Friday, March 8, 2013

PKS, ditengah prahara menyembunyikan strategi mencetak pemimpin daerah & nasional

Prahara yang menimpa PKS yang menimpa (mantan) presiden PKS masih meninggalkan jejak proses hukum yang masih dilakukan oleh KPK. Kasus (dugaan) suap yang mengarah pada (mantan) presidennya cukup mengusik kepercayaan publik yang selama ini menaruh asa bahwa PKS merupakan partai yang masih menjaga komitmen sebagai partai yang bersih dan bebas korupsi. Pada waktu yang bersamaan, PKS yang digoncang prahara menghadapi pilkada pada tahun 2013 antara lain Jabar, Sumut dan Jateng.

Setelah kekalahan di Pilgub DKI dan terbongkarnya (dugaan) suap kepada (mantan) presidennya, beban berat untuk merengkuh kepercayaan publik untuk menarik kemenangan dalam kompetisi menjadi beban berat. Pembuktian bahwa opini publik yang terbangun pasca prahara suap daging ditunjukkan pada saat pilgub Jabar. Dengan kemenangan pasangan yang didukung oleh PKS yang sudah diketahui sejak dari hasil quick  count lembaga survey dan tegaskan oleh real count KPU, mesin partai tetap solid mendukung PKS.

Perolehan suara pasangan Aher-Deddy menjadi bukti tidak hanya dukungan kader partai, melainkan tertransformasinya kerja keras dari dukungan kader  tersebut menjadi dukungan publik. Keberhasilan strategi diawali dari kejelian dalam memilih calon yang hendak di dukung dalam pilgub. Pilihan calon PKS mengkombinasikan pengalaman dan menduetkan dengan kader partai. Pertama, individu berpengalaman adalah incumbent baik petahana gubernur maupun wagub, atau jajaran puncak birokrasi misalnya sekdaprov.

Pilihan ini menjadi shortcut untuk tidak memulai dari awal 'polesan' politik calon atau pasangan calon. Incumbent  sudah dikenal publik, minimal sudah memiliki jejaring dukungan di internal birokrasi yang pernah/sedang dipimpin. Modal awal inilah yang tidak perlu lagi energi untuk mengenalkan, membangun dan meyakinkan citra dan prestasi dari pasangan yang didukung. Dukungan dari internal birokrasi akan memudahkan mendorong mesin birokrasi untuk berkiprah dalam menentukan pendulangan suara.

Kedua, petahana diduetkan dengan kader partai. Ini merupakan strategi jitu dalam mencantrik alias proses pemagangan politik kadernya yang minim pengalaman. Kejituan ini terletak pada peluang untuk mengkarbit kadernya sebagai pemimpin daerah. Strategi ini adalah bagian dari 'program' atau rencana partai tersebut untuk nantinya mengambil alih kepemimpinan nasional. Ketika kader-kadernya sudah memiliki pengalaman birokrasi, dikenal publik, dan prestasi maka 'persediaan' pemimpin (daerah dan nasional) akan melimpah.

Dalam hal ini PKS menjadi partai yang secara sistematis membangun kaderisasi pemimpin politik. PKS saat ini bukan hanya partai kader semata, melainkan partai kader pemimpin (daerah dan nasional). Semangat partai kader berhasil ditransformasikan menjadi semangat partai kader mencetak kader pemimpin. Kondisi inilah yang membedakan PKS dengan partai lain, bahkan meninggalkan jauh pesaing parpol lainnya yang masih terjebak pada figur atau  keturunan darah biru politik.

Ambil contoh dari uraian diatas adalah mulai dari pilgub DKI yang mendukung Fauzi Bowo, kemudian pilgub Jabar yang mendukung Ahmad Heryawan dengan memasangkan kadernya Deddy Mizwar. Selanjutnya yang baru saja dilakukan pemungutan suara adalah pilgub Sumut yang memasangkan Plt Gubernur, Gatot Pudjo Nugroho dengan  Tengku Erry mememenangkan pilgub versi quick count. Dan untuk pilgub Jateng yang sudah selesai di tahap pendaftaran cagub, PKS menduetkan sekdaprov, Hadi Prabowo bahkan lebih 'ekstrim' lagiin pasangannya adalah kader PDIP.

Dalam hal kader pemimpin, prahara yang diuraikan di paragraf awal tidak melalui polemik berkepanjangan seperti terjadi di teman koalisinya. Dalam hitungan jam, PKS sudah tampil dan mentransformasikan diri dengan pemimpin (baca: pnresiden) baru. Berbeda dengan partai Demokrat pasca berhentinya ketua umumnya, internal partainya masih galau memilih nahkodanya bahkan meminta pihak lain untuk mengakomodasi prahara partainya.

PKS memiliki rencana besar ketika pasangan cagub yang didukung menjadi kepala daerah. PKS yang nantinya tidak niscaya memenangkan pemilu tahun 2019. Karena kepala daerah dari PKS akan memainkan mesin  birokrasi untuk mendukung program pembangunan kepala daerah. Meski hal ini dapat menjadi bumerang namun sinyal siaga sudah dikirimkan ke parpol lainnya bahwa PKS memiliki kader pemimpin yang melimpah dan sarat dengan pengalaman. Dalam hal ini, PKS hanya memainkan peranan untuk membangun koalisi dengan TNI dalam membangun dukungan di suksesi pemimpin nasional.

11 comments:

  1. wah makin kacau saja politik di negeri ini lagu galau

    ReplyDelete
    Replies
    1. politik sudah kacau kok malah denger lagu galau

      wahai Steven Johnson kamu ini kenapa

      Delete