Sunday, June 30, 2013

Partisipasi Publik & Keterbukaan Informasi Publik – Kesempatan & Tantangan

Pasca diundangkan UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (selanjutnya disebut UU KIP) pada tanggal 30 April 2008, hak public untuk memperoleh informasi mendapatkan jaminan perlindungan dari negara. Hak untuk memperoleh informasi menjadi bagian dari upaya meningkatkan kualitas demokrasi, yang salah salah satu prinsipnya adalah kesempatan berpartisipasi masyarakat dalam setiap program dan atau kebijakan pembangunan. Partisipasi public dalam demokrasi memilik dua dimensi yaitu keterlibatan dan pengawasan masyarakat dalam penyelenggaraan negara.[1]
Ungkapan ‘knowledge is power’ (ipsa scientia potestas est) dari Sir Francis Bacon menjadi relevan untuk menjadi dasar bagi perlunya keterbukaan informasi public. Pengetahuan berasal dari informasi yang diperoleh dan dimanfaatkan bagi kehidupan manusia. Tanpa informasi, pengetahuan tidak akan terbentuk dan berguna untuk mengembangkan taraf kehidupan manusia. Menurut Pasal 1 angka 1 UU KIP,
“informasi adalah keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung nilai, makna dan pesan, baik data, fakta, maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan, dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik maupun nonelektronik.”
Dari definisi tersebut dapat diketahui bahwa informasi merupakan semua hal yang dapat ditangkap oleh panca indera yang disajikan dalam berbagai kemasan. Informasi inilah yang mampu menghadirkan kekuasaan bagi pemiliknya.

Keterbukaan informasi yang dijamin oleh UU KIP dapat meningkatkan kemampuan public untuk terlibat pada setiap proses pengambilan kebijakan atau menggunakan informasi yang dimiliki atau belum dimiliki untuk menyampaikan gagasan atau usulan kepada penyelenggara negara. UU KIP menjaga agar setiap badan publik[2] memberikan informasi yang dibutuhkan atau diminta oleh masyarakat. Dalam hal ini UU KIP menjamin tidak ada lagi dalih bagi penyelenggara negara atau badan public untuk tidak memberikan informasi yang dimiliki dengan alasan informasi tersebut termasuk kategori rahasia. Bagi masyarakat, terbuka kesempatan untuk mengakses informasi yang dapat digunakan untuk memberi masukan atau mengantisipasi apabila terdapat dampak atau akibat yang ditimbulkan dari kebijakan atau program badan public tersebut.

Informasi yang diakses atau diperoleh masyarakat meningkatkan peluang untuk memainkan posisi tawar ketika berdialog dengan penyelenggara negara. Posisi tawar masyarakat disatu sisi menjadi bagian dari pemberdayaan masyarakat, disisi lain mendorong penyelenggara negara untuk lebih memiliki sikap responsif dan akomodatif bagi masukan/usulan dari masyarakat. Tawar-menawar adalah bagian dari dialog antara masyarakat dan penyelenggara negara, dan sebagai bentuk komunikasi diantara keduanya dalam memperbincangkan suatu masalah public.

Dialog merupakan bagian dari demokrasi dalam menyampaikan pendapat terhadap suatu permasalahan. Dialog yang baik adalah ketika para pihak yang berdialog memiliki atau menguasai informasi yang setara. Ketidaksetaraan terhadap penguasaan informasi dapat menghasilkan penindasan atau kesewenang-wenangan. Sebagaimana terjadi pada masa dimana pemerintah lebih dominan dalam setiap aspek kehidupan bernegara, pemerintah menguasai informasi dan masyarakat merupakan pihak yang tidak memiliki informasi sama sekali atau kalaupun memiliki informasi sangat minim.

Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 UU KIP bahwa dua tujuan undang-undang tersebut adalah pertama, menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan public, program kebijakan public, dan proses pengambilan keputusan public, serta alasan pengambilan suatu keputusan public. Kedua, mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan public. Hak untuk memperoleh informasi dan berpartisipasi menjadi kekuatan besar masyarakat untuk mengawasi setiap kebijakan public yang dihasilkan oleh pemerintah.

Pengawasan terjadi ketika public mampu melibatkan diri dalam setiap proses pembuatan kebijakan dan/atau memperoleh informasi untuk kemudian memberikan respon atas kebijakan yang diambil. Respon yang diberikan menjadi bentuk loloh balik atas kebijakan public, baik mendukung, menolak atau memberikan alternative kebijakan lain yang lebih sesuai dengan kondisi dan atau permasalahan masyarakat. Respon inilah yang menjadi partisipasi, sekaligus pengawasan terhadap kebijakan publik yaitu apakah sudah sesuai dengan kondisi masyarakat atau tidak, adakah penolakan atau permasalahan yang muncul dari kebijakan yang diambil.

