Siswa SMA 2 Salatiga di keluarkan, Potret Gagal Pendidikan

Ada banyak potret kegagalan pendidikan kita yang berhasil mencetak generasi muda berorientasi angka (nilai). Kasus menarik terjadi di SMA 2 Salatiga yang berbeda dengan sekolah atau daerah lain adalah siswa yang berkelahi dikeluarkan dari sekolah. Apabila di sekolah lain yang sering membuat berita adalah sekolah mengeluarkan siswi-nya yang hamil, maka di Salatiga agak berbeda. Dalam hal ini sudah tepatkah SMA 2 Salatiga dalam mengambil kebijjakan untuk mengeluarkan siswanya dari sekolah?

Pasal 1 angka 1 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, mendefinisikan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,bangsa dan negara. Sebenarnya tanpa dijabarkan, definisi pendidikan mencakup wahana transformasi melalui proses pembelajaran dalam rangka mengembangkan potensi individu.

SMA 2 Salatiga mengeluarkan siswa kelas X, Guruh Cahya Muhammad Nur Izroil (15 Tahun) yang terlibat perkelahian dengan kakak kelasnya. Kedua siswa yang terlibat perkelahian kemudian dikeluarkan oleh pihak sekolah. Tindakan mengeluarkan ini berbuntut panjang dan menarik untuk dicermati, yaitu mengapa sepertinya pihak sekolah mudah mengeluarkan siswa yang melakukan perilaku menyimpang (deviant behaviour)? Dengan dalih mencemarkan nama baik sekolah, pertanyaannya adalah apabila ada guru yang menggunakan bantuan sekolah, misalnya dana BOS tidak sesuai peruntukannya, apakah guru tersebut akan dikeluarkan dari sekolah? Ataukah apabila sekolah memungut biaya yang seharusnya tidak boleh dipungut, apakah sekolah akan mengeluarkan guru atau semua pihak yang melakukan pungutan?

Pihak sekolah tentu mempunyai dasar dalam mengeluarkan yang tidak terungkap ke publik, misalnya perilaku pihak yang terlibat perkelahian, intensitas tindakannya sudah mengganggu siswa lain atau sering dilakukan. Pertanyaannya adalah mengapa baru saat ini siswa tersebut dikeluarkan? Bukankah dalam hal ini, sebenarnya sekolah dapat dinyatakan melakukan pembiaran sehingga siswanya melakukan pengulangan tindakan. Apakah perilaku yang dilakukan merupakan hasil pembiaran atau ketiadaan tindakan pendisiplinan yang seharusnya dilakukan oleh SMA 2 Salatiga. Jangan sampai karena terekspose media, sekolah menjadi malu dan tidak mau bertanggungjawab atas perannya dalam melahirkan perilaku menyimpang siswanya.

Sistem pendidikan kita mempunyai fungsi, berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 3 UU No. 20 Tahun 2003). Ketika sekolah mudah begitu saja mengeluarkan siswanya, maka dalam hal ini sekolah sebaga lembaga pendidikan gagal menjalankan fungsinya. Artinya sekolah cuci tangan untuk berkontribusi pada pembentukan watak siswa. Sehingga apabila siswa tersebut nantinya menjadi trouble maker di masyarakat, maka seyogyanya sekolah yang pertama kali dituding.

Tindakan sekolah yang sebelumnya membiarkan dengan tidak melakukan upaya kreatif untuk membatasi atau mengurangi perilaku yang dilakukan siswanya, kemudian ketika terjadi kesempatan untuk mengeluarkan, pihak sekolah memanfaatkan kesempatan tersebut. Dinas Pendidikan Salatiga perlu melihat, mengkaji dan menilai, apakah SMA 2 Salatiga sudah melakukan tindakan atau kebijakan untuk mencegah siswanya melakukan perkelahian atau tidak melakukan perkelahian. Ketika sekolah belum melakukan tindakan efektif dan kreatif dalam kerangka proses belajar mengajar, maka Dinas Pendidikan Salatiga perlu mengambil tindakan terhadap SMA 2. 

Langkah yang diambil SMA 2 Salatiga perlu dicermati untuk menilai apakah tindakan mengeluarkan siswanya sebenarnya menjadi bentuk kegagalan sekolah tersebut dalam menyelenggarakan pendidikan. Ataukah memang siswa tersebut mempunyai jiwa pemberontakan yang kuat, sehingga membutuhkan penanganan khusus. Penanganan yang tidak berbentuk mengeluarkan dari sekolah, tetapi menuntut sekolah, orang tua dan dinas pendidikan untuk mencari langkah kreatif-progresif. Potensi ketidakadilan muncul dari dikeluarkannya siswa dari sekolah. Yaitu apakah kemudian dari pihak sekolah yang gagal menyelenggarakan pendidikan akan memperoleh sanksi serupa?