Saturday, February 16, 2013

Daur Ulang Demokrasi dalam Rancangan Pemilihan Gubernur melalui DPRD

Isu mengenai evaluasi pemilihan gubernur secara langsung sudah dilakukan dalam kurun waktu yang lama. Pelibatan kalangan akademisi tidak dapat dielakkan, selain untuk mengevaluasi juga mendapatkan dukungan yang legitimatif dari pemikiran intelektual. Kalangan akademis yang bersetuju dengan ide pemilihan gubernur melalui DPRD, apakah didasarkan pada pemikiran ilmiah yang objektif atau pesanan pihak tertentu sehingga menjadikan akademisi menjadi tukang ilmu daripada sebagai ilmuwan.

Ide pemilihan gubernur melalui DPRD mencerminkan kedangkalan berpikir dan minimnya kreatifitas dalam menyodorkan alternatif solusi atas permasalahan pemilihan gubernur secara langsung. Kedangkalan berpikir dilontarkan karena pelembagaan demokrasi pasca reformasi dan amandemen UUD 1945 hendak dilenyapkan dan dikembalikan pada kondisi sebelum reformasi dan amandemen. Demokrasi yang sudah berjalan sekian lama melahirkan anomali demokrasi dan mengarahkan pada dominasi aspek prosedural dan tingginya biaya politik pemilihan gubernur (pilgub).

Aspek prosedural terletak pada pilgub dengan tahap-tahap yang ditetapkan oleh penyelenggara pemilu. Pentahapan yang dilalui seolah bisa mendeklarasikan bahwa demokrasi sudah dilaksanakan. Pilgub yang demikian menafikan kemungkinan manipulasi dukungan yang dilahirkan bukan hasil sebuah proses pendidikan politik, melainkan hasil dari pencitraan instan dan politik uang. Kesadaran politik dalam berdemokrasi belum berubah dari mobilisasi pada saat orba berkuasa dengan mobilisasi citra dan politik uang saat ini.

Kesadaran politik inipun tidak dimiliki oleh tukang akademisi yang melegitimasi pilgub melalui pemilihan oleh DPRD. Kedaulatan rakyat yang sudah diberikan, diupayakan untuk ditarik dan didaur-ulang menjadi demokrasi perwakikan yang masih mengalami distorsi. Wakil rakyat yang tidak kompeten, karena terpilih dari hasil nepotisme politik, politik uang, pencintraan politik menghasilkan demokrasi yang koruptif.

Demokrasi yang koruptif dapat dilihat dari banyaknya transaksi politik dalam penganggaran di APBD/N. Hasilnya maraknya anggota DPRD yang terungkap melakukan korupsi oleh aparat penegak hukum. Watak demokrasi perwakilan yang koruptif terjadi karena tingginya biaya politik ketika mencalonkan diri menjadi anggota legislatif. Peluang politik diupayakan terjadi transaksi politik untuk menghasilkan uang kontan guna menutup biaya politik sebelum atau sesudah pemilihan legislatif.

Pertanyaannya adalah apakah keterkaitan watak demokrasi perwakilan yang masih koruptif dengan daur ulang demokrasi dalam pilgub melalui DPRD? Besarnya biaya politik pilgub yang menjadi dalih untuk mendaur ulang demokrasi tidak seharusnya menjadi solusi mutlak atas situasi anomali demokrasi. Dengan tingkat intelektualitas diatas rata-rata dengan gelar akademik berderet seharusnya mampu berpikir atas solusi anomali demokrasi. Kemampuan berpikir ditunjukkan dengan menggali alternatif solusi untuk mengatasi besarnya biaya politik yang dapat mempengaruhi pemenang pilgub melakukan korupsi.

Tukang ilmu yang melegitimasi sikap kemendagri untuk mendaur ulang demokrasi sudah mengalami kooptasi atas independensi keilmuan dan hegemoni negara atas kebebasan berpikir. Solusi tunggal menjadi manifestasi kedangkalan berpikir untuk lebih mengeksplorasi alternatif solusi yang tidak mendegradasi kualitas demokrasi. Pertama, pilgub serentak dengan pemilihan kepala daerah (pilkada). Keluhan atas besarnya biaya penyelengaraan pilgub dapat dikurangi ketika biayanya digunakan juga untuk pilkada. Mekanisme yang rumit dalam pelaksanaan menuntut kerja keras dalam berpikir.

Kedua, pembatasan biaya politik calon gubernur. Dukungan partai tetap diperlukan, namun bagaimana mencegah terjadinya transaksi politik yang spektakuler untuk 'mahar politik' dengab melibatkan pengawasan aparat penegak hukum. Penegak hukum yang sudah memiliki kemampuan penyadapan bisa memantau proses kontestasi di internal partai atau di akar rumput untuk calon independen. Calon gubernur yang diketahui melakukan pembelian kendaraan politik dapat didiskualifikasi atau dilarang mengikuti pilgub.