Keterbukaan informasi public menjadi bagian penting untuk menempatkan masyarakat sebagai subyek pembangunan. Masyarakat memiliki peran strategis dengan jaminan untuk memperoleh informasi. Peran strategis tersebut menjadikan masyarakat memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dalam bentuk dialog public dengan penyelenggara negara. Dengan dialog, keinginan atau harapan para pihak dalam pembangunan dapat disampaikan dan kemudian berkontribusi positif bagi pengembangan dan kesejahteraan masyarakat.



[1] Bandingkan dengan bagian menimbang huruf b UU No. 14 Tahun 2008.
[2] Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislative, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD, atau organisasi non pemerintah yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari APBN dan/atau APBD, sumbangan masyarakat dan/atau luar negeri (Pasal 1 angka 3 UU KIP).

Monday, June 24, 2013

Korupsi di Indonesia, seolah hukum-pun tidak mampu menjerakan

Berita tentang korupsi di Indonesia secara terus-menerus menjadi headline di setiap surat kabar. Media massa dengan jargon-nya bad news is good news, menempatkan korupsi sebagai berita buruk yang sudah menjadi berita baik. Dalam hal ini terjadi absurditas konten berita, yaitu apakah korupsi tanpa sadar merasuki bangsa ini sebagai berita baik. Berita baik ini berdampingan dengan kenyataan bahwa korupsi seolah belum bisa berhenti di republic ini, meskipun sudah dilakukan penegakan hukum.

Pertanyaan yang mengemuka adalah apakah hukum tidak efektif? Apakah bekerjanya hukum belum optimal? Apakah masih dapat diandalkan hukum untuk memberantas korupsi? Apakah masih terdapat kekurangan dari hukum untuk berkemampuan memberantas korupsi? Pertanyatan-pertanyaan tersebut menjadi refleksi kritis bangsa ini dalam menyikapi maraknya korupsi yang terjadi di Indonesia. Kemarakan korupsi dirayakan oleh individu yang memiliki kesempatan mengampu kekuasaan dan atau jabatan.


Korupsi di Indonesia tidak mengenal batasan. Sektor public seperti kesehatan, pendidikan, transportasi, perkebunan, olah-raga, teknologi informasi dan masih banyak yang bisa disebutkan sudah terjangkiti korupsi. Korupsi tidak mengenal strata atau hierarkhi, pusat-lokal, atas-bawah, dilakukan bagi setiap pihak yang termotivasi untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain. Motivasi pribadi yang dipengaruhi oleh berbagai hal baik yang bersifat personal maupun kolektif telah mampu memicu usaha untuk korupsi. Pemicu ini ‘dibuahi’ oleh mentalias instan dalam memperoleh kekayaan. 


*Tulisan ini merupakan materi kuliah tentang korupsi dalam perspektif hukum yang disampaikan pada kuliah di Magister Akuntansi UKSW tanggal 22 Juni 2013.

Korupsi Politik & Politik Korupsi

Praktek korupsi di Indonesia mengalami pergeseran pola yaitu dari yang melibatkan birokrasi, kepala daerah dan wakil rakyat ke pihak dengan actor yang hampir sama namun dengan perluasan cakupan keterlibatan. Perluasan cakupan keterlibatan ini sebenarnya terkait dengan sifat korupsi dari yang personal dan atau berjamaah ke sistematik terorganisir. Artinya bahwa awalnya pada kurun waktu 1999 sampai dengan 2009, korupsi yang melibatkan aktornya hanya berkaitan dengan pemuasan syahwat politik individual birokrasi atau kepala daerah bersangkutan.

Korupsi yang dilakukan wakil rakyat terjadi dengan memanfaatkan kewenangan yang dimiliki dalam hak budgeting sebagai lembaga legislative, namun pemanfaatan tersebut tidak dapat dikatakan bahwa lembaganya yang korup. Karena dengan hak budgeting yang dimiliki, anggota DPRD menginginkan tambahan pendapatan yang seolah-olah sah. Tambahan pendapatan dengan menganggarkan dalam APBD menjadi bentuk manipulasi anggaran. Korupsi yang berwatak individual inilah mengalami pergeseran pola pasca 2009.

