sedang dijungkir-balikkan disaat minimnya penjelasan pemerintah atas tragedi Lapas Cebongan. Catatan si-Idjon yang bergerilya di kalangan kelas menengah jangan dipandang sebelah mata. Kelas menengah dengan daya nalar yang kritis tidak mudah di distorsi oleh pernyataan kabur dan mengambang.</p>
<p dir=ltr>Pertaruhan atas kewibawaan pemerintah (baca:SBY) menjelang pemilu 2014 akan dikenang publik. Jatuhnya wibawa pemerintah berada diatas sebuah cacatan di jejaring sosial. Bahkan POLRI-pun tidak mengeluarkan pernyataan untuk menelusuri akun jejaring sosial, padahal POLRI memiliki unit cyber crime yang paling handal di ASEAN. Penelusuran dilakukan atas lokasi pengunggahan catatan tersebut, dan menelusurinya dengan mengirim unit khusus untuk melacak. Ataukah ini yang sedang dilakukan POLRI dan menyembunyikan dari pandangan publik karena daya kejut dari informasi yang dikumpulkan dan membahayakan kredibilitas POLRI atau instansi lain di luar POLRI. </p>
<p dir=ltr>Publik menunggu kejelasan atas pembantaian tersebut, karena berkaitan dengan penegakan hukum dan motif sebenarnya dari peristiwa tersebut. God bless Indonesia!</p>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/08089601422778918243noreply@blogger.com134tag:blogger.com,1999:blog-5204758699589556547.post-11364834297187577852013-03-30T21:05:00.001-07:002013-03-30T21:05:31.376-07:00Idjon Djanbi & Kontra Opini di Dunia Maya<p dir=ltr>Sebuah note (catatan di Facebook) tidak menggemparkan, namun menghenyakkan pembacanya. Tidak menggemparkan karena ditulis dari sebuah jejaring sosial, dikirim melalui jejaring sosial lainnya. Meski jejaring sosial memiliki sifat kemassalan, namun itu berkaitan dengan pertemanan yang dimiliki. Kekuatannya selain terletak pada substansinya, penyebaran yang 'bergerilya' dari jejaring sosial dan melintas ke antar jejaring sosial. BBM <i>(blackberry</i> <i>messenger</i>) memegang peran penting penyebaran di kalangan kelas menengah.</p>
<p dir=ltr>Substansi note yang ditulis dengan <i>account</i> Idjon Djanbi menjadi 'kontra opini' pasca pembantaian tahanan lapas Cebongan, Sleman, Yogyakarta. Opini yang berkembang di masyarakat atau beberapa pihak yang dimuat di media cetak elektronik bahwa pembantaian tersebut dilatarbelakangi dendam. Pihak yang mempunyai dendam dan kemampuan balas dendam adalah institusi yang anggotanya dibantai oleh kelompok preman di sebuah kafe di Yogyakarta.</p>
<p dir=ltr>Analisis terhadap peristiwa pembantaian diuraikan secara runut, meski penggunaan tata bahasa carut marut. Pesan yang disampaikan jelas bahwa banyak kelemahan yang harus diperhatikan apabila pelaku pembantaian dituduhkan kepada institusi yang pertama kali dikomandani oleh 'pemilik' akun. Intinya adalah pelakunya bukan institusi yang pertama kali dikomandani oleh 'pemilik' akun melainkan aparat kepolisian sendiri. Oknum POLRI melakukan untuk menutupi 'aib' konflik dibalik pembantaian premab di sebuah kafe, yang oleh publik dilihat sebagai pemicu pembantaian di lapas Cebongan.</p>
<p dir=ltr>Catatan Idjon Djanbi menjadi kontra opini publik yang menjadi reaksi atas pembantaian lapas. Disertai dengan foto-foto korban pembantaian menjadi tantangan bagi ahli forensik dan balistik untuk memberi penjelasan komprehensif atas jenis senjata, luka tembak, posisi korban saat dibantai, berapa orang pelakunya dan berbagai kemungkinan lain yang bisa diungkap. Foto-foto ini penting selain menunjukkan akses pemilik akun terhadap kondisi dan situasi lapas dan korban pasca pembantaian. Dengan kemungkinan lain, pemilik akun merupakan salah satu pihak yang melakukan pembantaian. Artinya membantah bahwa yang dibela bukan pelaku, namun mempunyai kesempatan untuk mengabadikan peristiwa yang pemilik akun ikut terlibat.</p>