Ketiga, e-polling. Pilgub yang dilakukan secara elektronik bukan sebuah kemuskilan. Dengan diberlakukannya e-ktp maka single number identification menjadi syarat untuk mengirimkan pilihan politik warga negara. Tahapan pemilu konvensional tetap dilakukan untuk verifikasi data pemilih dan nomor identitasnya. Keempat, pengawasan dana kampanye. Dengan melibatkan penegak hukum dan PPATK, aliran dana kampanye dapat diketahui dan dilacak sumbernya. Dana kampanye yang tidak jelas sumbernya atau diduga merupakan hasil transaksi keuangan yang mencurigakan dapat menjadi alasan pembatalan pencalonan.

Informasi terkini terkait dengan usulan pemerintah untuk pilgub melalui DPRD ditolak oleh DPR. Ini menjadi kabar baik karena wakil rakyat tidak hendak menarik kembali demokrasi yang sudah diberikan. Bahkan dari sikap politik tersebut termuat kesadaran anti korupsi yaitu bahwa dengan pilgub melalui DPRD akan mengumpulkan kuasa koruptif di lembaga perwakilan. Karena calon gubernur akan mengeluarkan sumber keuangan untuk membeli dukungan DPRD. Dititik ini pengusul dan pemberi legitimasi usulan terkena shortcut syndrom untuk mengatasi masalah dengan mengajukan jalan pintas.

Shortcut syndrom tidak melihat dampak berlanjut dari ide pilgub melalui DPRD yaitu keberlanjutan korupsi antara DPRD yang memilih gubernur terpilih dengan gubernur. Keberlanjutan korupsi berembrio pada pilgub, tererami saat pembahasan anggaran dan menetas pada saat realisasi anggaran. Kontrak politik tidak ada jaminan berhenti ketika para pihak yang bertransaksi politik sudah selesai melakukan tanggung jawabnya. Hubungan politik yang bersimbiosis mutualisme akan terus berlanjut. Dalam hal ini dapat terjadi pertarungan politik terlokalisasi pada hubungan DPRD-gubernur. Dimana rakyat berada diluar arena panggung politik.

Pemikiran yang harus diajukan pada usulan pilgub adalah bagaimana meningkatkan akuntabilitas politik gubernur terhadap rakyat pemilih. Ini yang harusnya mengemuka pada wacana akademik, bukan mengupayakan daur ulang demokrasi. Bagaimana rakyat bisa berpartisipasi terhadap program pembangunan gubernur dengan mengevaluasi perencanaan pembangunan yang sudah dijalankan. Daur ulang harus dicegah dan memikirkan kedua pertanyaan tersebut untuk meningkatkan kualitas demokrasi dari prosedural menjadi substasial dan deliberatif.

14 comments:

  1. kebebasan pers, kebebasan menggiring opini publik, dan lemahnya undang2 yang mengaturnya, adalah celah2 berlakunya tindakan menyalahkan yang benar dan membenarkan yang salah demi berbagai kepentingan. Yang tidak mendukung gerakan kebebasan pasti cepat2 dijatuhkan. Dari semua masalah di Indonesia, inti pokoknya menurut saya adalah masalah lemahnya undang2 dan tumpang tindihnya peraturan, jika undang2 dibuat kuat untuk kebenaran dan kemaslahatan umat, dan mulai merevisi sistim yang tumpang tindih, jangankan pemilihan gubernur, pemilihan apapun atau agenda apapun yang dibuat pasti tertib.... tapi kapan Indonesia mau memulai itu? mungkin menunggu sampai negri benar2 acak2-an? hmmm

    ReplyDelete
    Replies
    1. Setuju, kebebasan hrs dipertanggungjawabkan yi utk kemaslahatan publik. Demokrasi kita masih prosedural, namun miskin substabsi

      Delete
  2. Replies
    1. Penggalangan dukungan sdh berlangsung bertahun2 :D

      Delete
  3. Jika pemerintah bisa membuat perencanaan keuangan yang baik dan teknis sistem pemilu juga diubah menjadi elektronik, maka belanja keuangan negara untuk kertas, alat tulis dan perhitungan manual bisa dihindari...jadi tdak lagi berseteru mahalnya pembelian tinta sidik jari.nyata sulit dilakukukan pemerintah karena semua itu ladang uang...

    perencana keuangan - www.Zelts-Consulting.com

     

    ReplyDelete
  4. iya tuhh harus begitu jangan sampai daur ulang y makin kacau,, harus lebih baik ya untuk indonesia kedepannya

    ReplyDelete
  5. Saya setuju dengan adanya pembatasan biaya politik.
    iklan baris gratis

    ReplyDelete
  6. The heiress of American candy company Mars, Incorporated Jacqueline Mars net worth was ranked by Forbes as the 29th richest person in the world, with a net worth of $37 billion and 19th in Forbes 400.

    ReplyDelete