Sebagaimana yang terungkap dalam kasus-kasus korupsi yang melibatkan 2 partai koalisi yaitu Nazaruddin dan Hambalang untuk Partai Demokrat, atau suap impor daging sapi untuk PKS adalah bentuk korupsi politik yang sistematif terorganisir. Bahkan apabila merujuk kasus korupsi PPID sebelumnya yang melibatkan kader PAN juga dapat menjadi referensi korupsi politik. Korupsi politik disini adalah korupsi yang dilakukan dengan mengambil keuntungan dari APBN/D untuk kepentingan pengelolaan mesin politik partai.

Dalam hal ini, korupsi yang dilakukan oleh DPR/D tidak semata untuk kepentingan pribadi anggota yang melakukan korupsi. Dana korupsi mengalir ke pihak-pihak lain baik sesama anggota dewan atau pengurus partai politik. Aliran dana tersebut kemudian diperuntukkan untuk mengelola dan menjalankan organisasi partai, memenuhi kebutuhan partai termasuk biaya konsolidasi dalam memperkuat organisasi partai di aras propinsi maupun kota/kabupaten. Dengan kata lain, korupsi politik merupakan korupsi yang dilakukan oleh partai politik melalui anggota-anggotanya yang duduk sebagai anggota legislative maupun eksekutif.

Korupsi politik dilakukan dengan kesadaran untuk membantu partai politik tempat dimana anggota legislative atau eksekutif (menteri/kepala daerah) bernaung sebagai bentuk kompensasi politik terhadap partai. Kompensasi politik dimaksud adalah jabatan yang sekarang diraih sebagai legislative dan eksekutif tidak terlepas dari peran partai yang mencalonkan atau menominasikan untuk menjadi DPR/D atau menteri/kepala daerah. Niat melakukan korupsi untuk mengembangkan mesin partai dalam mempertahankan kekuasaan atau menambah kekuasaan yang sudah dalam genggaman.

Korupsi politik tidak bisa dilepaskan dari biaya politik tinggi dalam mengelola partai politik. Ditengah pragmatisme politik konstituen, biaya politik menjadi keniscayaan yang harus dikeluarkan untuk meraih massa atau memperluas basis dukungan partai. Konstituen saat ini tidak mempan hanya diiming-imingi ideology atau program partai. Mereka juga butuh ‘fresh money’ sebagai kompensasi dukungan terhadap partai politik yang bersangkutan. Biaya politik telah menciptakan politik yang korup.

Politik korupsi menjadi gambaran dari politik Indonesia, dimana parpol menjadi tiang demokrasi telah mengalami pembusukan. Pembusukan yang menimbulkan kerapuhan apabila tidak segera dibenahi akan meruntuhkan bangunan demokrasi yang sudah dibangun dengan susah payah. Partai politik tidak memperkuat pelembagaan demokrasi yang sehat dan jujur, namun menjadi bagian dari masalah demokrasi itu sendiri. Politik korupsi menjadi wacana actual khas Indonesia dengan menempatkan kerja politik tidak bisa dilepaskan dari langkah-langkah korupsi untuk mengeruk uang rakyat. Partai politik tidak berpikir untuk mengelola APBN/D dengan baik sehingga bisa untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Parpol hanya berpikir berapa prosentasi yang bisa diambil dan didistribusikan untuk biaya politik partai.