<p dir=ltr>Foto-foto itu akan menjadi pembanding bagi POLRI atau siapapun yang membentuk tim investigasi. Institusi yang melakukan investigasi sudah didahului dan dicegah untuk mendistorsi fakta sebagai upaya pengaburan bahkan menyembunyikan kejadian sebenarnya. Publik lebih dahulu disodorkan foto, dengan harapan melakukan penalaran sekaligus membangun pola pikir pembanding atas informasi yang akan disampaikan oleh pemerintah. Foto-foto berbicara banyak hal, melampaui kata-kata yang bisa dirangkai.</p>
<p dir=ltr>Hegemoni opini yang mendiskreditkan telah memicu reaksi dengan sebuah catatan. Setelah beredar di dunia maya, dan sampai ke media dan pihak-pihak terkait seperti POLRI, KOMNAS HAM atau TNI belum ada yang secara komprehensif menolak atau menyanggah foto atau isi dalam catatan tersebut. Dalam hal ini Idjon Djanbi selangkah lebih maju dari tim investigasi dari institusi manapun. Catatan yang sudah masif tersebar akan membentuk opini sebagai kontra opini. Akibatnya, penjelasan resmi yang kemudian disampaikan akan ditolak oleh (nalar) publik. Publik yang membandingkan akan sulit percaya dan mulai gamang dengan informasi yang ada. Kegamangan ini melahirkan sikap individu yang bisa berubah menjadi sikap publik ketika momentum bertemu.</p>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/08089601422778918243noreply@blogger.com8tag:blogger.com,1999:blog-5204758699589556547.post-76221903054289732042013-03-26T03:47:00.001-07:002013-03-26T08:36:36.214-07:00Hukum koruptif memproduksi kekerasan<p dir=ltr>Pembantaian terhadap 4 (empat) tahanan Polda di LP Cebongan, Yogyakarya merupakan aksi susulan dari penyerbuan anggota TNI dari Armed terhadap Mapolres Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan. Digunakan istilah 'aksi susulan' tidak dimaksudkan bahwa kedua peristiwa saling terkait atau berurutan, melainkan terdapat benang merah dari kedua peristiwa tersebut. Benang merah yang terambil ini tidak hanya terambil dari dua peristiwa yang dilakukan oleh TNI dan atau kelompok bersenjata yang belum teridentifikasi. Aksi kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap simbol hukum seperti anggota POLRI, kantor polisi, gedung pengadilan atau bentuk tindakan lain yang menjadi manifestasi ketidakpercayaan terhadap hukum atau penegakan hukum.</p>
<p dir=ltr>Ketidakpercayaan yang ditunjukkan dengan aneka tindakan yang merusak menjadi artikukasi pandangan masyarakat terhadap (penegakan) hukum. Secara terang dan jelas, alasan penyerbuan yang dilakukan prajurit TNI ke Mapolres OKU adalah lambannya penanganan proses hukum untuk pelaku penembakan yang mengakibatkan meninggalnya rekan mereka. Untuk pembantaian di LP Cebongan, opini publik digiring bahwa pelaku adalah rekan mereka yang menadi korban penganiayaan yang berujung dengan meninggalnya anggota TNI. Bahkan secara tendensius, media online menulis 'diserbu oknum kopassus 4 tahanan LP Sleman tewas' yang berpotensi terjadi <i>trial by press</i>. Sebelumnya bisa diinventarisasi aneka tindakan masyarakat yang memporak-porandakan kantor polisi yang menjadi simbol (penegakan) hukum. </p>
<p dir=ltr>Benang merah yang hendak disampaikan adalah ketidakpercayaan terhadap (penegakan) hukum merupakan pandangan masyarakat, menjadi kepercayaan bersama yang hidup berdasarkan pengalaman sendiri atau berasal dari informasi teman atau keluarga. Kepercayaan atas ketidakpercayaan terhadap penegakan hukum berasal dari praktek penegakan hukum baik yang koruptif. Hukum yang koruptif dimaksud adalah penyalahgunaan kewenangan yang diberikan hukum dan menjadikan hukum sebagai sebuah komoditas yang dapat diperjual-belikan. Setiap tahap penegakan hukum, menjadi peluang bagi oknum aparat untuk memperoleh nilai nominal tertentu. Bahkan aparat penegak hukum tidak mampu berjalan lurus sesuai hukum lagi, karena kebiasaan untuk memperdagangkan hukum. Hukum sengaja diselewengkan, kemudian penyelewengannya dimanfaatkan untuk memeras pihak-pihak yang sedang berurusan dengan penegak hukum.</p>
<p dir=ltr>Hukum yang koruptif menempatkan hukum sebagai komoditas, prosedur dan substansi hukum diubah diperdagangkan dengan daya tafsir yang dimonopoli berdasarkan kewenangan yang berasal dari peraturan perundang-undangan. Tafsir teks hukum dilakukan berdasarkan pesanan baik atas inisiatif para pihak maupun dari oknum aparat penegak hukum. Dalam hal ini, aspek sumber daya manusia maupun hukumnya memegang peran penting untuk memunculkan hukum yang koruptif. Hukum dijalankan oleh penegak hukum <i>taken for granted </i>dari legislatif, dan tafsir atas teks hukum dipengaruhui orientasi nilai yang dianut oleh aparat penegak hukum. Kewenangan untuk menegakkan hukum menjadi lahan subur penyelewengan yang menghasilkan hukum yang koruptif, ketika tidak ada pengawasan baik internal maupun eksternal atas pelaksanaan kewenangan maka penyalahgunaannya tinggal menunggu waktu dan melembaga.</p>
<p dir=ltr>Saat digembar-gemborkan pemberantasan korupsi atau anti korupsi, banyak kalangan di masyarakat menjadi gamang. Kegamangan terjadi karena korupsi sudah berurat akar, bahkan sebagian kalangan memandang korupsi dapat mempermudah segala urusan yang bersinggungan dengan masyarakat dan dunia usaha. Masyarakat belum memiliki kesadaran dampak korupsi, sehingga pemberantasan korupsi yang hanya mengandalkan KPK atau penegak hukum  yang sudah tercemar dengan hukum koruptifnya akan seperti 'meninju angin'. Kekerasan yang ditampilkan dan diinformasikan oleh media menjadi pembelajaran bangsa Indonesia sebagai akibat dari hukum yang koruptif. Kelompok masyarakat yang sudah jengah dan jenuh atas praktek koruptif hukum selama ini seharusnya dapat melihat bahwa respon masyarakat atau TNI sebagai bentuk perlawanan terhadap hukum yang koruptif.</p>
<p dir=ltr>Pihak yang melawan dengan bekal yang dimiliki melahirkan dampak perlawanan yang signifikan. Dampak perlawanan menjadi suara yang mewakili mayoritas diam (<i>silent majority</i>). Mayoritas diam merupakan sebagian besar masyarakat yang tidak berdaya berhadapan dengan hukum yang koruptif. Selama ini mereka diam, mengikuti 'irama permainan' penegak hukum yang ditafsir sesuai dengan kehendak mereka. Mayoritas diam hanya bisa berbagi pengalaman yang secara kolektif membentuk kepercayaan publik.</p>
<p dir=ltr>Masyarakat pencari keadilan selama ini diteror baik secara fisik dan psikis oleh penegakan hukum yang koruptif. Kekerasan yang menggunakan hukum untuk menghadirkan keuntungan sepihak, membentuk masyarakat yang apatis dan muak terhadap penegak hukum. Kepanjangan KUHP sebagai 'kasih yang habis perkara', UUD sebagai 'ujung-ujungnya duit' menjadi bentuk cemoohan publik atas penegak hukum. Untuk itu ketika kantor polisi dibakar, polisi terbunuh, publik mencibir dan dalam hati mendukung sebagai bentuk cemoohan atas perilaku koruptif selama ini. Cibiran dan cemoohan merupakan balas dendam atas perilaku koruptif yang selama ini dilakukan.</p>
<p dir=ltr>Kegagalan memberangus hukum yang koruptif akan melahirkan kekerasan. Waktu dan tempat akan menjadi momentum pembuahan ketidakpercayaan atas rasa frustasi yang dialami pada kasus hukum yang sedang di hadapi. Titik kerawanannya adalah ketika masyarakat mengorganisir dirinya untuk melakukan perlawanan. TNI yang marah karena tidak percaya dan frustasi melampiaskannya kepada bangunan kantor polisi. Demikian juga masyarakat sipil yang terorganisir akan melawan simbol-simbol hukum yang koruptif. Kondisi yang berulang dalam kurun waktu tertentu hendaknya menyadarkan bangsa ini untuk mengambil langkah tegas dengan memperbaiki diri.</p>
Anonymoushttp://www.blogger.com/profile/08089601422778918243noreply@blogger.com10