Monday, June 17, 2013

Kenaikan BBM & Down to the Lowest Point as a Nation

Tadi malam, tanggal 17 Juni 2012 Rapat Paripurna DPR menyetujui dengan voting APBN-P 2013 yang memenangkan fraksi-fraksi yang mendukung kenaikan harga BBM. Konsekuensi politis dari kemenangan voting tersebut menjadi dukungan politis bagi pemerintahan SBY untuk menaikkan harga BBM. Dengan asumsi bahwa apabila pemerintah tidak menaikkan harga BBM maka akan mengakibatkan membengkaknya subsidi BBM di APBN. Padahal masih menurut pemerintah subsidi BBM tersebut malah dinikmati oleh warga negara yang tidak seharusnya mendapatkan subsidi. Dengan kata lain, kenaikan harga BBM untuk mengurangi beban subsidi di APBN dan menghindari salah subsidi harga BBM. Wacana kenaikan harga BBM yang sudah digulirkan beberapa bulan sebelumnya dan diikuti dengan sosialisasi di berbagai media yang menelan biaya berpuluh-puluh milyar rupiah. Antisipasi dampak kenaikan harga BBM secara otomatis yaitu harga barang kebutuhan masyarakat sudah mulai merangkak naik. Bahkan masyarakat sudah tercekik sebelum benar-benar dicekik oleh kenaikan harga BBM yang dalam waktu dekat akan dilakukan. Masyarakat pasrah, mahasiswa berteriak lantang dan heroic. Partai oposisi dan partai yang baru belajar beroposisi menggunakan isu kenaikan harga BBM untuk menarik dukungan. Harga BBM menjadi konsumsi politik, ditelan kemudian di olah menjadi isu politik. Nampak sekali dari argumentasi fraksi parpol pada saat menjelang voting di Rapat Paripurna DPR tadi malam, fraksi mana yang menolak dengan argumentasi secara substansial dan fraksi mana yang argumentasinya hanya kosmetika politik semata. Argumentasi substansial menempatkan rasionalitas anggaran untuk menolak perubahan APBN-P yang akan menimbulkan dampak massif dari kenaikan harga BBM. Sinyal politik dari argumentasi tersebut salah satunya menyampaikan bahwa kenaikan harga BBM menjelang bulan puasa akan mencekik dan menindas kehidupan masyarakat. Berbeda dengan fraksi yang bermain dengan kosmetika politik karena sedang belajar beroposisi, menggunakan kondisi riil dari aksi mahasiswa dibeberapa kota yang menolak kenaikan harga BBM sebagai basis argumentasi. Aksi mahasiswa yang cenderung menggunakan cara kekerasan secara isu menyuarakan aspirasi masyarakat, namun cara-cara yang ditempuh membalikkan dukungan atas aksi mahasiswa berubah menjadi kecaman atas aksi kekerasan yang dilakukan. Merusak fasilitas umum, mengganggu pengguna jalan yang lain mencerminkan kurang kreatifnya gerakan mahasiswa dalam melakukan aksi massa. Apakah ini juga menjadi cermin hasil proses belajar mengajar dalam system pendidikan kita juga? Aksi anggota DPR di senayan tadi malam dan aksi mahasiswa di jalanan kota-kota di Indonesia menjadikan Indonesia “down to the lowest point as a nation”. Mengapa? Tiga kelompok politik yaitu DPR, Pemerintah dan mahasiswa tidak mencerminkan masyarakat yang cerdas untuk mencari banyak pilihan untuk mengatasi masalah klasik negara ini yaitu harga BBM. Tidak ingin mengatakan bahwa tiga kelompok politik tersebut tidak cerdas, namun kurang mau berpikir untuk menggali berbagai kemungkinan banyak pilihan. Satu masalah, satu solusi. Diluar solusi yang disampaikan adalah tidak baik atau tidak benar. Pemerintah kurang antisipatif-visioner untuk mengurangi konsumsi BBM yang berdampak pada membengkaknya subsidi BBM di APBN. Ketika bangsa Indonesia tidak lagi mau mencari aneka alternative solusi atas masalah-masalah yang dihadapi, maka sebenarnya bangsa ini sedang menggali kuburannya sendiri. Karena bangsa yang berkembang dan maju adalah mereka yang terus melakukan inovasi dan terobosan untuk mengatasi aneka persoalan. Menjadi kreatif tidak hanya pilihan, namun itu adalah proses dari hasil pembelajaran dalam rentang kehidupan. Menjadi kreatif tidak hanya berpikir dengan banyak perspektif, didalamnya memuat kemampuan mendengar banyak pihak yang memiliki tawaran pemikiran. Pemerintah berperan menyediakan ruang yang memungkinkan kreatifitas warga bangsa menjadi unit produkti dan memiliki nilai ekonomi yang berguna bagi kemajuan bangsa. Kemampuan mengapresiasi karya kreatif anak bangsa menjadi penting. Banyak hasil penelitian yang dihasilkan hanya menjadi konsep indah di ruang-ruang kelas pembelajaran. Kehilangan semangat untuk mengembangkan ketika kolega atau pemerintah melakukan cibiran, bukan karena tidak baiknya hasil temuan namun lebih pada pertimbangan politik yang tidak akan menguntungkan pemilik kepentingan politik tersebut. Untuk itu kenaikan harga BBM adalah cerminan kondisi bangsa ini yang sedang berada dititik terendah dan harus segera bangkit dengan menggali potensi sumber daya alam dan manusia untuk mengatasi berbagai masalah kebangsaan. Dan mulai meninggalkan polemic yang memundurkan kita sebagai bangsa, yaitu ketika bicara mengenai siapa yang berhak tinggal dirumah Indonesia dan upaya-upaya untuk mengusir penghuni rumah Indonesia yang berbeda baik agama, ideology, warna kulit atau kelas social.